Diri mengenal Bukti kehidupan

Setiap diri manusia dianugerahi dua sisi kehidupan... Yaitu sisi kebaikan dan sisi keburukan.... Menjadikan dua hal yang berpasangan dan menyertainya... Namun keseimbangan bukanlah merupakan bobot aktivitas yang sama dilakukan.. 
Melainkan  keseimbangan kodrati itu ada dalam diri kita... Mengelola sebuah keseimbangan yang baik harus dilakukan...Yaitu dengan mengutamakan sisi kebaikan dan meminimalkan keburukan... Untuk menemukan diri yang sejati
Melakukan sebuah kebaikan dengan ikhlas adalah sebuah harapan ... Karena dengan kebaikan akan menentramkan diri... Kebahagian orang lain bukanlah harapan... Dan ridho sang Pencipta adalah keinginannya..
Bukanlah sebuah kebaikan jika tanpa ada nilai ikhlas... Bahkan jika hanya sekedar ingin mengharapkan tepuk tangan dari orang lain.. Akan mencederai kebaikan yang kita lakukan... Bahkan menghilangkan makna dan hakekat diri sebagai manusia..
Oiii... Mengapa sekarang diri banyak lakukan itu... Kebaikan yang hanya sekedar menunggu sanjungan dan pujian orang lain... Kebaikan hanya sekedar alat politik... Untuk menuju hasrat dan kuasa untuk berkuasa..
Hai diri... Mengapa diri lakukan itu... Apakah diri sudah bukan manusia.. Apakah diri hanya ingin popularitas... Dan Apakah diri Sudah bukan lagi menjadi diri dengan  hakekat manusia karena terpenjara oleh nafsu keinginan..
Maafkan diri ini hai Sang Pencipta... Yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman.. Yang tidak sadar akan hakekat diri... sehingga berlaku hina layaknya makhluk yang tak berakal..
Hai Sang Pencipta... Bukalah pintu maaf untuk diri ini... Akibat lupa akan diri yang sesungguhnya... Karena diri melakukan kehidupan hanya untuk sang tuhan keinginan..
Hai Sang Pencipta... Mudahkanlah pemahaman pada diri... Agar senantiasa diri mau belajar dan membaca... Bait-bait dan Senandung Cinta yang telah Engkau berikan kepada kami di dalam Buku Panduan Hidup dalam Kehidupan Manusia..
Amiiin
(KAS, 6/6/2021, Puisi Nilai Kebaikan)

Kehidupan diri sekarang ini terasa sangat jauh dari rasa ketentraman hati.  Banyak masalah dan problema hidup yang menyertai langkah kehidupan setiap manusia.  Memang manusia dikatakan hidup jika dirinya selalu berhadapan dengan masalah namun jika diri tidak mampu mengelolanya dengan baik akan menjadi beban diri dan bisa menjerumuskan serta menyesatkan perjalanan dalam  kehidupan di dunia ini. Dan jika diri kita mampu menaklukkan problema dengan menggunakan pemahaman ilmu yang benar maka diri akan diangkat derajat oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang sempurna.

Kebanyakan diri sudah merasa cukup enjoy dengan kondisi sekarang ini entah itu dalam hidup yang benar atau hidup yang keliru. Kehidupan manusia sekarang yang dijalani ibarat sebuah ritualitas hidup yang dimulai dari bangun pagi sampai tidur lagi.  Hal ini dilakukan terus menerus tanpa ada pemikiran diri mengenai apa hakekat yang dicari dalam kehidupan sesungguhnya.  Banyak kegiatan diri dalam sehari-hari hanya bekerja dan fokus untuk mencari nafkah agar "kebutuhan" hidup kita bisa dipenuhi bahkan ritual ibadahpun dilakukannya dengan "khusyuk".  Namun kegiatan yang selama ini kita lakukan bagaikan sebuah ritual saja yang tidak berisi nilai apapun.  Jika ada nilai yang dikandungnya pun bukan hakekat nilai yang sesungguhnya dicari.  

Sebagai sebuah ilustrasi ketika diri melakukan "ritualitas kehidupan" dimulai dari bangun tidur diteruskan dengan bekerja dan kembali untuk istirahat di waktu malam dan tidak lupa jika diri muslim diselingi dengan ibadah-ibadah wajib maupun sunah untuk meningkatkan nilai "kebaikan" pada diri kita di mata Sang Pencipta dan di mata manusia lain.   Ketika diri melakukan aktivitas "ritual kehidupan seperti ini apakah sudah sesuai dengan Buku Panduan atau hanya untuk mencari "nilai diri".  Jika ini dilakukan seperti itu tidaklah akan menemukan ketentraman diri malah semakin diri merasa gersang dan jauh dari kebahagian.  Walaupun kegiatan tersebut nampak baik namun keliru di mata Sang Pencipta sehingga berdampak pada kegersangan jiwa yang menjangkiti diri manusia.  

Kegersangan jiwa dan ketidak bahagian ini timbul ketika diri manusia keluar dari pemahaman pengetahuan yang ada dalam Buku Panduan.  Hal ini menyebabkan terjadi pergesaran atau kekeliruan dalam mencari dan menemukan titik keseimbangan kehidupan yang berakibat pada gersangnya jiwa manusia.  Kegersangan ini merupakan bentuk kegelisahan yang ada pada diri manusia yang berdampak diri bagaikan bukan "manusia" yang sesungguhnya  karena hidup hanya didasarkan atas naluri kehidupan sebagai makhluk hidup (baca: Hilangnya Nurani dan Naluri ).  

Fenomena kehidupan yang sekarang seperti tersebut di atas banyak  kita alami hal tersebut merupakan sebuah kondisi yang biasa terjadi pada diri manusia.  Ketika diri tidak memiliki kesadaran tentang makna hidup yang berdampak pada kegersangan jiwa dan jauh dari kebahagian maka akan berdampak diri bagaikan hidup terpenjara. Hal ini sudah diberikan contoh oleh alam dengan digambarkan seperti sebuah air bersih yang tidak bisa mengalir ke laut.  Air yang tidak dapat mengalir dan hanya berkumpul dalam sebuah kolam lama kelamaan akan menjadi air keruh bahkan lama kelamaan menjadi sumber banyak penyakit.

Jika diri memiliki kesadaran dengan kondisi yang "biasa" seperti ini maka akan tergerak hati kita untuk mencari sebab musabab yang menjadikan diri terpenjara dalam kehidupan seperti sekarang ini. Ketika diri sadar dengan kondisi seperti ini akan berakibat diri ibarat seperti terbangun dari "mabuk" perjalanan kehidupan yang terbuai oleh nafsu keinginan.  Karena mungkin akan menemukan jawaban bahwa kehidupan selama ini hanyalah kehidupan yang dijalani bagaikan hanya menuruti naluri hidup untuk berkehidupan di dunia yang fana ini.

Padahal ketika diri berhadapan dan dimintai sebuah pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan di dunia maka diri akan terbelalak dengan laporan pertanggungjawaban yang berisi rapor merah alias kegagalan dalam mengarungi samudra kehidupan.  Hal ini dikarenakan bukti-bukti kehidupan yang ditunjukkan tidak memiliki nilai yang mencerminkan diri sebagai manusia yang berakal (baca:mencari akal).  Kegagalan diri menjadi manusia berakal mengakibatkan bukti-bukti yang nampak adalah bukti-bukti yang tidak memiliki nilai yang tinggi.  Jika demikian ini terjadi mungkin diri perlu mengenal dan mempelajari jenis dan macam bukti yang bernilai tinggi bagi manusia.  Karena bukti itulah yang akan menguatkan diri untuk dipersilahkan masuk ke rumah Sang Pencipta lewat ruang tamu atau masuk lewat dapur yang harus melalui tungku pemanas.

Bukti merupakan jejak kehidupan yang ditinggal diri manusia sebagai bentuk saksi atas perbuatan yang pernah dilakukannya selama hidup di dunia.  Bukti ini bisa menunjukkan sebuah bentuk kebaikan dan keburukan yang pernah kita lakukan di dunia ini.  Namun nilai dari bukti ini tergantung pada level bukti yang dimiliki yang tergantung pada penarapan pemahaman atas ilmu yang dimilikinya sebagai manusia yang sempurna.

Level bukti kehidupan ini di dalam Buku Panduan di bedakan menjadi empat macam dan sesuai dengan tingkatan level ilmu yang ada.  Semakin tinggi level bukti kehidupan akan memiliki bobot nilai yang tinggi dihadapan Sang Pencipta.  Namun semakin rendah level bukti kehidupan akan semakin ringan bobotnya.  Level bukti ini sejajar dengan tingkatan ilmu yang ada yaitu syari'at-tarekat-makrifat dan Hakekat.  Adapun level bukti ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pemahaman bukti diri laksana diri mencari bekas kaki

Bukti diri laksana mencari bekas kaki ini menunjukkan bahwa jejak kebaikan kehidupan yang pernah dilakukan oleh diri manusia di dunia hanya sebatas bukti ritualitas kebaikan yang tanpa memiliki nilai yang istimewa.  Ketidak adaan nilai ini diakibatkan ketika diri melakukannya karena dibarengi dengan maksud atau motivasi lain.   

Sebagai ilustrasi dalam bukti dalam level ini adalah diri mencoba melakukan sebuah kebaikan baik untuk diri yang berhubungan dengan ibadah namun tujuannya adalah bukan semata-mata karena diri berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Datangnya diri ke tempat ibadah walaupun sebetulnya tanpa muncul agar diri dikenal sebagai seorang ahli ibadah namun kedatangannya tanpa niat yang tulis hanya sekedar menggugurkan kewajiban atau bahkan untuk dikenal masyarakat bahwa diri adalah orang yang baik.  Kebaikan yang diri lakukan adalah meninggalkan bukti level satu yaitu bukti yang sekedar untuk kepentingan duniawi saja.  Pemahaman ilmu yang dimiliki merupakan ilmu yang sebatas bagaimana sebuah kebaikan itu dilakukan tanpa ada nilai lebih yang dimiliki.  Hal ini berakibat bukti hanyalah sebatas kebaikan di dunia karena masih mementingkan diri dalam popularitas untuk mendapatkan materi dunia.

2. Pemahaman bukti diri laksana diri laksana menjatuhkan diri ke tanah

Pencarian bukti kehidupan dalam level kedua ini ibaratnya diri sudah memahami diri dan mengerti akan posisi diri sebagai individu dan manusia.  Sebagai manusia yang diharapkan oleh Sang Pencipta adalah tujuan utama yang ingin dicari dalam kehidupannya.  Maka diri dalam melakukan kebaikannya pun sudah di dasari pada pemahaman atau ilmu yang sesuai dengan Buku Panduan. Akibatnya apapun kebaikan yang dilakukan adalah dengan tujuan yang baik namun baru mencapai separuh makna ini berarti bahwa diri melakukan kebaikan sebatas pemahaman yang sempit dari sedikit ilmu yang dia peroleh karena diri melakukan seperti layaknya jual beli dengan Sang Pencipta.  

Ketika diri melakukan kebaikan dengan niat yang baik namun diri ingin mendapatkan nilai yang lebih dari Sang Pencipta.  Sedangkan masalah kebaikannya ingin di berikan tepuk tangan orang lain atau tidak sudah bukan lagi dalam motivasi kebaikan yang dia berikan.  Sebagai ilustrasi adalah adanya seseorang yang melakukan kebaikan baik untuk dirinya sendiri dengan beribadah atau kebaikan untuk orang lain semata-mata karena Sang Pencipta namun hati kecilnya berharap adanya imbalan baik fisik atau non fisik atas perbuatan yang dia berikan.

3. Pemahaman bukti diri bagaikan meninggalkan teladan yang baik

Pencarian bukti kehidupan bagaikan meninggalkan teladan yang baik ini maksudnya bahwa diri sudah mencapai level tiga dalam kehidupan di dunia ini.  Ketika diri melakukan kebaikan adalah dengan pemahaman ilmu yang cukup sehingga kebaikan yang kita lakukan adalah karena diri mencari cinta Sang Pencipta.  Diri dalam kondisi mencari cinta ini adalah dengan melakukan kebaikan yang tanpa pamrih apapun karena semuanya di dasarkan oleh cinta.  Namun kesulitan mencari cinta dari Sang Pencipta ini adalah sebuah tantangan yang panjang maka godaan dan mudahnya tergelincir niat kebaikan ini sangat mudah sekali (baca: Diri sebagai Pengemis atau Pecinta ).  Tergelincirnya ini akibat diri kita dalam melakukan kebaikan dianggap sebagai sebuah pertolongan atau obat hati bagi orang lain dan berakibat diri laksana dikultuskan sebagai dewa penyelamat bagi kehidupan orang lain.

Sebagai ilustrasi adanya seorang yang paham dengan ilmu agama dan selalu memberikan tausiyah dan mendermakan sebagian rejekinya kepada orang yang sangat membutuhkan.  Kebaikan yang dilakukannya itu dianggap berlebih oleh orang lain dan berdampak laksana dirinya sebagai orang yang harus selalu diingat oleh orang lain atas kebaikannya.  Mereka memuja dan melakukan ritual doa yang mengkultuskan dirinya sebagai penyelamat yang disamakan kedudukannya seperti seorang utusan dari Sang Pencipta.  

4. Pemahaman bukti diri bagaikan menghilangkan bekas yang telah dilakukan

Pencarian bukti diri bagaikan menghilangkan bekas apa yang telah dilakukan adalah derajat tertinggi bagi seorang manusia.  Inilah yang disebut dengan manusia yang sempurna.  Manusia yang sempurna adalah mengenal hakekat dirinya secara utuh.  Dan Manusia yang seperti ini adalah mereka yang sudah menemukan akal sebagai konektivitas diri kepada Sang Pencipta (baca: Diri dan Sang Pencipta ).  Sehingga berdampak kebaikan yang dilakukan adalah didasarkan karena hakekat diri sebagai manusia yang berkehidupan di dunia ini karena diri sebagai pengganti dan diri sebagai ciptaan dari Sang Pencipta.

Magelang, 6/6/2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah