Diri dan SHILOPSISME
Shilopsisme: sebuah Perenungan Diri
Oleh Mas Amin
Manusia hidup memiliki waktu yang sama
dalam sehari, namun ketika mereka ditanyakan berapa lama merenung dalam sehari?
Mereka menjawab jarang sekali kita merenung atas perbuatan kita dalam sehari
ini, atau malah seminggu ini, atau malah mungkin selama hidup kita tidak pernah
merenung apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini. Padahal merenung adalah
sebuah manifestasi dari perintah Allah yaitu Dzikir (ingat) pada diri kita
sendiri dan diri kita sebagai manusia serta ingat kepada sang Pencipta.
Ketika manusia/diri kita sudah tidak
pernah melakukan “Dzikir”, maka seperti kita setiap hari melakukan penutupan
hati kita dengan “selimut”. Semakin
banyak dan semakin lama selimut itu menempel pada “diri/hati” kita maka akan
semakin keras diri/hati kita terhadap kondisi di sekeliling kita. Allah sudah memastikan itu dalam firmannya dalam
QS Al Baqorah ayat 7:
خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ
سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰٓ أَبْصَٰرِهِمْ غِشَٰوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat. Ini
berarti bahwa Karena Allah telah menyegel
dan menutup hati mereka beserta kebatilan yang ada di dalamnya. Allah juga
menutup telinga mereka sehingga tidak bisa mendengarkan kebenaran untuk
diterima dan diikuti. Allah juga menutup mata mereka sehingga tidak bisa
melihat kebenaran yang sangat jelas di hadapan mereka. Kelak di akhirat mereka
akan mendapatkan azab yang sangat berat.
Nabi Muhammad SAW memberikan contoh
ketika beliau hidup di mekah. Kehidupan
di Mekah adalah kehidupan yang sulit, dimana dalam keseharian mereka dihadapkan
pada kehidupan keras (yang sering disebut dengan kehidupan Jahiliyah). Dalam kehidupan Jahiliyah masyarakat lebih mengutamakan
kehidupan materialisme, dan hukum rimba pun disana juga tidak berlaku. Bahkan aturan-aturan yang berada di masyarakat
dilanggar untuk kepentingan pribadi mereka yang memiliki kekuasaan dan
kekayaan.
Berdasar hal itu maka kita perlu menengok
sejarah nabi tentang sejarah dan kondisi di Mekah pada saat itu tidak kalah
berbeda dengan kehidupan kita sekarang.
Jika kita tengok bagaimana hukum rimba, kehidupan masyarakat,
mengutamakan kepentingan pribadi lebih diutamakan jika dibandingkan dengan
aturan-aturan yang berlaku. Banyak juga
orang yang mengaku beragama dengan jubah-jubah ke”Islaman”, atau wanita-wanita
yang memakai gamis berperilaku tidak sesuai dengan pakaiannya. Mungkin kita secara sadar bisa kita simpulkan
sekarang ini kita hidup di era Jahiliyah modern.
Jika sekarang dikatakan sebagai era
Jahiliyah modern, apa yang harus diri kita lakukan sebagai manusia yang ingin
mencapai kebahagian baik dunia maupun akherat.
Banyak saudara kita sudah berbondong bondong ikut pengajian-pengajian,
kajian-kajian ilmu, membedah buku, hingga mereka sudah “berubah” dalam
berpenampilan. Namun apakah ini sudah
cukup untuk sebagai bentuh “hijrah” tanpa dimulai dengan “merenung dan menemukan
Gua Hira”.
Maka dalam kesempatan ini penulis ingin
membahas tentang diri dan solipsisme dalam merenung dan menemukan gua Hira.
Diri dan Solipsisme
Ketika kita membahas masalah diri dan
solipsisme, maka kita harus paham dulu sebetulnya “siapa diri” kita ini. Banyak tulisan saya yang sudah membahas
tentang Hakekat “diri kita”. Pada
intinya “diri kita” adalah mahkluk sempurna yang mengemban tugas dari Allah SWT
sebagai khalifatul fil Ardh dan sebagai abdullah. Agar dua tugas itu dapat tercapai maka
diperlukan sebuah keseimbangan kehidupan (equlibrium Kehidupan). Equilibrium kehidupan akan tercapai jika kita
bisa menyeimbangkan antara logika material dan logika spiritual. Prosedur atau “kerja” dari diri kita diatur
dalam Al Qur’an yang sering disebut sebagai “Syariah”. Jika keseimbangan itu muncul maka dua tugas
yang kita ampu akan mudah tercapai.
Namun pada kenyataannya kebanyakan
manusia tidak bisa mencapai keseimbangan kehidupan yang maksimal. Hal ini dikarenakan pola berpikir mereka
masih condong berat pada logika material, malah banyak orang yang mengaku sudah
khatam Al qur’an namun kenyataannya logika spiritual mereka tidak jalan. Jika logika spiritual tidak terpakai maka
penyakit hati (minimal rasa was-was, khawatir, iri, sombong) menyelimuti hati
mereka. Seseorang yang demikian itu akan
sulit sekali mencapai kebahagiaan.
Bagaimana orang bisa mencapai
keseimbangan itu? Langkah yang dilakukan
adalah dengan melakukan musahabah atau bahasa ilmu barat dikatakan sebagai
“Solipsisme”.
Solipsisme pertama kali dikemukan oleh
Barkeley (1685-1753) yang berdasarkan perspektif ontologis yang menyatakan
bahwa dunia tidak memiliki keterpisahan dengan apa yang kita pikirkan. Jika berpijak hal itu maka seseorang yang
hanya berpikir dengan logika material maka dalam benak dia hanya tertuju pada
kebutuhan materi saja. Hal ini senada
dengan pendapat dari Burrel and Morgan (1979) yang menyatakan bahwa
“ontologically, it has no existence beyond the sensation which he perceives his
mind and body”.
Para peneliti bidang kualitatif banyak
menggunakan metode solipsisme sebagai bentuk pendekatan dalam penelitian,
karena dalam metode ini adalah riset yang didasarkan atas rasa
bersalah/pengakuan dosa/rasa/sensasi dalam menemukan hakekat dalam kehidupan
seseorang.
Memang orang sering mengatakan bahwa solipsisme
adalah sebuah subyektifitas dari diri manusia tentang kehidupannya, namun
subyektifitas ini muncul dari perenungan yang didasarkan atas idiologi yang
mereka miliki. Orang akan melakukan perenungan jika sudah menemukan benturan
antara kenyataan hidupnya dengan idiologi yang dia miliki. Sejauh mana idiologi yang dimiliki akan
mengguncang kehidupannya? Jika “hati” mereka yang terselimuti itu sudah hilang
selimutnya.
Burrel dan Morgan (1978) menyatakan
“entering an entirely individualistic and subectivist view of reality in which
no meaningful discourse is possible”.
Perkataan Burrel dan morgan ini banyak dilakukan orang sekarang ini
mereka melakukan jalan pintas atas sesuatu permasalahan yang dihadapi dengan
jalan apapun tanpa melihat dampak atau dosa yang ia lakukan. Suatu misal, seorang guru bertugas mengajar
dan mendidik, karena kesibukannya mereka melupakan hakekat mendidiknya, mereka
mengajar sebatas menggugurkan kewajiban tanpa melihat input, proses sampai
dengan outputnya. Contoh ini dapat
dilihat dari proses pengajaran atau kuliah on-line. Mereka lupa akan hakekat pendidikan yang
penting pertemuan tercukupi dan seterusnya. Banyak guru dalam kuliah on line ini
mereka Meng(H)ajar mahasiswa dengan tugas dan kebingungan atas materi yang
diberikan, padahal dalam kuliah on-line tersebut mereka tidak menyampaikan
hakekat dari materi yang diberikannya.
Sedangkan pemahaman solipsisme dalam
pandangan Metafisik menyatakan bahwa tidak ada realitas lain selain dirinya
sendiri. Segala sesuatu yang ada
merupakan ciptaan dari kesadaran seseorang pada saat dia sadar akan hal-hal
itu. Maka dalam hal inilah penulis
membahas silopsime sebagai bentuk kesadaran diri yang muncul dari akidah/akhlak
diri sendiri yang mengguncang atas eksistensi dia selama ini. Rasa penyesalan yang muncul atas perbuatan
inilah yang merupakan dampak dari perenungan atas perjalanan hidupnya.
Perbedaan makna atas silopsisme dari
perspektif ontologis dan metafisik inilah yang akan menemukan “gua Hiro” yang
menjadi dasar seorang muslim yang ingin berhijrah ke Madinah menemukan hakekat
kehidupan. Memang secara makna antara ontologi dan metafisik memiliki perbedaan
yang mendasar, namun pada hakekatnya dalam pemahaman ontologi orang akan
menemukan kesadaran diri telah melakukan solipsisme yang ternyata merugikan
dirinya sendiri, maka muncullah rasa penyesalan yang mendalam yang
mengakibatkan perlu melakukan dekonstruksi atas idiologi kehidupannya.
Perenungan dan Penemuan “Gua Hiro”
Diri manusia banyak yang mengaku
melakukan perenungan/”dzikir”. Namun
hasilnya apa? Ketika banyak ditanya
hasilnya apa, diri kita terdiam. Secara
silopsisme mungkin kita menjawab hati kita tenang, namun apakah ketenangan yang
seperti yang diri kita rasakan itu hakekat dari sebuah dzikir. Jawaban diri kita tentang ketenangan itu
mungkin kita mengacu kepada Al Qur’an, yang salah satu ayatnya mengatakan
berdzikirlah maka hatimu akan tenang.
Ini sebuah solipsisme ontologis yang bersifat subyektif untuk
membenarkan jawaban kita. Namun secara
metafisik mungkin jawaban diri kita tentang apa output dari dzikir kita adalah
ketenangan, pasti jawabannya adalah sebuah kebohongan yang besar.
Merenung atau berdzikir pada hakekatnya
adalah sebuah penyesalan diri dengan mengingat kebesaran Tuhan. Kebesaran Tuhan yang sudah memberikan
semuanya kepada Manusia tanpa pandang bulu, baik manusia yang DIA cintai atau
manusia yang tidak pernah berterimakasih kepadaNYA. Dengan menemukan arti dan hakekat merenung
tersebut maka sebagai sebuah bentuk intropeksi diri dan penyesalan serta
penemuan jalan untuk mencari keseimbangan kehidupan.
Proses pencarian keseimbangan hidup
inilah yang akan merupakan sebuah perenungan yang melibatkan silopsisme
metafisik. Karena dalam perenungan ini
diri kita melakukan interopeksi atas perbuatan kita selama ini. Perenungan inilah yang merupakan sebuah
bentuk pengejawantahan gua Hira.
Gua Hira yang dalam ekspektasi/pemikiran di benak para muslim
adalah sebuah gua yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk melakukan
intropeksi dan pendekatan diri kepada Tuhan,
intropeksi yang beliau lakukan adalah dengan musahabah atas diri
ditengah lingkungan yang pada saat itu sudah tidak ada aturan yang baku yang
mendasari kehidupan masyarakat.
Penindasan dan ketidakadilan bahkan sampai dengan pemerkosaan hak asasi
ada dalam setiap kehidupan masyarakat pada zaman itu. Emansipasi yang hilang, pemiskinan masyarakat
yang sistemik dan pengkastaan manusia merupakan hal yang wajar. Berbedakah dengan kondisi sekarang ini.
Jika hal kondisi masyarakat kita sekarang
sama dengan kondisi masyarakat Makah pada saat itu, maka sepantasnya kita
berjalan menuju gua Hira. Berjalan
menuju Gua Hira merupakan sebuah penafsiran atas proses perenungan yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad yang kita contoh untuk melakukan perenungan atas
diri kita di tengah masyarakat yang seperti ini.
Bagaimanakah menemukan gua Hira itu? Apakah kita harus pergi ke Mekah dan
melakukan perenungan disana? Jawaban dari
dua pertanyaan tersebut adalah dalam arti kiasan. Artinya kita harus melihat kembali tujuan
Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi di Gua Hira itu. Dalam paragraf di atas disebutkan bahwa
Muhammad ke gua Hira adalah mencari tempat yang sepi yang bisa merenung dan
berpikir serta bisa mempermudah untuk mendekatkan diri kepada sang Khalik. Dengan mendekatkan diri dengan sang Khalik
tersebut maka akan segera menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat Makah pada saat itu.
Dengan demikian perjalanan menuju gua
Hiro sekarang di era modern ini adalah merenung dan mendekatkan diri serta
tidak lupa dengan mengingat Allah SWT sebagai jalan untuk mencari jawaban atas
masalah yang sekarang kita hadapi. Gua
Hira yang sekarang kita tuju adalah hakekat dari qolbu yang ada pada diri kita,
yang perlu kita hilangkan selimutnya agar kita bisa “berpikir” secara logika
spiritual atas hakekat keberadaan kita. Jawaban
atas perjalanan menuju gua Hira ini adalah dengan menemukan “kerja” manusia yang
sesungguhnya. “Kerja” manusia yang
sesungguhnya ada dalam Al Qur’an, dan “kerja”nya sering kita kenal dengan ‘Syariah”. Dengan Kerja Syariah maka akan terbentuk
manusia yang beridiologi Al Qur’an.
Penegakan “syariah” sebagai “kerja” dari
manusia perlu ditinjau lagi. Mungkin selama
ini manusia di era sekarang sudah out of the box dari tuntunan agama. Mereka hidup
tidak berdasarkan kerja yang “syariah”. Syariah
yang mereka acu hanyalah sebuah solipsisme ontologi. Mereka melakukan syariah hanya untuk
pembenaran atas kesalahan demi self interestnya. Jika demikian maka tidak ada lagi hidup dalam
kondisi equilbrium kehidupan yang diharapkan oleh sang Pencipta atas diciptakan
dan ditugaskannya manusia di muka bumi ini.
Memang sebuah hal sulit jika kita
melakukan perenungan dalam era sekarang ini, atau lebih sadis kita dikatakan
orang yang “aneh” di tengah masyarakat yang out of the box. Karena masyarakat sekarang sudah terpola pada
pemikiran yang materialisme murni yang sudah tertanam paham tersebut sejak kita
lahir. Pembalikan pola pemikiran yang
materialisme inilah yang harus dimulai dari perenungan untuk menemukan
keseimbangan kehidupan seperti yang di atur dalam Al Qur’an.
Komentar
Posting Komentar