METHODOLOGY HYBERSPIRITUALITAS
MENGGUGAT
METHODOLOGY
POSITIF ACCOUNTING REASEACH :
DALAM
TEORI HABERMAS DAN SPRITIUALITAS (HYBERSPIRITUALITAS)
oleh : MAS AMIN
1.1. Pendahuluan
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa untuk
mendapatkan kebenaran dapat dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode
ilmiah tersebut dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan penelitian.
Menurut Webster’s World Dictionary,
penelitian merupakan penyelidikan (penelitian) terhadap suatu bidang ilmu
pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip
dengan sabar, hati-hati, dan sistematis. bertujuan untuk mencari, menemukan,
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan (teori). Penelitian juga
sering dilaksanakan untuk mencari pemecahan terhadap permasalahan yang
berkembang.
Setiap teori mucul akibat adanya perbedaan yang
diakui baik kebenaran maupun kesalahan.
Teori akan eksis jika pengetahuan
yang diakui kebenarannya dalam riset riset yang dilakukan. Kemunculan suatu
teori tidaklah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Teori akan muncul
berdasarkan suatu proses asumsi, pengujian dan pengambilan simpulan. Dalam hal
ini dikatakan bahwa teori menurut possitive acconting riset (PAR) adalah teori
yang muncul setelah adanya proses generalisasi dengan banyaknya penelitian yang
dilakukan.
Ini artinya suatu teori dalam harus terbentuk dari asumsi mengenai realitas
(ontologi), yang berlanjut pada pencarian kebenaran berdasarkan asumsi
(epistemologi) serta tujuan atas ilmu pengetahuan (aksiologi), lalu berdasarkan
epistemologi yang dipercayai akan dirumuskan metodologi dalam menguji
pengetahuan. Jelas adanya bahwa ontologi, epistemologi, aksiologi, dan
metodologi merupakan sesuatu yang saling terkait. Setiap teori adalah suatu
pengetahuan yang diakui kebenarannya.
Kemunculan suatu teori tidaklah sesuatu yang terjadi
secara tiba-tiba. Teori akan muncul berdasarkan suatu proses asumsi, pengujian
dan pengambilan simpulan. Ini artinya suatu teori harus terbentuk dari asumsi
mengenai realitas (ontologi), yang berlanjut pada pencarian kebenaran berdasarkan
asumsi (epistemologi) serta tujuan atas ilmu pengetahuan (aksiologi), lalu
berdasarkan epistemologi yang dipercayai akan dirumuskan metodologi dalam
menguji pengetahuan. Jelas adanya bahwa ontologi, epistemologi, aksiologi, dan
metodologi merupakan sesuatu yang saling terkait.
Penelitian ini untuk menulis artikel yang membahas
mengenai bagaimana Positif accounting
reseach (PAR) berperan dan berusaha untuk mendominasi aliran dalam
penelitian. Kedua membahas kelemahan PAR
yang selama ini dianggap sebagai best of the methodology research. Dan ketiga, penulis memberikan alternatif
pendekatan alternatif dalam research yaitu dengan pendekatan interpretatif
(haberspiritualitass).
Dalam
artikel Jones & Dugdale (1992) menjelaskan dan mengilustrasikan konsep
sebuah rezim akuntansi. Konsep ini
dimobilisasikan untuk mengeksplor sifat dan power dari akuntansi secara total
dan untuk mengidentifikasikan dimensi-dimensinya. Menggunakan karya Anthony
Giddens, menggambarkan sebuah rezim akuntansi sebagai sebuah rangkaian
praktek-praktek sosial yang dikonstruksikan melalui disembedding dan reembedding
akuntansi sebagai sebuah sistem abstrak yang menghubungkan institusi-institusi
modernitas dan bentuk refleksivitas modern.
Reiter
(1998) proses-proses imperialisme ekonomi dalam bidang keuangan untuk
menyediakan wawasan terhadap resiliensi program riset positif dalam keuangan
dan akuntansi dengan membahas dan
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Mengapa teori ekonomi
positif mengkolonisasikan bidang akuntansi finansial dan ekonomi finansial? (2)
Mengapa aplikasi teori ekonomi sangat dihargai di dalam pasar dan akademis
finansial AS? (3) Mengapa ekonomi positif berbasis program riset sangat ulet,
mengingat kekurangan inheren mereka dan kurangnya hasil empiris yang kuat? Dari
ketiga pertanyaan yang dibahas dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa adanya
celah kekurangan dari PAR, sehingga mereka para peneliti di mainstream
positivisme berusaha mempertahankan dan melakukan “imperialisasi” pendekatannya sebagai best approach.
Rezim
Posistive accounting reseach
(PAR). ini secara simultan menghasilkan kepercayaan (trust) dan skeptisisme,
dan menunjukkan siklus disolusi dan rekonstruksi yang berulang.
Keunggulannya – meski bersifat sementara, parsial dan rapuh – akan tergantung
pada kemampuannya dalam menyediakan jaminan keahlian saat menghadapi resiko.
Konsep sebuah rezim akuntansi riset positif menawarkan sebuah framework
yang bermanfaat dalam mempelajari akuntansi sebagai satu totalitas, dan
karenanya untuk mendeteksi kekuatannya di dalam dunia modern.
Teori-teori
harus menjelaskan; yakni, mereka harus menjawab pertanyaan “mengapa”. Kita
berpikir bahwa isu permasalahan dari penjelasan berada di akar sebuah
pernyataan ulang dari sebuah argumen berkelanjutan dalam profesi ekonomi atas
apakah teori-teori ekonomi makro
(seperti misalnya ekonomi Keynesian) bisa menjelaskan apa yang terjadi di dalam
ekonomi tanpa menjelaskan apa yang terjadi di dalam level ekonomi mikro. Di dalam literatur ekonomi, hal
ini disebut sebagai masalah menyediakan landasan mikro untuk ekonomi makro
(lihat Phelps, 1970) dan para ekonom yang mengidentifikasikan diri dengan
Chicago School menganggap landasan mikro sebagai sebuah kebutuhan (misal., lihat Barro dan Grossman, 1971, dan
bandingkan dengan Clower, 1965; Solow, 1979; atau Okun, 1980).
Dalam
teori akuntansi positif, hal ini menjadi klaim bahwa seseorang tidak akan bisa
menjelaskan standar akuntansi jika dia belum menjelaskan rasionalitas
individual dari orang-orang yang berusaha untuk mempengaruhi badan-badan
penentu standar akuntansi (Zimmerman, 1978, p. 4 dan 1980, pp. 110-111). Klaim
ini benar-benar tonggak utama dalam mempromosikan teori akuntansi
berbasis-ekonomi. Watts dan Zimmerman
(1986), banyak hal ditawarkan untuk menjelaskan apa yang mereka maksud dengan
teori positif selain mengatakan bahwa hal ini bukan normatif. Teori-teori akan
terpilih jika mereka menyediakan prediksi yang paling bermanfaat.
Watts
(1977, hal. 54), contohnya menyebut literatur akuntansi keuangan tradisional
sebagai “tidak ilmiah” karena “berkonsentrasi pada preskripsi” dan memberikan
“sangat sedikit perhatian… pada pembuatan suatu teori…untuk menjelaskan mengapa
laporan keuangan mempunyai bentuk seperti sekarang ini”. Watts dan Zimmerman
(1978, hal. 112-113) berpendapat bahwa “teori positif tentang penciptaan
standar-standar akuntansi memang “diperlukan” untuk memastikan apakah
preskripsi teori-teori normatif…bisa digunakan atau tidak”. Di paper
berikutnya, yang terus membedakan antara teori “positif” dan “negatif”, mereka
memperjelas bahwa mereka menghargai “teori” yang biasa ditemukan di literatur
akuntansi normatif hanya untuk menghindari “perdebatan semantik”; mereka
memilih memberikan istilah “teori” untuk prinsip-prinsip yang diajukan untuk
menjelaskan set fenomena” (Watts dan Zimmerman, 1979, hal. 273 n.1). Zimmerman
(1980, hal. 107-108) mengatakan bahwa “penelitian positif berusaha membuat
teori yang bisa menjelaskan fenomena yang diamati”.
Riset
akuntansi positif terdiri atas pengujian teori akuntansi positif; ini adalah
sebuah badan subsstansial dari literatur akuntansi yang penting. (1984) mendemonstrasikan bahwa sebuah permasalahan
di dalam prosedur eksperimental yang eksis dalam riset ini tercipta ketika
peneliti akuntansi positif menerjemahkan bahasa teoretis teori akuntansi
positif ke dalam sebuah bahasa empiris yang membolehkan dilakukannya
eksperimentasi. Secara eksperimental, teori akuntansi positif ditransformasikan
menjadi sebuah tautologi. Dalam penelitian riset akuntansi positif dijelaskan
bahwa sebuah variabel kausal dalam artian fenomena yang ingin mereka jelaskan
dengannya. Hal ini mengubah praktek akuntansi menjadi penjelasannya sendiri,
yang bukan merupakan perbaikan pemahaman seperti yang dibayangkan oleh teori
akuntansi positif. Selain itu, para pendukung riset akuntansi positif berargumen
apapun yang masuk akal dan tersedia untuk mempertahankan riset akuntansi
positif terhadap tuduhan bahwa riset ini menciptakan sebuah tautologi
mensyaratkan bahwa kerusakan dilakukan kepada teori dengan menginformasikan
riset mainstreamnya.
Williams
(1989) menjelaskan mengapa bukti
eksperimental semacam ini memiliki value yang diragukan, sehingga pandangan
teori yang dipegang oleh peneliti akuntansi positivist akan tetap bertahan.
Para penelitia riset akuntansi positif selalu alergi terhadap perubahan metode
penelitian, terutama penelitian yang diajukan oleh post positivisme.
Banyak kritikan terhadap PAR
terutama yang didasarkan atas metodologi riset yang dikembangkan oleh
(Watts dan Zimmerman). Salah satu kritik yang dikemukakan oleh Christenson (1983) terhadap metodologi
penelitian positif yang memperlihatkan
bahwa peneliti positif tidak menerapkan
metodologi yang mereka anut. Menurut seorang pengamat, “Meski Christenson
(1983) membenci tipuan ilmiah dari penelitian akuntansi Rochester School, dan
ada pihak lain yang mengkritik penjelasan Rochester School tentang penelitian
akademis, tapi Watts dan Zimmerman masih saja mendapat status ilmiah atas gaya
baru penelitian akuntansi dan manfaat praktikal tanpa justifikasi sistematis”
(Whitley, 1988).
Para peneliti yang mendukung metodologi
PAR yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman (1990) tidak menggubris kritikan
metodologi dari Christenson. Tapi mereka menuliskannya lagi dan mengatakan
bahwa, “kritikisme metodologi tersebut tidak lolos uji pasar karena kurang
berpengaruh di penelitian akuntansi” (Watts dan Zimmerman, 1990. Mereka
menambahkan bahwa “debat metodologi adalah situasi “tanpa pemenang” karena
setiap pihak menggunakan paradigma berbeda dengan aturan berbeda dan tidak ada
common ground. Pertanyaannya adalah: jika peneliti positif tidak menggunakan
standar metodologi, dan jika uji empiris PAT hanya memberikan bukti lemah bagi
teori, dan jika peneliti positif tidak merespon kritik, maka mengapa gerakan
penelitian positif begitu berpengaruh terhadap peneliti akuntansi?
Mouck
(1992), apabila peneliti positif berasumsi ada realita obyektif, yang dapat
diamati “secara ilmiah” dalam cara bebas-nilai, maka kalangan hermeneutik
kontemporer menyangkal bahwa setiap orang dapat meraih status sebagai pengamat
murni. Menurut hermeneutik kontemporer, Mouck, (1989), mengatakan Kita lahir
dalam sebuah lingkungan linguistik, yaitu sebuah lingkungan dimana “realita” diklasifikasikan dan ditata
secara linguistik. Kita berinteraksi lewat bahasa. Konsep kita dibentuk oleh
bahasa. Kita berpikir dalam bahasa.
Menurut
Hans-Georg Gadamer, tokoh sentral dalam hermeneutik filosofi, baik retorika dan
hermeneutik adalah saling terkait (1976, hal. 24). Retorika berbicara tentang
proses persuasi. Hermeneutik menjelaskan proses interpretasi dan pemahaman.
Tapi, keduanya adalah aspek basis linguistik dari dunia manusia. Persuasi
tergantung pada interpretasi dan pemahaman, dan persuasi adalah elemen penting
dari proses pembuatan dan penyebarluasan dunia manusia, yaitu dunia pemahaman
bersama.
Menurut
Christenson (1983), ini adalah refleksi dari kenyataan bahwa peneliti akuntansi
saat ini terbiasa menggunakan metode penelitian tapi tidak semuanya cakap dalam
methodology. Machlup [1963]
membedakan keduanya dalam cara berikut: Metodologi adalah cabang filosofi atau
logika, dan di situlah dimana orang-orang terpelajar menggunakan kata-kata.
Orang kurang terpelajar baru mengadopsi kata ketika mereka tidak lagi
memperhatikan filosofi maupun logika, dan hanya peduli dengan metode. Bahkan
mereka berani mengatakan “teknik statistik” sebagai “metodologi statistik” dan
bukannya menyebut “metode penelitian” mereka lebih suka menamainya “metodologi
penelitian”
“Metodologi
sains”, seperti yang dikatakan oleh Blaung (1980, hal. 47), “adalah sebuah
dasar rasional untuk menerima atau menolak teori atau hipotesisnya”. Jadi,
metodologi bersifat normatif dan untuk alasan itulah dianggap tidak ilmiah oleh
Jensen dan Watts. Meski demikian, jelas tidak ada sains yang bisa muncul tanpa
membuat komitmen metodologi. Hayek [1952, hal. 37] bahkan menilai bahwa sains
secara keseluruhan adalah normatif: “Perhatiannya bukan pada apa yang manusia
pikir tentang dunia dan bagaimana mereka kemudian berperilaku berdasarkan itu,
tapi lebih kepada apa yang harus mereka
pikirkan “ (diberi penekanan).
Bagian
yang membunuh logika positivisme adalah kegagalan positivisme dalam membuat
dogma positivistis tradisional yang nantinya mendasari proposisi sains, seperti
fisika, kimia dan biologi, dalam memahami aktualitasnya, yaitu, “what is”.
Sains pasti menggunakan teori. Proposisi teoritis, yang akan ditunjukkan
Christenson, tidak pernah positif maupun normatif dalam pandangan Keynes,
apakah itu statement aktual maupun ideal. Lebih tepatnya, semua itu adalah
statement kemungkinan.
Konsep
“teori positif” Rochester School dianggap punya filosofi tidak jelas karena ini
mencerminkan keyakinan salah bahwa teori positif terdiri dari “pengetahuan
sistematis tentang what is”. Sebuah
teori tidak seperti itu. Selain itu, konsep Keynes-Friedman-Rochester tentang
“sains positif” juga tidak jelas secara filosofis karena, berdasarkan bahwa
sains adalah teoritis, sains yang dimaksud tidak menjelaskan “what is”.Popper
berpendapat bahwa tahap pertama dalam memahami proses apapun adalah dengan
memeriksa produknya (Popper, 1972, hal. 114). Ini perlu dilakukan tidak peduli
apakah minat kita adalah empiris, dalam kasus dimana kita mulai dengan produk
aktual dan berusaha menjelaskannya berdasarkan proses yang menghasilkannya;
atau minat normatif, dalam kasus dimana kita mulai dengan produk ideal dan
berusaha mendesain proses yang akan menghasilkannya. Dia mulai dari premis bahwa tujuan sains
adalah untuk menjelaskan fenomena yang diamati, meskipun dia berpandangan bahwa
badan pengetahuan yang sifatnya menjelaskan juga bermanfaat sebagai instrumen
untuk prediksi dan untuk aplikasi teknologi.
Popper
setuju dengan positivistis logika yang melihat sains empiris sebagai badan
pengetahuan atau sekumpulan proposisi. Dia juga setuju dengan positivistis yang
menerima “thesis empirikisme fundamental” – yaitu thesis bahwa pengalaman saja
mampu memutuskan kebenaran atau kesalahan pernyataan ilmiah…” (Popper, 1959,
hal. 42). Di lain pihak, Popper juga mendukung bukti Hume (1739 (1888), hal.
139) bahwa pengalaman tidak pernah menciptakan kebenaran statement secara
eksklusif. Karenanya dia bertanya apakah mungkin mengamankan thesis fundamental
dengan hanya menuntut kemampu-putusan di satu sisi saja; dengan kata lain,
dengan mengharuskan bahwa hanya kesalahan statement ilmiah yang dapat
diputuskan oleh pengalaman.
Popper
menyimpulkan bahwa kemampuan-memutuskan satu sisi – falsifiability – bisa mnugkin terjadi, tapi hanya jika ilmuwan mengikuti norma-norma metodologi tertentu.
Apa yang melindungi karakter empiris sains sebagai badan pengetahuan adalah
norma-norma tersebut, bukan bentuk logika dari proposisinya. Kesimpulan inilah
yang melatari Popper dalam membuat pandangan sains berbasis-proses.
Dari
sudut pandang logika, sebuah proposisi bisa disalahkan (falsified) bukan karena
pengalaman tapi hanya karena menerima proposisi lain yang tidak konsisten
logika dengan proposisi awal. Dengan demikian, Popper menetapkan sebuah
proposisi sebagai bisa disalahkan atau
falsifiable (dan karenanya berpotensi
masuk dalam badan pengetahuan empiris) jika dan hanya jika setidaknya ada satu
proposisi observasional (atau statement dasar, menurut terminologi Popper
sendiri) yang tidak konsisten secara logis terhadap proposisi tersebut.
Proposisi
observasional menilai bahwa sebuah kejadian yang dapat diamati bisa muncul di
wilayah ruang dan waktu individual spesifik. Syarat bahwa kejadian “harus dapat
dilihat” di wilayah “individual spesifik” adalah syarat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa proposisi observasional dengan sendirinya falsifiable (Popper, 1959, Bagian 28). Apakah sebuah proposisi
adalah proposisi observasional adalah persoalan fakta. Apakah kejadian-kejadian
tertentu dapat diamati atau tidak tergantung, contohnya, pada kemajuan
instrumen ilmiah, dan karena itu, kejadian bisa berubah dari waktu ke waktu,
sementara bentuk logikanya tidak berubah.
Ketika
paradigma ini belum dipahami secara keseluruhan, akan mengira bahwa paradigma
ini tidak dapat digunakan pada penelitian-penelitian akuntansi. Akuntansi
identik dengan suatu rutinitas yang berdekatan dengan angka dan berbagai hal
yang pasti. Mulanya cukup banyak anggapan bahwa penelitian akuntansi hanya
cocok dengan paradigma positif. Dapat dijelaskan dengan suatu kajian ilmiah,
dihipotesiskan, kemudian mencari informasi yang diterjemahkan dalam bentuk
angka yang kemudian diolah dan diambil kesimpulan akhir. Kejenuhan akan proses
ini memunculkan suatu aliran multiparadigma.
Djamhuri
(2012) tentang akuntansi sebagai suatu multiparadigmatic science menyebutkan
bahwa:“ Akuntansi pada dasarnya memiliki status sebagai suatu disiplin ilmu
pengetahuan yang dari awalnya bersifat multipadadigmatik. Agak mengagetkan,
memang, istilah akuntansi sebagai multiparadigmatic science justru berasal dari
buku teori akuntansi yang ditulis oleh Ahmed Belkaoui (1992), sebuah buku yang
jika diukur menggunakan ukuran perkembangan pemikiran alternatif dalam
akuntansi yang terjadi pada hari ini, bahkan di Indonesia, merupakan sebuah
buku yang masih kental semangat positivismenya.”
Berdasarkan
pernyataan tersebut, tidak dikagetkan bahwa kejenuhan pemecahan masalah
akuntansi menggunakan paradigma positif memunculkan berbagai paradigma lain
yang salah satunya adalah paradigma intepretif. Telah banyak penelitian di
bidang akuntansi yang menggunakan paradigma interpretif dalam pemecahannya.
Wirajaya
dan Gde (2012) menyebutkan bahwa kebanyakan penelitian akuntansi hanya membahas
aspek teknis dan klerikal yang menyebabkan pengetahuan tentang peran sosial dan
organisasional akuntansi menjadi rendah untuk diaplikasikan pada lingkungan
yang sebenarnya. Perkembangan yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya mampu
mengangkat realitas dan fenomena yang sesungguhnya terjadi, baik berhubungan
dengan keanekaragaman adat, suku, budaya, dan agama. Berdasarkan penelitian ini,
penelitian dalam bidang akuntansi tidak hanya memerlukan jawaban-jawaban atas
permasalahan klerikal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ketika hanya
sebatas melakukan penelitian secara klerikal, maka pemecahan yang diperleh
belum tentu dapat diaplikasikan pada keadaan yang sebenarnya.
Putri
dan Kamayanti (2014), menemukan etika akuntan Indonesia berbasis beberapa
budaya tersebut mengungkapkan informasi bahwa etika dari budaya lokal dapat
menguatkan maupun melemahkan prinsip umum kode etik akuntan yang telah disusun
oleh IAI. Dengan menggunakan paradigma interperetif yang dilakukan menemukan
bahwa terdapat beberapa etika yang diusulkan menjadi pelengkap dari prinsip
umum kode etik akuntan oleh IAI, diantaranya etika spiritualis, etika eling
lan waspada, etika respect, etika kesederhanaan, disiplin, menjaga
keseimbangan, toleransi beragama, dan kepercayaan karma. Beberapa usulan ini
dapat menjadi pengembangan ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum pernah ada
dan tidak pernah terduga bahwa kesederhanaan, spiritualitas, kepercayaan karma
dapat mempengaruhi perilaku akuntan.
Sehingga
dengan pendekatan paradigma yang baru, khususnya interpretif dapat membuka
wacana baru dalam bidang akuntansi. Suatu penerimaan dan penolakan merupakan
suatu hal yang sudah layak dan biasa terjadi, bahkan kita tidak dapat
menjanjikan bahwa dengan hanya menggunakan pendekatan paradigma positif yang
sudah sering dilakukan tidak akan memunculkan penolakan. Paradigma interpretif
memungkinkan suatu ilmu berkembang dengan caranya sendiri untuk lebih
mendakatkan pada suatu kebenaran ilmu di bidang akuntansi.
2.2 Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian merupakan sebuah sudut
pandang bagaiman penelitian dilaksanakan. Dalam setiap penelitian dibutuhkan
pemilihan paradigma (Paradigm) yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Perbedaan paradigma penelitian dapat menghasilkan seolusi permasalahan yang
berbeda, karenanya paradigma ini bersifat personal dan memiliki interpretasi
yang berbeda-beda. Paradigma pada dasarnya merupakan pandangan dunia (world views) atau cara pandang yang
digunakan oleh seseorang untuk melihat atau memahammi sesuatu, Triyuwono
(2006:214). Dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan social terdapat beberapa
paradigma yang dipilih sesuai dengan kesenangan dan kenyamanan peneliti secara
individual.
Paradigma memandang bahwa realitas social
merupakan fakta yang memiliki banyak interpretasi, kebenaran. Pengungkapan atas
variasi kebenaran oleh setiap subjek harus disandarkan pada paradigm tertentu
sebagai dasar dalam menafsirkan setiap fenomena yang ditangkap oleh indra
mereka. Burrel dan Morgan (1979:21), menyatakan bahwa penelitian ilmu social
terbagi dalam empat sudut pandang yaitu, 1) Paradigma fungsionalis atau
paradigma positivistic, 2) Paradigma interpretif, 3) Paradigma radikal humanis,
4) Paradigma radikal stukturalis. Sedangakan Chua (1986a), penelitian ilmu
akuntansi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu mainstream/positivistic, paradigma interpretif dan paradigma
kritis. Paradigma kritis merupakan gabungan antara paradigma radikal humanis
dan paradigma radikal stukturalis yang telah dinyatakan oleh Burrel dan Morgan
(1979). Selanjutnya, perkembangan paradigma penelitian ini tidak berhenti
sampai di situ, masih ada paradigma lain, seperti paradigma religious, yaitu
paradigma ilmu pengetahuan yang didasarkan pada intisari nilai agama,
Mulawarman (2010).
Pada penelitian ini, penulis menggunakan
paradigma kritis. Paradigma kritis berusaha untuk mengungkap bagaimana standard cost itu dibangun untuk tujuan
pemenuhan kesepakatan harga kontrak dapat dirumuskan dengan memperhatikan
kepentingan para pihak yang akan terlibat.
Menurut Triyuwono, (2013), paradigma
kristis memandang bahwa stuktur social yang berupa ilmu pengetahuan dianggap
sebagai entitas yang menindas sekolompok orang. Mereka yang menggunakan
paradigma kritis, dianggap memiliki kepedulian terhadap upaya pembebasan
terhadap kelompok masyarakat yang tertindas. Selanjutnya, masyarakat yang
terbebas dari penindasan akan diubah kepada kehidupan yang lebih baik. Seudah
tentu, ilmu pengetahuan yang dibangun dengan pendekatan yang sarat nilai ini
merupakan ilmu yang memeliki kepantingan pada keadaan yang lebih baik.
2.3. Teori Tindakan Komunikasi – Jurgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang tokoh
pemikir kritis. Pemikiran kritisnya adalah, bahwa pemikirannya selau berkaitan
dengang kritis terhadap hubungan-hubungan social yang nyata. Pemikiranya selalu
mereflesikan masyarakat termasuk dirinya sendiri dalam konteks dialektika
menghadapi stuktur-stuktur penindasan dan emansipasi. Pemikarannya tidak lantas
mengisolasikan diri pada satu titik yang jauh dari umumnya sebuah teori, yang
berjarak realitas social, melainkan sebuah pemikaran yang menyatu dengan
realitas social sebagai bentuk dari tanggun jawabnya terhadap lingkungan social
yang nyata (Susen,1992).
Dalam permikiran Habermas, Teori Kritis
dirumuskan sebagi filsafat empiris sejarah dengan maksud praktis; empiris dan
ilmiah, tetapi tidak dikembalikan kepada ilmu – ilmu empiris –analitis;
Pemikirannya di sini merupakan refleksi kritis bukan dalam arti menetapkan
prinsip-prinsip dasar; historis tanpa jatuh ke dalam historisistik; kemudian
praktis, dalam arti terarah pada tindakan politis emansipatoris.
Masalah lain yang tak luput dan kritik
Habermas adalah persoalan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan, terutama
ilmu-ilmu social, apakah ilmu pengetahuan itu harus bekerja dengan bebas nilai.
Para pendukung kebebasan nilai member jawaban afirmatif, bahkan mereka
menambahkan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu social tidak berbeda. Artinya kalau ilmu-ilmu social mau berlaku
sebagai ilmu pengetahuan. Maka
harus menghasilkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan penjelasan ilmiah tidak
memihak dan tidak member penilaian apapun. Atas dasar pendapat ini, para pendukung kebebasan nilai dimasukkan
dalam kubu positivisme.
2.4. Teori Spiritualitas
Ide
tentang dualisme ala cartesian ini dinilai merendahkan “ilmu agama” dan
benar-benar asing dalam tradisi intelektual Islam. Islam tidak sepakat dengan
proses penalaran untuk memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum atau antara
dunia dan akhirat. Sebaliknya, Islam menganggap antara dunia dan akhirat
sebagai satu entitas, karena al-dunya mazra’at al-akhirah, pemisahan diantara
keduanya tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip tauhid.
Begitupun juga, Islam memandang illmu sebagai kesatuan tunggal sebab semua ilmu
pada dasarnya bersumber dari yang satu.
Dari
sini kita melihat bahwa sumber dualisme epistemologi Barat modern yang
menghasilkan nilai-nilai yang juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam
memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling kongkrit. Berkaitan erat dengan dualisme adalah cara
memandang segala sesuatu secara dikotomis yaitu suatu cara pandang terhadap
realitas secara mendua. Artinya
perkembangannya hanya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis dan bukan
pada suatu agama pendekatan intelektual dan moralnya bersifat dikotomis,
pemikirannya selalu berubah, makna realitas dan kebenarannya terbatas pada
realitas sosial, kultural, empiris dan melulu bersifat rasional.
Lebih
lanjut lagi, implikasi dari dualisme epistemologi modern ini, intuisi yang
hanya dibatasi pada pengalaman inderawi dan penolakan akan fakultas intuitif
seperti hati yang dilakukan oleh kaum rasioanalis, emperis dan psikolog secara
umum -- hanyalah spekulatif semata. Dalam
Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir
berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta. Sebagai sumber dan metode ilmu
pengetahuan menurut Al-Attas adalah terdiri dari:
1.
Panca-indera
yang meliputi 5 indera eksternal seperti sentuh, bau, rasa, penglihatan,
pendengaran, serta 5 indera internal seperti representasi, estimasi, retensi
(retention), mengumpulkan data kembali (recollection) dan khayalan.
2.
Khabar
yang benar berdasarkan otoritas (naql); otoritas absolut yaitu otoritas
ketuhanan (al-Qur’an) dan otoritas kenabian (rasul) dan otoritas relatif, yaitu
konsensus para ulama (tawatur) dan khabar dari orang-orang yang terpercaya
secara umum.
3.
Akal
yang sehat dan intuisi.
Wahyu
merupakan dasar kepada metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah
sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran sudut pandang rasionalisme dan
empirisisme. Tanpa wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya akan terkait dengan
fenomena. Akibatnya, kesimpulan pada fenomena akan selalu berubah-ubah sesuai
dengan perkembangan zaman. Serta tanpa didasari oleh wahyu, realitas yang
dipahami hanya terbatas kepada alam nyata sebagai sesuatu dianggap sebagai
satu-satunya realitas. Kemudian cara
pandang dualisme epistemologi modern ini, dikritik oleh Seyyed Husein Nasr. Menurutnya,
sejak periode Nicolas of Cusa, Descartes hingga Hegel, merupakan suatu gerakan
pemikiran yang menuju “anti-metafisika” dan alienasi yang semakin lebar dari
segala sesuatu yang merupakan landasan bagi “filsafat” yang sejati, yaitu dua
sumber kebenaran yang menurut filsafat tradisional atau yang kekal tidak lain
daripada wahyu ilahi dan intuisi intelektual atau pemahaman spiritual.
Lebih
lanjut, sumber ilmu pengetahuan merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran
meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan pengetahuan
dalam hal ini hadir hanya karena jelas dalam dirinnya sebagaimana ditangkap
oleh fakultas intuitif yang kita sebut hati, yakni dengan petunjuk (huda) dan
bukan hanya proposisi rasional dan demonstrasi logis. Bagi al-Attas sendiri,
kebenaran itu sekaligus meliputi tentang semua hal yakni objektif dan subjektif
dan yang objektif subjektif seperti agama dan kepercayaan lemah adalah aspek
yang tak terpisah dari realitas.
Ilmu
pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya.
Dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya Barat. Menurutnya,
terdapat 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal diandalkan
untuk membimbing kehidupan manusia; berdasarkan filsafat dan bukan agama. (2)
bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek
eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin
humanisme; Artinya, hanya manusia sebagai tokoh dalam drama kehidupan di dunia.
Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis. (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia. Prinsip tragedi
ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka
memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa,
selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran
atau prinsip kebenaran mutlak.
Literatur:
Abdel-Khalik,
A. R., Regier, P. & Reiter, S. A., ‘‘Some Thoughts On Empirical Research In
Positive Theory’’, in T. J. Frecka (ed.), The State of Accounting Research As
We Enter the 1 9 9 0 ’s (University of Illinois at Urbana-Champaign, Department
of Accountancy, 1989).
Boland,
L. A., & Gordon, I. M. (1992). Criticizing Positive Accounting Theory.
Contemporary Accounting Research, 9(1), 142-170
Burrowes,
A., Chabrak, N., & Peace, B. (2006). The Language of the Rochester School:
Positive Accounting Theory Deconstructed (pp. 1-4).
Christenson,
C. (1983). The Methodology of Positive Accounting. The Accounting Review,
58(1), 1-22
Christenson,
C., ‘‘The Methodology of Positive Accounting’’, The Accounting Review , Vol.
58, No. 1, 1983, pp. 1 – 22.
Djamhuri, A., 2012. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai
Paradigma dalam Kajian Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(1).
Dyball,
M. C., Poullaos, C., & Chua, W. F. (2007). Accounting and empire:
Professionalization-as-resistance. Critical Perspectives on Accounting, 18(4),
415-449.
Jensen,
M. C. (1976), "Reflections on the State of Accounting Research and the
Regulation of Accounting," Stanford Lectures in Accounting 1976 (Graduate
School of Business, Stanford University, 1976), pp. 11-19.
Jones,
T. C., & Dugdale, D. (2001). The Concept of an Accounting Regime. Critical
Perspectives on Accounting, 12, 35–63.
Ludigdo,
U., 2014. Seputar Etika dalam Riset. Bahan ajar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
Momin,
A. R. (1998). Development and the Holistic Framework: A Positive Critique in
Islamic Perspective. Humanomics, 14(3), 3-20
Mouck,
T. (1992). The Rhetoric of Science and the Rhetoric of Revolt in the Story of
Positive Accounting Theory. Accounting, Auditing & Accountability Journal,
5(4), 35-56.
Putri, I. N., & Kamayanti, A., 2014. Etika Akuntan Indonesia
Berbasis Budaya Jawa, Batak, Dan Bali: Pendekatan Antropologis. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa FEB, 2(1).
Reiter,
S. A. (1998). Economic Imperialism and the Crisis in Financial Accounting
Research. Critical Perspectives on Accounting, 9, 143 – 171.
Watts,
R. L., and J. L. Zimmerman (1979),
"The Demand for and Supply of Accounting Theories: The Market for
Excuses," THE ACCOUNTING E VIEW(A pril 1979), pp. 273-305.
Watts,
R. L., and J. L. Zimmerman (1978), "Towards a Positive Theory of the
Determination of Accounting Standards," THEA CCOUNTINRGE VIEW(J anuary
1978), pp. 112-134.
Williams, P. F. & Rodgers, J. L., ‘‘The
Accounting Review and the Production of Accounting Knowledge’’, Critical
Perspectives on Accounting , Vol. 6, No. 3, 1995, pp. 263 – 87.
Williams,
P. F. (1989). The Logic of Positive Accounting Research Accounting
Organizations and Society, 14 . .(5/6), 455--468.
Williams,
P. F., ‘‘A Sociological View On The Ethics Of Accounting’’, working paper,
North Carolina State University, 1995.
Williams,
P. F., ‘‘The Legitimate Concern With Fairness’’, Accounting , Organizations and
Society , Vol. 12, No. 2, 1987, pp. 169 – 189.
Williams, P. F., ‘‘The Logic of Positive
Accounting Research’’, Accounting , Organizations and Society , Vol. 13, No.
5/6, 1989, pp. 455 – 468.
Wirajaya, A., & Gde, I., 2012. Hermeneutika Dalam
Interpretive Paradigm Sebagai Metodologi Penelitian Akuntansi. Jurnal Ilmiah
Akuntansi dan Bisnis, 7(1)
Komentar
Posting Komentar