Dialog Rubah

 Mengendap endap untuk mendapatkan informasi... Lari kesana kemari untuk eksistensi diri... Bibir tak pernah kering dengan kata-kata yang penuh duri... Bagaikan rubah yang terbiasa mencuri dan makan makanan sejenis bangkai 
Bukan itu yang diharapkan dari diri manusia... Berperilaku seperti rubah yang buas dan memiliki asupan yang menjijikan... Yang berlari menuju martabat diri yang terendah... Akibat diri tidak pernah menyadari realitas kondisi kehidupan yang ada
Janganlah begitu jika diri merasa manusia... Mata yang ada kau butakan dengan gemerlapnya ke fanaan... Telinga kau sumbat dengan suara yang menggoda jiwa... Hati yang kau miliki terpakir di dada... Putuslah kasih sayang Sang Pencipta kepada diri yang salah memilih jalan 
Bila mata sudah buta maka basuhlah dengan air mata perjalanan diri yang ada... Karena obat penawar teramu di dalamnya... Kebutaan diri terobati karenanya... Cerahnya cahaya menjadi penunjuk arah perjalanan.
Bila telinga sudah tuli maka tetesi dengan senandung cinta... Karena obat penawar berasal dari qosidah cinta yang ada dalam ayat-ayat Sang Pencipta... Merdunya suara angin bagaikan zikir yang mengarahkan pada jalan cinta
Diamlah dalam kesendirian... Karena hati mulai terbuka selubungnya.. Sang Pencipta akan hadir dan berbicara dengan diri kita... Mengatakan, selamat datang kekasihku masuklah ke rumah KU dengan rasa tenang dan bahagia.  
 
(KAS, 28/10/2023, Dialog Rubah) 


 Tidak bisa dipungkiri mungkin diri kita selama ini juga sering terjebak dalam pembicaraan yang membicarakan kebaikan ataupun keburukan orang lain.  Bagaikan menemukan makanan yang lezat dan sebuah kebahagiaan manakala diri membicarakan keburukan orang lain. Dan diri terbiasa melakukan pembelaan diri manakala dikatakan itu sebagai sebuah "ghibah" karena dianggap sebagai sebuah pencarian pemahaman untuk mencari ilmu kehidupan yang benar.

Coba kita bayangkan manakala yang dibicarakan oleh orang lain itu adalah kejelekan diri kita yang menurut mereka dan mungkin sebuah hal yang baik bagi diri kita.  Namun karena adanya kipas-kipas yang menyegarkan dari pihak ketiga menjadikan kebaikan tidak diangkat dalam diskusi yang ada hanya yang jeleknya menurut mereka di"skenario"kan sebagai bahan cerita.  Menangis dan ingin melakukan pembelaan manakala diri diperlakukan seperti itu sebagai lakon dalam skenario ghibah orang lain.

Fenomena membicarakan orang lain ini mungkin sekarang sudah menjadi hal umum dan bahkan memiliki rating tertinggi yang mendominasi dalam kehidupan diri kita sehari-hari.  Ternyata sebuah sindiran yang sangat keras dari Sang Pencipta tentang pribadi manusia yang melakukan ini sebagai sebuah makhluk yang memakan bangkai saudaranya tidak mempan akibat dari kelalaian atau kenikmatan dalam berkumpul dalam sebuah majelis. Ataukah mungkin memakan bangkai (ghibah) adalah skenario hidup yang diri pilih untuk mempertahankan eksistensi diri dalam kehidupan di dunia ini.

Bagaimana mungkin secara logika diri dikatakan makan bangkai saudara adalah sebuah kenikmatan? Mungkin  memakan bangkai masih bisa merasakan kenikmatan (contoh: bangkai  ikan) namun manakala bangkai saudara yang dimakan perasaan apa yang muncul dari aktivitas ini.  Atau mungkin akibat diri tidak memiliki pengetahuan dan sering terjebak dalam kondisi lupa. Hal ini sebuah tanda yang mungkin dalam diri kita sudah hilang "nilai-nilai kemanusian" dan dikategorikan dalam hidup dalam dunia kebuasan binatang.

Sebuah topik yang menarik ibarat diri sebagai seekor rubah yang menjalani kehidupan di dunia ini manakala diri tidak pernah bisa menahan mulut untuk menjalani kehidupan.  Hilangnya sebuah kepercayaan diri dalam menjadi manusia sempurna akibat lalai dengan Buku Panduan menjadikan diri salah strategi dalam kehidupan.  Pencarian bekal untuk kehidupan kelak di gadaikan dengan mencari kehidupan yang penuh kepalsuan yaitu duniawi.


Diri Rubah

Hewan rubah pun sebetulnya tidak mau manakala dijadikan contoh untuk pemahaman diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini.  Namun kebiasaan dirinya sebagai hewan yang cerdik karena memiliki strategi jitu dalam mempertahankan  hidup dengan menyimpan buruan dari hasil berburu atau mencuri milik hewan lain adalah sebuah hal tepat sebagai pelajaran diri kita.  Dan kebiasaan ini ternyata juga banyak diri tiru dalam keseharian diri kita.

Pelajaran yang diambil dari rubah adalah:

Pertama, Cara kerja dalam hidup.  Bekerja adalah hal yang utama dilakukan setiap makhluk hidup untuk mempertahankan kehidupannya.  Tidak adanya kemalasan di dalam hidupnya karena mencari makan dengan berburu langsung atau pun dilakukan dengan mencuri dari hewan lain.

Sebuah kepribadian ganda yang dimiliki oleh dirinya dimana satu hal adalah sebuah kebaikan namun sisi lain dirinya juga melakukan keburukan.  Nilai pribadi yang positif dan negatif ternyata juga ada pada dirinya.  Dan hal ini juga tidak berbeda dengan diri kita sebagai manusia serta mungkin dua hal ini juga dilakukan dalam aktivitas kehidupan di dunia ini.

Kedua, Kepemilikan metoda penyimpanan.  Kepemilikan metoda menyimpan atas hasil buruan (bekerja) adalah strategi untuk mempertahankan jaminan asupan di masa depan.  Hal ini berbeda dengan hewan lain yang ada dimana mereka makan hanya sekedar kebutuhannya maka menyimpan adalah hal yang tidak dilakukan karena merasa kebutuhan dicukupi oleh alam.

Sebuah bentuk kematangan logika pikir dan kuatnya rasa was-was yang dimiliki untuk mempersiapkan kebutuhan hidup di masa depan.  Hal ini menunjukkan ilmu tentang jaminan keberlanjutan hidup yang didominasi ketidakpastian akan dapat di lalui dengan kepemilikan pikir sehingga memunculkan strategi menyimpan makanan dengan baik.  Dan hal ini pun juga tidak berbeda dengan perilaku diri yang memiliki strategi sehingga memuncul kebiasaan berandai-andai dimasa kini untuk kehidupan di masa depan.

Dua buah pelajaran hidup yang dilakukan oleh rubahpun ternyata dimiliki oleh diri kita sebagai manusia.   Manakala diri tidak  memiliki kesadaran hidup maka apakah mungkin diri kita lebih tinggi drajatnya dibandingkan dengan rubah. Jjika kesadaran jauh dari kehidupan diri kita dan kemalasan mendominasinya maka mungkin derajat kita adalah sama dengan hewan yang suka mencuri serta memiliki hobi makan bangkai.  Sangat disayangkan jika kondisi ini terjadi pada diri kita sebagai manusia yang hakekatnya adalah diciptakan dalam kondisi sempurna.


Manusia Rubah

Kecerdikan rubah yang selalu hidup di samping sang penguasa hutan adalah sebuah strategi jitunya dalam kehidupan dikerasnya perjalanan hidup  yang dijalan.  Kondisi rubah-rubah ini tidak berbeda jauh dengan kondisi kehidupan diri kita yang merasakan beratnya mencari nafkah ditengah kompetisi banyak manusia yang ingin hidup dan eksis.  Maka perilaku rubah-rubah dengan mendekatkan pada penguasa adalah strategi yang sama kita miliki dengan memakan "bangkai" dari penguasa.

Sebuah kehidupan diri kita sebagai manusia yang secara tidak sadar pada hekekatnya melepas derajat kesempurnaan yang dimiliki dengan memilih sebagai rubah sang pemakan bangkai.  Apakah ini sebuah kesengajaan ataukah hanya karena diri tidak memiliki keyakinan tentang ilmu kehidupan.  Memberikan informasi kejelekan orang lain ataupun memfitnah adalah sebuah perilaku diri agar dapat "makan" karena kepemilikan rasa takut yang sangat besar.  Bahkan ketakutan kepada Sang Pencipta dikalahkan dengan ketakutan bila diri tidak bisa makan.

Mengapa diri kita berperilaku demikian?  Hal ini dikarenakan diri jauh dari pemahaman tentang ilmu kehidupan yang benar dalam arti diri kita selama ini tidak mengenal isi dalam Buku Panduan hidup sebagai manusia.  Kondisi ini diakibatkan Buku Panduan hanya sebagai nilai-nilai suci yang sekedar sebatas impian (syariat) untuk mengenal dan mengabdi kepada Sang Pencipta.

Nilai-nilai pemahaman dikatakan sebagai sebatas impian karena diri menganggap bahwa kehidupan dunia dan akhirat adalah sesuatu yang tidak ada hubungannya.  Kebodohan diri kita adalah akibat dari sekedar mendapatkan pemahaman dari para para tokoh dan orang tua.  Tidak pernah dalam diri memiliki semangat untuk "baca" buku secara sungguh-sungguh dan rutin atau membaca sekedar baca tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan tulisan tersebut.

Ingatlah bahwa Buku Pedoman seharusnya merupakan panduan tentang kehidupan diri kita dalam menjalani perjalanan untuk "pulang yang baik" menuju Sang Kekasih.  Buku bukan sesuatu yang suci melainkan nilai-nilai yang suci itulah yang pantas untuk disakralkan karena merupakan pemahaman untuk kehidupan diri kita.  Tapi manakal diri menganggap buku itu adalah suci maka diri tidak pernah berani untuk "menjamah" secara dalam karena kepemilikan rasa takut dari kesakralan buku tersebut.

Janganlah diri terperdaya dengan doktrin-doktrin yang keliru dan selama ini menjadi pegangan dalam diri kita.  Jika diri tidak mampu menembus penjara pemahaman yang selama ini ada dan ternyata membawa pada kerusakan dan kehancuran pada keseimbangan kehidupan baik secara pribadi (kosmik) atau  semesta (kosmos) maka diri hidup bagaikan terpenjara pada ego diri,  Ego diri akan mengarahkan diri pada jalan yang keliru untuk kembali menghadapNYA.

Lepaslah pemahaman yang ada untuk mencari pengetahuan yang baru dan sesuaikan dengan sesuatu yang tertulis dan tersirat dalam Buku Panduan.  Karena pengetahuannya itu adalah pemahaman tentang kehidupan yang benar.  Tebaslah pengetahuan yang ada karena itu sudah menjadi penjara kehidupan selama ini agar diri mampu mencapai hidup yang tiada terbatas. 

Sayangilah diri kita karena dengan seperti ini diri mengenali diri kita sendiri.  Kenali diri kita sebagai manusia karena dengan seperti ini diri akan mengenalai Sang Pencipta. Lompati batas yang ada karena diri akan mencapai sesuatu yang tiada terbatas.

Terima kasih.
Magelang, 29/10/2023
Salam KAS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah