Dekonstruksi Perbankan Syariah
Dekonstruksi Perbankan Syariah
Oleh : Mas Amin
(sinopsis Buku Hakekat Bank Syariah)
Ambil kapak untuk membobol penjara
Setelah kalian menjebol penjara
Kalian akan menjadi raja dan termasyhur pula
Matilah kini, matilah
Dan keluarlah dari awan
Setelah keluar dari awan
Kalian akan menjadi bulan purnama yang gemilang berseri
Pendahuluan
Bank syariah di Indonesia sedang berkembang, namun pada
kenyataannya perkembangan ini tidak
seperti yang diharapkan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan operasional (sistem)
seringkali mengalami berbagai kendala, diantaranya belum optimalnya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang dimiliki oleh bank syariah, kesalahan persepsi masyarakat
terhadap perbankan syariah, dan masih
ditemukannya kesalahan yang fatal dalam praktik-praktik perbankan syariah yang
menyimpang dari prinsip-prinsip Islam.
Belum optimalnya sumber daya manusia dikarenakan banyaknya karyawan
atau pejabat perbankan syariah yang bukan orang yang mengerti betul penerapan
aplikasi syariah yang ada. Hal ini dikarenakan mereka yang bekerja di bank-bank
syariah hanya merupakan pindahan atau mutasi dari bank-bank konvensional. Mereka menganggap kerja di bank syariah
merupakan sebuah tantangan baru untuk menggaet nasabah “muslim” tradisional yang
selama ini menganggap bank konvensional adalah sebuah organisasi jasa yang
menyediakan jasa yang tidak “halal”. Karena
merupakan pindahan dari bank konvensional dan didukung peraturan per”syariah”an
yang belum komprehensih maka produk atau jasa yang diberikan hampir sama dengan
bank konvensional, hanya diistilahkan dengan bahasa asing. Sehingga dapat
dikatakan bahwa bank syariah sekarang ini hanyalah sebuah organisasi yang “ganti
kostum” dari konvensional menjadi syariah.
Permasalah yang kedua adalah persepsi masyarakat tentang bank
syariah. Masyarakat masih terpecah
menjadi dua kelompok, yaitu: masyarakat yang sudah percaya dan yakin bahwa bank
syariah yang ada sekarang ini sudah menerapkan prinsip-prinsip syariah yang
murni, dan masyarakat yang belum percaya bahwa bank syariah adalah lembaga
perbankan yang sudah menerapkan nilai syariah dalam operasionalisasi kerja bank
sehari-hari. Terpecahnya masyarakat ini
diakibatkan oleh perbedaan persepsi dan pengetahuan (ilmu agama) tentang bank
syariah, karena selama ini jarang ada penjelasan umum tentang ke”syariah”an
perbankan. Kurangnya pemahaman ini bisa
juga diakibatkan oleh politik enterprise yang dilakukan oleh penguasa agar dana
yang selama ini disimpan oleh masyarakat tradisional yang belum terserap oleh
organisasi perbankan bisa diambil oleh perbankan syariah yang dibentuk. Sehingga perbankan syariah masih sampai saat
ini masih dianggap “abu-abu” oleh sebagian ulama.
Permasalah yang ketiga adalah masalah grand theory yang menjadi
dasar dalam pembentukan aturan-aturan perbankan syariah. Masalah grand theory ini diakibatkan belum
ditemukan rujukan dalil-dalil dari tafsir-tafsir Al Qur’an dan hadist nabi yang menjelaskan
bagaimana aturan yang jelas tentang bank syariah. Hal ini menjadi celah bagi pelaku bisnis
perbankan konvensional untuk mengambil celah memanfaatkan kesempatan tersebut,
dengan menggunakan sebagian dalil dari ayat ayat Al Qur’an untuk membujuk
pemerintah agar membuat peraturan yang menguntungkan dirinya.
Artikel ini hanya merupakan sinopsis buku Hakekat Bank Syariah yang
mengupas tentang seputar ke”syariah”an perbankan di Indonesia. Dalam tulisan ini
membahas tentang perspektip syariah menurut Al Qur’an. Penulisan artikel ini dimulia dari konsep
syariah dalam kehidupan bermasyarakat, dan konsep bank syariah yang hakiki.
Pengertian Syariah
Secara epistimologis Syari’ah berasal kata syara’a yang
berarti “sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya”. Dari sinilah terbentuk
kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. Kata ini kemudian
dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan yang lurus yang harus diikuti. Secara terminologis, syari’ah diartikan dengan
jalan “yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum Syara’
mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci”. Syari’ah
sebagai hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi
hamba-Nya untuk diikuti
Dari pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa syari’ah adalah
aturan-aturan yang berkenaan dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan
hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi
saw. Namun meskipun syari’at Islam itu
tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi,
sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat membawa manusia kepada kebahagiaan
yang abadi.
Dalam bahasa sederhana syariah adalah proses untuk menuju tatanan terbaik
yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan Al Hadist. Tatanan yang terbaik adalah merupakan sebuah “proses
kehidupan” yang didasarkan atas peraturan yang mengatur obyek/benda agar dapat
bekerja sesuai dengan yang dikehendaki. Dalam
hubungannya dengan perbankan syariah maka pengertian syariah merupakan “penerangan
sebuah black box” proses hubungan atau transaksi antara idiologi/aqidah manusia
untuk menuju kebenaran (keseimbangan kehidupan) yang sesuai dengan kalam Illahi
Rabbi.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disederhanakan dalam gambar
sebagai berikut:
Gambar 1. Posisi syariah dalam framework Controllership
Muara akhir dari syariah adalah Teori atau ilmu yang diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari yang membentuk akhlak atau perilaku seseorang. Hubungannya dengan perbankan syariah adalah
akan munculnya teori yang membahas tentang syariah secara hakiki yang digunakan
sebagai pedoman dalam mengatur peraturan atau prosedur yang diaplikasikan dalam
dunia perbankan yang didasarkan atas aqidah yang ditafsirkan dari Al Qur’an dan
AL Hadist. Usaha untuk mengembangkan
ilmu atau Teori tentang syariah harus dimulai dengan iklhas. Karena selama ini
ilmu yang ada dan muncul disisipi oleh kepentingan kelompok tertentu untuk
mendapatkan keuntungan atas aplikasi teori yang baru. Hal ini dikarenakan bahwa ilmu Allah adalah
ilmu yang ditujukan untuk rahmatan lil ‘alamiin.
Kemurnian ilmu yang rahmatan lil ‘alamiin adalah ilmu yang memiliki
tiga tujuan yaitu:
Pertama, untuk Penyucian Jiwa. Tujuan dari mensucikan jiwa adalah
membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan
jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya
(hidayah Allah Ta’ala). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali
Imron 164 sebagai berikut:
,لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an)
dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs Ali ‘Imraan: 164)
Kedua, menegakkan keadilan. Keadilan
adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap orang dalam tatanan
kehidupan sosial masyarakat. Menegakkan keadilan harus dengan secara mutlak dan
menyeluruh. Tidak karena sebab sesuatu, keadilan itu berubah fungsi. Jangan
karena perbedaan kedudukan, golongan, dan keadaan sosial mengakibatkan
perlakuan keadilan itu tidak sama. Hal ini merujuk Al Maidah ayat 8 sebagai
berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا
قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ
قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْا ۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى ۖ
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ﴿المائدة : ۸﴾
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Ketiga, Mewujudkan kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ummat adalah
bahwa ilmu yang ada untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa, dan
keturunan/kehormatan. Kelima hal ini merupakan kebutuhan pokok/primer yang
menjadi tegaknya kehidupan manusia. Dengan terjamin dan terpeliharanya kelima
hal di atas, akan terwujudlah kemaslahatan lahir dan batin, individu dan
masyarakat, dunia dan akhirat. Kemaslahatan dunia dan akhirat bertujuan untuk
menjamin kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi.
Bersambung (wis ngantuk)
Komentar
Posting Komentar