Diri Manusia dalam Perspektif Khalifatul fil Ardh


DIRI MANUSIA : PERSPEKTIF KHALIFATUL FIL ARDH
Oleh Mas Amin

Berbahagia atau sedih ketika kita dilahirkan oleh ibu.  Kehidupan di alam baru yaitu dunia telah memberikan kita sebuah tanggungjawab yang besar untuk menjadi wakil Allah di bumi ini.  Sebagai wakil Allah pernah ditawarkan kepada seluruh mahkluk ciptaanNYA yang hidup dibumi ini, namun mereka semua pada menolak tapi mengapa manusia mau menerima?
Atas dasar apa manusia dijadikan oleh Allah sebagai khalifatul fil ardh? Pertanyaan ini muncul jika kita mau berpikir, dan berpikir adalah tugas manusia selama dia masih bisa menghirup nafas kehidupan ini.  Namun kita sadari banyak manusia yang melalaikan tugas untuk melakukan perenungan.  Memang sudah diramalkan oleh Allah bahwa manusia banyak lupa untuk berpikir. Padahal selaku umat Islam kita diberi contoh oleh junjungan kita Muhammad SAW.
Berpikir yang bagaimana yang harus dilakukan oleh manusia itu?  Jika melihat tulisan saya yang lain sudah saya singgung bahwa manusia memiliki akal, dan dengan akal inilah yang membedakan serta merupakan bekal sebagai khalifatul fil ard.  Dan Allah memberikan akal ini sebagai jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan manusia secara pribadi dalam menjalani kehidupan di bumi ini.
Banyak berpikir akal adalah otak atau ada yang menyatakan hati atau jantung yang dimiliki oleh manusia. Namun apakah itu yang dinamakan akal.  Secara definisi awam mungkin semua definisi tersebut adalah benar, akan tetapi apakah ini yang dinamakan akal dalam perspektif Qur’an.  Untuk menjawab itu manusia perlu melakukan setting balik atas pelajaran yang selama ini diterima di sekolah-sekolah.
Akal adalah sebuah daya pikir yang diberikan kepada manusia yang berisi kesiapan, pertimbangan dan kemampuan dalam menghasilkan keputuasan untuk sejumlah aktivitas pemikiran yang digunakan dalam kehidupan manusia.  Dengan akal inilah akan mempengaruhi arah atau bentuk moral manusia.  Semakin sering digunakan untuk “merenung” maka akan semakin terasah menjadi sehingga akan mengakibatkan menjadi manusia yang “baik”.  Manusia yang baik adalah manusia yang memiliki equilibrium kehidupan antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akherat.
Sedangkan akal yang tidak pernah dipakai akan “terselimuti”. Terselimuti disini berarti bahwa pemikiran yang hubungan dengan non materi tidak akan tersentuh, walaupun hasil pemikiran yang dihasilkan adala pemikiran yang baik.  Baiknya hasil pemikiran yang terselimut ini hanya sebatas kebaikan untuk kehidupannya baik di dunia maupun hanya untuk dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan tidak terjadi equilibrium dalam kehidupan manusia. Bahkan mungkin akan menjadi sebuah malapetaka bagi kehidupan manusia.  Selimut akal atau pengasahan akal ini dilakukan oleh setiap manusia yang ingin mencari hakekat kebenaran dalam kehidupannya. 
Contoh paling mudah adalah bagaimana Muhammad sebelum menjadi nabi, beliau melakukan melakukan perenungan di gua Hiro untuk mencari hakekat atas kehidupan manusia itu yang hakiki.  Kenyamanan hidup yang sudah beliau dapatkan belum menemukan jawaban atas  hakekat kehidupannya. Dalam perenungan tersebut akhirnya beliau mendapatkan wahyu daan digunakan sebagai pondasi untuk membenahi akhlak manusia. Dan contoh ini merupakan iktibar bagi setiap muslim dalam kehidupannya.
Penulis menyederhanakan pemahaman akal dalam dua bentuk yaitu akal materialisme dan akal spiritualis.  Kedua akal inilah yang membentuk equilibrium kehidupan manusia baik di dunia maupun di akherat.   Pemahaman akal materialis adalah akal yang digunakan untuk mencari atau untuk memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia.  Akal materialis  akan menyebabkan manusia bersifat materialisme, dimana dalam materialisme ini manusia berpikir bagaimana dia bisa hidup dan bisa menghidupi diri dan manusia yang lain.  Namun jika manusia hanya mengandalkan akal material ini mengakibatkan manusia akan dikuasai nafsu sehingga sering disebut dengan mementingkan diri sendiri (self interest).
Sedangkan akal spiritual adalah akan yang digunakan sebagai bentuk pemikiran bagaimana manusia menyiapkan “sangu” untuk kehidupan di akherat besuk. Akal spiritual inilah yang sering menjadi penyeimbang manusia di dalam mengambil sebuah keputusan dalam menjalani kehidupan di dunia.  Karena akal spiritual ini yang membentuk sebuah norma/etika/hukum yang sama dengan hukum hukum Allah.  Akal spiritual inilah yang menjadi koneksi antara manusia dengan sang Khaliq yaitu Allah SWT.  Dan akal spiritual inilah yang menjadi pembeda manusia dengan mahkluk lain, serta membentuk diri manusia (self) yang rahmatan lil ‘alamin.

Pelepasan Hijab atau “selimut”
Sebagai mahkluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahkluk lain yang dilengkapi dengan akal yang komplit, maka seharusnya manusia berpikir dan merenung tentang hakekat dirinya diciptakan.  Namun, hal ini adalah barang langka dalam kehidupan.  Walaupun setiap manusia memiliki modal yang sama begitu dia dilahirkan di muka bumi ini, tapi dalam kenyataannya setelah menempuh kehidupannya banyak yang tidak memanfaatkan akal yang dia miliki.  Sehingga akal yang sudah ada itu seperti “terselimuti” oleh nafsu atau keadaan yang dialami dalam kehidupannya.
Keseimbangan kehidupan akan tercapai jika selimut itu lepas dari akal spiritual yang dimiliki.  Dalam usaha untuk melepaskan “selimut” yang ada dan menjadi selubung akal tersebut maka usaha manusia yang dilakukan adalah perlu melakukan perenungan dan dzikrullah. 
Perenungan adalah bentuk usaha manusia untuk mengkoreksi dan mengkonfirmasi perjalanan kehidupannya selama ini. Tanpa dengan merenung maka tidak akan bertemu dengan makna kehidupan.  Karena makna kehidupan ini mengandung unsur “mengapa” manusia diciptakan, padahal penciptaan manusia sudah di”protes” oleh para malaikat.  Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al Baqoroh ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ
قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Arti: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

                Walaupun sudah diprotes oleh malaikat, namun Allah tetap menciptakan manusia sebagai makhuk sempurna yang nantinya menjadi khalifatul fil ard.  Itulah pentingnya manusia berpikir secara serius “mengapa” kita semua diciptakan.  Dan jika kita tidak melakukan perenungan maka kita tidak akan menemukan jawabannya, walaupun jawaban itu adalah sederhana namun mengandung makna yang dalam.
Mengapa merenung penting?  Karena merenung ibaratnya sebagai proses belajar dan menuntut ilmu yang akan mengasah akal agar dapat berkembang dan meningkat.  Dengan meningkatnya akal maka manusia akan diganjar dengan derajat yang lebih tinggi jika dia mau mengamalkan.  Hal ini sesuai dengan QS Al Mujadillah 11 yang artinya:  “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah:11)
            Langkah yang kedua untuk melepaskan “selimut” yang membungkus akal kita adalah dengan Dzikkrullah.  Dalam ensiklopedi islam maknai sebagai multi interpretasi yang bisa berarti mengingat, menyebut, menjaga dan memahami akan pencipta sehingga mengerti dan bisa membedakan mana perbuatan baik dan jelek.  Efek dari pada kita berdzikir adalah meningkatkan kapasitas dan daya jiwa kita (otak spiritual) yang mampu menyimpan dan menajamkan pemahaman akan ayat ayat Tuhan yang dapat menghasilkan perbuatan yang baik.  Perbuatan baik inilah yang menjadi dasar hidup manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.
            Efek yang lain adalah dengan dzikrullah akan mampu mengikis selimut yang berakibat tajamnya akal spiritual kita.  Hal ini akan berdampak pada idiologi/prinsip hidup dan prinsip hidup akan mempengaruhi akidah yang kita miliki.  Dengan idiologi/akidah yang baik akan berdampak pada perilaku manusia yang tercermin di dalam akhlaknya.  Akhlak yang baik adalah akhlak yang berdasarkan Al Qur’an.
            Disamping itu dengan dzikrullah akan membangun sinergi dan konektivitas antara hamba dengan pencipta.  Sinergi atau konektivitas inilah yang dibutuhkan manusia di dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akherat, sehingga menjadi manusia yang seperti yang diharapkan oleh sang Pencipta. Allah menciptakan manusia sebagai khalifatul fil ardh dan sebagai abdullah.  Dalam bab ini dibahas bagaimana manusia sebagai diri dalam perspektif khalifatul fil ardh.

Diri Dalam Perspektif Khalifatul Fil Ardh
            Diri manusia sebagai khalifatul fil ardh sebagai wakil Tuhan dalam menjalankan fungsi sebagai pemimpin di muka bumi.  Dalam perspektif ini tidak hanya menugaskan manusia sebagai wakil untuk pengatur bumi dan ibadah vertikal kepada Tuhan, akan tetapi juga mengatur prosedur dan tatacara bagaimana perannya dalam me”menage” dan me”organisasi” alam untuk kehidupan dunia dan keselamatan hidup di akherat.
            Memaknai khalifatul fil ardh memiliki banyak perspektif. Arti kekhalifahan ini mengandung empat unsur (berdasarkan tafsir QS Al Baqoroh 30), yaitu: Manusia, khalifah, ibadah dan Penugasan.
1.    Khalifatul fil ard dalam perspektif manusia
Jika kita berpikir dari pandangan bahwa “manusia” adalah benda sedangkan kerjanya adalah Al Qur’an maka muara akhir (output) adalah akhlak yang baik.  Maka dalam perspektif ini bahwa manusia diciptakan adalah untuk berproses dan bergerak sesuai dengan kitab Al Qur’an yang tercermin dalam kehidupannya.  Maka aklhak yang dimiliki adalah perilaku yang Qur’ani.  Perilaku yang qur’ani adalah perilaku yang mendasarkan pada ayat-ayat Tuhan dalam mengambil setiap keputusan dalam  menjalani kehidupannya.  Logika spiritual dan logika material serasi dalam pelaksanaan, yang mengakibatkan kedamaian kehidupan di dunia.
2.    Khalifatul fil ard dalam perspektif khalifah
Jika kita berpikir dari pandangan manusia sebagai “khalifah”, maka bendanya adalah khalifah sedangkan kerjanya adalah Al qur’an, maka output yang keluar adalah pemimpin yang memiliki sifat minimal seperti nabi yaitu Shidiq (jujur), Amanah (benar-benar bisa dipercaya), Fatonah (Cerdas), dan tablig (menyampaikan).  Shidiq bukan hanya jujur dan benar, namun juga perbuatannya sejalan dengan ucapan. Amanah artinya jika suatu urusan diserahkan ke manusia maka akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Fatonah bahwa manusia harus menggunakan akal yang seimbang sehingga mampu menafsirkan ayat-ayat Tuhan dalam kehidupan dunia untuk bekal kehidupan akherat. Tabilgh maka segala bentuk pesan dan informasi yang diberikan akan sampai kepada yang dikehendaki tanpa menyembunyikan atau mengolah informasi tersebut untuk kepentingan pribadinya.  
3.    Khalifatul fil ard dalam perspektif ibadah
Jika kita berpikir dari pandangan manusia sebagai “ibadah”, maka bendanya adalah ibadah sedangkan kerjanya adalah Al qur’an, maka output yang keluar adalah kerelaan manusia sebagai diri yang diciptakan untuk mengabdi ke pada sang pencipta.  Ini berarti bahwa manusia yang diserahi untuk mengelola dan memenege bumi beserta isi adalah sebagai bentuk kepasrahan hamba terhadap Tuhannya.  Maka segala bentuk tindakan yang dilakukan semata mahta hanyalah sebuah ibadah bukan untuk kepentingan yang lain.  Sehingga diri manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia ini didasarkan bentuk ibadah antara dirinya dengan sang pencipta.
4.    Khalifatul fil ard dalam perspektif Penugasan
Jika kita berpikir dari pandangan manusia sebagai “penugasan”, maka bendanya adalah penugasan sedangkan kerjanya adalah Al qur’an, makna output yang keluar adalah pelaporan manusia sebagai diri yang diberi mandat oleh sang pencipta. Perspektif penugasan ini adalah sebagai bentuk pendelegasian kekuasaan atau mandataris antara pemilik kekuasaan dengan yang diberi kekuasaan.  Hasil output dari penugasan ini adalah pertanggungjawaban apa yang telah dilimpahkan kepadanya ke pemberi kekuasaan.
Jika kita simpulkan maka makna dari perspektif manusia sebagai khalifatul fil ardh adalah manusia sebagai diri atau duta Tuhan yang berkedudukan sebagai khalifah dimuka bumi.  Dalam melaksanakan kegiatan atau kehidupan sehari-hari didasarkan atas kerelaan mengabdi kepadaNYA atau ibadah. Dan pada akhirnya diri kita sebagai manusia akan mempertanggungjawakan segala bentuk kekuasaan yang dimiliki dalam melaksanakan tugas suci yaitu kekhalifahannya.  Oleh sebab itu dalam melaksanakan tugasnya manusia harus menggunakan logika/akal yang komplit (logika material dan logika spiritual) yang akan memberikan kemampuan untuk berbuat yang baik sesuai dengan Al Qur’an.

Magelang, 29 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah