DIRI: HILANGNYA ANTARA NURANI DAN NALURI

HILANGNYA NURANI DAN NALURI 

 Mungkin ini percakapan yang mustahil, antara air dengan manusia yang kotor... Sang Air berkata: "Hai manusia yang kotor, berlarilah secepat mungkin ke diriku,maka aku akan membersihkan dirimu, yang penuh noda dan kotoran...".

Manusia yang kotor menjawab: "Hai air, apakah aku tidak akan mengotorimu... padahal teman dan sahabat serta saudaraku saja menjauh takut dan Jijik melihat diriku Dan mereka juga takut jika terkena kotoran jika membantu diriku,, aku ini manusia hina yang sudah tidak layak lagi untuk memiliki teman dan saudara..."

Sang Air berkata: "jangan takut hai manusia, aku tahu dari awal bahwa dirimu terbuat dari bahan yang nista, namun kamu diberikan kelebihan dibandingkan dengan yang lain,  masuklah ke diriku, maka aku akan membersihkan dirimu melebihi kebersihan manusia-manusia yang kamu anggap teman atau sahabat itu!.  Tidak ada yang dapat membersihkan dan mensucikan dirimu selain diriku".. Dirimu akan menjadi suci kembali dan Hatimu tidak akan kotor karena ada di dalam dada meskipun kamu diterpa badai yang lebat dan terjatuh dalam kubangan lumpur kehidupan yang kotor dan hitam pekat."


Dalam membahas bab ini tentang hilangnya nurani dan naluri manusia yang sekarang ini sadar atau tidak sudah menjadi hal umum bagi manusia.  Kehilangan nurani dan naluri ini disebabkan ketidaksadaran manusia dalam berperilaku sehari-hari, terlebih dengan kondisi kemajuan teknologi informasi dan pendidikan yang mungkin salah kiblat.  Untuk membahas tentang hilangnya Nurani dan Naluri manusia mungkin akan kita berikan prolog sebagai pengantar materi ini.

Sebut saja Budi si pelakon dalam cerita ini.   Budi dilahirkan dari keluarga yang sederhana, namun orang tuanya adalah seorang pekerja keras dalam kehidupan sehari-hari.  Ayahnya seorang pegawai yang memiliki semangat kerja yang keras dan memilki keinginan untuk menjadi seorang pejabat dipekantoran.  Sedangkan ibunya adalah seorang pedagang di pasar yang bekerja dari pagi sampai sore hari.  

Ketika Budi belum lahir kedua orang tuanya bukan lah orang yang sibuk mereka biasa bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai dengan jam 1 siang.  Namun setelah kelahiran Budi orang tuanya mulai naik derajatnya, Ayahnya bisa pulang sampai jam 7 malam hanya untuk tanggungjawab menyelesaikan tugas kantornya dan ibunya mulai laris dagangannya sampai jam 5 sore baru bisa pulang.  Hal ini mengakibatkan si Budi dari umur 3 bulan sudah di asuh oleh pembantunya, sehingga pendidikan asuhnya hanya diserahkan  kepada pembantu.  Setiap harinya bergaul dengan orangtuanya hanya sebatas sapa tanpa ada "guyonan" yang menunjukkan pendidikan orang tua kepada anaknya.  Walaupun setiap minggu si orang tua mengajak pergi keluar bersama-sama sebagai ujud balas karena selama enam hari tidak bertemu dengan si anak.

Ketika si Budi Lulus SD orang tua ingin anaknya pintar dalam pendidikan umum dan agama, maka si Budi pun di carikan sekolah yang favorit termasuk di dalamnya "mondok" di sekolahan tersebut.  Dan sejak saat itupun merupakan hari hari kebersamaan mereka terakhir dirumahnya, karena Budi terus belajar di sekolah yang berasrama dan di lanjutkan sampai ke perguruan Tinggi yang bonavide di luar daerah.

Setelah lulus dari perguruan tinggi Budi merantau ke Ibu Kota untuk mencari pekerjaan dengan pendidikan umum yang lumayan dan pemahaman agama yang lumayan tinggi.  Kesibukan Budi dalam bekerja pun  sesibuk orang tuanya dulu, sehingga lupa bahwa Budi Punya orang tua yang tinggal di desa yang sudah purna tugasnya.

Suatu hari kedua orang tuanya sakit keras bersama-sama, dan tidak bisa untuk beraktivitas normal.  Mereka meminta pembantunya untuk menghubungi Budi.  Ketika ditilpun oleh pembantunya Budi merasa senang, namun ketika dikabari bahwa orang tuanya sakit dan dimintanya untuk pulang diapun  menjawab dengan datar. "Aku baru sibuk kerja, karena ada date line tugas kantor yang harus segera dilaporkan" dan Budi pun merasa tidak ada salahnya ketika dia menjawab itu.  Mendengar jawaban itu si orang tua menangis dan merenungi kehidupannya.  mereka terdiam dan hanya menyalahkan si Budi sebagai anak yang tidak berbakti kepada dua orang tuanya.  

Singkat cerita tiga hari setelah ditilpun orang tuanya, orang tuanya meninggal karena sakit dan penyesalan atas perjalanan hidupnya.  Meninggalnya orang tua itupun tidak sempat Budi menjenguk pada waktu sakit.  Sehingga ketika dikabari kabar duka tersebut seperti tersambar petir disiang hari. Rasa penyesalan atau rasa yang lain bercampur aduk di alaminya.

Sedikit cerita itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi di lingkungan kita.  Siapa yang salah?  Orang tua atau Anak?  Orang tua mungkin ada salahnya ketika mereka terlalu fokus untuk mencari materi demi derajat dan kebutuhan rumah tangga sampai lupa dia diberi tanggung jawab anak untuk mendidik dan membesarkan, bukan memasrahkan pendidikan pada pembantu atau asrama pendidikan. Perlu disadari bahwa besuk sama pencipta orang tua akan dituntut pertanggungjawaban atas anak tersebut.   Kasih sayang dan didikan orang tua tidak bisa digantikan oleh orang lain.  Nurani dan Naluri orang tua itulah yang menjadi dasar pendidikan untuk anak dan sebagai bekal untuk kehidupannya besuk.  Karena anak akan mencontoh apa yang sudah diajarkan dan dicontohkan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. 

Ketika orang tua menyerahkan pendidikan ke orang lain merupakan sebuah lempar tanggung jawab dalam mendidik anak.  Mungkin hal ini tidak disadarinya karena mereka memiliki argumentasi yang kuat.  Namun jika mereka mau "mengaji" dengan berpikir dan merenung secara iklhas pasti akan menemukan jawaban apakah dengan melakukan seperti itu dan hanya membalas pendidikan yang tidak tersentuh selama 6 hari dapat digantikan dengan sehari penuh bermain dengan si anak (apakah ini cukup).  

Jika kita menyalahkan anak, bisa jadi anak memiliki argumen bahwa dia hampir diperlakukan sama ketika dia masih kecil ditinggal oleh orangtuanya karena alasan mencari uang untuk si anak.  Si anak paham tentang agama maka diapun tidak terima itu karena anak yang dilahirkan oleh sang Pencipta sudah diberi bekal rejeki yang cukup.  Dan merekapun ketika seperti cerita di atas ketika kedua orangtuanya membutuhkan kehadirannya karena sakit dan mau mendekati ajal, tidak tergerak hatinya karena hilang/lupa bahwa memiliki nurani dan naluri sebagai anak kepada orang tua akibat tidak pernah tersentuh kasih sayang yang cukup sewaktu anak dalam tanggungjawab pendidikan orang tua.

Permasalahan yang seperti prolog tersebut sudah banyak dan sering terjadi di lingkungan kita.  Secara lahirah memang bukan masalah yang besar, karena sudah merupakan hal yang umum bahwa kesibukan bekerja sebagai argumen utama untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Kesibukan pekerjaan bagi orang orang sekarang mungkin hal yang lumrah karena apapun dinilai dengan materi-hasil dan popularitas.  value-value yang dikembangkan oleh kaum materialisme sudah mencengkeram urat nadi manusia bahkan agama sebagai kedok (dipotong-potong ayatnya) untuk melegalkan apa yang mereka lakukan.

Bahkan lebih fatal lagi pendidikan agama hanya mengarah pada fisik saja yaitu masalah ritual dan perkataan, bukan masalah spiritual dan hakekat dari tujuan diciptakan yang berdasarkan BUKU PANDUAN.  Pe"melenceng"an atau pembelok arah perintah dan prosedur hidup di manipulasi untuk tujuan golongan tertentu.  Modernisasi sebagai sebuah tuntutan yang semakin jauh meninggalkan TUNTUNAN.  BUKU PANDUAN digunakan sebagai bekal untuk mencari materi yang lebih dengan jalan yang kurang tepat.  Pemutar balikkan ajaran di lakukan agar manusia bisa terpuaskan diri mereka sehingga semakin jauh untuk menemukan "diri yang sesungguhnya"

Fenomena seperti ini bukanlah merupakan contoh yang baik untuk ditiru karena hidup di dunia ini adalah sebuah keseimbangan antara jasmani dan ruhani.  Keseimbangan antara jasmani dan ruhani inilah yang akan mengasah Nurani dan Naluri manusia untuk menjadi manusia yang sesungguhnya.  Ketidak seimbangan jasmani dan ruhani yang ada akan mengakibatkan hilangnya naluri dan nurani manusia. Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas tentang Nurani, Naluri dan Matinya Nurani dan Naluri.

Nurani dan Naluri

Seperti kita ketahui posisi kita sebagai manusia hakekatnya adalah mahkluk yang sempurna, karena memiliki kesempurnaan dalam penciptaanNYA.   Walaupun kita sadari bahwa diri kita berasal dari unsur terendah, namun karena kasih sayang Sang Pencipta kita diangkat menjadi mahkluk yang sempurna yang memiliki tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain. 

Kesempurnaan inilah yang membahwa kita memiliki Nurani yang bersih yang menjadi tempat untuk mencerna prosedur hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta.  jika Nurani kita bersih maka manusia yang ada adalah manusia yang berkelakuan baik.  Namun sang Pencipta memberikan kebebasan kepada manusia atas pemeliharaan Nurani yang dimilikinya.  Bisa Bersih atau Hitam bagaikan terttutup lumpur yang pekat dan mengeras.  Kebebasan inilah merupakan ujud kebesaran Sang Pencipta yang memberikan hak asasi kepada manusia.  Namun semuanya akan dituntut pertanggungjawabannya kepada NYA.

Sehingga dapat diartikan bahwa Nurani adalah bentuk kesadaran diri yang berarti kebebasan manusia dalam memiliki kesadaran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.  Hukum baik dan buruk ini merupakan hukum mutlak yang berdasarkan pada BUKU PANDUAN yang diberikan kepada manusia.  Ujud dari nurani ini adalah pertimbangan yang baik dan pemahaman yang baik yang muncul dalam mempengaruhi manusia dalam menggunakan otak (kepala), rasa (dada) dan perut (hawaa). output yang dikeluarkan adalah tindakan manusia dalam kehidupan sehari hari . 

Proses atau prosedur kerja dari Nurani dapat digambarkan sebagai berikut:

Interaksi antara elemen elemen yang ada di dalam diri manusia itulah yang menjadi kerjanya manusia dalam kehidupan sehari-hari.  Kerjanya qolbu atau nurani inilah yang menyebabkan manusia bisa melakukan tindakan dalam kehidupan sehari hari.  Namun ada tiga ciri nurani manusia itu, pertama  bersifat labil, kedua mudah mengeras, dan ketiga bersifat peta perjalan hidup.  Nurani bersifat labil artinya bahwa manusia itu bisa berubah-ubah dalam kehidupannya, kadangkala orangnya baik dan kadang kala berubah menjadi tidak baik, Perubahan ini diakibatkan karena asupan dan kapasitas manusia dalam kehidupan.  Kapasitas adalah merupakan tingkat "ilmu" yang dimiliki dalam hubungannya manusia dengan sang Pencipta.  Kapasitas ini bisa meningkat jika manusia mampu melakukan "belajar" dan "perenungan" terhadap BUKU PANDUAN.   Sedangkan asupan adalah jarak jelajah manusia dalam bermusafir untuk menuntut ilmu sebagai bekal dalam perjalanan hidupnya. Semakin jauh dia melangkah maka semakin besar asupan dan kapasitas yang dimiliki oleh manusia

Sedangkan Pemahaman Naluri dalam pemahaman umum dihubungkan dengan nalar.  Namun menurut pemamaham kami naluri adalah sifat alami yang merupakan fitrah dan pemberian Sang Pencipta kepada seluruh umat yang ada untuk tetap memiliki semangat dalam perjuangan hidupnya.  Karena sifatnya umum maka naluri dimiliki sama oleh setiap mahkluk, yang mengakibatkan unsur yang sama pada hakekatnya,   maka naluri memiliki 3 unsur yaitu kepala (otak), rasa (dada) dan Perut (Hawaa).  Karena tiga unsur tadi maka dapat digambarkan sebagai berikut:


Jika kita melihat perbedaan dengan nurani maka naluri tidak ada qolbu sebagai pertimbangan dalam melakukan tindakan yang diambil.  Manusia berbuat bisa hanya didasarkan pada otaknya saja, rasa yang menjadi pertimbangan atau dari perut yang menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan.  Maka keputusan yang diambil adalah keputusan yang bersifat umum tanpa sentuhan hati.  Sentuhan hati inilah yang biasanya didominasi oleh nilai tertentu, namun di naluri tidak tampak.  Tindakan yang diambil bisa merupakan tindakan yang baik ataupun tindakan yang buruk, sedangkan hati tindakan itu baik atau buruk berdasarkan pada buku PANDUAN.
suatu misal orang bisa memilki keinginan untuk menyalurkan hasrat seksual, jika hanya berdasarkan naluri maka dia bisa melakukan itu dengan siapapun dan dimanapun tanpa ada pertimbangan yang lain.  Namun jika memiliki Nurani yang baik maka banyak pertimbangan dilakukan untuk menyalurkan hasrat tersebut.  banyak contoh yang bisa pembaca kembangkan sendiri.

Matinya Nurani dan Naluri Manusia
Nurani bisa mati jika dia bersifat keras dan tertutup.  Keras atau tertutupnya nurani jika manusia tidak pernah melakukan pencarian ilmu.  Ilmu yang dicari adalah ilmu yang salah kiblat yang bukan berdasarkan pada filosofi buku PANDUAN. Kesalahan umum yang terjadi bukan karena manusia tidak belajar, akan tetapi manusia belajar hanya sebatas belajar untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari- hari.  hal inilah yang mengakibatkan nurani tak tersentuh dan peka terhadap sinyal sinyal kehidupan.
Ketidakpernah tersentuh itu mengakibatkan nurani yang dimiliki manusia semakin mati sehingga mengakibatkan manusia hanya mengandalkan pada unsur manusia secara fisik tanpa cahaya sang Pencipta. Dengan mengandalkan unsur fisik tersebut maka menjauhkan diri manusia dari peta perjalanan kehidupan di dunia dan mengakibatkan terperosok pada lembah yang paling rendah dibandingkan dengan mahkluk lain. Alangkah disayang jika posisi manusia mengalami kematian Nurani.
Naluri bisa mati jika tiga organ utama manusia tidak bisa synergi dalam berjalan, karena ada satu unsur yang berjalan bisa otaknya, bisa rasa, atau bisa hanya hawaa nya saja yang bekerja.  jika tiga unsur tidak seimbang dalam berproses dalam mengambil keputusan untuk kehidupan manusia maka dapat dikatakan orang tersebut mati nalurinya.  Suatu misal orang hanya bekerja otaknya  maka dia dalam kehidupan hanya mengutamakan logika kering yang tidak disertai dengan rasa dan hawaa.  hidupnya hanya seperti sebuah komputer yang mampu mengolah data namun tidak dapat melakukan apapun.  Jika otak hanya berpikir materi maka tidak memiliki rasa belas kasih atau rasa bersalah yang penting materi di dapat, bahkan manusia seperti ini bisa lupa akan kebutuhan perut/keturunannya karena sibuk dalam berpikir untuk mengejar materi atau popularitas.  hal ini seperti contoh dalam prolog di atas.
Orang Tua Budi dan Budi terdoktrin pada otak saja sehingga tidak memiliki keseimbangan antara rasa kasih sayang terhadap perut (orang tua dan keturunannya) mereka hanya mengejar materi dengan otak untuk mengambil keputusan dalam kehidupannya.
contoh lain yang mengandalkan rasa  atau perut saja bisa pembaca renungkan sendiri.
Terima kasih
Magelang, 21/10/20
Ki Ageng sumingkir





Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah