Diri Menuju Syariah
Diri menuju Idiologi Syariah
Oleh Mas Amin
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika,kekuasaan, genetika. Frame logika orang berpikir bagaimana sebuah perilaku dipengaruhi oleh idiologi yang dimiliki oleh seseorang. Idiologi merupakan prinsip hidup yang ada dalam diri seseorang untuk bertindak dalam kehidupannya. idiologi ini dihasilkan oleh aturan atau pemahaman tentang kerja dari suatu benda.
Benda
jika tidak bergerak maka kita namakan sebagai obyek. Namun dalam membahas hal ini benda ini adalah
subyek, karena dengan anggapan bahwa benda ini adalah sesuatu yang bisa
bergerak. Bergeraknya benda ini bisa
dengan aturan ataupun tidak aturan. Jika
bergerak tanpa aturan maka hakekatnya benda ini adalah melenceng dari kaidah
benda itu diciptakan. Demikian juga sebaliknya, jika benda bergerak sesuai
aturan atau kaidah maka benda ini akan menuju hakekat diciptakannya.
Kerja disini berarti adalah aturan atau
prosedur yang tertanam dalam diri orang tersebut. Benar
atau salah seseorang dalam berperilaku atau memutuskan sesuatu didasarkan atas
“kerja” yang dimiliki orang tersebut.
“kerja” ini bisa merupakan prinsip yang tertanam dalam diri seseorang.
Idiologi adalah merupakan prinsip atau
watak dari benda yang bekerja. Watak atau
prinsip merupakan hasil kerja dari benda sesuai prosedur atau tidak. Jika benda itu bekerja sesuai prosedur maka
output yang dihasilkan adalah sesuatu yang baik. Namun jika benda itu bekerja tidak sesuai
dengan prosedur maka benda itu disebut sebagai produk gagal.
Hubungan antara ketiga hal tersebut dapat
digambarkan dalam gambar dibawah ini:
Dalam
hal ini kita bicara manusia sebagai benda. Manusia jika tidak bergerak maka dia
akan kita namakan obyek, karena dia mati.
Manusia diciptakan dengan kodratinya adalah benda yang bisa bergerak,
pergerakan manusia adalah ada aturan atau prosedurnya. Allah menciptakan manusia dengan prosedur “kerja”
yang diatur dalam kitab NYA (Al Qur’an). Prosedur yang ada dalam Al Qur’an itu
sendiri dinamakan “kerja: Syariah”.
Kerja
syariah adalah hakekat manusia di ciptakan oleh Allah SWT sebagai mahkluk yang
sempurna, yang bertugas sebagai khalifatul fil ardh dan sebagai abdullah. Sebagai khalifatul fil ard manusia berarti
wakil Allah di muka bumi mengemban amanat untuk mengatur dan mengelola bumi
sebagaimana Allah mengatur alam raya ini dengan kebesaranNYA. Kebesaran Allah ini diwakili dengan Asmaul
Husna. Maka “kerja Syariah” dapat
dikatakan sebagai kerjanya manusia sebagai wakil Allah dengan prosedur kerja
Asmaul Husna.
Kerja
syariah adalah hakekat manusia diciptakan oleh sang Khaliq, manusia diciptakan
adalah yang mampu menghasilkan idiologi manusia yang tangguh dan kuat seperti
yang digambarkan dalam AL Qur’an. Bukan manusaia yang hidup dengan kesombongan
dan saling menumpahkan darahnya. Kerja syariah
tidak hanya sekedar manusia itu berpakaian syariah, namun syariah disini lebih
ditekankan pada value-value yang tercermin dalam Asmaul Husna tersebut.
Output
dari manusia yang berpegang pada prosedur hidup yang syariah ini akan
memunculkan idiologi manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Idiologi ini biasa kita sebut sebagai prinsip
hidup yang menjadi pondasi manusia dalam bertindak dan berpikir. Output dari idiologi ini sering kita sebut
sebagai ahklak.
Akhlak atau budi pekerti adalah karakter yang menjadi dasar sikap. akhlak menajdi komando sentral perilaku manusia. karenanya akhlak menajdi sasaran utama dakwah nabi Muhammad Saw. Akhlak menjadi penentu baik buruknya manusia, dan bukan dari materi atau pakaian yang dia bawakan. akhlak yang baik akan tercermin dari hati dan tindakan serta ucapan yang keluar dari badan manusia tersebut. jadi akhlak terlihat dari perilaku manusia itu sendiri.
Perilaku
yang baik dari manusia maka tercipta suatu keseimbangan hidup (equilibrium
kehidupan) yang hasanah. Namun apakah
ini bisa terjadi? Kita tahu bahwa
manusia ketika diciptakan dan akan dijadikan khalifutul fil ardh sudah memiliki
musuh terbesar dan berjanji akan menjadikan manusia bukan sebagai hakekat
manusia (mahkluk sempurna). Setan atau
iblis memiliki sumpah atas pembangkangan dan pengusiran dia dari surga, bahwa dia
akan menjadikan manusia bagian dari pengikutnya.
Manusia
yang menjadi pengikut para setan ini biasanya memiliki penyakit hati. Penyakit ini dimulai dari rasa khawatir dan
was was. Hal ini sejalan dengan surat An
Nas ayat 4-5. Dan memang pada kenyataannya
manusia sekarang ini memiliki dua rasa itu yang mempengaruhi kehidupannya.
Dua penyakit
itu akan hilang jika manusia bisa berpikir/menggunakan akalnya secara
sehat. Akal yang sehat jika manusia bisa
berpikir dalam dua sisi secara seimbang, yaitu sisi kehidupan materi dan
kehidupan spritual. Karena memang
keseimbangan hidup manusia akan tercapai jika dua sisi itu berjalan dengan
seimbang. Jika tidak seimbang maka akan
menjadi manusia yang gagal.
Bagaimana
manusia mensikapi masalah yang akhir akhir ini terjadi. Masalah virus corona misalnya, jika kita berpikir dengan keseimbangan akal
memang penyakit itu berbahaya dan bisa dikatakan bisa memusnahkan manusia
dimuka bumi. Virus corona bisa dikatakan
sebagai azab/musibah/bala’, karena kesombongan manusia yang ingin menguasai
dunia dengan ilmu pengetahuannya.
Ketika kesombongan
manusia itu diingatkan oleh Allah SWT dengan bocornya virus tersebut dan
menyerang hampir seluruh dunia, apa yang dilakukan manusia? Mereka bingung
sehingga dua alternatif yang dilakukan (karena mereka hanya berpikir dengan
logika material):
1. Lockdown,
yaitu mengkarantina seluruh penduduk untuk tidak keluar rumah termasuk tidak
boleh ke masjid atau tempat ibadah ataupun bersilaturahmi
2. Mencari obat-obatan
dengan melakukan penelitian secara cepat dan tepat.
Tindakan tersebut tidak salah,
namun kalo kita berpikir dengan hati nurani secara dalam apakah itu tepat? Pasti tidak.
Allah adalah tempat kita untuk meminta dan berdoa alternatif itu sedikit
dilupakan.
Qodha dan
qodar adalah rahasia Allah. Manusia berusaha
semaksimal apapun jika Allah belum berkehendak maka hasilnya pun juga tidak
maksimal. Orang yang percaya ini adalah
orang yang memiliki kewarasan atau dapat dikatakan memiliki logika
spiritual. Memang sering dicemooh orang
yang berpikir seperti dalam menghadapi virus corana ini, kenapa? Karena masyarakat selama ini dibentuk dengan
bentukan materialisme.
Masyarakat
materialisme adalah masyarakat yang hanya menekankan diri pada logika material,
ini terbukti dengan lockdown : jika kita berpikir materialisme maka banyak
masyarakat yang berpikir tentang kehidupan dunia saja. Ini terbukti masih
banyaknya masyarakat yang berpikir tentang bekerja dan bagaimana mencukupi
kebutuhan hidupnya (makan dan lain lain).
Jika masyarakat berpikir spiritualisme maka masyarakat akan berpikir
bahwa corona itu penyakit yang berbahaya dan bisa bisa memusnahkan
manusia. Maka mereka akan berpikir
bagaimana cara dia bisa mensiapkan bekal untuk perjalanan di akherat besuk
karena kematian sudah terlihat.
Namun
orang materialisme berpikir orang spiritualisme ini adalah orang yang pesimis
hidup karena mereka berpikir bahwa corona bisa ditemukan obatnya. Ada atau tidak ada obatnya jika qodha dan
qodhar Allah itu pasti dan masih menghidupkan manusia maka manusia akan hidup,
demikian juga sebaliknya ada atau tidak ada obatnya jika manusia dikehendaki
mati maka dia akan mati.
Dalam paragraf
terakhir ini penulis mengajak diri dan pembaca untuk kembali pada kehidupan
syariah. Kehidupan syariah adalah meng”kerja”kan
manusia sesuai dengan AL Qur’an sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki
idiologi yang baik. Idiologi yang baik
adalah manusia yang memiliki akhlak yang baik juga. Hal ini akan mengakibatkan equlibrium
kehidupan yang sesuai dengan ayat ayat Tuhan.
Magelang,
27 Maret 2020
K
Komentar
Posting Komentar