Pasukan Bergajah

Dimanakah akan diri temukan jalan untuk pulang... Manakah jalan yang harus ku lalui dengan selamat.. Karena sudah tak nyaman yang ku rasakan... Panas dan banyak manusia yang mati tak berdaya.
Bagaimana diri dapat melepaskan belenggu yang menjerat... Terikat kaki dalam jerat yang kuat... Oleh penguasa pasukan bergajah... Yang semena-mena memuaskan hasrat dan kuasanya.
Hatiku tetaplah kuat... Karena Ka'bah selalu menjadi kiblat... Arah dan koneksi diri dengan Sang Pencipta... Tetaplah bersih dan buanglah selimut yang menjadi citra.
Hatiku janganlah mengelana ke sana... Dan tetaplah duduk di tempat...  Pilihlah gurun yang memiliki angin yang menghilangkan panas... Karena itu tempat yang paling nikmat.
Hatiku janganlah mengelana ke sana...  Karena disana hanyalah gambaran bau dan angan manusia.. Karena itu warna kehidupan manusia yang suka perang dan mengumbar aib atau hinaan.. Tergoda oleh kehidupan yang fana..
Duduk dan diamlah... Sembari bersenandung kosidah cinta... Karena itu jalan menghapus rindu pada Sang Pencipta... Agar diri selalu menjadi sang pecinta.
(KAS, 9/11/2023, Dilema Pengelana)


Sebuah usaha diri yang selama ini dibangun dari kecil ingin segala cita-cita yang diinginkan terwujud dengan mengupayakan segala cara.   Namun ditengah perjalanan diri tidak pernah mengetahui hasil akhir dari semua usaha yang sudah dilakukan dan ketika cita-cita tersebut tidak terwujud maka hal ini dianggap sebagai sebuah takdir yang harus dijalani.  Mungkin pernyataan ini sebuah pelipur lara hati agar diri tidak selalu terbuai dalam penyesalan yang mendalam dan agar segera bangkit dari keterpurukan.

Fenomena seperti ini mungkin juga terjadi pada manusia secara umum ketika hal yang diinginkan tidak terwujud dan salah satu obatnya adalah dikembalikan sebagai sebuah takdir yang harus dijalani.  Namun ketika diri tersadar dengan perenungan yang mendalam akan memiliki pernyataan bahwa cita-cita adalah keinginan diri yang dipaksakan dan bukan sebagai kehendak Sang Pencipta. Maka sebuah kegagalan adalah hal yang biasa karena kuasa sejati adalah milik Sang Pencipta dan bukan milik manusia.

Banyak diantara diri kita yang memiliki cita-cita adalah berorientasi pada pangkat dan jabatan yang menunjukkan pada sisi kemudahan dalam hal kepemilikan material.  Bahkan mungkin jarang diri terbesit dalam pikiran kita  tentang hal-hal yang sifatnya non materi masuk dalam kriteria cita-cita yang dibangunnya.  Bukankah hal ini sebetulnya merupakan sebuah pembangunan ketidakseimbangan diri yang sudah menjadi penjara pemahaman dalam kehidupan yang dijalani di dunia.

Ketahuilah bahwa hakekat diri dengan cita-cita yang sudah dibangun dari kecil adalah ketertarikan diri dengan hal-hal yang kelihatan "wah dan kuat" dalam segi apapun.  Maka gambaran ini tak ubahnya seperti diri laksana pasukan bergajah yang menunjukkan besar dan mewahnya sarana yang dimiliki dan kuasanya diri bila dibandikan dengan yang lain. 

Dan hal ini bukanlah sudah diingatkan bahwa kondisi ini akan menghancurkan "ka'bah" diri manusia dan digambarkan jelas dalam Buku Panduan hidup manusia.  Mungkin diri hanya memahami secara tulisan yang ada namun tidak pernah mampu mengkaji makna yang tersirat dari peringatan tersebut.  Hal ini diakibatkan diri tidak memiliki kesadaran untuk mengkaji lebih mendalam dikarenakan pemahaman yang sudah terbentuk tidak mengarahkan ke sana.


Diri Sebagai Kaum Abrohah

Ingatlah tidak ada yang salah dalam diri kita jika memiliki sebuah cita-cita.  Namun menyiapkan atau memiliki cita-cita seharusnya sejalan dengan unsur keseimbangan antara unsur ruhani dan jasmani. Mungkin diri kita selama ini tidak menyadari pentingnya memiliki cita-cita yang sejalan dengan kehendak Sang Pencipta karena dari kecil tidak disiapkan dengan hal semacam ini dalam kehidupan manusia umum.

Dan kondisi diri sekarang mungkin seperti pasukan yang naik gajah dan dengan bangga dan penuh kesombongan karena cita-cita dapat terwujud.  Segala sarana dan prasarana dimiliki atau mungkin kuasa dan kekuasan dipegangnya sehingga sering kali dalam kehidupan selalu menjadi penyebab ketidakseimbangan disekitar diri kita.  Perilaku menginjak dan merusak adalah hal yang biasa diri lakukan karena kekuasaan dan kuasa dalam melangkah mengarungi perjalanan menuju tujuan akhir kehidupan.

Namun disisi lain manakala diri tidak mampu mewujudkan cita-cita maka harus siap menjadi pribadi yang tertindas ataupun siap menanggung beban yang dipikul akibat perbuatan sang penguasa (pasukan gajah).  Sebuah ironi manakala diri tidak siap untuk menjadi tertindas maka harus bisa beradaptasi seperti "seekor rubah" agar dapat bermain politik disekitar pasukan gajah sehingga menjadi penikmat kehidupan sebagai pemangsa bangkai. 

Pengaruh diri dari ketidaktahuan inilah yang sebetulnya menjadi unsur utama dalam membangun sebuah cita-cita.  Jika ketidaktahuan ini tidak disadari dan pemahaman yang ada selalu menjadi pegangan dalam hidup diri kita maka mungkin diri akan hidup penuh dengan kesulitan.  Apakah hal ini tidak menjadi sebuah pembelajaran dalam kehidupan diri kita padahal sudah banyak kejadian bagaimana "orang besar" yang kuat dan memiliki banyak harta diakhir hidupnya ditutup dengan penderitaan (sakit) seperti daun yang dimakan ulat.

Ketahuilah diri sudah diperingatkan bahwa manakala diri menjadi pasukan gajah akan berperilaku laksana menghancurkan "ka'bah". Makna "ka'bah" sebagai rumah Tuhan dalam perspektif kosmos adalah sebagai bentuk umum yang diharuskan ditarik dalam diri sebagai pemahaman kosmik.  Manakala pengetahuan ka'bah (Rumah Tuhan) dalam pemahaman kosmik berarti adalah hati atau qolbu diri setiap manusia.  Maka merusak Ka'bah adalah merusak hati atau kolbu dengan membiarkan menjadi batu ataupun tidak ada upaya melepas selimut dan malah menambah selimut hati yang dimiliki setiap diri manusia.

Mengapa demikian? Karena manakala diri menjadi pasukan ini diri akan otomatis memiliki pribadi yang sombong dan ingin menjadi kiblat bagi manusia lain.   Sifat diri yang angkuh dan ingin mendominasi kehidupan orang lain adalah ego diri yang muncul akibat tidak kerjanya hati atau qolbu.  Maka langkah diri dalam kehidupan bukan memilih jalan kanan (lurus) melainkan jalan kiri adalah pilihan yang diambil dalam kehidupan di dunia ini.  Jalan kiri adalah jalan menemukan ego (idiologi) diri bukan menemukan "AKU" (Pemilik Hati/rumah).

Pribadi yang menemukan ego (idiologi) diri adalah keingkaran dan kesalahan dalam kehidupan dan selalu hidup dalam terkena rasa "panas" baik dari kosmik (diri sendiri) maupun kosmos (alam semesta).  Akibat dari kondisi ini maka hidup tidak berpegang pada standar kehidupan keseimbangan melainkan diri lebih mementingkan kepentingannya.  Segala tipu daya dan strategi akan dibangun agar terwujud segala keinginan yang dimiliki dan mungkin akan mengingkari atau melawan kehendakNYA. Kuasa dan kekuasaannya hanyalah sebagai alat untuk mencapai hasrat diri untuk memperoleh kesenangan dan jauh dari rasa kebahagiaan.  

Tidak mungkin diri sebagai pasukan bergajah akan memperoleh kebahagiaan karena yang diperoleh hanyalah kepuasan atas tercapainya kuasa dan hasrat hidupnya yang berupa kekuasaan dan kesenangan.  Mengapa pribadi yang demikian tidak pernah dapat mencapai kebahagiaan?  Karena kebagiaan adalah sebuah kondisi dimana diri mampu menemukan "kiblat" diri sebagai sarana untuk konektivitas dengan Sang Pencipta dan ketika hal ini dapat terwujud berarti mampu melepas (menyerahkan) beban kehidupan yang dijalani. 

Ketahuilah manakala diri dalam kondisi seperti ini maka segala tipu daya yang dibuat oleh manusia tidak akan mampu mengalahkan Kehendak Sang Pencipta dan kehidupan yang dijalani dengan penuh kenikmatan. Rasa kekhawatiran tentang kehidupan akan hilang dan penyakit hati jauh dari kepemilikan diri apabila konektivitas sudah terbentuk.  Karena beban kehidupan adalah hanya sebagai alur perjalanan yang harus dijalani dalam hidup di dunia ini.  Ibarat tumbuhan daun yang keluar dari pohon jauh dari hama maupun ulat yang merusak tumbuhan diri kita.  

 Hanya sekedar perenungan atas kondisi cuaca yang panas sekarang ini yang menjadi fenomena global dan mungkin sekedar dampak dari kosmos (perubahan iklim).  Namun penulis mencoba mengkaji bahwa panasnya kondisi dari perspektif kosmik (diri pribadi) karena terjebak dalam hasrat dan kuasa dalam perlombaan pemenuhan ego diri.


Terima kasih.
Magelang, 9/10/2023
Salam
KAS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang