Diri Yang Terlena (belajar dari wabah covid)

Banyak orang pintar dan pandai... Yang semuanya memiliki ilmu dan strategi untuk bertahan hidup... Namun hidup seperti apa yang hendak dicari... Apakah sesuai dengan tugas diri sebagai manusia?
Banyak orang pintar dan pandai... Yang kerjanya setiap hari selalu "baca"... Namun baca apa yang dilakukannya... Apakah sesuai dengan "baca" seperti tugas diri sebagai manusia...
Banyak orang pintar dan pandai... Yang hidupnya selalu bergelut dengan kehidupan dan kebaikan untuk orang atau makhluk lain... Namun bukan "tugas" yang diri lakukan... Karena semuanya hanya untuk memuaskan diri dan ambisi popularitas 
Ooooiii.... Mengapa ini bisa terjadi... Mengapa diri terlena... Dan dimana Salah diri ini..
Ketika "ajaran dan perintah" dilalaikan... dan "Buku Pedoman hidup" dimaknai sesuai keinginannya... Maka Pemilik alam pasti akan memberi teguran... Dan semua ini hanya untuk mengingatkan hakekat diri manusia
Peringatan ini ibarat sebuah peperangan... Yang muncul dan dikirim seperti debu yang berterbangan... Dan akan dihirup oleh semua manusia... Dan membunuh orang orang yang fasik
 Peringatan ini ibarat sebuah nasehat... Yang mengejutkan diri manusia untuk berpikir... Akibat kelalaian tugasnya dan kurangnya rasa bersyukur.... Semua ini telah mengakibatkan diri lalai untuk "baca" posisi
Hai sang Pencipta... Ampunilah diri ini... Yang telah lalai dalam menjalankan misi... Untuk mencari bekal perjalanan diri..
Hai sang Pencipta... Jangan binasakan diri kami... Kami bukanlah generasi yang pantas untuk digantikan... Karena kami yang tidak sadar bahwa jalan kami salah...
Hai Sang Pencipta... Tunjukilah jalanMU... Jalan yang Engkau Ridhai... Karena diri selalu ingin menjadi umat yang terbaik
(KAS, 23/6/2021, PINTER NING KEBLINGER)

Tulisan ini diri buat sebagai bahan untuk belajar atas fenomena yang sekarang terjadi. Ketika banyak teman dan tetangga yang meninggal ataupun sakit dan tidak mengenal umur atau agama menjadikan diri merasa prihatin atas kondisi ini.  Memang disadari atau tidak mungkin semua diri kita sudah terinfeksi namun mengapa ada yang mampu bertahan dan ada yang langsung mengalami kematian. Hal ini ibarat sebuah fenomena kehidupan manusia yang diakibatkan oleh kesombongan diri dari ilmu yang dimiliki.   Ketika diri bersifat masa bodo karena merasa ini adalah sebuah takdir maka sebetulnya bentuk "kebodohan" yang dipertahankan.  Namun ketika diri mau mengkaji lebih dalam pasti akan menemukan makna yang lebih tidak sekedar sebuah wabah penyakit yang menjangkiti dunia ini.  Kajian pasti dilakukan dengan "membaca" fenomena dan mencocokkan dengan apa yang terkandung dalam buku Panduan.

Adanya wabah covid 19 yang kembali memuncak dengan bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi dan banyaknya orang-orang yang meninggal mengingatkan diri kembali untuk membuka dan membaca buku Panduan dan mencari ayat-ayat yang pas tafsirnya dengan kondisi ini.  Ketika ini diri lakukan pasti akan mengalami kesulitan jika tidak terbiasa melakukan.  Maka dengan adanya wabah ini semoga diri akan terbiasa lebih memaknai apa yang terkandung dalam sebuah peristiwa dengan mempelajari dan mencari literasi di dalam buku Panduan tersebut.  

Covid yang disebarkan oleh virus yang menyebar lewat udara ibarat sebuah debu yang berterbangan dibumi ini sekarang.  Jadi mungkin dapat dikatakan bahwa udara di dunia ini sudah bercampur dengan debu (virus).  Dan ketika diri kita melihat latar belakang virus ini ada karena diciptakan oleh orang-orang pintar yang akan digunakan untuk berperang.  Maka virus yang ada ini ibarat percikan api yang berubah menjadi debu yang dihentakan oleh kuda kroya orang yang pintar untuk tujuan berperang dan membunuh para musuh.  Namun kehendak manusia yang tidak baik itu ternyata tidak direstui oleh Sang Pencipta. Dan akibatnya percikan api ini tidak hanya membunuh musuh tapi juga membunuh diri mereka sendiri yang menciptakannya.  

Orang pintar yang menciptakan seperti ini bukanlah orang yang pintar tapi merupakan orang yang bodoh yang merasa pintar dan ingin menjadi penguasa melebihi kekuasan Sang Pencipta.  Tapi dari tangan orang yang bodoh namun merasa pintar ini Sang Pencipta mengingatkan manusia akan kondisinya.  Ketika diri membaca fenomena ini maka akan mendapatkan bahan untuk belajar mengapa Sang Pencipta memberikan wabah yang berupa debu itu untuk pelajaran kehidupan.  Memang banyak diri kita yang tidak sadar dengan kondisi  seperti ini sebagai sebuah peringatan malah lebih sibuk mencari obat untuk jalan keluar.  Namun realita banyak nya orang pintar yang meneliti atau bahkan orang yang menemukan virus pun tidak mampu untuk mengobatinya.

Ketika kehidupan "new normal" yang sekarang ini dijalankan dimana setiap orang melakukan tes swab/antigen/g-nose diri penulis teringat sebuah permainan waktu masih kecil.  Ada sebuah hewan yang diambil dari alam bebas yaitu "jangkrik" dan sering digunakan sebagai binatang aduan.  Memang sebuah bentuk kedholiman diri pada waktu itu yang suka mengadu jangkrik tersebut.  Namun dari fenomena mainan kecil ini dapat menggambarkan kehidupan manusia sekarang.  

Pertama, dari jangkrik yang dibuat aduan, bermakna bahwa kehidupan jangkrik yang siap adu adalah jangkrik yang hidup alami sehingga memiliki power yang kuat dan semangat yang alami untuk bertarung mengarungi kehidupan yang alamiah.  Namun jangkrik sekarang adalah banyak jangkrik yang tidak alami tapi ilmiah karena hasil dari budidaya untuk tujuan tertentu  sehingga tidak ada lagi jangkrik yang siap untuk hidup secara kodrati.  Hidup jangkrik yang demikian adalah jangkrik yang terkurung/terpenjara dan tidak pernah tersentuh oleh alamiah karena hidupnya dengan ilmu yang salah.  Bahkan kehidupannya pun hanya sebatas pada umur tertentu untuk tujuan tertentu pula.  Sebuah ironi kehidupan jangkrik yang berubah dan berusaha dikembangkan secara ilmiah.

Kedua, dari makna jangkrik untuk kehidupan manusia, bermakna bahwa dalam kehidupan manusia sekarang ini laksana hewan jangkrik karena mereka yang sehat adalah mereka yang lolos antigen/swab/g-nose.  Mereka yang sehat adalah yang bisa lepas dan bebas untuk menghirup udara segar diluar dan hidup alamiah sedangkan yang tidak lolos adalah mereka yang dikatakan tidak memiliki power untuk bisa bertahan pada peperangan dikehidupan alamiah.  Hal ini berarti kehidupan manusia sekarang ini laksana jangkrik ternak yang terpenjara dalam ilmu yang ilmiah.  Karena kiblat ilmu ilmiah ini yang keliru mengakibatkan diri bukan menjadi manusia yang sesungguhnya melainkan menjadi diri manusia yang laksana jangkrik ternak. Sebuah ironi kehidupan manusia yang seperti ini karena dalam kehidupannya tidak pernah merasakan sentuhan dari "ajaran" yang terdapat dalam "Buku Panduan"  karena merasa sudah menguasai padahal sama sekali tidak pernah merasakannya indah dan damainya "ajaran dari Buku Panduan".

Keputusasaan para "orang pintar dan penguasa" dengan kondisi ini seharusnya menimbulkan kesadaran pada diri kita agar kembali kepada Ajaran dan Buku Panduan.  Bukan menyalahkan atau malah sibuk dengan hal-hal yang sifatnya materi.  Selama nafas masih di dalam diri kita mari belajar dan kembali ke jalan yang benar bukan malah merenungi nasib sebagai generasi yang tergantikan karena merasa diri akan mati karena "debu" ini.

Pelajaran dan wabah debu ini diberikan kepada:

1. Diri yang Ingkar

Ketika diri dikatakan ingkar berarti diri menempatkan atau berbuat sesuatu terhadap Sang Pencipta.  Dan ketika diri menempatkan  posisi manusia ingkar terhadap Sang Pencipta berarti terdapat empat dimensi dari pemahaman ingkar.  Empat dimensi ingkar ini adalah :

  • Diri menyalahi sang Pencipta.  Ini berarti diri memahami apa yang baik dan salah tentang segala sesuatu yang ada dalam kehidupan.  Jika orang umum mendifinisikan ketika kita berbuat baik maka diri akan mendapatkan pahala namun jika diri melakukan kesalahan berarti diri akan mendapatkan dosa.  Namun realitanya banyak diri kita yang mengetahui bahwa itu sebuah kesalahan namun karena adanya sesuatu yang lebih diutamakan maka sebuah kesalahan itu dianggap sebuah kebaikan.  Karena tidak ada yang salah dalam kehidupan walaupun itu sudah aturan yang ada (pembelaan umum untuk mendapatkan tujuan tertentu).  Pemahaman itu diputar balikkan oleh diri karena untuk kepentingannya.
  • Diri tidak mengakui Sang Pencipta.  Maksud dari tidak mengakui ini memang prinsip hidup diri yang tertanam dari awal memang tidak mengakui keberadaan Sang Pencipta sebagai Tuhan.  Mereka tidak percaya pada ajaran dan apapun yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Karena pemahaman mereka bahwa kehidupan ini adalah hasil jerih payah manusia itu sendiri bukan karena "adanya" Sang Pencipta.  Sehingga hukum sebab-akibat adalah dari manusia untuk manusia itu sendiri karena mereka tidak percaya keberadaan Sang Pencipta.
  • Diri mengingkari Sang Pencipta. Maksud dari mengingkari ini adalah bahwa diri mengakui adanya Sang Pencipta namun karena merasa bahwa dirinya bisa karena "hal" lain maka diri lebih mengutamakan hal lain dibandingkan Sang Pencipta.  Keberadaan Sang Pencipta ada namun di nomor duakan setelah "hal" yang lain.  Suatu misal diri lebih takut pada atasan dibandingkan dengan Sang Pencipta karena jika diri tidak disukai oleh atasan maka akan mati karena tidak dapat penghasilan yang cukup.  Maka kehidupannya pun bagaikan lebih takut pada "hal" lain dibandingkan dengan Sang Pencipta.
  • Diri menyalahi janji kepada Sang Pencipta.  Maksud dari menyalahi janji bahwa diri ketika memulai awal kehidupan sudah membuat perjanjian dengan Sang Pencipta untuk menjalani hidup di dunia ini.  Namun karena diri terlena dengan kehidupan dunia maka diri lalai dan mengakibatkan menyalahi janjinya.  Hal ini  berdampak diri tidak menemukan jati diri manusia sebagai manusia yang sesungguhnya.  Maka hidupnya adalah seperti manusia dalam ujud fisik namun hakekatnya adalah hewan atau makhluk lain.

2. Diri yang tidak pernah bersyukur

Banyak diri tidak mau dikatakan sebagai manusia yang tidak bersyukur kepada sang Pencipta atas segala sesuatu yang diperolehnya dalam kehidupan ini.  Karena merasa apa yang dilakukannya adalah bagian dari bersyukur.  Diri yang bersyukur  akan menemukan sebuah rasa kepasrahan dan kepuasan diri.  Dan ketika rasa pasrah dan puas ini belum dapat dinikmati maka diri termasuk bagian dari orang yang kurang/tidak pernah bersyukur.  Dan fenomena tidak pernah bersyukur ini menjangkiti diri kita maka diri akan menjadi orang yang rakus dan kikir serta tidak akan pernah merasakan kebahagian hidup.  Jadi ukuran bersyukur bukan dari jumlah fisik yang diberikan namun adalah rasa kebahagian dan kepuasan atas kehidupan yang dijalani.

Dua dimensi dari bersyukur adalah dari ucapan rasa bersyukur kepada Sang Pencipta dan rasa bersyukur kepada sang Pencipta.  Dua dimensi ini mewakili dari segi jasmani melalui ungkapan dari mulut mengenai segala sesuatu nikmat yang diberikan dan dimensi ruhani yang berupa rasa.  Pemahaman dua dimensi ini insyaallah akan kami bahas dalam artikel selanjutnya.

3. Diri yang memahami kondisi namun tidak sadar akan kesalahan

Ketidak sadaran hidup terjadi dalam diri dalam kondisi ini.  Ketidaksadaran ini terjadi karena adanya sesuatu yang salah dalam ilmu/pemahaman yang dimiliki.  Kondisi ini terjadi ketika diri salah dalam memahami atau salah kiblat ilmu yang ada.  Akibatnya diri terpuruk dalam pemahaman yang keliru atas kebenaran "ajaran" yang selama ini dianut dalam kehidupannya.  Fenomena ini banyak terjadi ketika diri malas untuk "baca" dan lebih suka mendengar atau mengikuti pemahaman yang berasal dari nenek moyang/ para idola hidup kita.  Sebuah ironi bagi diri jika dalam kondisi seperti ini  karena diri tidak pernah mau berpikir atau mencari makna dari sebuah kejadian.  Akibatnya diri selalu dalam pemahaman yang salah terhadap sebuah ajaran kebenaran.  Diri yang seperti ini lebih mengikuti nasehat orang/idola dibandingkan mencari dari buku Panduan sebelum menjustifikasi sebuah keputusan/perbuatan.

4. Diri yang sangat cinta pada dunia

Banyak sejarah yang dapat menjadi rujukan ketika diri sangat cinta pada dunia.  Karena cintanya kepada dunia banyak diri yang terpenjara pada kesibukan untuk mencari materi dan popularitas.  Godaan yang berat memang jika diri tidak memiliki materi namun apakah dengan materi yang banyak lantas akan menjadikan diri lebih cinta dunia dibandingkan dengan kehidupan kemudian. 

Empat hal inilah diri manusia yang selalu ditimpa wabah berupa debu.  Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk diri agar menghilangkan empat penyakit tersebut agar diri selamat dari wabah debu ini.

Tuhan mengujimu bukan berarti marah terhadap dirimu... Namun Tuhan mengujimu karena sayang kepada dirimu... Sadarlah dan perbaiki pikiranmu... Karena masih ada babak kehidupan yang panjang dihadapanmu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah