Religuitas Kinerja


Religuisitas dalam Kinerja karyawan

oleh Mas Amin

A.    Pendahuluan
Karyawan merupakan salah satu faktor dalam proses produksi dan termasuk aset yang harus dilindungi oleh perusahaan.  Namun dewasa ini perubahan perlindungan karyawan oleh perusahaan mulai berubah dengan adanya program karyawan kontrak dan adanya outsourcing.  Perubahan ini mengakibatkan hak-hak karyawan kurang terlindungi akibat adanya hal tersebut.
Dalam ilmu ekonomi, dijelaskan bahwa karyawan merupakan aset yang sama nilainya dengan aset-aset perusahaan, namun sampai saat ini penilaian manusia sebagai aset masih hanya sekedar paradigma yang belum ada kejelasan bagaimana selanjutnya.   Dalam agama islam, karyawan bukanlah hanya aset seperti pandangan ekonomi konvensional, tetapi lebih dari sekedar hal tersebut.  Pandangan islam, karyawan merupakan orang yang melakukan pekerjaan atas suruahan majikan dan juga dia bekerja mempunyai tanggung jawab moral dan spiritual.  Tanggung jawab moral ditujukan kepada mereka yang memberikan pekerjaan, sedangkan tanggung jawab spiritual adalah Allah SWT.
Hubungan antara majikan dengan karyawan tidak boleh saling menguntungkan salah satu fihak.  Pihak majikan tidak boleh memeras keringan karyawan, demikian juga pihak karyawan tidak boleh dengan seenaknya bekerja bila tanpa ada pengawasan.  Mereka (majikan dan karyawan) tidak boleh saling memeras. Jadi tanggung jawab tidak hanya berakhir pada saat karyawan menyelesaikan pekerjaan dan si majikan membayar upahnya.  Tanggung jawab dalam prespektif Islam (spiritual) masih berlanjut untuk kepentingan yang sah, baik kepentingan majikan maupun para karyawan yang kurang beruntung.
Ukuran moral dan spiritual memang sudah banyak dibahas oleh masyarakat barat dalam ilmu ekonomi konvensional.  Para ekonom barat mengembangkan teori ini berdasarkan asumsi hakekat manusi berdasarkan pemikiran sendiri.  Hal ini sesusai dengan asumsi Mc Gregor (1960), dalam The Human Side of Enterpise, yang menyatakan bahwa setiap tindakan manajemen dan pimpinan yang melibatkan manusia selalu didasari dengan asumsi, dugaan dan generalisasi berkaitan dengan hakikat manusia dan perilaku manusia.
Edgar Schein (1970) menyatakan bahwa hakekat manusia di masyarakat barat adalah sebagai berikut: 1) Manusia sebagai aktor ekonomi yang rasional, manusia bertindak selalu berdasarkan pertimbangan rasional dan mementingkan dirinya sendiri; 2) Manusia sebagai binatang sosial (sosial animal) dengan kebutuhan sosial utama; 3) Manusia sebagai pencari aktualisasi diri dan pemecah masalah dengan kebuthan untuk ditantang dan menggunakan kemampuannya; 4) manusia sebagai organisme yang kompleks
Heilbroner dan Thurow (dalam Mannan, 1995), mengatakan faktor produksilah yang mendapatkan sorotan peneltiian ekonomi modern, bukannya atribut abadi dari sutu tatanan alami. Hal itu adalah ciptaan suatu proses perubahan sejarah, suatu perubajan yang memisahkan karywan dari kehidupan sosial dan menjadikannya suatu kuantitas abstarak dari suatu yang ditwarkan untuk dijual kepada para pencari tenaga kerja:  suatu perubahan yang memisahkan niali tanah dari hak-hak istimewa status dan kekuasaan kuno; suatu perubahan yang membawa gagasan mengenai modal pada suatu masyarakat yang lebih biasa mengenal kekayaan, tetapi tidakpernah dibayangkan sebagai susuatu yang bentuk dan rupanya tidak mempunyai manfaat, tetapi hasilnya serba penting.
            Dalam perspektif islam, karyawan digunakan dalam arti lebih luas namun lebih terbatas.  Lebih luas, karena hanya memandang pada penggunaan jasa karywan di luar batas-batas pertimbangan keuangan.  Terbatas dalam arti bahwa seseorang karyawan tidak secra mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.
            Potensi karyawan muslim di Indonesia begitu besar menjadi sumber daya manusia pada perusahaan-perusahaan industri.  Banyaknya industri yang tumbuh dan berkembang tersebut, memberikan dampak yang positif dan negatif.  Dampak positif adalah dampak dari proses industrialisasi yang tidak bertentangan dengan syariah dan kemusliman.  Dan dampak negatif adalah dampak  jika hal itu bertentangan dengan keimanannya.  Dampak negatif itu misalnya adalah:
1.     Penugasan karyawan dalam melayani customer yang menonjolkan seksualitas, sebagaimana mereka yang bekerja di supermarket dan perbankan, perhotelan, transportasi, dan lain sebagainya.
2.      Pakaian kerja yang tidak menutup aurat, khususnya wanita.
3.      Upah Minimum Regional yang selalu menjadi perdebatan antara pengusaha dan karyawan yang diwakili oleh serikat pekerja.
4.      Corporate culture yang materialistis dan sekuler sehingga nilai-nilai yang bisa diwujudkan ke dalampraktiek kerja oleh seorang muslim hanya terbatas pada apsek-aspek material untuk memenuhi kebutuhan primer saja, padahal dalam Islam mengajarkan sekaligus aspek materila dan spiritual yang tidak dipisahkan.
Contoh-contoh negatif tersebut adalah sebagai fenomena yang tidak adanya unsur religuitas di dalam memperkerjakan karyawan.  Fenomena-fenomena tersebut juga perlu diperbandingkan dengan bebarapa fakta empiris yang ada dalam penelitian hubungannya dengan kinerja karyawan.  Kinerja karyawan banyak dipengaruhi oleh motivasi karyawan, reward, budaya organisasi, gaya kemimpinan, sistem perusahaan, budaya perusahaan.
            Teori-teori dan penelitian yang ada selama ini pada umumnya hanya fokus pada aspek motivasi material (pemuasan naluriah materialistik), sehingga kepuasan maksimal tidak akan pernah terpenuhi karena dorong nafsu semata.  Apa yang terjadi bukanlah motivasi yang sebenarnya tetapi lebih tepat disebut manipulasi semangat karyawan untuk bekrja semaksimal mungkin demi keuntunganperusahaan, sementara perusahaan kurang memikirkan hak-hak karywan untukhidup sesuai dengan pengabdian kepada perusahaan.  Maka untuk itu perlu adanya pemeberian motivasi non materi juga perlu dikembangkan, yaitu motivasi spiritual yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja karyawan.  Karena motivasi spiritual pada hakekaktnya adalah pendekatan naluriah, pendekatan pemuasan yang berakibat mengurangi perilaku menyimpang bagi karyawan.
            Pendekatan motivasi spiritual yang bertujuan untuk mengurangi perilaku menyimpang bagi karyawan maka perlu juga dihubungkan dengan kinerja religuitas.  Karena selama ini (sama halnya dengan motivasi) teori-teori tentang penilaian kinerja hanya berfokus pada promosi dan penetapan reward saja. 
Tidak banyak yang dilakukan oleh seorang manajer yang penuh resiko dibandingkan dengan menilai kinerja karyawan.  Para karyawan pada umumnya cenderung menjadi sangat optimistis tentang tentang bagaimana jadinya penilaian mereka, dan juga tahu bahwa kenaikan gaji, kemajuan karir, dan ketenangan pikiran mereka bisa sangat tergantung bagaimana mereka dinilai.   Menilai kinerja merupakan pekerjaan yang lebih problematis adalah masalah struktural yang dapat memberikan masalah ketidakadilan karena hanya aspek hasil yang dinilai bukan proses ataupun cara dia mendapatkan penilaian kinerja (Dessler, 1997).  Penilaian seperti ini sebetulnya memunculkan perilaku menyimpang jika hanya bertujuan untuk itu, karyawan akan banyak meninggalkan prinsip syariah untuk mencapai tujuan itu.  Untuk itu perlu juga dikembangkan dan dibahas pendekatan atau pengukuran kinerja secara religuitas agar terjadi kepuasan materi dan naluri.
            Berdasarkan hal tersebut maka dalam artikel ini banyak akan dibahas aspek spiritual dan religuitas dalam pengembangan kinerja karyawan , baik dalam motivasi maupun  konsep religuitas dalam prespektif agama islam.  Dan ini merupakan kontribusi yang kami bahas di dalam artikel ini.  Artikel ini membahas: 1) Bagaimana aspek Religuitas dapat dikembangkan di dalam memotivasi karyawan dalam bekerja?; 2) Bagaimana aspek Religuitas dapat dikembangkan di dalam mengukur kineja karyawan?; 3) Bagaimana etika kerja dan etika Islam dalam hubungannya dalam faktor-faktor pengukuran kinerja karyawan?
B.  Telaah Literatur
1.      Kinerja Karyawan
a.       Kinerja dalam perspektif material
Kinerja atau job perfomance atau actual performance yang merupakan prestasi kerja sesungguhnya yang dicapai seseorang dalam suatu waktu tertentu.  Pengertian ini mengandung makna bahwa kinerja merupakan hasil kerja seseorang baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seorang karywan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan tanggung jawab/wewenang yang diberikan kepadanya.
Luthfans (2005), dengan pendeketan perilaku dalam manajemen mendifinisikan kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan.  Sedangkan Dessler (2000) mendifinisikan kinerja adalah hasil kerja baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan.  Pengertian kinerja ini mengkaitkan antara hasil kerja dengan tingkah laku.  Sebagai tingkah laku kinerja merupakan aktivitas manusia yang diarahkan pada pelaksanaan tugas organsasi yang dibebankan kepadanya.
Oleh karena itu kinerja karyawan merupakan hal yang bersifat individual, karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda dalam menjalankan tugasnya.  Pihak manajemen atau pemberi tugas dapat mengukur karywan atas pelaksanaan kerjanya berdasarkan kinerja dari masing-masing.  Kinerja adalah sebuah hasil dari aksi bukan merupakan kejadian.  Aksi kinerja ini sendiri terdiri dari banyak komponen dan bukan merupakan hasil yang dapat dilihat pada saat itu juga.  Jadi kinerja merupakan kombinasi antara kemampuan, usaha dan kesempatan yang diperoleh.  Hal ini sesuai dengan Timpe (1993), mengatakan:
Performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period. Performance on the job as a whole would be equal to the sum (or average) of performace on the critical or essential job functions. The functions have to do with the work which is performed and not with the characteristic of the person performing.

Indikator untuk mengukur kinerja karyawan secara individu menurut Robbins (2006):
a.       Kualitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan. 
b.      Kuantitas. Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan. 
c.       Ketepatan waktu. Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain. 
d.      Efektivitas. Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya. 
e.       Kemandirian. Merupakan tingkat seorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan fungsi kerjanya Komitmen kerja. Merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor.

b.      Kinerja perspektif spiritual
Ancok (1995) menyatakan terdapat lima macam dimensi dalam kinerja religuitas dalam hubungannya dengan kinerja karyawan. Yaitu:
1)      Dimensi Keyakinan
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan, dimana orang yang sangat religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.  Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat, walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakikan itu bervariasi tidaka hanya diantara agama-agama, tetapi seringkali juga terdapat nilai-nilai tradisi budaya yang masuk dalam kepercayaan dan keyakinan mereka.
2)      Dimensi Praktek Agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitemn terhadap agama yang dianutnya.  Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua hal, yaitu
a)      Ritual, mengacu kepada seperangkat riutal, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek peribadatan suci yang semua mengharapkan diikuti oleh para pemeluknya. Dalam agama islam praktek ritual itu adalah ibadah sholat lima waktu, sholat jumat, puasa, zakat, haji dan masih banyak hal lain yang termasuk dalam ritual peribadatan manusia kepada sang pencipta.
b)      Ketaatan, Aspek ritual dari komitmet sangat formal dan khas publik semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan peribadakan dan kontemplasi personal yang relatif spontal, informal dan khas pribadi.  Ketaatan peribadatan ini dilingkungan agama Islam diungkapkan melalui sholat pribadi, membaca Al Quran, berdzikir dan mungkin juga peribadatan tersebut yang dilakukan dengan cara berjamaan seperti pengajian, membaca Yasin dan Tahlil, dan lain sebagainya.
3)      Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan.   Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sesnsasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh uatu kelompok keagamaan ataupun suatu masyarakan yang melihat komunikasi waluapun kecil dalam suatu aspek Ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, Kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
4)      Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritual-ritual, kitab suci dan tradisi-tradisi.  Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya.  Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan.  Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan bahwa kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.
5)      Dimensi Praktek Agama
Dimensi ini membutuhkan komitmen agama, dimensi ini berbeda dengan keemapat deminsi diatas.  Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.  Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluk seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
                        Keterlibatan akal murni telah dijadikan sebagai standar dan timbangan bagi segala pemasalan dan persoalan yang ada.   Akal itu tidak akan mendapatarah yang benar kecuali dengan bantuan syariah, dan syariah tidak akan menjadi jelas kecuali dengan bantual akal. Jadi akal itu sama dengan pondasri dan syariah merupakan bangunan-bangunan diatas pondasi.  Ponasi adalah tiadak akan lengkap tanpa bangunan, sementara bangunan tidak akan menjadi kuat tanpa adanya pondasi.  Akal juga sama dengan penglihatan dan syariah sama dengan sinar.  Penglihatan tidak akan lengkap jika tidak ada sinar dari luar dan sinar juga tidak bermanfaat jika tidak ada penglihatan (Munawar, 1994).
2.      Motivasi
a.       Motivasi dalam prespektif material
Motivasi kerja adalah sebuah bentuk dorongan positif yang ditujukan kepada karyawan agar mereka terdorong dan memiliki semangat untuk menjalankan pekerjaan.  Hal ini berkaitan erat dengan kinerja karyawan dan hasil pekerjaan mereka. Apabila mereka memiliki motivasi yang cukup kuat untuk terus melakukan pekerjaan diperusahaan dengan baik, maka hasil yang diperoleh juga akan baik juga.  Pasti hal ini berdampak pada keberhasilan usaha yang sedang dijalankan.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja karyawan di sebuah perusahaan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a.       Faktor kebijakan perusahaan. Faktor ini meliputi gaji, tunjangan, dan pensiun.  Dampak terhadap motivasi kerja biasanya hanya sekedar untuk bertahan dan tidak memberikan dampak yang begitu besar dalam peningkatan kinerja.  Jadi perusahaan tidak hanya cukup mengandalkan masalah gaji, pensium dan tunjangan untuk memotivasi karyawan untuk mendapatkan kinerja terbaik.  Kecuali jika perusahaan mampu memberikan gaji yang tinggi di atas rata-rata gaji kemungkinan akan memilik pengaruh terhadap motivasi kerja karyawan.
b.      Faktor imbalan atau reward.  Jika dikelola dengan baik, sistem imbalan atau reward terhadap karyawan yang berprestasi akan memberikan dampak yang besar untuk peningkatan, tetapi motivasi.
c.       Faktor kultur perusahaan, faktor ini seringkali dianggap sepele.  Meski terlihat sederhana, tetapi masalah kultur perusahaan bisa memberikan dampak yang besar dalam peningkatan motivasi kerja.  Kultur-kultur yang mengedepankan rasa hormat, kebersama an, kejujuran, dan keakraban akan meningkatkan motivasi kerja cukup signifikan,
d.      Faktor kondisi mental karyawan itu sendiri.  Jika seorang karyawan memiliki mental yang kuat dan dia tetap mimiliki motivasi kerja yang tinggi, meski ketiga faktor tersebut diatas kurang mendukung maka biasanya karyawan tetap memiliki motivasi yang tinggi.  Mereka memiliki pikiran jauh ke depan, pandangannya tidak sempit hanya saat ini saja, mereka memiliki jiwa besar untuk tetap memberikan kontribusi sebaik mungkin.  Sayangnya, faktor ini kadang terlewatkan baik oleh karyawan itu sendiri maupun oleh perusahaan.
Robbins (1996) mengatakan bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujjuan organiasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual.  Sedangkan disisi lain Najati (2001) mendifinisikan motivasi kejiwaan adalah motivasi yang tidak bersifat fisiologis untuk tubuh yang tumbuh, karena adanya kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmaniha sebagaimana hal-yang ada dalam motivasi fisiologis, yakni seperti rasa lapar, haus dan lelah.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut timbul akibat dari  hubungan antar manusia yang dalam hal ini lebih ditekankan pada hubungan yang terjadi di dalam proses produksi  yaitu hubungan industrial.  Motivasi memberikan rangsangan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan untuk bekerja dan berproduksi untuk meningkatkan kinerja.  Konsep motivasi berkaitan erat dengan motivai kerja, moral spirtual dan motivasi spiritual.
Motivasi kerja adalah suatu dorongan kehendak yang mempengaruhi perilaku tenaga kerja, untuk berusaha meningkatkan kinerja karena adanya suatu keyakinan bahwa peningkatan kinerja mempunyai manfaat bagi dirinya.  Moral spiritual dapat diartikan sebagai pengamalan nilai-nilai moral yang didasarkan pada tujuan hidupnya adalah mengembangkan semua kecakapan secara terkoordinasi dan bermanfaat (Mannan, 1992).
Apapun yang dilimpahkan Tuhan kepada manusia baik kecakapan batin dan lain-lain agar digunakan sebaik-baiknya.  Penggunaan itu harus disesuaikan dan diatur, kalu tidak ada kecakapan batin tidak lagi merupakan kegiatan moral.  Manusia bertanggung jawab atas hal yang dilakukannya, dan sesuatu hal direnungkan dan direncanakannya,  namun belum dilakukannya.  Setiap orangwajib untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan jiwanya sendiri maupaun kesejahteraan sesama manusia.
b.      Motivasi dalam perspektif spiritual
Menurut Chapra (1996) menyatakan, Masalah kedua yang dihadapi oleh setiap masyarakat adalah bagaimana memotivasi individu untuk melayani kepentingan sosial seiring dengan filter moral meskipun ketika berbuat demikian merugikan kepentingannya sendiri.  Ini disebabkan oleh semua individu selalu ingin melayani kepentingannya sendiri, dan bila mereka tidak berbuat demikian, perilaku mereka tidak kondusif bagi realisasi efisiensi yang optimal dalam penggunaan sumber-sumber daya.  Setiap upaya dalam mencegah individu melayani kepentingan sendiri telah dicoba oleh sosialisme, akan menemui kegagalan.
Konsep motivasi spiritual menurut Chapra(2000) sejiwa dengan yang dikemukakan oleh max weber yang menyatakan bahwa barat berkembang tidak di dorang oleh motivasi dari nilai konsumtif, melainkan oleh motivasi dari nilai kreatif yang disebut dengan etos kerja.  Karena max Weber adalah seorang protestan, maka etos karya itu disebut etos Protestan, itulah etos agama (Nataatmadja, 2001).  Etos agama yang dimaksud adalah etos spiritual yang memajukan perekonomian di Barat, dimana sebetulnya kemajuan perekonomian tersebut di doroang oleh kekuatan motivasi spiritual Protestan.
Dalam Islam, sebetulnya sudah ada Al Quran, yang sesungguhnya sudah ada ayat-ayat yang memotivasi.  Motivasi seperti yang ada di Al Quran inilah sesungguhnya motivasi yang religius.  Motivasi Religius dimaksudkan untuk memotivasi manusia yang memiliki dasar kefitrahan dalam pembawaan terhadap pengaduan (penciptaan) manusia.   Manusia merasakan adanya motivasi dalam lubuk hatinya yang mendorong kepada dirinya sendiri untuk berpikir dan meneliti, guna mengetahui penciptanya dan pencipta alam raya.  Lalu mendorong untuk beribadah, bertawasul dan berlindung kepadaNya untuk meminta pertolonganNya.  Utamanya setiap kali cobaan-cobaan dan kesulitan-kesulitan hidupnya bertambah berat.  Karena, manusia menemukan rasa aman dan ketentraman pada perlindangan dan penjagaanNya (Najati, 2001).
Dalam ajaran Isalam ditegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.  Dengan demikian motivasi dalam hahasa islam sering disebut dengan Niat.  Dalam konsep spiritual Islam adalah dilandasi karena Allah SWT.  Jika rasa mantap dan motivasi kerja merupakan ciri khusus daya rangsang dalam masyarakat kapitalis, dan jika sistem sosialis mengupayakan pemerataan kesempatan kerja bagi setiap warga negaranya sehingga karyawan merasa aman dan tenteran secara ekonomis, maka dalam Islam sejak wala telah menegaskan adanya pengamalan hidup manusia dan kemuliaan bekerja.  AL qur’an dalam surat Adz Dzaruayat ayat 22 yang artinya: “ 
“ Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terpat pula apa yang dijanjikan kepadamu”

Masih banyak banyak ayat yanekerjaan, memotivasi manusi untuk menekuni pekerjaan sehingga hidupnya menjadi tenang dan aman. Dan dari itu pula manusia mampu bersikap positif , serius dan tekun dalam bekerja serta merasa yakin terhadap janji sang Pemberi Rezeki. 
Allah SWT menghendaki kesinambungan, sehingga Tuhan tidak menciptakan manusia dalam satu bentuk.  Diantaranya karywan terdapat perbedaan-perbedaan dan potensi yang menyebabkan perbedaan pendapatan.  Misalnya, penghasilan karyawan dan teknokrat berbeda dengan penghasilan prajurit dan panglima.  Masing-masing Oleh karena itu Islam memberikan imbalan karyawan dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Potensi manusia yang besar dapat dibangkitakan dengan motivasinya.  Perbedaaan metode motivasi antara barat dengan Islam, bahwa Islam disamping memberikan insentif material dan keuangan juga menggunakan insentif spiritual.  Efektifitas insentif spiritual ini terbukti lebih kuat dari pada yang material.  Hal ini terjadi karena Islam selalu menyentuh hati setiap muslim dan mendorongnya untuk menjaga kesadaran Islamnya.  Para ulama Islam dan orang yang belajar psikologi percaya bahwa motivasi spiritual lebih efektif dibandingkan dengan yang lain.  Tetapi ini tidak menghilangkan sama sekali motivasi material dan keuangan dalam diri manusia.
Dengan demikian motivasi spiritual adalah motivasi yang didorong oleh kekuatan ruhiniah dan mampu menggerakkan potensi manusia untuk berkinerja sesuai dengan tuntunan Tuhan. 
3.      Etika Kerja dan Etika Islam
a.       Etika Kerja
Karl Bath (dalam Madjid, 1990), etika atau etos sebanding dengan moral, dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan, sehingga secara umum etika kerja atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang tingkah laku manusia atau tindakan manusia.  Dengan demikian persepsi umum secara sederhana atas pengertian etika hanya dianggap sebagai pernyataan benar atau salah serta baik atau buruk.
Etika kerja merupakan sistem nilai atau norma yang digunakan  oleh seluruh karyawan perusahaan, termasuk pimpinananya dalam pelaksanaan kerja sehari-hari.  Perusahaan dengan etika kerja yang baik memiliki dan mengamalkan nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, loyalitas kepada perusahaan, konsisten pada keputusan, dedikasi kepada stakeholder, kerja sama yang baik, disiplin dan bertanggung jawab.
Manusia terdiri dari batin, pikir dan lahir.  Setelah digabungkan, maka secara jelas dapat dikembangkan menjadi keyakinan – kepercayaan - cara pikir - perbuatan.  Keyakinan merupakan sesuatu yang sulit dirubah, termasuk adalah nilai tentang baik buruk, hati nurani dan ajaran agama. Etos kerja dimasukkan ke dalam kategori kepercayaan, yang bisa berubah sesuai dengan apa yang masuk dalam pikiran.  Etos kerja menjadi dasar dari cara berpikir profesionalisme.  Dan selanjutnya akan diwujudkandalam betuk perbuatan cara kerja.  Ada dua faktuor utma dari luar yang mempengaruhi etos kerja suatu perusahaan, yaitu etos kerja lingkungan dan etika kerja.Etos kerja lingkungan adalah contoh nyata yang diberikan oleh lingkungan Adapun etika kerja adalah bagian dari kesisteman organisasi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk formal prosedural.
Sebagai contoh adalah kondisi etos kerja di negara ini. Etos kerja di negara ini telah diketahui bersama berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terbukti dari banyaknya kasus korupsi. Maka salah satu jalan melawan etos kerja lingkungan yang buruk ini adalah dengan menegakkan etika kerja internal organisasi.
b.      Etika kerja islam
Menurut Triyuwono (2000), bahwa tujuan organisasi menurut islam adalah menyebarkan rahmat kepada semua makhluk.  Tujuan itu secara normatif berasal dari keyakinan islam dan misi hidup sejati manusia.  Tujuan itu, pada hakekatnya bersifat transsedental karena tujuan itu tidak hanya terbatas pada kehidupan individu, tetpai pada kehidupan sesudah di dunia itu (akhirat).  Dalam pencapaian tujuan tersebut diperlukan peraturan etik untuk memastikan bahwa upaya yang merealisasikan baik tujuan utama maupun tujuan operatif adalah di jalan yang benar.
Triyuwono (2000), bahwa etika itu terekspresikan dalam bentuk syariah, yang terdiri dari Al Qura’an, Al hadist, Ijma’ dan Qiyas.  Etika merupakan sistem hukum dan moralitas yang komprehensif dan meliputi seluruh wilayah kehidupan manusia.  Di dasarkan pada sifat keadilan, etika syariah bagi umat islam berfungis sebagi sumber serangkaian kriteria-kreiteria untuk membedakan mana yang benar dan mana yang buruk.
Dimensi etika kerja islam di dalam penelitian biasanya menggunakan tiga dimensi yang di dasarkan atas Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 282 yang dijadikan pedoman kerja bagi umat islam.

4.      Mengenalkan aspek Religuisitas pada Pengukuran kinerja
a.    Motivasi spiritual menurut Teori Maslow
Dalam pandangan Maslow, semua manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri.  Manusia di dorong oleh kebutuhan-kebutuhan yang universal yang dibawa sejak lahir, yang tersusun dalam suatu tingkat, dari yang paling lemah sampai yang paling kuat prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri, adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada pada tingkat yang paling rendah, yaitu: kebutuahan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki cinta dan kebutuhan akan penghargaan.
Aktualiasai diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan semua bakat perkembangan yang paling tinggi, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas kita.  Orang yang mengaktualisasikan diri di dorang oleh metamotivasi (metamotivation), hal ini menurut Ancok (1995).
Pendekatan Humanistik mengakui eksistens agama.  Diakui oleh Maslow sendiri dalam teorinya mengemukakan konsp meamotivation yang diluar kelima hirarki kebutuhan.  Maslow mengemukakan dalam “Mystical or peak experience” , yang menyebutkan bahwa metamotivation yang menggambarkan pengalaman-pengalaman keaamaan.  Pada kondisi ini manusi amerasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat dalam.  Pribadi (self) lepas dari realita fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental (self is lost and trancendental). (Ancok, 1995).
Terdapat kesempatan dimana orang yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaaan terpesona yang meluap-luap, suatu pengalaman keagamaan yang sangat mendalam.  Selama pengalaman puncak ini, yang dianggap Maslow biasa terjadi di kalangan orang-orang sehat, dan dilampaui dan orang itu digenggam suatu perasaan kekuatan, kepercayaan dan kepastian.  Suatu perasaan yang mendalam bahwa tidak ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikannya.
Maslow berpendapat bahwa ada dua klasifikasi motivasi, yaitu motivasi primer dan motivasi spiritual (sperti keadilan, keabaikan, keindahan, kesatuan dan ketertiban).  Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan fitri yang pemenuhannnya tergantung pada kesempurnaan kepribadian dan kematangan individu.  Pada dasarnya manusi mempunyai potensi baik dan buruk.  Kepribadian manusia terbuka ketika manusia mengalami kematangan potensial dalam bentuk yang lebih jelas.  Bila manusia menjadi fanatis dan bengis, hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan, selain faktor internal.  Lingkungan berperan aktif mengaktualisasikan diri.
Banyak penelitian dan data statistik yang menunjukkan bahwa hidup manusia semata-mata tidak untuk memenuhi kebutuhan fisiologis.  Peradaban modern belum tentu dapat menentramkan jiwa serta memenuhi sebagian kebutuhan manusia yang dalam dan tersembunyi.
Sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan spiritual bersifat azazi, maka seharusnya ilmu ekonomi juga memperhatikan nilai spiritual, berusaha mendalami, menanamkan dan menyusun dasar-dasar moralitas manusia.  Sesungguhnya parameter moral terfokus pada sifat-sifat dasar dalam diri manusia.  Dengan adanya berbagai perbedaan parameter ini, timbullah kegoncangan jiwa dan emosi manusia.
b.    Motivasi Spiritual menurut Islam
1)        Motivasi dari Pencipta (kewajiban)
2)        Motivasi dari manusia (ibadah)

Outcome yang diharapkan
(lanjut besuk aja ya)
Daftar pustaka
Amstrong, Mischael, 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan Sofyan dan Haryanto. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Mangkunegara, Anwar Prabu . 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Remaja Rosdakarya. Bandung
Luthans, F. 2005. Organizational Behavior. New York: McGraw-hill.
Mathis, R.L. & J.H. Jackson. 2006. Human Resource Management: Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan Dian Angelia. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, Stephen P., 2006. Perilaku Organisasi, PT Indeks, Kelompok Gramedia, Jakarta.
Robbins, Stephen P., 1996. Perilaku Organisasi Jilid II, Alih Bahasa Hadayana Pujaatmaka, Jakarta, Prenhalindo.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah