DRAMATURGI
DRAMATURGI
DALAM PENELITIAN KUALITATIF
Oleh Mas Amin
Pengertian
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci
(Sugiyono, 2005). Perbedaannya dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian
ini berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan
berakhir dengan sebuah teori. Moleong
setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif
kemudian membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok
pengertian penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
Terdapat beberapa aliran yang ada dalam penelitian
kualitatif yaitu; interpretatif, kritis, postmodern dan religuitas. Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian kualitatif adalah dramaturgi Dramaturgi adalah teori yang
mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi
sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada
tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul "Presentation of Self in
Everyday Life".
Dramaturgi merupakan pendalaman dari konsep interaksi
sosial, yang menandai ide-ide individu yang kemudian memicu perubahan sosial
masyarakat menuju era kontemporer. Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas
konflik sosial dan rasial dalam masyarakat. Dramaturgi berada di antara interaksi
sosial dan fenomenologi.
Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh
manusia. Kita lihat kembali contoh di atas, bagaiman seorang polisi memilih
perannya, juga seorang warga negara biasa memilih sendiri peran yang
dinginkannya. Goffman menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian
belakang (back). Front mencakup, setting, personal front (penampilan diri),
expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian
belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk
melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada Front.
Karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh George
Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Misalnya, The
Presentation of self in everyday life (1955), merupakan pandangan Goffman yang
menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi
(antar manusia). Dengan mengambil konsep mengenai kesadaran diri dan The Self
Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai dasar teori Dramaturgi.
Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara,
lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai
aktor “kehidupan.”
Pemahaman “The Self”
“The Self” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial
dan budaya. “The Self” juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para
pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam
situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui
penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang
melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan
dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran
tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi
pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri
berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “The Self” disini
bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variable-variabel sosial,
budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “The Self” (Wagiyo, 2004: 107)
Mead menegaskan bahwa “The Self” merupakan mahluk hidup yang
dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya
menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead
merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik.
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi
perluasan teori interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada
dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku”
untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang
berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak
sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang
lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi
orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu
mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut
adalah “dirinya” yang berasal dari “aku”.
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi
dari ajaran-ajaran Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan
countless minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana
manusia –ini menurut Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang
sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi
Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar
perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita
menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang
(front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang
disekeliling kita.
Esensi Teori
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang
lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan,
melainkan bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke
bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,
dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas
manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka
mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif.
Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia
bersifat dramatik.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa
ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia
harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan
pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai
aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran
mereka. Burce Gronbeck memberikan sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti
pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166).
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas
dari pengaruh gagasan Cooley tentang the looking glass self:
kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain;
kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan
kita;
kita mengembangkan
sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat
membayangkan penilaian orang lain tersebut.
kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran
tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita
dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan
Burke, dengan demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian
interaksionisme simbolik yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam
menganalisis interaksi sosial, yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah
ekspektasi yang didefinisikan secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi
untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang
aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu.
Focus dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi
kesituasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri
yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur
interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil
kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap
peristiwa interaksi sosial.
Dalam perspektif dramaturgi, kehidupan ini ibarat teater,
interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang
menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran
tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan
perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya
kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam
situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah,
menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan
mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi.
Kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan”
(front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk
kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan
peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di
hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat
dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah
depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang
ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara
bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai,
mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front
pribadi (personal front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang
dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting,
misalnya dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop menggantung
dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor.
Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir
struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias
mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan
perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun
berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia
berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang
diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa bahwa
mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya.
Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan
tersembunyi (misalnya meminum minuman keras sebelum pertunjukan).
Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat
persiapan pertunujkan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan
tersebut (misalnya sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah).
Aktor mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan
menyembunyikan proses memproduksinya (missal dosen menghabisakan waktu beberapa
jam untuk memberi kuliah, namun mereka bertindak seolah-olah telah lama
memahami materi kuliah).
Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang
dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin
meliputi tugas-tugas yang “secara fisik kotor, semi-legal, dan menghinakan”)
Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus
mengabaikan standar lain (missal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau
perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer,
2004:298). Aspek lain dari dramaturgi di
panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa
mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak
daripada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman mengakui bahwa orang tidak
selamanya ingin menunjukan peran formalnya dalam panggung depannya. Orang
mungkin memainkan suatu perasaan, meskipun ia menggan akan peran tersebut, atau
menunjukkan keengganannya untuk memainkannya padahal ia senang bukan kepalang
akan peran tersebut. Akan tetapi menurut Goffman, ketika orang melakukan hal
semacam itu, mereka tidak bermaksud membebaskan diri sama sekali dari peran
sosial atau identitas mereka yang formal itu, namun karena ada perasaan sosial
dan identitas lain yang menguntungkan mereka.
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu,
tetapi juga kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan
karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan
orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, parati
politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua anggota itu oleh
Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang mendramatiasikan
suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam
menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus
mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan,
memain pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien
mungkin , dan kalau perlu juag memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota
saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat isyarat nonverbal, seperti
isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan mulus.
(Mulyana, 2004:123)
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu
tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim
memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim
tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat
dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses,
khalayak juga harus berpartisipasi untuk menjaga agar pertunjukan secara
keseluruhan berjalan lancar.
Dalam perspektif Goffman unsur penting lainnya adalah
pandangan bahwa interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan
berbagai ritual, aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput dari
perhatian orang merupakan bukti-bukti penting, seperti kontak mata antara
orang-orang yang tidak saling mengenal ditempat umum. Bagi Goffman, perilaku
orang-orang yang terlibat dalam interaksi yang sepintas tampak otomatis itu
menunjukkan pola-pola tertentu yang fungsional. Perilaku saling melirik satu
sama lain untuk kemudian berpaling lagi kearah lain menunjukan bahwa
orang-orang yang tidak saling mengenal itu menaruh kepercayaan untuk tidak
saling mengganggu. (Mulyana, 2004: 126)
Bagi Goffman, tampaknya hamper tidak ada isyarat nonverbal
yang kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke
arah lain,” atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk
menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman
menghargai diri yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan.
Tindakan-tindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang
terbina dengan orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga
sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan
tindakn serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut.
Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita
mengikuti ritual-ritula kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak
selamanya menjalankannya. Etiket adalah yang pantas dan tidak pantas kita
lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang
memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur
diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan
dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara
sosial, salah satunya adalah lewat ritual,
Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita
proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial
yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu
citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah
bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri
yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
Komentar
Posting Komentar