Perspektif Diri Manusia
Mengenal Diri sebagai Manusia
Pendahuluan
Dewasa ini bencana alam serasa
terus berurutan dan terjadi dimanapun, baik bencana yang berhubungan dengan
alam seperti banjir, gempa bumi, kebakaran dan kekeringan. Bencana ini kemungkinan akibat dari kerusakan
alam yang semakin parah. Kerusakan alam
ini akibat dari tingkah laku manusia, mulai dari merusak alam sampai dengan
melakukan pertumpahan darah demi untuk memuaskan nafsunya.
Pemuasan nafsu yang berlebihan
untuk tujuan mempertahankan eksistensi dan self interest mereka ini menjadikan
lupa pada hakekat diri sebagai khalifatul fil ardh. Manusia memuaskan nafsu ini
dilakukan baik dari dorongan internal yang ada dalam dirinya maupun dorongan
eksternal yang diakibatkan oleh bujuk rayu setan. Pemuasan nafsu yang berlebih mengakibatkan
tidak terjadinya keseimbangan kehidupan yang seharusnya tercipta dimuka dunia
ini.
Keseimbangan hidup adalah
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan Rohani dan jasmani. Alquran menegaskan
pentingnya dunia
dan akhirat, ruhani dan materi. Dua peran manusia, sebagai pengabdi Allah dan
wakil Allah, seharusnya dilaksanakan secara harmonis dan terpadu. Islam tidak
hanya mengajak kita untuk mendapatkan kesalehan ritual ketuhanan saja, tapi
juga agar kita mendapatkan kesalehan sosial dengan lebih menghargai aksi-aksi
sosial-kemasyarakatan.
Tugas utama manusia diciptakan
di bumi adalah sebagai abdullah (hamba Allah).
Karena sebagai hamba Allah maka manusia diciptakan sebagai mahluk yang
paling sempurna dibandingkan dengan mahluk lain. Kesempurnaan inilah yang menjadikan para
malaikat hormat kepada para manusia. Manusia
merupakan makhluk yang paling sempurna, baik dari wujud fisiknya maupun
rohaninya. Manusia menjadi makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia
karena memiliki akal. Akal inilah yang membedakan manusia dengan mahluk
lainnya. Namun pada kenyataannya ketika manusia dititahkan untuk menjadi
khalifatul fil ardh malah kebalikan dengan perintah Allah SWT. Hal ini dibuktikan dengan kerusakan yang
mereka buat dimuka bumi. Dan kerusakan yang mereka buat sudah di prediksi oleh
para malaikat pada saat manusia diciptakan.
Artikel ini berusaha untuk
membahas bagaimana perpektif manusia yang sejati yang seharusnya dijalankan
dalam kehidupan di dunia ini. Tiga hal
yang dibahas dalam artikel ini mulai dari keseimbangan kehidupan, perspektif
diri manusia, dan perspektif manusia sejati.
Keseimbangan Kehidupan
Pebasket terkenal AS Michael
Jordan yang begitu terkenal: ”Just play. Have fun. Enjoy the game.” Apakah
hidup memang sesederhana itu, bermain, bersenang-senang, dan menikmatinya. Bukankah ini bertentangan dengan nasehat para
orang tua kita yang mengatkana ”Jangan
sia-siakan hidupmu dengan hal-hal yang tidak berguna dan Manfaatkan waktumu
dengan bekerja keras untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupmu.
Dalam Islam, Sayyid Qutub dalam
tafsirnya memahami islam sebagai umat
tengah (titik keseimbangan) sebagai umat yang menjadi saksi bagi manusia semua
bahwa mereka menerapkan nilai keadilan dan keseimbangan. Umat ini adalah umat
tengah dalam segala kandungan maknanya, baik dalam arti tengah pada presepsi
dan pemahaman, sehingga tidak tenggelam dalam ruhani atau hanya mementingkan
urusan materi saja; .
tengah dalam pemikiran dan
perasaan; tengah dalam sistem dan aturan; tengah dalam ikatan dan hubungan,
baik hubungan secara individu, masyarakat, maupun negara; tengah dalam posisi,
tidak cenderung ke Barat atau ke Timur; tengah dalam waktu, tidak terpaku pada
sejarah masa lampau atau hanya melihat masa yang akan datang.
Umat Islam, demikian menurut Buya
Hamka, adalah umat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup dalam keadaannya.
Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk
membela keadilan, mementingkan kesehatan ruhani dan jasmani karena kesehatan
yang lain bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan pikiran, tapi
dengan menguatkan ibadah untuk menghaluskan perasaan.
Keseimbangan ini berarti manusia
adalah mahkluk yang menjaga equilibrium kehidupan antara kebutuhan jasmani dan
rohani. Manusia diwajibkan bekerja keras
untuk mencari materi untuk kehidupan di dunia, namun dia harus beribadah secara
khusuk untuk memenuhi kebutuhan ruhaninya. Jika manusia bekerja keras hanya
untuk kehidupan dunia maka kebahagian tidak akan datang pada dirinya, namun
yang diterimanya adalah kefakiran yang menempel di hatinya yang menyebabkan
mereka lupa untuk beribadah. Sebaliknya,
jika manusia hanya senantiasa hidupnya memikirkan kebutuhan ruhani tanpa
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, layaknya seorang yang lumpuh yang
ingin hidup seribu tahun. Hal ini bukan berarti ibadah tidak penting, tetapi
mementingkan keseimbangan hidup antara kebutuhan dunia dan akhirat lebih
utama. Karena bekerjapun termasuk bagian
dari ibadah.
Type manusia
Manusia sebagai mahkluk Tuhan
dapat digolongkan menjadi tiga golongan:
Manusia Pemuja Nafsu
Manusia yang tidak menggunakan
akal dan hatinya dalam kehidupan dunia ini sehingga tidak dapa mengendalikan
nafsunya maka secara otomatis nafsu akan mengkerangkeng kehidupannya. Sehingga kehidupannya hanya ditujukkan untuk
memenuhi nafsu yang kurang baik. Manusia
yang semacam ini dimata Allah SwT seperti yang tercantum dalam surat At Tien
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ
سَافِلِينَ
Artinya : sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
Pemahaman ayat tersebut adalah manusia
diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya yang sempurna. Kemudian ia akan masuk
dalam neraka. Demikian yang dikatakan oleh Mujahid, Abul ‘Aliyah, Al-Hasan
Al-Bashri, Ibnu Zaid dan selainnya. Ia masuk neraka dikarenakan ia tidak mau
taat pada Allah Ta’ala dan enggan mengikuti ajaran Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang selamat dari neraka adalah orang yang beriman dan
beramal shalih, bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 7: 601). Sedangkan menurut tafsir
Quraish shihab menyebutkan bahwa manusia
jika tidak sesuai dengan tujuan manusia diciptakan maka oleh Allah akan diletakkan
pada tempat yang serendah-rendahnya.
Namun disisi lain manusia juga
dapat disebut makhluk kontrovesial, karena ketika manusia menggunakan akalnya
dan dapat mengendalikan nafsunya serta beriman kepada Allah, maka manusia
merupakan makhluk yang paling tinggi kedudukannya diantara makhluk lain. Ketika
manusia tidak mempergunakan akalnya dan diperbudak oleh hawa nafsu, maka akan
menjadi makhluk yang paling hina dan rendah. Hal ini akan terjadi apabila
manusia melakukan kerusakan dan kejahatan di muka bumi, maka dampak kerusakan
yang timbul akan amat dahsyat, karena tidak ada makhluk lain yang dapat
melakukan kerusakan yang sedahsyat manusia.
Hal ini juga disebut dalam
surat as-Shaad ayat 26 berikut :
يداود
إنا جعلنك خليفة فى لارض فا حكم بين الناس با لحق ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل
الله إن الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد بم نسوأيوم الحساب
Wahai Dawud sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia kana
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupkan hari
perhitungan.
Manusia sebagai Abdi
Walaupun manusia diciptakan
dengan memiliki akal namun mereka tidak menggunakan akalnya untuk
kehidupannya. Manusia macam ini adalah
manusia yang selalu merasa dirinya sebagai abdi atau pelayan. Jika dirinya bertindak sebagai pelayan atas
manusia lain maka manusia macam ini adalah manusia yang bertindak seperti hewan
jinak. Dan hidupnya hanya bersandar pada
perintah dan belas kasih majikannya. Akal
mereka terkurung akibat ketakutan kekurangan materi fisik (kefakiran) dan
kebutuhan ruhaninya bukan yang terpenting dalam kehidupannya. Manusia semacam
ini dalam hidupnya hanya berpikir jangka pendek dikarenakan mereka tidak pernah
yakin akan garis rejeki yang sudah disematkan pada dirinya sejak manusia ini
lahir.
Manusia Sejati (abdi Allah dan
Khalifatul fil ard)
Type manusia ketiga ini adalah
manusi sempurna atau Manusia sejati. Manusia sejati adalah manusia yang mengemban
misi Allah SWT yaitu sebagai abdullah dan khalifatul fil ard. Sebagai abdullah hal ini termaktub di dalam
al Qur’an sebagai berikut:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]:
56
Ayat yang sangat populer dan
sungguh dalam maknanya. Kata ya’buduun di akhir ayat tersebut memang
tak jarang diterjemahkan sebagai "beribadah kepada-Ku", namun kata
tersebut memiliki arti inti yang lebih fundamental, yakni "mengabdi
kepada-Ku" atau "menjadi abdi-Ku": suatu indikasi tentang sebuah
peran yang disematkan baik kepada penciptaan jin maupun manusia. Ayat ini menginformasikan bahwa manusia adalah sesosok
makhluk yang diciptakan untuk menjadi abdi, dan bukan sembarang abdi: ia
mengemban tugas dan misi suci dari Allah Rabb Al-Alamin.
Manusia tidak membawa tugas
kepelayanan tingkat dua atau tiga dari malaikat tertentu atau jin tertentu atau
makhluk-makhluk lainnya. Manusia mengemban tugas suci langsung dari
Allah Ta’ala, Sang Raja Diraja Semesta itu sendiri. Bila diibaratkan, manusia
adalah para ksatria Raja, pelayan raja atau menteri dan abdi negara yang
bertanggung jawab langsung kepada pucuk pimpinan tertingginya. Setiap manusia
memiliki misi suci dari Allah Ta’ala, tak satu pun terkecuali. Rasulullah SAW
pernah bersabda bahwa "Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia
diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya." (H.R. Bukhari)
Manusia sebagai khalifatul fil
ard termaktub dalam al qur’an sebagai berikut:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” –
Q.S. Al-Baqarah [2]: 30
Dalam surat tersebut menyebutkan
bahwa Allah di hadapan para Malaikat-Nya tentang kepada siapa Dia embankan
tugas atau misi kekhalifahan di muka bumi ini, yakni kepada Manusia. Istilah khalifah di dalam bahasa
Arab berarti "pemimpin", atau "wakil" atau
"pengganti"—yakni ia yang mewakili atau menggantikan suatu otoritas
kepemimpinan tertentu, seperti halnya duta besar yang mewakili kepala
pemerintahan suatu negara di luar negeri. Maka,"khalifah di muka bumi" pada
ayat tersebut mengandung arti "pemimpin atau wakil Allah di muka
bumi". Makna ini secara khusus tersirat pula di dalam sebuah ayat yang
lain:
يَا
دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ
بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ
الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا
يَوْمَ الْحِسَابِ
Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. – Q.S. Shaad [38]: 26
Maka demikianlah, ketika
menjadikan khalifah di muka bumi itu, Allah mewakilkan atau mengamanahkan suatu
urusan kepada wakil pengganti (khalifah) tersebut—dan itulah yang menjadi tugas
atau misi spesifik yang diemban oleh seorang manusia sebagai khalifah.
Perspektif Diri Manusia
Manusia memiliki akal dan hati, diharapkan dengan kepemilikan
tersebut dapat digunakan untuk berpikir dan memahami ilmu yang diturunkan
Allah, berupa Al-Qur'an menurut sunah rasul. Dengan ilmu manusia mampu
berbudaya dan bersosial hal ini sesuai dengan kodrat manusia harus melakukan
muamalah kepada manusia lain. Allah menciptakan manusia dalam keadaan
sebaik-baiknya. Namun demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia kalau
mereka sebagai khalifah tetap hidup
dengan ajaran Allah. Karena dapat berpikir maka manusia memiliki pengetahuan
yang menjadi kelebihan dan perbedaan dengan makhluk lainnya, dan Allah menciptakan
manusia untuk berkhidmat kepada-Nya, sebagaimana firman Allah dalam surat
Adz-Dzariyat (51) : 56.
Manusia menurut pandangan Islam
adalah makhluk Allah s.w.t. yang memiliki unsur dan daya materi yang memiliki
jiwa dengan ciri-ciri berfikir, berakal, dan bertanggungjawab pada Allah s.w.t.
yang diciptakan dengan memiliki akhlak. Sehingga manusia dalam perspektif diri
yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam diri adalah pertama manusia
sebagai mahkluk sempurna & mulai, kedua manusia adalah mahkluk yang
bertanggungjawab.
Manusia merupakan makhluk yang
paling sempurna, baik dari wujud fisiknya maupun rohaninya. Manusia menjadi
makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia karena memiliki akal. Akal
inilah yang membedakan manusia dengan maklhuk lainnya. Akal membantu manusia
untuk melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna, dimintai pertanggung jawabannya terhadap amanah yang telah
diberikan Allah s.w.t. kepadanya untuk mengelola alam semesta bagi
kesejahteraan semua makhluk. Hal ini sesuai dengan surat al-Ahzab ayat 72
berikut :
إنا عر
ضنا الأ ما نة على السموت والأرض والجبال فأبين أن يحملنها و أشفقن منها وحملها
الإ نسن إنه كان ظلوما جهولا
Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amnat itu dan mereka khawati akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Setiap manusia menurut pandangan
Islam adalah seorang pemimpin, terutama memimpin dirinya sendiri. Setiap
pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang telah
dipimpinnya baik lahir maupun batin, serta di dunia maupun di akhirat.
Komentar
Posting Komentar