Luluh Dalam Makna

Teruslah diri dalam berjuang... Temukan kembali penghuni rumah... Yang selama ini tak pernah singgah...  akibat kotornya hati yang tak pernah terlintas
Teruslah diri dalam pencarian... Temukan kembali sang pujaan... Yang selama ini selalu ter"dua"kan... Akibat diri tergoda pada kefanaan dunia
Memang bukan jalan mudah untuk semuanya... Pencarian dan perjuangan hingga diri terpinggirkan... Bagaikan alien yang kelaparan... Dijalan yang penuh hinaan mata yang bersua
Dengan lagu pelipur lara... Mendendangkan nyanyian nestapa serta ratapan untuk menyebutMU... Menjadikan teman dalam perjuangan.... Agar hati kembali bekerja
Tangkaplah sang penghuni manakala tampak... Ikatlah dia agar selalu bersanding dalam realita kerja... Agar jiwa dan ruh menyatu dalam hakekat.... Diri sebagai manusia yang sempurna
Napas akan berkobar... Menjadikan air terikat dan udara terjerat... Oleh pesona diri sebagai makhluk yang beridentitas
Cepatlah perjalanan hidup yang fana ini.... Berpulang dan berjumpa dengan Sang Kekasih... Karena tujuan diri hanya untuk pulang kembali... Ke Rumah yang kau janjikan.
(KAS, 11/110/2023, Luluh dalam Kepedihan)

Perlu diri sadari bahwa menjalani hidup ini tidak pernah akan mengalami kondisi tetap karena kehidupan selalu berpasangan (siang-malam/terang-gelas/sedih-gembira/dst).  Kondisi kehidupan yang berpasangan ini pasti akan dijalani selama hidup di dunia karena merupakan irama yang diciptakan sebagai "lagu semangat" agar diri mampu menemukan jalan kembali.  Jalan kembali yang dianggap  peristiwa "menakutkan" akan berubah menjadi sebuah kebahagian bagi diri kita yang siap untuk proses perjalanan berikutnya.

Fenomena seperti ini banyak terjadi pada diri kita manakala kondisi kepemilikan pengetahuan jauh dari pemahaman tentang kehidupan.  Karena kepemilikan pengetahuan yang ada banyak didominasi oleh kehendak diri untuk selalu memuaskan kehendak diri.  Padahal hidup ini bukan kehendak diri kita melainkan kehendak (yang sudah digariskan) oleh Sang Pencipta. 

Pernahkah diri kita berpikir manakala hidup dalam posisi di atas yang dikondisikan diri merasa nyaman dan selalu berkecukupan  selalu ingin lebih dan lebih lagi  sehingga jauh dari rasa kepuasan.  Demikian sebaliknya manakala dalam posisi kekurangan diri tidak pernah memiliki rasa syukur karena diri berpijak bahwa kecukupan adalah lebih dari yang dimiliki sekarang.  Pemahaman hidup yang demikian ini akibat diri terjebak pada kepemilikan pemahaman yang sekarang tidak berkiblat pada kebenaran.

Sebuah kerugian dan mungkin salah jalan dalam memilih rute kehidupan yang harus dijalani akibat diri keliru kiblat pengetahuan dan menjadikan diri tidak sadar karena hidup selalu mengejar mimpi dan bayangan atau kehendak pribadi.  Hidup yang demikian ini menyebabkan diri menjadi pribadi yang hidup dalam ketidak sadaran dan menjadikan seperti hidup yang sekedar hidup saja akibat dari selalu mementingkan kepentingannya sendiri.  Bukankah kondisi yang demikian ini sejalan dengan sindiran yang mengatakan "banyak diantara diri manusia yang tidak pernah bisa bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan.".

Dengan kondisi seperti tersebut maka menjadikan diri bagaikan "makhluk buas" dalam kehidupan. Maka membangun kesadaran adalah prioritas diri dan akan muncul manakala terjebak dalam kondisi yang membuat "ketidak nyamanan pikir dan perasaan".   Mencari "jalan lurus" adalah tugas diri agar tidak keliru dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan dengan kembali pada modal awal diri diciptakan sebagai manusia agar mau "baca" segalal hal yang tertulis maupun tidak tertulis sehingga mampu menangkap makna dari apa yang ditemuinya akibat mampu luluh dalam makna.

 

Luluh Dalam Makna

Sebuah kebahagian manakala diri mampu mencapai pribadi yang dapat "luluh dalam makna".  Karena pribadi yang demikian dapat diraih manakala diri mau dengan tekun melakukan tugas baca.  Hasil dari baca tersebut menjadikan kepemilikan pengetahuan yang "berdasar" dan mendasarkan pada kebenaran.  Karena kepemilikan yang ada berdasarkan pada Buku Panduan hidup manusia agar dapat selamat dalam kehidupan di dunia ini.

Diri menjadi orang berilmu hanya dimiliki oleh orang-orang yang mau "baca" kecuali derajat  keilmuwan yang diberikan kepada para nabi-nabi.  Maka diri sebagai manusia umum yang tidak memiliki hak-hak keistimewaan harus sadar bahwa tugas baca adalah sebuah kewajiban yang mendasar agar diri mampu menjalani kehidupan dengan benar.  Tugas diri membangun kesadaran untuk selalu baca harus menjadi prioritas dalam hidup di dunia ini agar tidak termasuk kepada golongan manusia yang lalai.

Pribadi diri manusia yang memiliki ilmu inilah yang akan diangkat derajatnya oleh Sang Pencipta dan diberikan posisi serta imbalan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.   Pengangkatan derajat manusia  inilah sebetulnya merupakan sebuah tiket untuk pulang dengan selamat dan ciri dari diri yang selamat dari jebakan drama kehidupan di dunia ini.  Karena kehidupan diri kita di dunia ini bisa lepas dari penyakit-penyakit kronisyang dimiliki oleh manusia yaitu rasa khwatir dan lalai dengan tugas yang dijalaninya.

Teori atau konsep pengangkatan derajat ini menurut perpektif diri terbagi menjadi dua hal yaitu: pertama teori pengangkatan tingkat, dan kedua, terori pengangkatan posisi.  Dua teori atau konsep ini berhubungan dengan internal dan eksternal diri manusia yang dilebihkan dari manusia lain karena kepemilikan ilmu yang dimilikinya.  Perbedaan dari kedua teori atau konsep ini adalah sebagai berikut:

Pertama, Konsep Pengangkatan Tingkat.  Konsep pengangkatan ini berhubungan dengan pembangunan ekternaliatas diri manusia mulai dari mengenal kepemilikan bekal yang diberikan oleh Sang Pencipta dan mampu mengoperasionalkan secara optimal.  Dalam konsep ini diri akan ditunjukkan dan diberikan kemudahan "kerja manusia" sehingga diri condong menjadi pribadi golongan kanan.

Pribadi diri golongan kanan adalah diri yang mampu mengoptimalkan kerja indra dengan poros hati sebagai pengatur geraknya.  Hati yang bekerja bercirikan hilangnya selimut yang memenjaranya sehingga mampu menjadi rumah dan mampu membangun konektivitas diri manusia dengan Sang Pencipta.  Hal ini mengakibatkan diri menjadi pribadi yang berkepribadian baik karena sesuai dengan apa yang dikehendakiNYA.  

Konsep ini pengangkatan tingkat ibarat seperti diri naik tangga (hubungan vertikal) karena segala aktivitas dalam kehidupan adalah hal-hal yang menjadi tugas diri sebagai manusia dengan Sang Pencipta (Khaliq-makhluk).  Dengan semakin tingginya tingkatkan yang dimiliki maka semakin besar koneksi yang dimilikinya.  Maka perbuatan yang dilakukan mencerminkan cermin sang wakil Tuhan di muka bumi ini.

Meminjam istilah Manungguling Gusti marang kawula adalah sebuah derajat tertinggi dalam hubungannya dengan hubungan vertikal ini.  Inilah makna luluh dalam makna dalam konsep pengangkatan tingkat akibat diri melakukan tugas baca yang dilakukan secara tekun dan terus menerus.

Kedua , Konsep pengangkatan posisi.  Konsep ini merupakan sebuah pengangkatan selimut hati yang dilakukan oleh diri manusia dan dengan bantuan Sang Pencipta.  Perlu diketahui dalam menghilangkan selimut ini bukanlah hal yang mudah dilakuakan namun karena diri memiliki keteguhan dan keinginan yang kuat untuk belajar atau "baca".  

Hati yang bersih dan mampu menggerakkan sendi-sendi kehidupan ini akan memunculkan jiwa manusia yang berkepribadian baik .Hal inilah yang menjadikan bahwa diri kita diangkat posisinya dari derajat rendah menjadi derajat yang tinggi atau dalam kesempuranaan.  Maka segala aktivitas yang dilakukan didasarkan atas kehendakNYA bukan atas kehendak diri sebagai manusia.  

Ibarat diri sebagai makhluk yang luluh dalam makna karena diri hidup sejalan dengan perintah Sang Pencipta karena sesuai dengan aturan yang tertulis dalam Buku Panduan. Maka diri akan bermanivestasi dengan Asma-asma Allah dalam berkehidupan baik dengan manusia lain ataupun dengan semesta alam akibat diri memiliki pengetahuan.

 

Terima kasih.
Magelang, 11/10/2023
Salam
KAS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah