Cermin Kepedihan Diri

 Hatiku dimana kau berada... Kala kepedihan menyeruak di dada... Tangisan tanpa air mata menjadi realita... Menghias dan menghalangi tatapan masa depan 
Hatiku janganlah kau sekedar mengelana... Keluar masuk dalam diri tanpa mau singgah... Apakah diri masih berselimut kegelapan... Terpenjara oleh kondisi perjalanan yang fana
Hatiku dimana kau mengelana... Kala kubutuhkan sebagai teman dan saudara... Menguatkan diri dalam kepedihan... Menghilangkan rasa dan menguatkan semangat untuk ikut arus skenario kehidupan
Ooo ternyata... Dirimu tak jauh dari hadapan mata... Hanya diri tak pernah paham akan kehadiran... Terbelit realita kehidupan "siang"
Tinggallah dalam dada... Akan kubangun tempat yang megah dalam dada... ku buang selimut yang menghalangi jalan.. Agar dirimu mampu tinggal nikmat dalam tubuh yang fana
Berdiamlah dengan nyata... Menyatulah dengan diri yang dianggap hina oleh manusia..  Karena mereka tak pernah paham dengan makna... Luluh dalam sandiwara kesesatan
Nitmatilah sajian yang ku persembahkan.. Kul apangkan dada untuk kebersamaan... Manunggal dalam kehidupan diri dalam kehidupan di dunia... Dan temani diri ini untuk menghadap pada Sang Tercinta.

(KAS, Cermin Kepedihan, 8/10/2023)


 Seperti diri ketahui bahwa kehidupan tidak selalu dalam kondisi senang atau sebaliknya dan semua itu merupakan bagian dari skenario drama yang harus dijalani untuk menempa menjadi manusia yang memiliki intelektual dan jiwa.  Skenario tersebut sudah tertulis dalam buku manakala diri mau di lahirkan dan diperlihatkan dalam perjanjian agar diri tidak salah dalam memilih jalan kehidupan di dunia ini.  Bekal agar diri ingat dengan skenario adalah Buku Panduan yang merupakan nasehat agar prosedur hidup diri dapat ditemukan sehingga diri selamat dan sukses di kehidupan yang fana ini.

Namun apa daya diri ini setelah dilahirkan.  Ternyata melupakan bahkan "lalai" dengan tugas yang diberikan sehingga menjadikan diri tersesat bahkan tidak mengenal rute perjalanan kehidupan.  Hal ini dikarenakan jebakan kondisi kehidupan baik dari eksternal ataupun internal dari diri yang menyebabkan kebodohan dalam memahami makna dan hakekat dari Ayat-ayat Tuhan.

 "Kebodohan" inilah yang mungkin sebuah frase yang tepat untuk menunjukkan kepemilikan dan pemahaman diri tentang langkah dalam kehidupan diri.  Sehingga diri selalu terjerat dalam kepedihan baik dalam kondisi di atas maupun di bawah karena diri lalai dengan semua yang di tugaskan.  Hal ini mengakibatkan diri hidup tidak mengikuti skenario yang diberikan melainkan sekedar hidup agar dikatakan sebagai manusia yang hidup.  Maka bukanlah mengherankan manakala diri disebut sebagai makhluk yang suka membuat kerusakan dan selalu gemar menumpahkan darah agar semua keinginannya dapat terpenuhi.

Esensi manusia sempurna yang seharus ditemukan sehingga pantas untuk mengemban amanatnya tidak pernah diperhatikan walaupun dalam akativitas kehiduan sekarang ini diri selalu mengatas namakan wakilNYA.  Bukankah ini sebetulnya diri selalu berlaku "dzolim" atau diluar batas dari skenario yang ada bahkan mungkin dapat dikatakan diri berperilaku "ingkar" kepadaNYA.  Hal inilah yang menyebabkan diri tidak pernah menemukan kebahagiaan karena substansi diri tidak pernah ditemukan.   


Cermin dan Substansi Diri

Agar diri mampu memahami dan menemukan citra sebagai manusia yang sempurna maka kata cermin adalah sebuah cara untuk melihat realitas diri sebagai manusia dengan mengamati simbol reseptivitas dan refleksivitas yang ada.  Simbol simbol ini mencerminkan sebuah makna yang besar tidak hanya secara sederhana seperti yang diri lakukan manakala melakukan aktivitas bercermin.   

Simbol reseptivitas mengacu pada informasi yang di dapat dari kaca atas segala hal yang secara fisik diterima dari cermin yang ada manakala diri bercermin.  Informasi secara fisik yang diterima dari mata diolah oleh pikiran dan memunculkan nilai dan tindakan agar melakukan evaluasi diri dengan hal-hal yang berhubungan dengan fisik baik diri sendiri maupun hal-hal lain yang terlihat dalam cermin itu.  Kesadaran fisik inilah sebuah rekonstruksi diri yang biasa diri lakukan sehari-hari.

Sedangkan simbol refleksivitas menggambar hal yang bersifat non fisik karena munculnya pemikiran yang ada akibat dari obyek yang muncul dari cermin yang ada.  Hal ini bukan merupakan sekedar aktivitas pikir biasa melainkan sebuah pemikiran yang berhubungan dang non fisik untuk membangun sebuah kesadaran.  Kesadaran inilah yang merupakan gambaran reflektivitas karena diri ingin "tampil prima" sebagai pribadi yang sesuai dengan kodrat sebagai manusia sempurna yang pantas menyandang dan mengemban amanat dari Sang Pencipta.

Maka dua simbol itu manakala digabungkan akan memiliki sebuah makna yang dalam karena hubungannya pengetahuan tentang  keadaan dan esensi diri sebagai manusia.  Kepantasan diri akan realitas yang ada bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai sebuah kesempurnaan.  Maka tidak heran manakala diri bercermin diperintahkan untuk berdoa agar diri selalu dapat terlihat baik secara fisik maupun non fisik dalam berperilakunya.  

Sebuah bagian dari fenomena umum yang sering diri lakukan (bercermin)  merupakan bagian dari Ayat-ayat yang selalu dijumpai sehari-hari namun seringkali dilalaikan hakekatnya dan tidak pernah mendapatkan pengetahuan.  Berapa kali sehari diri kita bercermin tapi tidak pernah mampu menumbuhkan kesadaran yang mendalam tentang kehidupan yang dijalani.  Dan bukankah ini merupakan kebodohan diri kita sebagai manusia yang lalai dan terlena dengan "kondisi siang" akibat diri tidak pernah menemukan makna yang sejati,

Membangun sebuah kesadaran diri dengan berbekal dari pemahaman bercermin memberikan gambaran bagaimana pemahaman yang sebetulnya harus dimiliki.  Pemahaman tersebut merupakan pengetahuan tentang mengenal dirinya sendiri sebagai mana Sang Pencipta mengenalnya.  Ketika diri mampu dan tidak malu untuk bercermin maka akan memunculkan tentang kesadaran  tentang bekal dan tugas yang dimilikinya selama menjalani kehidupan di dunia.

Pengetahuan tentang bercermin seperti ini adalah sebuah metode diri dalam menemukan substansi diri sebagai manusia yang sempurna.  Memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan namun pengetahuan ini yang merupakan karunia dari Sang Pencipta akan diperoleh manakala diri konsisten dengan tugas "baca" atas Ayat-ayat Tuhan.  Pengetahuan ini akan menunjukkan kepada  diri kita esensi yang dalam dari setiap informasi yang diterima dari bercermin karena yang dilihat dalam cermin bukan gambaran (imaginasi) melainkan gambar/nilai (image) yang selama ini di bangun.


Cermin Pelerai Kepedihan

Kepemilikan diri mengenai pengetahuan dari bercermin akan membangun sebuah kesadaran tentang mengenal diri secara intim.  Keintiman diri antara jasad dan penghuninya akan memunculkan sebuah keyakinan tentang hidup yang dijalani.  Karena kepemilikan kesadaran bahwa hidup ini adalah sekedar mengikuti skenario drama kehidupan yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta.

Sebagai diri yang hanya sebagai aktor yang memainkan peran dalam sebuah skenario kehidupan maka apapun harus dijalani dalam kehidupan ini.  Ketika kondisi diri dalam keadaan di atas dimana diri berperan dalam "ketercukupan" maka diri tidak akan merasa "wah" atau berbuat melampaui batas karena memang sedang berperan seperti itu.  Hal ini sejalan dengan bahwa manakala diri dalam kondisi "ketercukupan" adalah bagian ujian dari peran yang dijalani.  Maka menghayati peran dalam kondisi tersebut adalah sebuah kesabaran dalam kehidupan jika diri selalu ingin menemui kebahagian,

Namun manakala diri dalam kehidupan ini sedang menjadi peran yang dibawah tidak akan "menjual" nilai kemanusiaannya.  Karena dalam kondisi seperti ini sebuah kenikmatan hidup dalam perjalanan akan sangat dirasakan karena kondisi keterbatasan.  Kepedihan bukanlah sebuah penderitaan melainkan sebuah kebersyukuran hidup akibat diri mampu melihat cermin yang memberikan pemahaman tentang ekternalitas diri yang berada disamping kita.  Kepedihan akibat kekurangan ataupun ketidaklengkapan dan kehinaan nilai/kondisi hanyalah peran karena disitu diri  diperhatikan oleh Sang Sutradara. 

Teori peran yang diri kita lakukan dengan belajar dari cermin inilah sebetulnya sebuah "note" yang sederhana agar selalu mengingat tugas sebagai manusia sejati.  Maka berperanlah dalam sandiwara kehidupan ini dengan baik dengan menghayati setiap lakon yang ada karena disitu diri akan menemukan kebahagian dan keberkahan hidup.  Tuhan sayang kepada diri kita maka tidak pernah meninggalkan umatnya yang sedang mengalami kepedihan.


Terima kasih,
Magelang 8/10/2023
Salam KAS  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah