Pelerai Kepedihan

Janganlah terpaku dan berdiam dalam kepedihan... Tak seharus hidup terjebak selalu dalam jurang yang dalam... Karena hidup tidak diciptakan untuk itu semua.. Berjalanlah karena jalan mendaki ada di depan mata 
Janganlah hilang harapan...  Jiwa menyeruak menangis terjebak dalam kepedihan... Bagaikan terminal yang membuat diri berhenti dalam arus  kehidupan... Karena perjalanan masih panjang yang harus dilaluinya.
Janganlah hilang harapan...  Drama kepedihan hanyalah mimpi sesaat dalam irama perjalanan..  Jiwa telah menjadi gelap bagaikan masuk dalam penjara... Yakinlah bahwa penjarapun juga punya masa edarnya.
Janganlah hilang harapan... Matahari selalu ada di samping kita... Yang siap bersinar dan menerangi alam semesta... Sabarlah dan bangkitkan iman dalam diri manusia 
Tengoklah pada pohon yang ada... Kadang rindang dan diikuti dengan daun berguguran.... Jatuhnya daun bukan diiringi oleh tangisan akibat kekeringan yang dijalaninya... Namun ternyata kekeringan membuat akarnya semikan bertambah kuat.
Kepedihan hanyalah sekedar musim kekeringan... Yang seharusnya menjadikan diri semakin kuat... Tak goyah dengan semua kondisi yang ada... Hanya keyakinan akan jalan kehidupan yang dicari dalam kehidupan
Ooo  kepedihan sudah menjadi renta... Saatnya diri terbang melayang.... Menjadi bersinar di atas segalanya... Melampaui mereka yang menjadikan diri terperdaya dalam kepedihan

KAS, 5/10/23, Pelerai Kepedihan


Sering kali diri mendengar adanya ungkapan yang mengatakan bahwa hidup ini ibarat roda pedati yang mengisyaratkan bahwa kehidupan yang dilalui oleh manusia kadang merasakan kegembiraan manakala pada posisi diatas dan demikian sebaliknya.  Namun seringkali juga manakala posisi di atas diri lupa bahwa akan merasakan kepedihan hidup sudah di ambang  masanya ketika roda kehidupan tetap berjalan baik itu maju atau mundur.  Sifat lupa akan persiapan diri agar tidak kaget dengan kondisi di bawah menjadikan ketidaksiapan mempersiapkan mental atau bekal untuk menghadapinya.

Fenomena ini banyak terjadi dalam diri kita sehingga mungkin menjadikan makhluk yang mudah berputus asa atau menyalahkan Sang Pencipta merasa memperlakukan diri tidak adil.  Mudahnya diri menyalahkan orang lain bahkan mungkin menyalahkan Sang Pencipta adalah hal yang biasa kita lakukan agar diri dikasihani atau dibantu agar dapat meringankan beban kepedihan yang dialaminya.  Bahkan mungkin manakala diri tidak memiliki keyakinan akan mencari jalan pintas agar dapat segera menemukan obat kepedihan walaupun itu jalan yang keliru.  

Diri dalam mencari obat kepedihan manakala dalam kondisi di bawah adalah sebuah ikhtiar atau usaha yang harus dilakukan karena hal ini merupakan bagian dari teori sebab akibat.  Karena Sang Pencipta selalu menciptakan semua yang ada adalah selalu berpasangan.  Perlu diketahui bahwa diri dalam mencari obat kepedihan ini baik dilakukan dengan cara yang baik atau keliru semuanya akan menampakkan hasilnya jika diri yakin dengan jalan yang ditempuhnya.  Namun manakala diri tidak yakin akan menyebabkan diri berputus asa bahkan jalan pintas pun akan dipilihnya.

Sifat diri sebagai manusia yang tergesa-gesa ataupun mudah berputus asa adalah penyakit laten yang ada pada kita.  Dua sifat tersebut bukan diukur dari aktivitas yang dilakukan melainkan ukuran dari proses kehidupan diri dalam mengambil sebuah keputusan tindakan yang diambilnya. Dua sifat ini muncul manakala diri lemah dalam "ilmu" kehidupan yang sejati. Makna sejati ini adalah ilmu yang diberikan oleh Sang Pencipta melalui Buku Panduan karena seharusnya hidup diri manusia dalam kehidupan di dunia ini sudah diatur skenarionya di dalam buku tersebut.

Unsur lalai atau lupa adalah akar permasalahan yang dimiliki menjadikan dua sifat (tergesa-gesa dan berputus asa) menjadi penyakit kronis akibat diri tidak sabar dan ingin segera lepas dari kepedihan tersebut.  Tapi diri akan merasa terhibur atau seperti di"nina bobokan" manakala dikatakan lalai atau lupa karena itu dikatakan manusiawi.  Apakah ini sebuah hiburan atau sebetulnya sebuah penghinaan manakala diri dikatakan bahwa lupa atau lalai adalah sebuah hal yang manusiawi?  Untuk menjawabnya maka harus dipertanyakan pada diri sendiri mungkin akan menemukan bahwa sebetulnya adalah sebuah kebodohan diri karena rasa malas dan keenakan yang dirasakan selama menjalani kehidupan ini.  Dan hal ini mengakibatkan diri terjerat pada imajinasi hidup yang tergambarkan dalam pikiran diri kita sehingga diri tidak siap manakala menerima ujian yang berupa kepedihan.


Memahami Kepedihan

Kepedihan merupakan sebuah kondisi kehidupan yang diluar imajinasi pikiran yang berkembang pada diri manusia. Dan imajinasi ini dibangun dan berkembang mulai kecil dari apa yang di dapat dari indra (Rasa, pikir dan keinginan).  Namun imajinasi tidak pernah menggambarkan hal-hal yang buruk tetapi selalu bermuatan hal-hal yang baik karena sesuatu yang ideal untuk kehidupan yang akan dijalaninya.  Maka tidak heran jika imajinasi selalu hal-hal yang diharapkan bukan hal-hal yang semestinya dijalani dikehidupan di dunia ini sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Kitab Penciptaan.

Perlu diketahui bahwa Sang Pencipta menciptakan semua yang ada di dunia ini adalah selalu berpasangan. Karena merupakan hal yang berpasangan maka kesedihan selalu berpasangan dengan kesenangan hidup.  Dan tidak heran sebetulnya dibalik kepedihan yang dihadapi akan selalu timbul rasa kegembiraan yang menyertai.  Namun ingatlah bahwa diri adalah termasuk diri yang sering lalai sehingga manakala kepedihan diterima selalu berteriak sekencang-kencang nya dan tidak ingat manakala berada dalam posisi menyenangkan lupa segalanya.

Munculnya rasa kepedihan manakala diri kita sebagai manusia sebagai makhluk yang berpasangan (laki-laki dan perempuan) akan muncul empat perspektif diri dalam menghadapinya.  Perspektif ini muncul karena "berpasangan" sebagai manusia tidak hanya dari makna fisik (F) atau jasadiyah yang terlihat dari jenis kelaminnya melainkan apa yang seperti tertulis dalam Buku Panduan.  

Laki-laki dan perempuan dari non fisik (NF) adalah sebuah gambaran tentang dua unsur yang terdapat masing masing manusia baik laki-laki/perempuan (fisik).  Tertulis bahwa dinyatakan laki laki adalah diri manusia yang mampu memaksimalkan "kerja indra" sehingga dalam dirinya tumbuh sebuah prinsip kehidupan.  Maka yang tertulis dan termasuk laki-laki adalah mereka yang sering disebut sebagai manusia beriman.  Sedangkan perempuan adalah hasil kerja dari indra yang berupa "jiwa" yang akan mempengaruhi aktivitasnya dan tampak dari eksternalitas diri manusia.

Empat perspektif diri manusia dalam menghadapi kepedihan ini, namun hal ini bukan urutan pribadi yang baik hanya sekedar uraian perilaku dalam kehidupannya adalah: 

Pertama, L (F) dan L (NF). Pribadi ini adalah diri yang yakin bahwa kepedihan adalah bagian dari skenario kehidupan maka keyakinan akan mampu menjalaninya. Sifat teguh dan penuh kesabaran adalah teman dalam kehidupannya. Sifat diam dan tidak berkeluh kesah serta rasa khawatir dalam perjalanan menjalani kepedihan ditinggalkan karena tingginya kadar dan prinsip keyakinan kehidupan yang dimilikinya. Digambarkan di buku adalah mereka para manusia pilihan seperti Rasul, Nabi dan para Wali dan mungkin diri kita yang berusaha untuk selalu menjadi manusia yang sempurna.

Kedua, L (F) dan W (NF). Pribadi ini menolak kepedihan karena merasa bahwa tidak ada skenario dalam kehidupan yang dijalaninya.  Sifat yang penuh dengan keluh kesah  akan sedikit menggoncang kesabarannya bahkan mungkin diri akan menghiasi ibadahnya hanya untuk keluar dari kepedihannya.  Niat ibadah akan tergerus bukan karena kesadaran tugas dirinya sebagai makhluk melainkan agar diri terhindar dari kepedihan. Digambarkan dalam buku adalah diri kita yang sedikit terhambat dalam laju perjalanan vertikalnya karena terjebak pada kondisi perasaan dan termasuk di dalamnya gagal dalam perjalanannya seperti Fir'aun, Qorun, Abu Lahab dan seterusnya.

Ketiga, W (F) dan L (NF). Pribadi diri yang demikian hampir sama dengan perspektif yang pertama, namun karena secara fisik dirinya adalah wanita maka jika fisik kurang kuat akan menjadikan mudah sakit.  Akan tetapi manakala diri kita selalu berpegang pada keyakinan yang dimiliki dan selalu "baca" sebagai obat untuk mengatasi lemahnya kondisi akan menjadi diri yang tangguh dan mandiri. Digambarkan dalam buku seperti wanita-wanita tangguh yang dekat dengan Nabi atau Rosul. 

Keempat, W (F) dan W (NF). Pribadi yang menolak atau menghindar dari kepedihan karena merasa dirinya diciptakan untuk kepedihan maka mencari segala cara agar dapat terhindar dari kondisi tersebut. Sifat keluh kesah dan kuatir serta lalai dalam tugasnya sebagai manusia menjadi kekeliruan dasar kehidupan yang dijalaninya.  Digambarkan dalam buku seperti istri Nabi Nuh dan Hindun istri abu lahab adalah contoh yang jelas untuk menggambarkan ini.

Keempat perspektif ini hanyalah sekedar gambaran yang mengajak diri kita untuk selalu menuju kebaikan agar terhindar dari kekeliruan dalam memahami tulisan ini.  Tidak menyinggung masalah gender karena hanya sekedar uraian dari pemahaman makna dalam L dan W yang sebetulnya setara dalam penjelasan dalam Buku Panduan hidup manusia.  Ketidak setaraan antara L dan W dikarenakan diri kita sudah dikondisikan dengan pemahaman yang terbawa selama ini dan hakekatnya sebetulnya jenis kelamin hanyalah teori peran diri diciptakan sebagai manusia di muka bumi ini.


Terima kasih,
Salam KAS
5/10/2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah