Kritik atas PAR
Kritik Dominasi Positif
Accounting Reaseach (PAR)
Oleh : Muhammad Al Amin
abstract
This article aims to discuss how PAR (positive accounting Research)
dominates the flow in accounting research. It turns out that behind the
dominance of the PAR there is a certain intention to legalize and the purpose
of economic goals. This dominance is like an imperialization in the field of
research. Based on some critical articles, finding evidence that PAR is said to
be superior in methodology research, there are weaknesses: in terms of
philosophy and methodology, the demand of financial institutions, institutional
factors, beauty and simplicity, political and ideological elements. The
mainstream approach of non positivism with non positivisme approach as an
alternative in research in the field of Accounting.
Keyword: PAR, superiour Mainstream, non positivisme
Pendahuluan
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa untuk
mendapatkan kebenaran dapat dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode
ilmiah tersebut dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan penelitian. Menurut Webster’s World
Dictionary, penelitian merupakan penyelidikan (penelitian) terhadap suatu
bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan
prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis. bertujuan untuk
mencari, menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan
(teori). Penelitian juga sering dilaksanakan untuk mencari pemecahan terhadap
permasalahan yang berkembang.
Setiap teori mucul akibat adanya perbedaan yang
diakui baik kebenaran maupun kesalahan.
Teori akan eksis jika pengetahuan
yang diakui kebenarannya dalam riset riset yang dilakukan. Kemunculan suatu
teori tidaklah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Teori akan muncul
berdasarkan suatu proses asumsi, pengujian dan pengambilan simpulan. Dalam hal
ini dikatakan bahwa teori menurut possitive accounting research (PAR)
adalah teori yang muncul setelah adanya proses generalisasi dengan banyaknya
penelitian yang dilakukan.
Ini artinya suatu teori dalam harus terbentuk dari asumsi mengenai realitas
(ontologi), yang berlanjut pada pencarian kebenaran berdasarkan asumsi
(epistemologi) serta tujuan atas ilmu pengetahuan (aksiologi), lalu berdasarkan
epistemologi yang dipercayai akan dirumuskan metodologi dalam menguji
pengetahuan. Jelas adanya bahwa ontologi, epistemologi, aksiologi, dan
metodologi merupakan sesuatu yang saling terkait. Setiap teori adalah suatu
pengetahuan yang diakui kebenarannya.
Kemunculan suatu teori tidaklah sesuatu yang terjadi
secara tiba-tiba. Teori akan muncul berdasarkan suatu proses asumsi, pengujian
dan pengambilan simpulan. Ini artinya suatu teori harus terbentuk dari asumsi
mengenai realitas (ontologi), yang berlanjut pada pencarian kebenaran berdasarkan
asumsi (epistemologi) serta tujuan atas ilmu pengetahuan (aksiologi), lalu
berdasarkan epistemologi yang dipercayai akan dirumuskan metodologi dalam
menguji pengetahuan. Jelas adanya bahwa ontologi, epistemologi, aksiologi, dan
metodologi merupakan sesuatu yang saling terkait.
Demski
et al., (1991) menyatakan kegagalan dari riset akuntansi positif di dalam
bidang akuntansi dengan menangangi krisis di ekonomi keuangan, khususnya pasar
modal. Kegagalan ini karena anjloknya harga saham di bursa saham Amerika yang
menyebabkan krisis ekonomi yang final. Karena PAR sebagian besar berada di area-area riset
akademis dikarakterisasikan oleh siklus inovasi yang signifikan – yakni.,
ide-ide dan konsep-konsep baru yang secara periodik merevolusioner bidang ini,
seperti misalnya ekspektasi rasional dalam bidang ekonomi dan model opsi dalam
keuangan.
Demikian juga adanya tujuan lain dengan berkembangnya PAR, yaitu
tujuan lain dari negara-negara maju untuk mempertahankan pengaruh mereka
terhadap negara-negara berkembang.
Mereka tetap ingin mendapatkan keuntungan secara tidak langsung dari
berkembangny metodologi riset ini. Hal
ini sesuai dengan pernyataan dari Ashmore
et al. (1989) menyatakan bahwa imperialisme melekat pada teori ekonomi:
“Sehingga sebuah implikasi utama dari teori ekonomi, dirasakan secara terpisah
dari keragaman praktek ekonomi aktual, adalah bahwa tindakan ekonomi di dalam
dunia nyata selalu bisa ditingkatkan dengan jalan menarik perhatian partisipan
ke arah prinsip-prinsip ekonomi dan dengan memaparkan partisipan pada
‘realitas’ ekonomi implisit di dalam pilihan tindakan mereka. Yakni, kami
menyatakan, sebuah ‘imperialisme ekonomi’ yang dibangun ke dalam klaim
universalistik teori ekonomi dan ke dalam penyangkalannya atas relevansi
rasionalitas ekonomi alternatif”
Adanya dua hal tersebut yaitu kegagalan dari
dominasi PAR dalam menghadapi krisis ekonomi yang ada (walaupun ada kesuksussan
yang ada seperti EMH), dan adanya tujuan imperialisme yang dikembangkan oleh
negara maju melalui metode riset ini.
Maka perlu adanya metode lain di dalam mengembankan ilmu Akuntansi
baru. Pendekatan ini sering disebut
dengan pendekatan Non positivisme. Denzin
& Lincoln (2009) menyatakan pendeketan non posivitisme (kualitatif) sebagai tempat bagi beragam metodologi dan praktik penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian
kualitatif mencakup dua sisi yaitu sisi
peretama adalah menuju pemahaman yang kritis, feminis, post modern,
interpretarif dan luas, dan disisi lain diarahkan menuju konsepsi tentang
pengalaman manusia.
Dalam artikel ini penulis ingin membahas mengenai
bagaimana peran Positif accounting
reseach (PAR) dan dominasi aliran dalam penelitian. Kedua membahas kelemahan PAR yang selama ini
dianggap sebagai best of the methodology research. Dan ketiga, penulis memberikan alternatif
pendekatan alternatif dalam research yaitu dengan pendekatan non positivisme.
Watts
(1978, hal. 54), contohnya menyebut literatur akuntansi keuangan tradisional
sebagai “tidak ilmiah” karena “berkonsentrasi pada preskripsi” dan memberikan
“sangat sedikit perhatian… pada pembuatan suatu teori…untuk menjelaskan mengapa
laporan keuangan mempunyai bentuk seperti sekarang ini”. Watts dan Zimmerman
(1978, hal. 112-113) berpendapat bahwa “teori positif tentang penciptaan
standar-standar akuntansi memang “diperlukan” untuk memastikan apakah
preskripsi teori-teori normatif…bisa digunakan atau tidak”. Di paper
berikutnya, yang terus membedakan antara teori “positif” dan “negatif”, mereka
memperjelas bahwa mereka menghargai “teori” yang biasa ditemukan di literatur
akuntansi normatif hanya untuk menghindari “perdebatan semantik”; mereka
memilih memberikan istilah “teori” untuk prinsip-prinsip yang diajukan untuk
menjelaskan set fenomena” (Watts dan Zimmerman, 1979, hal. 273 n.1). Watts
& Zimmerman (1980, hal. 107-108) mengatakan bahwa “penelitian positif
berusaha membuat teori yang bisa menjelaskan fenomena yang diamati”.
Riset
akuntansi positif terdiri atas pengujian teori akuntansi positif; ini adalah
sebuah badan subsstansial dari literatur akuntansi yang penting. Bahwa sebuah
permasalahan di dalam prosedur eksperimental yang eksis dalam riset ini
tercipta ketika peneliti akuntansi positif menerjemahkan bahasa teoretis teori
akuntansi positif ke dalam sebuah bahasa empiris yang membolehkan dilakukannya
eksperimentasi. Secara eksperimental, teori akuntansi positif ditransformasikan
menjadi sebuah tautologi. Dalam penelitian riset akuntansi positif dijelaskan
bahwa sebuah variabel kausal dalam artian fenomena yang ingin mereka jelaskan
dengannya. Hal ini mengubah praktek akuntansi menjadi penjelasannya sendiri,
yang bukan merupakan perbaikan pemahaman seperti yang dibayangkan oleh teori
akuntansi positif. Selain itu, para pendukung riset akuntansi positif
berargumen apapun yang masuk akal dan tersedia untuk mempertahankan riset
akuntansi positif terhadap tuduhan bahwa riset ini menciptakan sebuah tautologi
mensyaratkan bahwa kerusakan dilakukan kepada teori dengan menginformasikan
riset mainstreamnya.
Williams
(1989) menjelaskan mengapa bukti
eksperimental semacam ini memiliki value yang diragukan, sehingga pandangan
teori yang dipegang oleh peneliti akuntansi positivist akan tetap bertahan.
Para penelitia riset akuntansi positif selalu alergi terhadap perubahan metode
penelitian, terutama penelitian yang diajukan oleh post positivisme.
Sterling
(1990) menyatakan bahwa PAT dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu Ekonomi
Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk pada
National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk
konsep Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT
dalam sains merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah
turunan langsung dari Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan
Popper (hal ini diakui oleh Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri
melakukan penolakan terhadap konsep positifisme logis yang dianggap masih
banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan penentuan kata positif dirujuk dari
ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh positifisme.
Perkembangan positif
Accounting research
1.
Era
Beaver. Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT),
dalam paradigmatic positioning, riset “positif” yang sebenarnya hanya berkaitan
dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan untuk membentuk “teori
akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan prediksi tentang
perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas akuntansi’.
Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi positif dan ekonomi normatif”, bahwa
kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada kemajuan ekonomi normatif yang
mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori ekonomi dapat diterima.
Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia mengatakan bahwa
“tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan ‘teori’ atau
‘hipotesis’ yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas fenomena yang
belum diamati. Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan
“normatif” dengan menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai
seperangkat pengetahuan (knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu”
(what is); sedangkan sains normatif atau regulatif didefinisikan sebagai
seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan kriteria tentang bagaimana
seharusnya……”. Konsep “sains positif” mulai populer sejak abad ke-19. Paradigma
sains positif sering-kali disebut dengan “positivism”, yang hanya melakukan
metode-metode ilmu pengetahuan alam yang memberikan “pengetahuan positif”
(positive knowledge) tentang “apa” (what is) (untuk lebih detil dan sebagai
pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987 misalnya).
2.
Watts
dan Zimmerman (1978). Gagasan yang disampaikan oleh Watts dan Zimmerman
merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental sekaligus
kontroversial. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping melakukan evaluasi
perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan atas kritik-kritik
terhadap PAT. Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah
evaluasi mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini
dan pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain
dan to predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik,
sangat tidak konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya
telah dipahami oleh Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’.
asumsi Watts Zimmerman tahun 1978, 1979 dan 1980 merupakan penggabungan dari
Instrumentalisme dari Milton Friedman. Instrumentalisme menyatakan bahwa teori
dan explanation harus dijustifikasi untuk kepentingan usefullness daripada
realism. Asumsi Watts dan Zimmerman juga berasal dari Positivisme-nya Paul
Samuelson. Teori yang berbasis empiris tidak akan berjalan jika hanya berada
pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi Watts dan Zimmerman tahun 1986 berasal
dari kombinasi Poincare, Hemple dan Popper, yaitu Conventionalism.
Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah sepenuhnya benar atau salah
(never absolutely thrue or false).
Konsep Dominasi Sebuah Rezim Akuntansi Posisitf
Dalam
artikel Jones & Dugdale (1992) menjelaskan dan mengilustrasikan konsep
sebuah rezim akuntansi. Konsep ini
dimobilisasikan untuk mengeksplor sifat dan power dari akuntansi secara total
dan untuk mengidentifikasikan dimensi-dimensinya. Menggunakan karya Anthony
Giddens, menggambarkan sebuah rezim akuntansi sebagai sebuah rangkaian
praktek-praktek sosial yang dikonstruksikan melalui disembedding dan reembedding
akuntansi sebagai sebuah sistem abstrak yang menghubungkan institusi-institusi
modernitas dan bentuk refleksivitas modern.
Reiter
(1998) proses-proses imperialisme ekonomi dalam bidang keuangan untuk
menyediakan wawasan terhadap resiliensi program riset positif dalam keuangan
dan akuntansi dengan membahas dan
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Mengapa teori ekonomi
positif mengkolonisasikan bidang akuntansi finansial dan ekonomi finansial? (2)
Mengapa aplikasi teori ekonomi sangat dihargai di dalam pasar dan akademis
finansial AS? (3) Mengapa ekonomi positif berbasis program riset sangat ulet,
mengingat kekurangan inheren mereka dan kurangnya hasil empiris yang kuat? Dari
ketiga pertanyaan yang dibahas dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa adanya
celah kekurangan dari PAR, sehingga mereka para peneliti di mainstream
positivisme berusaha mempertahankan dan melakukan “imperialisasi” pendekatannya sebagai best approach.
Rezim
PAR . ini secara simultan menghasilkan kepercayaan (trust) dan skeptisisme,
dan menunjukkan siklus disolusi dan rekonstruksi yang berulang.
Keunggulannya – meski bersifat sementara, parsial dan rapuh – akan tergantung
pada kemampuannya dalam menyediakan jaminan keahlian saat menghadapi resiko.
Konsep sebuah rezim akuntansi riset positif menawarkan sebuah framework
yang bermanfaat dalam mempelajari akuntansi sebagai satu totalitas, dan
karenanya untuk mendeteksi kekuatannya di dalam dunia modern.
Teori-teori
harus menjelaskan; yakni, mereka harus menjawab pertanyaan “mengapa”. Kita
berpikir bahwa isu permasalahan dari penjelasan berada di akar sebuah
pernyataan ulang dari sebuah argumen berkelanjutan dalam profesi ekonomi atas
apakah teori-teori ekonomi makro
(seperti misalnya ekonomi Keynesian) bisa menjelaskan apa yang terjadi di dalam
ekonomi tanpa menjelaskan apa yang terjadi di dalam level ekonomi mikro. Di dalam literatur ekonomi, hal
ini disebut sebagai masalah menyediakan landasan mikro untuk ekonomi makro
(Phelps, 1970) dan para ekonom yang mengidentifikasikan diri dengan Chicago
School menganggap landasan mikro sebagai sebuah kebutuhan.
Dalam
teori akuntansi positif, terdapat klaim bahwa seseorang tidak akan bisa
menjelaskan standar akuntansi jika dia belum menjelaskan rasionalitas
individual dari orang-orang yang berusaha untuk mempengaruhi badan-badan
penentu standar akuntansi (Watts & Zimmerman, 1978, p. 4 dan 1980, pp.
110-111). Klaim ini benar-benar tonggak utama dalam mempromosikan teori
akuntansi berbasis-ekonomi. Watts dan
Zimmerman (1986), banyak hal ditawarkan untuk menjelaskan apa yang mereka
maksud dengan teori positif selain mengatakan bahwa hal ini bukan normatif.
Teori-teori akan terpilih jika mereka menyediakan prediksi yang paling
bermanfaat.
Kritik
terhadap Positive Accounting Theory
Banyak kritikan terhadap PAR terutama yang didasarkan
atas metodologi riset yang dikembangkan
oleh (Watts dan Zimmerman). Salah satu kritik yang dikemukakan oleh Christenson (1983) terhadap metodologi
penelitian positif yang memperlihatkan
bahwa peneliti positif tidak menerapkan
metodologi yang mereka anut. Menurut seorang pengamat, “Meski Christenson
(1983) membenci tipuan ilmiah dari penelitian akuntansi Rochester School, dan
ada pihak lain yang mengkritik penjelasan Rochester School tentang penelitian
akademis, tapi Watts dan Zimmerman masih saja mendapat status ilmiah atas gaya
baru penelitian akuntansi dan manfaat praktikal tanpa justifikasi sistematis”.
Para peneliti yang mendukung metodologi
PAR yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman (1990) tidak menggubris kritikan
metodologi dari Christenson. Tapi mereka menuliskannya lagi dan mengatakan bahwa,
“kritikisme metodologi tersebut tidak lolos uji pasar karena kurang berpengaruh
di penelitian akuntansi” (Watts dan Zimmerman, 1990. Mereka menambahkan bahwa
“debat metodologi adalah situasi “tanpa pemenang” karena setiap pihak
menggunakan paradigma berbeda dengan aturan berbeda dan tidak ada common
ground. Pertanyaannya adalah: jika peneliti positif tidak menggunakan standar
metodologi, dan jika uji empiris PAT hanya memberikan bukti lemah bagi teori,
dan jika peneliti positif tidak merespon kritik, maka mengapa gerakan
penelitian positif begitu berpengaruh terhadap peneliti akuntansi?
Mouck
(1992), apabila peneliti positif berasumsi ada realita obyektif, yang dapat
diamati “secara ilmiah” dalam cara bebas-nilai, maka kalangan hermeneutik
kontemporer menyangkal bahwa setiap orang dapat meraih status sebagai pengamat
murni. Menurut hermeneutik kontemporer, Mouck, (1992), mengatakan Kita lahir
dalam sebuah lingkungan linguistik, yaitu sebuah lingkungan dimana “realita” diklasifikasikan dan ditata
secara linguistik. Kita berinteraksi lewat bahasa. Konsep kita dibentuk oleh
bahasa. Kita berpikir dalam bahasa.
Menurut
Hans-Georg Gadamer, tokoh sentral dalam hermeneutik filosofi, baik retorika dan
hermeneutik adalah saling terkait. Retorika berbicara tentang proses persuasi.
Hermeneutik menjelaskan proses interpretasi dan pemahaman. Tapi, keduanya
adalah aspek basis linguistik dari dunia manusia. Persuasi tergantung pada
interpretasi dan pemahaman, dan persuasi adalah elemen penting dari proses
pembuatan dan penyebarluasan dunia manusia, yaitu dunia pemahaman bersama.
Menurut
Christenson (1983), ini adalah refleksi dari kenyataan bahwa peneliti akuntansi
saat ini terbiasa menggunakan metode penelitian tapi tidak semuanya cakap dalam
methodology. Machlup (1963)
membedakan keduanya dalam cara berikut: Metodologi adalah cabang filosofi atau
logika, dan di situlah dimana orang-orang terpelajar menggunakan kata-kata.
Orang kurang terpelajar baru mengadopsi kata ketika mereka tidak lagi
memperhatikan filosofi maupun logika, dan hanya peduli dengan metode. Bahkan
mereka berani mengatakan “teknik statistik” sebagai “metodologi statistik” dan
bukannya menyebut “metode penelitian” mereka lebih suka menamainya “metodologi
penelitian”
“Metodologi
sains”, seperti yang dikatakan oleh Blaug (1980, hal. 47), “adalah sebuah dasar
rasional untuk menerima atau menolak teori atau hipotesisnya”. Jadi, metodologi
bersifat normatif dan untuk alasan itulah dianggap tidak ilmiah oleh Jensen dan
Watts. Meski demikian, jelas tidak ada sains yang bisa muncul tanpa membuat
komitmen metodologi. Hayek (1952, hal. 37) bahkan menilai bahwa sains secara
keseluruhan adalah normatif: “Perhatiannya bukan pada apa yang manusia pikir
tentang dunia dan bagaimana mereka kemudian berperilaku berdasarkan itu, tapi
lebih kepada apa yang harus mereka
pikirkan “ (diberi penekanan).
Bagian
yang membunuh logika positivisme adalah kegagalan positivisme dalam membuat
dogma positivistis tradisional yang nantinya mendasari proposisi sains, seperti
fisika, kimia dan biologi, dalam memahami aktualitasnya, yaitu, “what is”.
Sains pasti menggunakan teori. Proposisi teoritis, yang akan ditunjukkan
Christenson, tidak pernah positif maupun normatif dalam pandangan Keynes,
apakah itu statement aktual maupun ideal. Lebih tepatnya, semua itu adalah
statement kemungkinan.
Konsep
“teori positif” Rochester School dianggap punya filosofi tidak jelas karena ini
mencerminkan keyakinan salah bahwa teori positif terdiri dari “pengetahuan
sistematis tentang what is”. Sebuah
teori tidak seperti itu. Selain itu, konsep Keynes-Friedman-Rochester tentang
“sains positif” juga tidak jelas secara filosofis karena, berdasarkan bahwa
sains adalah teoritis, sains yang dimaksud tidak menjelaskan “what is”.Popper
berpendapat bahwa tahap pertama dalam memahami proses apapun adalah dengan
memeriksa produknya (Popper, 1972, hal. 114). Ini perlu dilakukan tidak peduli
apakah minat kita adalah empiris, dalam kasus dimana kita mulai dengan produk
aktual dan berusaha menjelaskannya berdasarkan proses yang menghasilkannya;
atau minat normatif, dalam kasus dimana kita mulai dengan produk ideal dan
berusaha mendesain proses yang akan menghasilkannya. Dia mulai dari premis bahwa tujuan sains
adalah untuk menjelaskan fenomena yang diamati, meskipun dia berpandangan bahwa
badan pengetahuan yang sifatnya menjelaskan juga bermanfaat sebagai instrumen
untuk prediksi dan untuk aplikasi teknologi.
Popper
setuju dengan positivistis logika yang melihat sains empiris sebagai badan
pengetahuan atau sekumpulan proposisi. Dia juga setuju dengan positivistis yang
menerima “thesis empirikisme fundamental” – yaitu thesis bahwa pengalaman saja
mampu memutuskan kebenaran atau kesalahan pernyataan ilmiah…” (Popper, 1959,
hal. 42). Di lain pihak, Popper juga mendukung bukti Hume bahwa pengalaman
tidak pernah menciptakan kebenaran statement secara eksklusif. Karenanya dia
bertanya apakah mungkin mengamankan thesis fundamental dengan hanya menuntut
kemampu-putusan di satu sisi saja; dengan kata lain, dengan mengharuskan bahwa
hanya kesalahan statement ilmiah yang dapat diputuskan oleh pengalaman. Popper menyimpulkan bahwa
kemampuan-memutuskan satu sisi – falsifiability
– bisa mnugkin terjadi, tapi hanya
jika ilmuwan mengikuti norma-norma metodologi tertentu. Apa yang
melindungi karakter empiris sains sebagai badan pengetahuan adalah norma-norma
tersebut, bukan bentuk logika dari proposisinya. Kesimpulan inilah yang
melatari Popper dalam membuat pandangan sains berbasis-proses.
Dari
sudut pandang logika, sebuah proposisi bisa disalahkan (falsified) bukan karena
pengalaman tapi hanya karena menerima proposisi lain yang tidak konsisten
logika dengan proposisi awal. Dengan demikian, Popper menetapkan sebuah
proposisi sebagai bisa disalahkan atau
falsifiable (dan karenanya berpotensi
masuk dalam badan pengetahuan empiris) jika dan hanya jika setidaknya ada satu
proposisi observasional (atau statement dasar, menurut terminologi Popper
sendiri) yang tidak konsisten secara logis terhadap proposisi tersebut.
Proposisi
observasional menilai bahwa sebuah kejadian yang dapat diamati bisa muncul di
wilayah ruang dan waktu individual spesifik. Syarat bahwa kejadian “harus dapat
dilihat” di wilayah “individual spesifik” adalah syarat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa proposisi observasional dengan sendirinya falsifiable (Popper, 1959, Bagian 28). Apakah sebuah proposisi
adalah proposisi observasional adalah persoalan fakta. Apakah kejadian-kejadian
tertentu dapat diamati atau tidak tergantung, contohnya, pada kemajuan
instrumen ilmiah, dan karena itu, kejadian bisa berubah dari waktu ke waktu,
sementara bentuk logikanya tidak berubah.
Inti dari kritik para peneliti non positivisme, dimana
kritik ini muncul akibat adanya krisis diakhir tahaun 1980, adalah :
1.
Kritik atas Filosofi
Gozali (2004) Paham positivisme ini mendapatkan kritik yang tajam
dari teori kritis yang menggunakan pendekatan sosiologis dan menyatakan bahwa
penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu sosial seperti akuntansi tidak lain
dari saintisme atau ideologi. Positivisme mengandaikan bahwa ilmu akuntansi
diyakini sebagai potret tentang fakta-fakta sosial yang bebas nilai (value
free) yang tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Dengan
demikian positivisme mencerminkan suatu penindasan atas dimensi etis manusia
yang terkait langsung dengan kehidupan sosial politisnya. Hilangnya dimensi
etis dari manusia ini tampak sekali dari praktik-praktik akuntansi maupun
bisnis. Oleh karena akuntan sebagai
profesi dan mempunyai tanggung jawab yang lebih terhadap publik, maka aspek
moral dan etika menjadi unsur utama yang harus dimiliki oleh seorang akuntan.
Pendekatan sosiologis dalam pembelajaran akuntansi menjadi kunci utama untuk
menghasilkan para akuntan yang memiliki integritas moral dan etika yang tinggi.
2.
Kritik
metodologi
Metodologi ekonomi positif dimulai oleh Milton Friedman
(1953) dengan tujuan membuat ekonomi positif “sebagai sebuah sains yang
‘obyektif’, dalam artian yang tepat sama seperti ilmu-ilmu fisik lainnya”
(p.4). Dibawah filosofi instrumentalis Friedman, teori tidaklah benar atau
salah, melainkan hanya berguna untuk prediksi. Frankfurter (1994) menunjukkan
bahwa, dalam praktek, ekonom mengadopsi standar validasi yang lebih daripada
kegunaan. Friedman (1953) menentukan
aturan permainan yang membuat penggulingan sebuah teori yang dipromosikan oleh
leader dalam bidang yang bersangkutan menjadi sangat sulit untuk
dilakukan. William (1989) mengatakan
bahwa penggunaan metode yang sama selama satu dekade ini, yang tidak menghasilkan
hasil yang konsisten, untuk menyelidiki sebuah teori bahwa terlepas dari hasil
tersebut telah berhasil menolak setiap penolakan menunjukkan dua hal. Yang
pertama adalah bahwa mengandalkan begitu banyak pada alat analisis
statistika mungkin bukan cara terbaik
untuk mengarahkan PAT ke pengujian yang ketat. Mungkin studi kasus tentang
pilihan prosedur atau perilaku melobi adalah untuk mulai membangun basis data
yang berarti untuk menguji teori praktik akuntansi semacam itu. Hal kedua yang
menunjukkan konstanta selama beberapa dekade adalah bahwa masalah potensial
mungkin ada dengan kontrol kualitas. Whitley (1984, p.66) mencatat
kecenderungan dalam disiplin akademis agar kompetensi dapat didefinisikan dalam
hal kemampuan orang untuk menggunakan berbagai teknik. Zeff (1983, hal 134)
menyinggung kejadian yang sama dalam akuntansi: "Ketika masalah pemodelan,
peneliti tampaknya lebih terpengaruh oleh perkembangan teknis dalam literatur
daripada potensi mereka untuk menjelaskan fenomena". Setelah sepuluh tahun
ada beberapa alasan untuk percaya bahwa teknik yang sejauh ini digunakan untuk
menguji PAT tidak memadai untuk tugas tersebut.
3.
Kritik atas extension maximation
Deegan (2004:204) menjelaskan bahwa teori akuntansi positif,
seperti yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman dan lain-lain, berdasarkan
pada asumsi berbasis perekonomian sentral, semua tindakan individu dikendalikan
oleh kepentingan diri dan bahwa individu akan bertindak dengan cara
oportunistik pada tingkat di mana tindakan akan meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Teori akuntansi positif memiliki asumsi dasar bahwa semua tindakan
dikendalikan oleh keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan seseorang. Bagi
banyak peneliti asumsi seperti itu menunjukan perspektif yang terlalu negatif
dari manusia. Pendapat tentang kesetiaan, moralitas dan semacamnya tidak
dimasukan dalam teori (karena mereka tidak memasukan dalam teori ekonomi
akuntansi lainnya). Hakekatnya manusia adalah makhluk individu sekaligus
makhluk sosial. Hal ini merupakan pandangan dasar yang menjelaskan manusia
selain akan memperhatikan kepentingan individu, juga mempunyai tanggung jawab
untuk memperhatikan kepentingan orang banyak.
Whitley (1986) menunjukkan bahwa kombinasi dalam bidang keuangan
dari “riset formal dan sangat abstrak tentang permasalahan esoterik dan teridealisasikan.
Whitley (1986) menghubungkan bangkitnya ekonomi finansial adalah pertumbuhan
intermediary finansial, keinginan untuk mencapai profesionalisasi diantara
analis investsi dan manajer investasi, semakin pentingnya indikator obyektif
untuk derajat resiko karena adanya pengadopsian standar kebijaksanaan dibawah
ERISA pada tahun 1974. Pengaplikasian ilmiah untuk teori-teori ekonomi
finansial sangatlah menarik bagi sejumlah praktisi karena “kombinasi penyusunan
portofolio dan teknik analisanya serta janji yang diusungnya terkait legitimasi
akademis untuk sebuah profesi yang baru (ibid., p.183).” Dalam cara yang serupa
dengan ini, Whitley (1984) menyadari pengambilalihan sejumlah besar akuntansi
akademis oleh “teori akuntansi positif” yang berbasis pada ekonomi neoklasik.
Dominasi bidang keuangan oleh ekonomi positif bisa dikategorikan sebagai sebuah
“fenomena pasar” dipicu terutama oleh munculnya perantara finansial.
4.
Kritik atas Keindahan dan Kesederhanaan.
Sebagai tambahan terhadap manfaat potensialnya, model matematis
bisa dihargai karena model itu sendiri. Seperti yang diketahui oleh McCloskey
(1985), kuantifikasi memiliki daya retorika yang kuat: “Seorang pria yang ingin
meyakinkan tetangga modernis-nya akan menunjukkan padanya angka-angka. Angka-angka
diyakini bisa memberitahu. Angka-angka diyakini sebagai hal yang obyektif,
intersubyektif dan konklusif” (p.141)
5.
Kritik atas Politik dan Ideologi.
Aspek lain dari
permintaan untuk imperialisme ekonomi mungkin berasal dari politik dan
ideologi. Teori-teori ekonomi neoklasik, dengan ekonomi finansial sebagai
sebuah subset, memiliki sebuah identifikasi politik yang berakar-dalam, seperti
yang dijelaskan oleh Etzioni (1988). “Nilai ideologi atau politik dari asumsi
yang menangkap sebuah program riset ilmiah mungkin tidak tampak jelas bagi
praktisi di dalam program dan... praktisi tidak semuanya termotivasi untuk
mengejar program riset karena implikasi politik atau sosial yang mungkin
dimilikinya.
Giddens
(2003:3) menjelakan bahwa bentuk reflektif jangkauan manusialah yang harusnya
paling banyak terlibat dalam penataan rekursif praktek-praktek sosial.
Kesinambungan praktek-praktek menduga adanya refleksitivitas, namun pada
gilirannya refleksitivitas itu hanya mungkin terwujud bila ada kesinambungan praktek-praktek
yang membuatnya jelas “sama” di sepanjang ruang dan waktu. Oleh karena itu
refleksitivitas dalam interpretif harus dipahami tidak hanya sebagai kesadaran
diri melainkan sebagai sifat arus kehidupan sosial yang sedang berlangsung yang
senantiasa dimonitor. Menjadi manusia berarti menjadi manusia yang
bertujuan,yang keduanya memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan
mampu, jika diminta menguraikannya secara berulang-ulang alasan-alasan itu.
Paradigma pengganti dalam Reseach Accounting
Paradigma dalam penelitian sosial berasal
dari tradisi ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi, yang diawali
oleh kelompok ahli sosiologi dari “mazhab Chicago” pada tahun 1920-1930. Pada
tahun 1960 di Amerika dan pada 1970-an di negara-negara berbahasa Jerman,
paradigma interpretif mengalami kebangkitan. Sejak saat itu, paradigma ini
berkembang pesat, khususnya dalam ilmu sosial dan humaniora.
Dunia
dipandang sebagai sesuatu yang tidak tertata dan terpola secara obyektif,
sehingga diperlukan pendekatan khusus untuk memahami setiap gejala yang muncul.
Tidak seperti paradigma positivistik yang
dimulai dari teori/hipotesis, paradigma interpretif dimulai dari suatu fenomena
yang selanjutnya didalami untuk menghasilkan teori Tujuannya ialah untuk memahami
makna atas pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa.
Pengalaman bukan kenyataan empirik yang bersifat obyektif, melainkan pelajaran
yang bisa dipetik dari peristiwa yang dilalui seseorang. Kebenaran diperoleh
lewat pemahaman secara holistik, dan tidak semata tergantung pada data atau
informasi yang teramati, melainkan pula mendasarkan pada informasi yang tidak
tampak dan digali secara rinci. Akal sehat (common sense) bisa menjadi
landasan mencari kebenaran. Kebenaran bersifat unik, dan tidak bisa berlaku
secara umum dan diperoleh lewat proses induktif.
Selanjutnya
Behling (1980) menjelaskan ada lima hal mengapa paradigma lain (seperti interpretif)
lebih cocok digunakan dalam mengungkapkan fenomena perilaku manusia dalam ilmu
sosial, dikarenakan ada 5 hal:
1. Keunikan. Bahwa tiap organisasi, grup, dan manusia berbeda satu sama
lainnya, sehingga perbedaan karakter manusia yangmenyajikan, memakai
produk-produk akuntansi juga akan berbeda pula dapat diinterpretasikan dalam
riset akuntansi juga.
2. Kestabilan. Fenomena menarik bagi peneliti dalam perilaku organisasi bersifat
sementara. Tidak hanya mengungkapkan “faktadari perubahan kejadian sosial
berdasarkan waktu, tetapi juga mengapa hal itu terjadi.
3. Sensitivitas. Tidak seperti dalam pendekatan positivistik, orang-orang dalam
organisasi dan organisasi itu sendiri sadar sepenuhnya bahwa mereka sedang
di”hipotesis”kan.
4. Kurangnya realisme. Memanipulasi dan mengontrol variabel dalam melaksanakan riset
merubah fenomena riset itu sendiri. Sehingga riset seharusnya tidak dapat digeneralisasikan
karena fenomena yang diteliti akhirnya berbeda dengan pasangannya dalam “dunia
nyata”.
5. Perbedaan epistimologi. Meskipun hukum sebab akibat merupakan hal yang sangat
dipertanyakan dalam mengungkapkan fenomena, tetapi “ilmu pengetahuan” yang lain
tidak dipergunakan dalam mengungkapkan fenomena tersebut
Paradigma
ini apabila penelitinya memandang obyek yang ditelitinya memiliki keunikan
tersendiri dan mengandung kebenaran yang orisinil, sehingga memposisikannya
sebagai fenomena yang ditelitinya sebagai ‘fenomena’. Keunikan tersebut
seringkali muncul karena keterikatan obyek tersebut terhadap konteks
lingkungannya, seperti terhadap ruang dan waktu terjadinya fenomena tersebut,
sehingga dipandang tidak atau jarang terjadi dan terdapat di tempat dan waktu
yang lain. Hal ini menyebabkan metoda yang dipergunakan di dalam penelitian
fenomena yang demikian, pada umumnya bersifat alamiah, karena sangat terikat
pada konteks yang sebenarnya. Akibatnya, kebenaran atau pengetahuan yang
dihasilkan dari penelitian yang demikian pada umumnya bersifat lokalitas dan
kontekstual, dan tidak bermaksud unutk mengeneralisasikan temuan penelitian.
Ketika
paradigma ini belum dipahami secara keseluruhan, akan mengira bahwa paradigma
ini tidak dapat digunakan pada penelitian-penelitian akuntansi. Akuntansi
identik dengan suatu rutinitas yang berdekatan dengan angka dan berbagai hal
yang pasti. Mulanya cukup banyak anggapan bahwa penelitian akuntansi hanya
cocok dengan paradigma positif. Dapat dijelaskan dengan suatu kajian ilmiah,
dihipotesiskan, kemudian mencari informasi yang diterjemahkan dalam bentuk
angka yang kemudian diolah dan diambil kesimpulan akhir. Kejenuhan akan proses
ini memunculkan suatu aliran multiparadigma.
Djamhuri
(2012) tentang akuntansi sebagai suatu multiparadigmatic science menyebutkan
bahwa:“ Akuntansi pada dasarnya memiliki status sebagai suatu disiplin ilmu
pengetahuan yang dari awalnya bersifat multipadadigmatik. Agak mengagetkan,
memang, istilah akuntansi sebagai multiparadigmatic science justru berasal dari
buku teori akuntansi yang ditulis oleh Ahmed Belkaoui (1992), sebuah buku yang
jika diukur menggunakan ukuran perkembangan pemikiran alternatif dalam
akuntansi yang terjadi pada hari ini, bahkan di Indonesia, merupakan sebuah
buku yang masih kental semangat positivismenya.”
Berdasarkan
pernyataan tersebut, tidak dikagetkan bahwa kejenuhan pemecahan masalah
akuntansi menggunakan paradigma positif memunculkan berbagai paradigma lain
yang salah satunya adalah paradigma intepretif. Telah banyak penelitian di
bidang akuntansi yang menggunakan paradigma interpretif dalam pemecahannya.
Wirajaya
dan Gde (2012) menyebutkan bahwa kebanyakan penelitian akuntansi hanya membahas
aspek teknis dan klerikal yang menyebabkan pengetahuan tentang peran sosial dan
organisasional akuntansi menjadi rendah untuk diaplikasikan pada lingkungan
yang sebenarnya. Perkembangan yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya mampu
mengangkat realitas dan fenomena yang sesungguhnya terjadi, baik berhubungan
dengan keanekaragaman adat, suku, budaya, dan agama. Berdasarkan penelitian
ini, penelitian dalam bidang akuntansi tidak hanya memerlukan jawaban-jawaban
atas permasalahan klerikal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ketika
hanya sebatas melakukan penelitian secara klerikal, maka pemecahan yang
diperleh belum tentu dapat diaplikasikan pada keadaan yang sebenarnya.
Putri
dan Kamayanti (2014), menemukan etika akuntan Indonesia berbasis beberapa
budaya tersebut mengungkapkan informasi bahwa etika dari budaya lokal dapat
menguatkan maupun melemahkan prinsip umum kode etik akuntan yang telah disusun
oleh IAI. Dengan menggunakan paradigma interperetif yang dilakukan menemukan
bahwa terdapat beberapa etika yang diusulkan menjadi pelengkap dari prinsip
umum kode etik akuntan oleh IAI, diantaranya etika spiritualis, etika eling
lan waspada, etika respect, etika kesederhanaan, disiplin, menjaga
keseimbangan, toleransi beragama, dan kepercayaan karma. Beberapa usulan ini
dapat menjadi pengembangan ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum pernah ada
dan tidak pernah terduga bahwa kesederhanaan, spiritualitas, kepercayaan karma
dapat mempengaruhi perilaku akuntan.
Sehingga
dengan pendekatan paradigma yang baru, khususnya interpretif dapat membuka
wacana baru dalam bidang akuntansi. Suatu penerimaan dan penolakan merupakan
suatu hal yang sudah layak dan biasa terjadi, bahkan kita tidak dapat
menjanjikan bahwa dengan hanya menggunakan pendekatan paradigma positif yang
sudah sering dilakukan tidak akan memunculkan penolakan. Paradigma interpretif
memungkinkan suatu ilmu berkembang dengan caranya sendiri untuk lebih
mendakatkan pada suatu kebenaran ilmu di bidang akuntansi.
Perspektif Pengembangan Teori Akuntansi dengan metode non positivisme
Beberapa
pendekatan sosiologi yang termasuk dalam paradigma interpretif menurut Djamhuri
(2012) adalah interaksi simbolik, fenomenologi, dramaturgi, etnometodologi,
semiotik, dan hemeneutik.
1.
Fenomenologi
Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami
dalam kesadaran. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna
dan konsep yang bersifat intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian
fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup
sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson menggunakan istilah
fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran
manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan
sosial. Berdasar asumsi ontologis,
penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami fenomena atau realitas tertentu,
akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga
dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada
interaksi antara subjek dengan realitas akan dikaji melalui sudut pandang
interpretasi subjek. Sementara itu dari sisi aksiologis, nilai, etika, dan
pilihan moral menjadi bagian integral dalam pengungkapan makna akan
interpretasi subjek.
fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena,
sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha
untuk mendapatkan fitur-hakikat dari pengalaman dan hakikat dari apa yang kita
alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan
pendekatan filosofis ini. Tradisi
fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari
individu individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya.
Komunikasi di pandang sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar
individu melalui dialog. Hubungan baik antar individu mendapat kedudukan yang
tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi ini mengatakan bahwa bahasa adalah
mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu kata saja sudah dapat
memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
2.
Ethnografi
Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang
menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini akan terkait
begaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih
peristiwa yang unik yang jarang teramati oleh kebanyakan orang.
Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan
atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai
aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai
peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian
peneliti etnografi. Peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik
kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Itulah
sebabnya pengamatan terlibat menjadi penting dalam aktivitas penelitian.
Model etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif,
transferabilitas, dan subyektif. Kecuali itu, juga lebih menekankan idiografik,
dengan cara mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada. Etnografi pada
dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan data pengamatan berperan serta (partisipant
observation). Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi yang
berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggambarkan).
Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara
orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam
kehidupan sehari-hari.
3.
Etnomethodology
Metodologi Ethno telah menarik banyak perhatian dan kritik dalam
sosiologi. Dampak metodologi Ethno berasal dari sifat radikal gagasannya.
Gagasan metodologi etno secara umum serupa dengan Interaksi Simbolik. Kedua
Interaksioner Simbolik dan etnomethodolog pada prinsipnya berkepentingan untuk
mempelajari interaksi sosial antar pribadi. Keduanya menganggap interaksi
sosial terdiri dari aktivitas komunikatif yang berarti antara orang-orang, yang
melibatkan kerja interpretatif bersama.
Ethnomethodology menarik dari dan memperluas perhatian para
interaksionis seperti Blumer dan Goffman dan proyek fenomenologis Husserl dan
Schutz. Ini menekankan pada proses interaksi, penggunaan teknik interpersonal
untuk menciptakan kesan situasional dan pentingnya persepsi konsensus di antara
para aktor. Dalam memperluas interaksionisme dan fenomenologi, para ahli
etnometodologi sering berpikir bahwa mereka memiliki visi berbeda tentang dunia
sosial dan sebuah orientasi alternatif untuk memahami pertanyaan tentang
bagaimana organisasi sosial diciptakan, dipelihara dan diubah.
4.
Interaksi simbolik
Interaksi simbolik merupakan salah satu prespektif teori yang baru
muncul setelah adanya teori aksi (action theory) yang dipelopori dan
dikembangkan oleh Max Weber. Teori interaksi simbolik berkembang pertama kali
di Universitas Chicago dan dikenal dengan mahzab Chicago. Menurut Mead, manusia
mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dan pemikiranya sebelum ia memulai
tindakan yang sebenarnya dengan melalui pertimbangan. Karena itu, dalam
tindakan manusia terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului
proses tindakan yang sesungguhnya.
Berpikir menurut Mead adalah suatu proses individu berinteraksi
dengan dirinya sendiri dengan memilih dan menggunakan simbol-simbol yang
bermakna. Melaui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih
mana diantara stimulus yang tertuju padanya akan ditanggapinya. Dengan
demikian, individu tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih
dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus yang akan ditanggapinya.
Teori Interaksi Simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa
manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik
berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki iindividu
berdasarkan interaksi dengan individu lain. Menurut Herbert Blumer, terdapat
tiga asumsi dari teori ini (1) Manusia bertindak berdasarkan makna yang
diberikan orang lain kepada mereka.; (2)
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. Dan (3) Makna
dimodifikasi melalui interpretasi.
5.
Semiotik
Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean
disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi
tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan,
kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika
berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari
struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik,
semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika sering
dibagi menjadi tiga cabang:
a.
Semantik:
hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat; denotata mereka, atau
makna
b.
Sintaksis:
hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal
c.
Pragmatik:
hubungan antara tanda dan tanda-menggunakan agen
Semiotika sering dipandang memiliki dimensi antropologis penting;
misalnya, Umberto Eco mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari
sebagai komunikasi. Namun, beberapa ahli semiotik fokus pada dimensi logis dari
ilmu pengetahuan. Mereka juga menguji area untuk ilmu kehidupan - seperti
bagaimana membuat prediksi tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung
mereka di dunia (lihat semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil
tanda-tanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi
dalam organisme hidup tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik).
6.
Hermeneutik
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari
tentang interpretasi makna, yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau
menerjemahkan. Konsep ini terbawa pada
tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age).
Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan
dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M ,
Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran
Aristoteles ini untuk menginterpretasikan Al-kitab. Sedangkan dalam tradisi
filsafat Islam, ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari
hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbiha.
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan
melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika
Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari
sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika
sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan dikembangkan
oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M, bahwa proses hermeneutika adalah
sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap
generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang tindih, hubungan keilmuan
yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam
sudut pandang yang bersifat obyektif.
Abad 20 M, Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses
Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi
manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer
yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya
sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 Paul Ricoeur, memperkenalkan
mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja,
cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad
pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan
yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur
bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos.
Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik
keberadaan teks tersebut.
Kesimpulan
Possitif
accounting Research (PAR) selama ini mendominasi aliran dalam penelitian
akuntansi. Ternyata dibalik dominasi PAR
tersebut ada maksud tertentu untuk melegalisasi dan maksud tujuan ekonomi. Dominiasi ini bagaikan sebuah imperialisasi
di bidang penelitian. Dengan berdasarkan
beberapa artikel kritis, menemukan bukti-bukti bahwa PAR yang dikatakan sebagi
superior dalam methodology research, terdapat kelemahan yaitu:dari segi
filosofi dan metodhology, adanya permintaan dari lembaga-lembaga finansial,
faktor institusional, keindahan dan kesederhanaan, unsur politik dan
idiology.disamping itu dibalik dominasinya PAR ternyata memiliki maksud
tertentu yaitu imperialisasi dan pengkotaan teori-toeri yang berhubungan dengan
riset akuntansi. Pendekatan mainstream
non positivisme dengan pendekatan non positivisme sebagai alternatif dalam
penelitian dibidang Akuntansi.
Literatur:
Abdel-Khalik, A. R., Regier, P. & Reiter, S. A., ‘‘Some
Thoughts On Empirical Research In Positive Theory’’, in T. J. Frecka (ed.), The
State of Accounting Research As We Enter the 1 9 9 0 ’s (University of Illinois
at Urbana-Champaign, Department of Accountancy, 1989).
Ashmore, M., Mulkay, M. & Pinch, T., 1989, Health and Ef ficiency: A Sociology of Health
Economics Philadelphia :Open University Press,.
Beaver, W. H.,1973, ‘‘What
Should Be the FASB’s Objectives’’, The Journal of Accountancy , August, pp. 49
– 56.
Beaver, W. H., 1989, Financial Reporting: An Accounting Revolution,
Englewood Clif fs, NJ :PrenticeHall, Inc.
Blaug, Mark ,1980, The Methodology of Economics, Cambridge
University Press.
Boland, L. A., & Gordon, I. M. (1992). Criticizing Positive
Accounting Theory. Contemporary Accounting Research, 9(1), 142-170
Burrowes, A., Chabrak, N., & Peace, B. (2006). The Language of
the Rochester School: Positive Accounting Theory Deconstructed (pp. 1-4).
Christenson, C. (1983). The Methodology of Positive Accounting. The
Accounting Review, 58(1), 1-22
Christenson, C., ‘‘The Methodology of Positive Accounting’’, The
Accounting Review , Vol. 58, No. 1, 1983, pp. 1 – 22.
Demski, J. S., Dopuch, N., Lev, B., Ronen, J., Searfoss, G. &
Sunder, S., 1991, ‘‘A Statement on
the State of Academic Accounting’’, Statement to the Research Director of
the American Accounting Association.
Denzin. N. K., & Lincoln
Y. S., (2009), Handbook of Qualitative Research, SagePublication, page
1-20.
Djamhuri, A., 2012. Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Berbagai Paradigma dalam Kajian Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
2(1).
Dyball, M. C., Poullaos, C., & Chua, W. F. (2007). Accounting
and empire: Professionalization-as-resistance. Critical Perspectives on
Accounting, 18(4), 415-449.
Etzioni, A., 1998, The
Moral Dimension: Towards A New Economics, New York :The Free Press.
Frankfurter, G. M., 1997, The Nature of Man II,
International Review of Financial Analysis , Vol. 3, No. 3, pp. 225 – 234
Friedman, M., 1953, Essays in Positive Economics, Chicago
:The University of Chicago Press.
Hayek, F. A. 1952, The Counter-Recolution of Science (Free Press).
Jensen, M. C. 1976, "Reflections on the State of Accounting
Research and the Regulation of Accounting," Stanford Lectures in
Accounting 1976 (Graduate School of Business, Stanford University, 1976),
pp. 11-19.
Jones, T. C., & Dugdale, D. 2001. The Concept of an Accounting
Regime. Critical Perspectives on Accounting, 12, 35–63.
Ludigdo, U., 2014. Seputar Etika dalam Riset. Bahan ajar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Brawijaya
Machlup, Fritz, 1963, "Introductory Remarks," American
Economic Review. p. 204.
McCloskey, D. N., 1995, The
Rhetoric of Economics, Madison,
Wisconsin :The University of Wisconsin Press.
Momin, A. R. 1998. Development and the Holistic Framework: A
Positive Critique in Islamic Perspective. Humanomics, 14(3), 3-20
Mouck, T. 1992. The Rhetoric of Science and the Rhetoric of Revolt
in the Story of Positive Accounting Theory. Accounting, Auditing &
Accountability Journal, 5(4), 35-56.
Phelps, E., 1970, Microfoundations of employment and
inflation Theory, New York : Norton.
Putri, I. N., & Kamayanti, A., 2014. Etika
Akuntan Indonesia Berbasis Budaya Jawa, Batak, Dan Bali: Pendekatan
Antropologis. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 2(1).
Popper, K. R. (1957), The Powrty of Historicism :Routledge and
Kegan Paul.
__________, 1959, The Logic of Scientific Discovery, Basic
Books.
__________,1965, Conjectures and Refutations, Harper &
Row.
__________,1966, The Open Society and Its Enemies, Princeton
University Press.
__________,(1 972). Objectice Knowledge, Oxford,
Reiter, S. A. (1998). Economic Imperialism and the Crisis in
Financial Accounting Research. Critical Perspectives on Accounting, 9, 143 –
171.
Sterling, R., 1990, Positive Accounting: an Assessment, ABACUS,
september, page 97 -135.
Watts, R. L., and J. L. Zimmerman (1978), "Towards a Positive
Theory of the Determination of Accounting Standards," THE A CCOUNTINRGE
VIEW (January 1978), pp. 112-134.
Watts, R. L., and J. L. Zimmerman
(1979), "The Demand for and Supply of Accounting Theories: The
Market for Excuses," THE ACCOUNTING E VIEW(A pril 1979), pp. 273-305.
Watts, R. L. & Zimmerman, J. L., 1990, ‘‘Positive Accounting
Theory :A Ten Year Perspective’’, The Accounting Review , Vol. 65, No. 1, pp.
131 – 56.
Williams, P. F. & Rodgers, J. L., ‘‘The Accounting Review and
the Production of Accounting Knowledge’’, Critical Perspectives on Accounting ,
Vol. 6, No. 3, 1995, pp. 263 – 87.
Williams, P. F. (1989). The Logic of Positive Accounting Research
Accounting Organizations and Society, 14 . .(5/6), 455--468.
Williams, P. F., ‘‘A Sociological View On The Ethics Of
Accounting’’, working paper, North Carolina State University, 1995.
Williams, P. F., ‘‘The Legitimate Concern With Fairness’’,
Accounting , Organizations and Society , Vol. 12, No. 2, 1987, pp. 169 – 189.
Williams, P. F., ‘‘The Logic of Positive Accounting Research’’,
Accounting , Organizations and Society , Vol. 13, No. 5/6, 1989, pp. 455 – 468.
Wirajaya, A., & Gde, I., 2012. Hermeneutika Dalam
Interpretive Paradigm Sebagai Metodologi Penelitian Akuntansi. Jurnal Ilmiah
Akuntansi dan Bisnis, 7(1)
Whitley, R. D., 1984, The
Intellectual and Social Organization of the Sciences, Oxford :Clarendon Press.
Komentar
Posting Komentar