Terjebak Jalan Pulang

Setiap diri dilahirkan memiliki taman-taman wardah... Di tengahnya ada tabir darah yang mengalir di dalam badan...  Kesuburan dan kegersangan tubuh terikat pada bersihnya darah yang ada... Karena darah adalah sebuah hakekat dari kehidupan.

Para pecinta pasti memahaminya...  Suci dan kotornya darah akan menjelma dari keluh kesahnya... Sebagai penyakit yang tidak ada obatnya... Hanya ilmu yang mampu menahannya.

Para pecinta mengetahuinya... Beratnya perjalanan yang dilaluinya... Bukan dirasa dan dipikirkan perjuangannya... Dijalani dengan keyakinan adalah teman dalam kehidupan.

Para pecinta menyadarinya...  Banyak duri yang ada di bawah kaki kita.... Yang menjelma menjadi peta perjalanan... Menyita waktu dan melupakan diri untuk mencari bekal pulang.

Janganlah duri menjadi penghalang.... Janganlah diri terlalu berpikir di kaki saja...  Karena banyak jalan yang masih bisa dilalui... Dengan kepala (ilmu) diri mencari jalan untuk pulang.

Ketahuilah.... Duri itu hanya milik perasaan yang menguasai pikiran... Yang tersemayam dalam diri yang tak berakal... Akibat diri tak pernah mau "baca".

Sadar dan belajarlah...Agar diri mampu mencabut duri dari kaki hati manusia... Melepas selimut adalah realitasnya... Agar kelak diri bisa menikmati taman-taman surga yang indah tiada tara.

(KAS, 13/11/2023, Jalan Untuk Pulang)   


Kehidupan diri kita di dunia ini ibarat hanya sekedar menjalani dan menikmati keindahan alam dunia yang hanya bersifat kefanaan.  Dan tidak heran dalam hidup yang dijalani ini diri selalu ingin pergi ke suatu tempat yang indah di dunia untuk sekedar takjub ataupun membuktikan kebesaran Sang Pencipta atas karunia yang diberikanNYA.  Namun menikmati bukanlah memberikan keleluasaan diri untuk menetap karena ada perjalanan panjang yang masih harus ditempuh untuk pulang.

Sifat ke"fana"an ini yang menyebabkan diri harus menyadari bahwa berapa lama harus mampu menikmati keindahan ini agar diri mampu menemukan "hakekat diri" agar memperoleh "bekal" untuk  dibawa pulang. Namun ketahuilah bahwa keindahan yang di depan mata adalah sebuah godaan yang menjadikan diri sering lalai bahkan lupa untuk melanjutkan perjalanan.  Manakala ini terjadi bukankah diri dapat dikatakan sebagai diri yang terjebak dalam ke"fana"an dan merupakan "realitas" kehidupan yang sesungguhnya sedang dijalani.

Lalai dan lupa ini adalah hal wajar sebagai penyakit yang ada pada diri kita sehingga baru sadar manakala waktu sudah habis sehingga untuk pulang diri tidak atau tergesa-gesa dalam menyiapkan bekal atau  pulang dengan tangan kosong.  Sebuah kerugian manakala diri seperti ini manakala diri harus pulang dengan tangan kosong akibat menikmati keindahan yang bersifat sementara.     Dan ternyata fenomena seperti ini adalah hal yang biasa dan wajar terjadi pada kehidupan diri kita sekarang ini.

Hal  seperti ini karena nilai kehidupan yang sekarang diri jalani lebih condond pada sebuah nilai kebenaran yang diakui secara umum dan turun temurun sehingga dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang wajar terjadi dan karena pengetahuan  dihasilkan hasil dari sebab akibat.  Dan kadang diri melupakan pelajaran dari sebuah peristiwa yang terjadi karena dianggap sebagai sebuah kebenaran umum (bersifat generalitas) tanpa memiliki nilai lain yang ada di dalamnya. Tapi ingatlah bahwa diri sebagai manusia yang sempurna seharusnya tidak hanya menelan mentah-mentah nilai-nilai tersebut sebagai sebuah kebenaran umum karena belum tentu menunjukkan realitas kebenaran.  

Memang tidak banyak dari diri kita yang berani untuk menyalahkan sebuah kebiasaan yang ada karena berpikir tentang kebenaran umum yang berlaku adalah sebuah kewajiban atau tugas diri  yang harus dilakukan.  Karena ketidakberanian diri ini diakibatkan oleh tidak memilikinya pemahaman atau pengetahuan untuk menangkap pesan ajaran yang ada atas suatu peristiwa.  Padahal semua peristiwa yang terjadi sudah ada merupakan sebuah gambaran atau rambu-rambu yang jelas dan tertulis dalam Buku Panduan hidup untuk berkehidupan yang selamat.


Tidak Menemukan Jalan Pulang

Bukankah banyak gambaran untuk diri yang tidak dapat menemukan jalan pulang dalam kehidupan ini seperti tersesat atau terjebak dalam kemacetan.  Tersesat akibat diri tidak memiliki ilmu untuk mengenali medan dan rute perjalanan yang akan di tempuh sedangkan terjebak kemacetan diakibatkan diri terjebak dalam urusan masalah kondisi kehidupan yang dijalaninya.  Ibarat diri menjadi buih-buih air dan melalui jalan berliku atau sekedar berputar dalam lokasi adalah pilihan hidup yang diambilnya serta hidup sekedar berjalan mengikuti arus perkembangan kehidupan yang dijalani.

Diri yang tersesat biasanya diri yang tidak sadar atau mabuk dengan ritme kehidupan yang dijalani.  Maka ibarat kehidupan yang dijalani dalam kondisi tertidur dan baru sadar ketika terbangun (mati) atau waktu sudah habis.  Hal ini sudah di ingatkan bahwa banyak diantara diri kita yang akan mengalami hal seperti ini dalam menjalani kehidupan di dunia ini.  Dan menjadikan  kepulangan diri dalam kondisi yang tidak baik dan termasuk golongan manusia yang mengalami kerugian.  

Sedangkan dikatakan diri terjebak kemacetan adalah sebuah perumpamaan yang berhubungan dengan waktu atau masa.  Perumpamaan ini sebagai bentuk pengingat bahwa banyak diantara diri kita yang rugi dalam manajemen waktu dan gagal dalam hubungan dengan hakekat materi kehidupan dalam menjalani kehidupan di dunia ini.  Kemacetan mengakibatkan diri terlalu banyak berpikir tentang kondisi diri yang ingin lepas dari beban kemacetan.  Emosi atau hawa panas menyertai sehingga menjadikan diri mudah terbakar dalam  menjalani kehidupan di dunia ini hanya bertemu dengan masalah-masalah yang sepele.

Bukankan ini sebuah kerugian yang besar manakala waktu terbuang dengan percuma akibat dari "kemacetan" perjalanan diri dalam kehidupan di dunia ini.  Tugas diri yang seharusnya tidak dikuasai oleh "hawa" sehingga selalu dalam berkebaikan akan berganti dengan diri yang gemar dengan membuat keributan dan kerusakan di dunia ini.  Hal ini pun juga diingatkan dengan jelas dalam ayat-ayat Tuhan yang ada dalam Buku Pedoman hidup manusia bahwa bukankah makhluk yang bernama manusia akan menghancurkan alam semesta.

Sebuah pernyataan yang jelas sebelum diri diciptakan ternyata sudah ada perdebatan yang panjang tentang kehendakNYA yang ingin menciptakan manusia.  Tetapi ternyata karena ketidaktahuan mereka tentang namanya makhluk manusia akibat dari tidak memilikinya pemahaman tentangnya maka kehadiran diri kita ditentang oleh para malaikat.  Namun Sang Pencipta memiliki skenario lain dibalik diciptakannya manusia walaupun sudah tahu dengan perilaku manusia yang akan dilakukannya.

Sebuah skenario kehidupan yang kompleks dan seharusnya menjadi pertanyaan diri kita sebagai manusia agar diri mampu hidup dengan benar. Agar diri mampu menjawab dibalik skenario dari Sang Pencipta yang menciptakan manusia  dibutuhkan pengetahuan.  Karena sifat Pengasih dan PenyayangNYA setiap diri manusia diberikan bekal untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.  Namun dibutuhkan upaya keras dan sudah dipastikan olehNYA tidak setiap diri manusia akan mau untuk membacanya. 


Type Kepemilikan Pengetahuan

Diri kita yang tidak menemukan jalan pulang ini adalah termasuk golongan pertama karena telah menempuh perjalanan yang tidak diketahui dan  dengan tujuan  yang sebetulnya tidak pernah disadari.  Gambaran diri yang tidak menemukan jalan pulang ini hakekatnya adalah sejajar dengan jalan bagi mereka yang menemukan jalan pulang.  Dikatakan sejajar karena diri memiliki pengetahuan dan persepsi spirtual namun terikat oleh nilai-nilai kebiasaan yang dianggap sebagai sebuah kebenaran yang turun temurun.

Pengetahuan yang dimiliki dikatakan sebagai sebuah pemahaman yang berasal dari hal paling rendah yaitu kaki. Karena kaki adalah alat yang biasa digunakan untuk berjalan sehingga memandang sebuah realitas adalah dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki.  Bahkan mungkin dapat dikatakan diri bersifat mendua terhadap Sang Pencipta.  Hal inilah yang menjadikan jalan diri kita yang tidak menemukan jalan pulang akibat diri "menduakan" dan berpikir dengan pijakan pengetahuan yang berasal dari kaki.

Ketahuilah bagi meraka yang menemukan jalan pulang adalah memiliki jalan yang sama namun bukan berdasarkan pemahaman dari kaki melainkan perintah dari kepala yang tunduk dan patuh pada Sang Pencipta.  Karena kaki hanya digerakkan oleh perintah kepala.  Mungkin kata-kata ini berat untuk dipahami namun ketika diri terjebak kemacetan maka ada dua golongan manusia yang memiliki pendapat.  

Golongan pertama adalah kemacetan adalah akibat kebiasaan diri kita yang memiliki keyakinan sebab akibat sehingga menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Maka sebuah pengetahuanpun selalu didasarkan atas hubungan sebab akibat dari peristiwa yang terjadi. Namun dalam golongan ini tidak mengkaitkan dengan campur tangan Sang Pencipta dan menyalahkan diri kita atau orang lain yang terjebak dalam kemacetan.  

Type diri yang termasuk dalam golongan ini adalah biasanya indra yang dominan bekerja dalam kehidupan sehari hari dan As  (hati) yang menopang kerja ketiga indra tersebut tidak berjalan.  Ketidak hadiran hati dalam kehidupan ini dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan yang terjadi. Maka hawa (ego) muncul dari dominasi kerja tiga indra tersebut baik secara indepen maupun kolektif akan bermain di dalam kehidupan golongan pertama. Ketahuilah tipe ini bukan harapan atas hakekat dari makhluk yang bernama manusia yang mampu memikul amanah dari Sang Pencipta.

Golongan kedua adalah kemacetan adalah akibat dari adanya campur tangan Sang Pencipta yang menciptakan kondisi diri terjebak di dalamnya.  Sehingga kemacetan adalah bagian dari skenario perjalanan yang merupakan ujian dalam kehidupan diri kita.  Diri mendapatkan pengetahuan karena didasarkan atas kerja yang sempurna dengan bekerjanya indra secara kolektif yang ditopang oleh hati sebagai penggerak perputaran dalam mengambil keputusan.

Type diri yang masuk dalam golongan kedua ini adalah bekerja tidak didasarkan oleh hawa melainkan oleh akal sebagai konektivitas diri dengan Sang Pencipta.  Hal ini berdampak pada diri yang selalu yakin bahwa hadirnya Sang Pencipta selalu menyertai dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani.  Beban kehidupan dalam perjalanan adalah sekedar beban yang seperti bulu burung yang menempel pada diri kita yang tidak mengganggu kerja diri malah menjadikan diri mampu terbang menuju tangga langit untuk pulang ke rumah Sang Pencipta.

Ketika diri dipertemukan dengan kondisi kemacetan maka kesadaran akan posisi diri yang salah sehingga menjadikan diri kembali mau untuk belajar agar dapat menemukan  pribadi yang kuat dalam menjalani skenario kehidupan.  Maka sifat iklhas dan ridha atas semua yang terjadi menjadikan diri menjadi pribadi yang yakin bahwa kemacetan adalah sebagai bentuk pengingat akan tugas diri dalam perjalanan di kehidupan di dunia ini.

Maka kemacetan bisa sebagai sebuah peringatan (untuk golongan kedua) dan sebuah azab (untuk golongan pertama).  Sebuah kesejajaran jalan kehidupan yang sama-sama diri terjebak dalam kemacetan namun memiliki dua hakekat untuk membedakan kategori diri dalam golongan manusia atas kepemilikan pengetahuan tentang kehidupan.

Hanya sekedar pelajaran dari kemacetan yang sering diri alami dalam kehidupan di dunia ini untuk menemukan bekal dalam mencari jalan pulang kepada Sang Pencipta.


Terima kasih
Magelang, 13/11/2023
Salam
KAS 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Pasukan Bergajah