METHODOLOGY HYBERSPIRITUALITAS


MENGGUGAT
METHODOLOGY POSITIF ACCOUNTING REASEACH :
DALAM TEORI HABERMAS DAN SPRITIUALITAS (HYBERSPIRITUALITAS)
oleh : MAS AMIN

1.1.  Pendahuluan
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa untuk mendapatkan kebenaran dapat dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah tersebut dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan penelitian. Menurut Webster’s World Dictionary, penelitian merupakan penyelidikan (penelitian) terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis. bertujuan untuk mencari, menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan (teori). Penelitian juga sering dilaksanakan untuk mencari pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang.
Setiap teori mucul akibat adanya perbedaan yang diakui baik kebenaran maupun kesalahan.  Teori akan eksis jika  pengetahuan yang diakui kebenarannya dalam riset riset yang dilakukan. Kemunculan suatu teori tidaklah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Teori akan muncul berdasarkan suatu proses asumsi, pengujian dan pengambilan simpulan. Dalam hal ini dikatakan bahwa teori menurut possitive acconting riset (PAR) adalah teori yang muncul setelah adanya proses generalisasi dengan banyaknya penelitian yang dilakukan.
Ini artinya suatu teori dalam  harus terbentuk dari asumsi mengenai realitas (ontologi), yang berlanjut pada pencarian kebenaran berdasarkan asumsi (epistemologi) serta tujuan atas ilmu pengetahuan (aksiologi), lalu berdasarkan epistemologi yang dipercayai akan dirumuskan metodologi dalam menguji pengetahuan. Jelas adanya bahwa ontologi, epistemologi, aksiologi, dan metodologi merupakan sesuatu yang saling terkait. Setiap teori adalah suatu pengetahuan yang diakui kebenarannya.
Kemunculan suatu teori tidaklah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Teori akan muncul berdasarkan suatu proses asumsi, pengujian dan pengambilan simpulan. Ini artinya suatu teori harus terbentuk dari asumsi mengenai realitas (ontologi), yang berlanjut pada pencarian kebenaran berdasarkan asumsi (epistemologi) serta tujuan atas ilmu pengetahuan (aksiologi), lalu berdasarkan epistemologi yang dipercayai akan dirumuskan metodologi dalam menguji pengetahuan. Jelas adanya bahwa ontologi, epistemologi, aksiologi, dan metodologi merupakan sesuatu yang saling terkait.
Penelitian ini untuk menulis artikel yang membahas mengenai bagaimana Positif  accounting reseach (PAR) berperan dan berusaha untuk mendominasi aliran dalam penelitian.  Kedua membahas kelemahan PAR yang selama ini dianggap sebagai best of the methodology research.  Dan ketiga, penulis memberikan alternatif pendekatan alternatif dalam research yaitu dengan pendekatan interpretatif (haberspiritualitass).
Dalam artikel Jones & Dugdale (1992) menjelaskan dan mengilustrasikan konsep sebuah rezim akuntansi. Konsep ini dimobilisasikan untuk mengeksplor sifat dan power dari akuntansi secara total dan untuk mengidentifikasikan dimensi-dimensinya. Menggunakan karya Anthony Giddens, menggambarkan sebuah rezim akuntansi sebagai sebuah rangkaian praktek-praktek sosial yang dikonstruksikan melalui disembedding dan reembedding akuntansi sebagai sebuah sistem abstrak yang menghubungkan institusi-institusi modernitas dan bentuk refleksivitas modern.
Reiter (1998) proses-proses imperialisme ekonomi dalam bidang keuangan untuk menyediakan wawasan terhadap resiliensi program riset positif dalam keuangan dan akuntansi dengan  membahas dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Mengapa teori ekonomi positif mengkolonisasikan bidang akuntansi finansial dan ekonomi finansial? (2) Mengapa aplikasi teori ekonomi sangat dihargai di dalam pasar dan akademis finansial AS? (3) Mengapa ekonomi positif berbasis program riset sangat ulet, mengingat kekurangan inheren mereka dan kurangnya hasil empiris yang kuat? Dari ketiga pertanyaan yang dibahas dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa adanya celah kekurangan dari PAR, sehingga mereka para peneliti di mainstream positivisme berusaha mempertahankan dan melakukan “imperialisasi” pendekatannya sebagai best approach.
Rezim Posistive accounting reseach  (PAR). ini secara simultan menghasilkan kepercayaan (trust) dan skeptisisme, dan menunjukkan siklus disolusi dan rekonstruksi yang berulang. Keunggulannya – meski bersifat sementara, parsial dan rapuh – akan tergantung pada kemampuannya dalam menyediakan jaminan keahlian saat menghadapi resiko. Konsep sebuah rezim akuntansi riset positif menawarkan sebuah framework yang bermanfaat dalam mempelajari akuntansi sebagai satu totalitas, dan karenanya untuk mendeteksi kekuatannya di dalam dunia modern.
Teori-teori harus menjelaskan; yakni, mereka harus menjawab pertanyaan “mengapa”. Kita berpikir bahwa isu permasalahan dari penjelasan berada di akar sebuah pernyataan ulang dari sebuah argumen berkelanjutan dalam profesi ekonomi atas apakah teori-teori ekonomi makro (seperti misalnya ekonomi Keynesian) bisa menjelaskan apa yang terjadi di dalam ekonomi tanpa menjelaskan apa yang terjadi di dalam level ekonomi mikro. Di dalam literatur ekonomi, hal ini disebut sebagai masalah menyediakan landasan mikro untuk ekonomi makro (lihat Phelps, 1970) dan para ekonom yang mengidentifikasikan diri dengan Chicago School menganggap landasan mikro sebagai sebuah kebutuhan (misal., lihat Barro dan Grossman, 1971, dan bandingkan dengan Clower, 1965; Solow, 1979; atau Okun, 1980).
Dalam teori akuntansi positif, hal ini menjadi klaim bahwa seseorang tidak akan bisa menjelaskan standar akuntansi jika dia belum menjelaskan rasionalitas individual dari orang-orang yang berusaha untuk mempengaruhi badan-badan penentu standar akuntansi (Zimmerman, 1978, p. 4 dan 1980, pp. 110-111). Klaim ini benar-benar tonggak utama dalam mempromosikan teori akuntansi berbasis-ekonomi.  Watts dan Zimmerman (1986), banyak hal ditawarkan untuk menjelaskan apa yang mereka maksud dengan teori positif selain mengatakan bahwa hal ini bukan normatif. Teori-teori akan terpilih jika mereka menyediakan prediksi yang paling bermanfaat.
Watts (1977, hal. 54), contohnya menyebut literatur akuntansi keuangan tradisional sebagai “tidak ilmiah” karena “berkonsentrasi pada preskripsi” dan memberikan “sangat sedikit perhatian… pada pembuatan suatu teori…untuk menjelaskan mengapa laporan keuangan mempunyai bentuk seperti sekarang ini”. Watts dan Zimmerman (1978, hal. 112-113) berpendapat bahwa “teori positif tentang penciptaan standar-standar akuntansi memang “diperlukan” untuk memastikan apakah preskripsi teori-teori normatif…bisa digunakan atau tidak”. Di paper berikutnya, yang terus membedakan antara teori “positif” dan “negatif”, mereka memperjelas bahwa mereka menghargai “teori” yang biasa ditemukan di literatur akuntansi normatif hanya untuk menghindari “perdebatan semantik”; mereka memilih memberikan istilah “teori” untuk prinsip-prinsip yang diajukan untuk menjelaskan set fenomena” (Watts dan Zimmerman, 1979, hal. 273 n.1). Zimmerman (1980, hal. 107-108) mengatakan bahwa “penelitian positif berusaha membuat teori yang bisa menjelaskan fenomena yang diamati”.
Riset akuntansi positif terdiri atas pengujian teori akuntansi positif; ini adalah sebuah badan subsstansial dari literatur akuntansi yang penting. (1984)  mendemonstrasikan bahwa sebuah permasalahan di dalam prosedur eksperimental yang eksis dalam riset ini tercipta ketika peneliti akuntansi positif menerjemahkan bahasa teoretis teori akuntansi positif ke dalam sebuah bahasa empiris yang membolehkan dilakukannya eksperimentasi. Secara eksperimental, teori akuntansi positif ditransformasikan menjadi sebuah tautologi. Dalam penelitian riset akuntansi positif dijelaskan bahwa sebuah variabel kausal dalam artian fenomena yang ingin mereka jelaskan dengannya. Hal ini mengubah praktek akuntansi menjadi penjelasannya sendiri, yang bukan merupakan perbaikan pemahaman seperti yang dibayangkan oleh teori akuntansi positif. Selain itu, para pendukung riset akuntansi positif berargumen apapun yang masuk akal dan tersedia untuk mempertahankan riset akuntansi positif terhadap tuduhan bahwa riset ini menciptakan sebuah tautologi mensyaratkan bahwa kerusakan dilakukan kepada teori dengan menginformasikan riset mainstreamnya.
Williams (1989)  menjelaskan mengapa bukti eksperimental semacam ini memiliki value yang diragukan, sehingga pandangan teori yang dipegang oleh peneliti akuntansi positivist akan tetap bertahan. Para penelitia riset akuntansi positif selalu alergi terhadap perubahan metode penelitian, terutama penelitian yang diajukan oleh post positivisme.
Banyak kritikan terhadap PAR terutama yang didasarkan atas  metodologi riset yang dikembangkan oleh (Watts dan Zimmerman). Salah satu kritik yang dikemukakan oleh  Christenson (1983) terhadap metodologi penelitian positif  yang memperlihatkan bahwa peneliti positif  tidak menerapkan metodologi yang mereka anut. Menurut seorang pengamat, “Meski Christenson (1983) membenci tipuan ilmiah dari penelitian akuntansi Rochester School, dan ada pihak lain yang mengkritik penjelasan Rochester School tentang penelitian akademis, tapi Watts dan Zimmerman masih saja mendapat status ilmiah atas gaya baru penelitian akuntansi dan manfaat praktikal tanpa justifikasi sistematis” (Whitley, 1988).
Para peneliti yang mendukung metodologi PAR yang dikembangkan oleh Watts dan Zimmerman (1990) tidak menggubris kritikan metodologi dari Christenson. Tapi mereka menuliskannya lagi dan mengatakan bahwa, “kritikisme metodologi tersebut tidak lolos uji pasar karena kurang berpengaruh di penelitian akuntansi” (Watts dan Zimmerman, 1990. Mereka menambahkan bahwa “debat metodologi adalah situasi “tanpa pemenang” karena setiap pihak menggunakan paradigma berbeda dengan aturan berbeda dan tidak ada common ground. Pertanyaannya adalah: jika peneliti positif tidak menggunakan standar metodologi, dan jika uji empiris PAT hanya memberikan bukti lemah bagi teori, dan jika peneliti positif tidak merespon kritik, maka mengapa gerakan penelitian positif begitu berpengaruh terhadap peneliti akuntansi?
Mouck (1992), apabila peneliti positif berasumsi ada realita obyektif, yang dapat diamati “secara ilmiah” dalam cara bebas-nilai, maka kalangan hermeneutik kontemporer menyangkal bahwa setiap orang dapat meraih status sebagai pengamat murni. Menurut hermeneutik kontemporer, Mouck, (1989), mengatakan Kita lahir dalam sebuah lingkungan linguistik, yaitu sebuah lingkungan  dimana “realita” diklasifikasikan dan ditata secara linguistik. Kita berinteraksi lewat bahasa. Konsep kita dibentuk oleh bahasa. Kita berpikir dalam bahasa.   
Menurut Hans-Georg Gadamer, tokoh sentral dalam hermeneutik filosofi, baik retorika dan hermeneutik adalah saling terkait (1976, hal. 24). Retorika berbicara tentang proses persuasi. Hermeneutik menjelaskan proses interpretasi dan pemahaman. Tapi, keduanya adalah aspek basis linguistik dari dunia manusia. Persuasi tergantung pada interpretasi dan pemahaman, dan persuasi adalah elemen penting dari proses pembuatan dan penyebarluasan dunia manusia, yaitu dunia pemahaman bersama.
Menurut Christenson (1983), ini adalah refleksi dari kenyataan bahwa peneliti akuntansi saat ini terbiasa menggunakan metode penelitian tapi tidak semuanya cakap dalam methodology. Machlup [1963] membedakan keduanya dalam cara berikut: Metodologi adalah cabang filosofi atau logika, dan di situlah dimana orang-orang terpelajar menggunakan kata-kata. Orang kurang terpelajar baru mengadopsi kata ketika mereka tidak lagi memperhatikan filosofi maupun logika, dan hanya peduli dengan metode. Bahkan mereka berani mengatakan “teknik statistik” sebagai “metodologi statistik” dan bukannya menyebut “metode penelitian” mereka lebih suka menamainya “metodologi penelitian”
“Metodologi sains”, seperti yang dikatakan oleh Blaung (1980, hal. 47), “adalah sebuah dasar rasional untuk menerima atau menolak teori atau hipotesisnya”. Jadi, metodologi bersifat normatif dan untuk alasan itulah dianggap tidak ilmiah oleh Jensen dan Watts. Meski demikian, jelas tidak ada sains yang bisa muncul tanpa membuat komitmen metodologi. Hayek [1952, hal. 37] bahkan menilai bahwa sains secara keseluruhan adalah normatif: “Perhatiannya bukan pada apa yang manusia pikir tentang dunia dan bagaimana mereka kemudian berperilaku berdasarkan itu, tapi lebih kepada apa yang harus mereka pikirkan “ (diberi penekanan).
Bagian yang membunuh logika positivisme adalah kegagalan positivisme dalam membuat dogma positivistis tradisional yang nantinya mendasari proposisi sains, seperti fisika, kimia dan biologi, dalam memahami aktualitasnya, yaitu, “what is”. Sains pasti menggunakan teori. Proposisi teoritis, yang akan ditunjukkan Christenson, tidak pernah positif maupun normatif dalam pandangan Keynes, apakah itu statement aktual maupun ideal. Lebih tepatnya, semua itu adalah statement kemungkinan.
Konsep “teori positif” Rochester School dianggap punya filosofi tidak jelas karena ini mencerminkan keyakinan salah bahwa teori positif terdiri dari “pengetahuan sistematis tentang what is”. Sebuah teori tidak seperti itu. Selain itu, konsep Keynes-Friedman-Rochester tentang “sains positif” juga tidak jelas secara filosofis karena, berdasarkan bahwa sains adalah teoritis, sains yang dimaksud tidak menjelaskan “what is”.Popper berpendapat bahwa tahap pertama dalam memahami proses apapun adalah dengan memeriksa produknya (Popper, 1972, hal. 114). Ini perlu dilakukan tidak peduli apakah minat kita adalah empiris, dalam kasus dimana kita mulai dengan produk aktual dan berusaha menjelaskannya berdasarkan proses yang menghasilkannya; atau minat normatif, dalam kasus dimana kita mulai dengan produk ideal dan berusaha mendesain proses yang akan menghasilkannya.  Dia mulai dari premis bahwa tujuan sains adalah untuk menjelaskan fenomena yang diamati, meskipun dia berpandangan bahwa badan pengetahuan yang sifatnya menjelaskan juga bermanfaat sebagai instrumen untuk prediksi dan untuk aplikasi teknologi.
Popper setuju dengan positivistis logika yang melihat sains empiris sebagai badan pengetahuan atau sekumpulan proposisi. Dia juga setuju dengan positivistis yang menerima “thesis empirikisme fundamental” – yaitu thesis bahwa pengalaman saja mampu memutuskan kebenaran atau kesalahan pernyataan ilmiah…” (Popper, 1959, hal. 42). Di lain pihak, Popper juga mendukung bukti Hume (1739 (1888), hal. 139) bahwa pengalaman tidak pernah menciptakan kebenaran statement secara eksklusif. Karenanya dia bertanya apakah mungkin mengamankan thesis fundamental dengan hanya menuntut kemampu-putusan di satu sisi saja; dengan kata lain, dengan mengharuskan bahwa hanya kesalahan statement ilmiah yang dapat diputuskan oleh pengalaman.
Popper menyimpulkan bahwa kemampuan-memutuskan satu sisi – falsifiability – bisa mnugkin terjadi, tapi hanya jika ilmuwan mengikuti norma-norma metodologi tertentu. Apa yang melindungi karakter empiris sains sebagai badan pengetahuan adalah norma-norma tersebut, bukan bentuk logika dari proposisinya. Kesimpulan inilah yang melatari Popper dalam membuat pandangan sains berbasis-proses.
Dari sudut pandang logika, sebuah proposisi bisa disalahkan (falsified) bukan karena pengalaman tapi hanya karena menerima proposisi lain yang tidak konsisten logika dengan proposisi awal. Dengan demikian, Popper menetapkan sebuah proposisi sebagai bisa disalahkan atau falsifiable (dan karenanya berpotensi masuk dalam badan pengetahuan empiris) jika dan hanya jika setidaknya ada satu proposisi observasional (atau statement dasar, menurut terminologi Popper sendiri) yang tidak konsisten secara logis terhadap proposisi tersebut.
Proposisi observasional menilai bahwa sebuah kejadian yang dapat diamati bisa muncul di wilayah ruang dan waktu individual spesifik. Syarat bahwa kejadian “harus dapat dilihat” di wilayah “individual spesifik” adalah syarat yang diperlukan untuk memastikan bahwa proposisi observasional dengan sendirinya falsifiable (Popper, 1959, Bagian 28). Apakah sebuah proposisi adalah proposisi observasional adalah persoalan fakta. Apakah kejadian-kejadian tertentu dapat diamati atau tidak tergantung, contohnya, pada kemajuan instrumen ilmiah, dan karena itu, kejadian bisa berubah dari waktu ke waktu, sementara bentuk logikanya tidak berubah.
Ketika paradigma ini belum dipahami secara keseluruhan, akan mengira bahwa paradigma ini tidak dapat digunakan pada penelitian-penelitian akuntansi. Akuntansi identik dengan suatu rutinitas yang berdekatan dengan angka dan berbagai hal yang pasti. Mulanya cukup banyak anggapan bahwa penelitian akuntansi hanya cocok dengan paradigma positif. Dapat dijelaskan dengan suatu kajian ilmiah, dihipotesiskan, kemudian mencari informasi yang diterjemahkan dalam bentuk angka yang kemudian diolah dan diambil kesimpulan akhir. Kejenuhan akan proses ini memunculkan suatu aliran multiparadigma.
Djamhuri (2012) tentang akuntansi sebagai suatu multiparadigmatic science menyebutkan bahwa:“ Akuntansi pada dasarnya memiliki status sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang dari awalnya bersifat multipadadigmatik. Agak mengagetkan, memang, istilah akuntansi sebagai multiparadigmatic science justru berasal dari buku teori akuntansi yang ditulis oleh Ahmed Belkaoui (1992), sebuah buku yang jika diukur menggunakan ukuran perkembangan pemikiran alternatif dalam akuntansi yang terjadi pada hari ini, bahkan di Indonesia, merupakan sebuah buku yang masih kental semangat positivismenya.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, tidak dikagetkan bahwa kejenuhan pemecahan masalah akuntansi menggunakan paradigma positif memunculkan berbagai paradigma lain yang salah satunya adalah paradigma intepretif. Telah banyak penelitian di bidang akuntansi yang menggunakan paradigma interpretif dalam pemecahannya.
Wirajaya dan Gde (2012) menyebutkan bahwa kebanyakan penelitian akuntansi hanya membahas aspek teknis dan klerikal yang menyebabkan pengetahuan tentang peran sosial dan organisasional akuntansi menjadi rendah untuk diaplikasikan pada lingkungan yang sebenarnya. Perkembangan yang dilakukan peneliti dalam penelitiannya mampu mengangkat realitas dan fenomena yang sesungguhnya terjadi, baik berhubungan dengan keanekaragaman adat, suku, budaya, dan agama. Berdasarkan penelitian ini, penelitian dalam bidang akuntansi tidak hanya memerlukan jawaban-jawaban atas permasalahan klerikal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ketika hanya sebatas melakukan penelitian secara klerikal, maka pemecahan yang diperleh belum tentu dapat diaplikasikan pada keadaan yang sebenarnya.
Putri dan Kamayanti (2014), menemukan etika akuntan Indonesia berbasis beberapa budaya tersebut mengungkapkan informasi bahwa etika dari budaya lokal dapat menguatkan maupun melemahkan prinsip umum kode etik akuntan yang telah disusun oleh IAI. Dengan menggunakan paradigma interperetif yang dilakukan menemukan bahwa terdapat beberapa etika yang diusulkan menjadi pelengkap dari prinsip umum kode etik akuntan oleh IAI, diantaranya etika spiritualis, etika eling lan waspada, etika respect, etika kesederhanaan, disiplin, menjaga keseimbangan, toleransi beragama, dan kepercayaan karma. Beberapa usulan ini dapat menjadi pengembangan ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum pernah ada dan tidak pernah terduga bahwa kesederhanaan, spiritualitas, kepercayaan karma dapat mempengaruhi perilaku akuntan.
Sehingga dengan pendekatan paradigma yang baru, khususnya interpretif dapat membuka wacana baru dalam bidang akuntansi. Suatu penerimaan dan penolakan merupakan suatu hal yang sudah layak dan biasa terjadi, bahkan kita tidak dapat menjanjikan bahwa dengan hanya menggunakan pendekatan paradigma positif yang sudah sering dilakukan tidak akan memunculkan penolakan. Paradigma interpretif memungkinkan suatu ilmu berkembang dengan caranya sendiri untuk lebih mendakatkan pada suatu kebenaran ilmu di bidang akuntansi.
2.2  Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian merupakan sebuah sudut pandang bagaiman penelitian dilaksanakan. Dalam setiap penelitian dibutuhkan pemilihan paradigma (Paradigm) yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Perbedaan paradigma penelitian dapat menghasilkan seolusi permasalahan yang berbeda, karenanya paradigma ini bersifat personal dan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Paradigma pada dasarnya merupakan pandangan dunia (world views) atau cara pandang yang digunakan oleh seseorang untuk melihat atau memahammi sesuatu, Triyuwono (2006:214). Dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan social terdapat beberapa paradigma yang dipilih sesuai dengan kesenangan dan kenyamanan peneliti secara individual.
Paradigma memandang bahwa realitas social merupakan fakta yang memiliki banyak interpretasi, kebenaran. Pengungkapan atas variasi kebenaran oleh setiap subjek harus disandarkan pada paradigm tertentu sebagai dasar dalam menafsirkan setiap fenomena yang ditangkap oleh indra mereka. Burrel dan Morgan (1979:21), menyatakan bahwa penelitian ilmu social terbagi dalam empat sudut pandang yaitu, 1) Paradigma fungsionalis atau paradigma positivistic, 2) Paradigma interpretif, 3) Paradigma radikal humanis, 4) Paradigma radikal stukturalis. Sedangakan Chua (1986a), penelitian ilmu akuntansi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu mainstream/positivistic, paradigma interpretif dan paradigma kritis. Paradigma kritis merupakan gabungan antara paradigma radikal humanis dan paradigma radikal stukturalis yang telah dinyatakan oleh Burrel dan Morgan (1979). Selanjutnya, perkembangan paradigma penelitian ini tidak berhenti sampai di situ, masih ada paradigma lain, seperti paradigma religious, yaitu paradigma ilmu pengetahuan yang didasarkan pada intisari nilai agama, Mulawarman (2010).
Pada penelitian ini, penulis menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis berusaha untuk mengungkap bagaimana standard cost itu dibangun untuk tujuan pemenuhan kesepakatan harga kontrak dapat dirumuskan dengan memperhatikan kepentingan para pihak yang akan terlibat.
Menurut Triyuwono, (2013), paradigma kristis memandang bahwa stuktur social yang berupa ilmu pengetahuan dianggap sebagai entitas yang menindas sekolompok orang. Mereka yang menggunakan paradigma kritis, dianggap memiliki kepedulian terhadap upaya pembebasan terhadap kelompok masyarakat yang tertindas. Selanjutnya, masyarakat yang terbebas dari penindasan akan diubah kepada kehidupan yang lebih baik. Seudah tentu, ilmu pengetahuan yang dibangun dengan pendekatan yang sarat nilai ini merupakan ilmu yang memeliki kepantingan pada keadaan yang lebih baik.
2.3. Teori Tindakan Komunikasi – Jurgen Habermas
Jurgen Habermas adalah seorang tokoh pemikir kritis. Pemikiran kritisnya adalah, bahwa pemikirannya selau berkaitan dengang kritis terhadap hubungan-hubungan social yang nyata. Pemikiranya selalu mereflesikan masyarakat termasuk dirinya sendiri dalam konteks dialektika menghadapi stuktur-stuktur penindasan dan emansipasi. Pemikarannya tidak lantas mengisolasikan diri pada satu titik yang jauh dari umumnya sebuah teori, yang berjarak realitas social, melainkan sebuah pemikaran yang menyatu dengan realitas social sebagai bentuk dari tanggun jawabnya terhadap lingkungan social yang nyata (Susen,1992).
Dalam permikiran Habermas, Teori Kritis dirumuskan sebagi filsafat empiris sejarah dengan maksud praktis; empiris dan ilmiah, tetapi tidak dikembalikan kepada ilmu – ilmu empiris –analitis; Pemikirannya di sini merupakan refleksi kritis bukan dalam arti menetapkan prinsip-prinsip dasar; historis tanpa jatuh ke dalam historisistik; kemudian praktis, dalam arti terarah pada tindakan politis emansipatoris.
Masalah lain yang tak luput dan kritik Habermas adalah persoalan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu social, apakah ilmu pengetahuan itu harus bekerja dengan bebas nilai. Para pendukung kebebasan nilai member jawaban afirmatif, bahkan mereka menambahkan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu social tidak berbeda.   Artinya kalau ilmu-ilmu social mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan.  Maka harus menghasilkan hukum-hukum yang berlaku umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu  alam.  Dan penjelasan ilmiah tidak memihak dan tidak member penilaian apapun.  Atas dasar pendapat ini,  para pendukung kebebasan nilai dimasukkan dalam kubu positivisme.
2.4. Teori Spiritualitas
Ide tentang dualisme ala cartesian ini dinilai merendahkan “ilmu agama” dan benar-benar asing dalam tradisi intelektual Islam. Islam tidak sepakat dengan proses penalaran untuk memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum atau antara dunia dan akhirat. Sebaliknya, Islam menganggap antara dunia dan akhirat sebagai satu entitas, karena al-dunya mazra’at al-akhirah, pemisahan diantara keduanya tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip tauhid. Begitupun juga, Islam memandang illmu sebagai kesatuan tunggal sebab semua ilmu pada dasarnya bersumber dari yang satu.
Dari sini kita melihat bahwa sumber dualisme epistemologi Barat modern yang menghasilkan nilai-nilai yang juga diwarnai oleh prinsip dualisme dalam memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah contoh yang paling kongkrit.  Berkaitan erat dengan dualisme adalah cara memandang segala sesuatu secara dikotomis yaitu suatu cara pandang terhadap realitas secara mendua.  Artinya perkembangannya hanya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis dan bukan pada suatu agama pendekatan intelektual dan moralnya bersifat dikotomis, pemikirannya selalu berubah, makna realitas dan kebenarannya terbatas pada realitas sosial, kultural, empiris dan melulu bersifat rasional.
Lebih lanjut lagi, implikasi dari dualisme epistemologi modern ini, intuisi yang hanya dibatasi pada pengalaman inderawi dan penolakan akan fakultas intuitif seperti hati yang dilakukan oleh kaum rasioanalis, emperis dan psikolog secara umum -- hanyalah spekulatif semata.  Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta. Sebagai sumber dan metode ilmu pengetahuan menurut Al-Attas adalah terdiri dari:
1.      Panca-indera yang meliputi 5 indera eksternal seperti sentuh, bau, rasa, penglihatan, pendengaran, serta 5 indera internal seperti representasi, estimasi, retensi (retention), mengumpulkan data kembali (recollection) dan khayalan.
2.      Khabar yang benar berdasarkan otoritas (naql); otoritas absolut yaitu otoritas ketuhanan (al-Qur’an) dan otoritas kenabian (rasul) dan otoritas relatif, yaitu konsensus para ulama (tawatur) dan khabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum.
3.      Akal yang sehat dan intuisi.    
Wahyu merupakan dasar kepada metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran sudut pandang rasionalisme dan empirisisme. Tanpa wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya akan terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan pada fenomena akan selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Serta tanpa didasari oleh wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata sebagai sesuatu dianggap sebagai satu-satunya realitas.  Kemudian cara pandang dualisme epistemologi modern ini, dikritik oleh Seyyed Husein Nasr. Menurutnya, sejak periode Nicolas of Cusa, Descartes hingga Hegel, merupakan suatu gerakan pemikiran yang menuju “anti-metafisika” dan alienasi yang semakin lebar dari segala sesuatu yang merupakan landasan bagi “filsafat” yang sejati, yaitu dua sumber kebenaran yang menurut filsafat tradisional atau yang kekal tidak lain daripada wahyu ilahi dan intuisi intelektual atau pemahaman spiritual.
Lebih lanjut, sumber ilmu pengetahuan merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan pengetahuan dalam hal ini hadir hanya karena jelas dalam dirinnya sebagaimana ditangkap oleh fakultas intuitif yang kita sebut hati, yakni dengan petunjuk (huda) dan bukan hanya proposisi rasional dan demonstrasi logis. Bagi al-Attas sendiri, kebenaran itu sekaligus meliputi tentang semua hal yakni objektif dan subjektif dan yang objektif subjektif seperti agama dan kepercayaan lemah adalah aspek yang tak terpisah dari realitas.   
Ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya. Dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya Barat. Menurutnya, terdapat 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; berdasarkan filsafat dan bukan agama. (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler; (4) membela doktrin humanisme; Artinya, hanya manusia sebagai tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis.  (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia. Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak.

Literatur:
Abdel-Khalik, A. R., Regier, P. & Reiter, S. A., ‘‘Some Thoughts On Empirical Research In Positive Theory’’, in T. J. Frecka (ed.), The State of Accounting Research As We Enter the 1 9 9 0 ’s (University of Illinois at Urbana-Champaign, Department of Accountancy, 1989).
Boland, L. A., & Gordon, I. M. (1992). Criticizing Positive Accounting Theory. Contemporary Accounting Research, 9(1), 142-170
Burrowes, A., Chabrak, N., & Peace, B. (2006). The Language of the Rochester School: Positive Accounting Theory Deconstructed (pp. 1-4).
Christenson, C. (1983). The Methodology of Positive Accounting. The Accounting Review, 58(1), 1-22
Christenson, C., ‘‘The Methodology of Positive Accounting’’, The Accounting Review , Vol. 58, No. 1, 1983, pp. 1 – 22.
Djamhuri, A., 2012. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Paradigma dalam Kajian Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(1).
Dyball, M. C., Poullaos, C., & Chua, W. F. (2007). Accounting and empire: Professionalization-as-resistance. Critical Perspectives on Accounting, 18(4), 415-449.
Jensen, M. C. (1976), "Reflections on the State of Accounting Research and the Regulation of Accounting," Stanford Lectures in Accounting 1976 (Graduate School of Business, Stanford University, 1976), pp. 11-19.
Jones, T. C., & Dugdale, D. (2001). The Concept of an Accounting Regime. Critical Perspectives on Accounting, 12, 35–63.
Ludigdo, U., 2014. Seputar Etika dalam Riset. Bahan ajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,  Universitas Brawijaya
Momin, A. R. (1998). Development and the Holistic Framework: A Positive Critique in Islamic Perspective. Humanomics, 14(3), 3-20
Mouck, T. (1992). The Rhetoric of Science and the Rhetoric of Revolt in the Story of Positive Accounting Theory. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 5(4), 35-56.
Putri, I. N., & Kamayanti, A., 2014. Etika Akuntan Indonesia Berbasis Budaya Jawa, Batak, Dan Bali: Pendekatan Antropologis. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 2(1).
Reiter, S. A. (1998). Economic Imperialism and the Crisis in Financial Accounting Research. Critical Perspectives on Accounting, 9, 143 – 171.
Watts, R. L., and J. L. Zimmerman  (1979), "The Demand for and Supply of Accounting Theories: The Market for Excuses," THE ACCOUNTING E VIEW(A pril 1979), pp. 273-305.
Watts, R. L., and J. L. Zimmerman (1978), "Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards," THEA CCOUNTINRGE VIEW(J anuary 1978), pp. 112-134.
 Williams, P. F. & Rodgers, J. L., ‘‘The Accounting Review and the Production of Accounting Knowledge’’, Critical Perspectives on Accounting , Vol. 6, No. 3, 1995, pp. 263 – 87.
Williams, P. F. (1989). The Logic of Positive Accounting Research Accounting Organizations and Society, 14 . .(5/6), 455--468.
Williams, P. F., ‘‘A Sociological View On The Ethics Of Accounting’’, working paper, North Carolina State University, 1995.
Williams, P. F., ‘‘The Legitimate Concern With Fairness’’, Accounting , Organizations and Society , Vol. 12, No. 2, 1987, pp. 169 – 189.
 Williams, P. F., ‘‘The Logic of Positive Accounting Research’’, Accounting , Organizations and Society , Vol. 13, No. 5/6, 1989, pp. 455 – 468.
Wirajaya, A., & Gde, I., 2012. Hermeneutika Dalam Interpretive Paradigm Sebagai Metodologi Penelitian Akuntansi. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, 7(1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah