Mengenal Diri Sendiri

 Ketika  hidup tanpa mengenal diri... bagaikan orang yang berjalan tanpa peta dan tujuan... Menjalani hidup sekedar hidup..  Hanya sekedar pengikut arus kehidupan yang tak bermakna
Bagaikan buih ditengah lautan.. Terombang-ambing ke sana kemari.... Menerjang kerasnya hidup dalam kehidupan... Tak pernah dan tak akan merasakan kepuasan atau kebahagian
oooii.... Apakah ini hidupku... Hidup yang tidak pernah ketemu arus... Karena mungkin hidupku hanya sekedar hidup...
Hai sang Pencipta... Mengapa banyak diri yang hidup seperti ini... Mengapa diri tak sadar dengan kondisi selama ini... Mengapa ini semua terjadi
Bukan kegaduhan kehidupan seperti ini yang diri butuhkan... Bukan banyak teman yang seperti ini untuk  mengenal hakekat diri... Dan bukan jalan mudah untuk menemukan tugas diri.. Karena banyak hinaan-cercaan-kesempitan pasti akan mengiringi
Mungkin peta diri ku sekarang berbeda... Mungkin sudah dianggap orang yang hina... Namun ku mencoba melepas topeng kehidupan... Karena hidupku akan lebih indah dibanding dengan kehidupanku yang lalu 
KAS, 16/6/2021


Menulis bagi diri ini adalah sebagai bentuk pelampiasan atas kerinduan diri pada sang Pencipta dan sebagai obat untuk melampiaskan rasa kangen karena butuh kehadiranNYA.  Karena kondisi dan beban yang selalu menjadi perhiasan dalam kehidupan ini.  Ketika diri sadar bahwa beban ini adalah sebagai ujian yang harus dijalani dan bukan harus dipikirkan.  Karena dengan menjalani sebagai bentuk ihtiar diri dalam menjalani dan menyelesaikan beban tersebut masalah hasil adalah urusan Sang Kekasih.

Diri menulis ini juga sebagai bentuk kesadaran bahwa diri melakukan untuk mengelola unsur unsur yang ada dalam diri.  Kesadaran mengelola ini akan menimbulkan sebuah semangat untuk selalu "hidup" dalam kehidupan.  Namun ketika diri tidak mampu mengelola ibarat sebagai sebuah pertarungan dalam diri (bagaikan medan pertempuran) maka berdampak pada "sakit" baik secara jasmanih ataupun secara ruhaniah malah mungkin bisa gabungan sakit baik jasmaniah maupun ruhaniah. 

Ketika diri menyadari bahwa diri kita terdapat banyak hal mulai dari sifat tikus/burung/hewan lain yang buas maupun yang sangat malas.  Sifat-sifat kehewanan ini menyatu dalam diri kita ketika tidak mampu mengelola fisik manusia secara baik.  Sifat tikus adalah suka yang suka mencuri bahkan sebagai simbul untuk orang orang yang melakukan korupsi.  Sifat burung yang ingin terbang melambangkan kebebasan dan perdamaian.  Semua sifat kehewanan ini tidak dapat bersatu mereka ingin dominan dalam menguasai kehidupan diri kita ini kecuali semua hewan itu meninggalkan sifat asli kehewanannya.  Sebagai misal tikus meninggalkan ketikusannya dan burung meninggalkan sifat keburungannyan ataupun semua hewan baik yang buas maupun yang malas meninggalkan sifat-sifatnya.  Karena tujuan diri kita hidup adalah bukan untuk mencuri-mendapatkan kebebasan-menunjukkan kebuasan-atau sifat yang lain.  Tujuan hidup diri adalah diatas para hewan-hewan itu.

Bermacam-macam unsur inilah yang menyebabkan diri  akan bertindak sesuai dengan sifat kehewanan yang berkuasa.  Maka ketika sifat kehewanan yang berkuasa otomatis akan meninggalkan jati diri kita sebagai manusia yang sesungguhnya.  Alangkah sayangnya jika diri seperti ini berbuat seperti hewan ketika diri dihadapkan dengan permasalahan kehidupan.  Suatu misal ketika diri memiliki kebutuhan materi yang kurang dalam kehidupan karena sifat tikus yang berkuasa maka cara memenuhi atau cara kerja dalam hidup kita akan dipenuhi dengan "mencuri" baik waktu maupun materi yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Ditengah kesibukan hidup kita sekarang ini yang mungkin diri disibukkan dengan bekerja keras tanpa mengenal waktu-sibuk mencari kasih sayang atau popularitas dan jabatan-sibuk bekerja untuk mengumpulkan dan menjaga materi-ataupun sibuk mencari dan syiar ilmu.  Kesibukan ini mungkin sebagai bentuk media/obat untuk mencari kepuasan/kenyamanan/dan kebahagian kehidupan di dunia.  Namun ketika diri semakin menjadi sangat sibuk apakah mungkin hal itu akan tercapai pasti jawabannya adalah tidak mungkin.

Ketika diri kehilangan sesuatu maka pasti akan mencari barang yang hilang itu dengan cara menengok kanan-kiri-atas dan bawah atau menengok kebelakang serta mungkin akan menanyakan orang lain yang ada disekitar kita.  Dan ketika barang yang hilang itu ketemu maka perasaan diri akan merasa sebuah kepuasan-kebahagiaan dan diri menjadi tenang serta nyaman.  Namun ketika diri kita kehilangan hakekat makna diri sebagai manusia apakah diri juga akan melakukan hal yang seperti itu?  atau mungkin diri tidak pernah merasa kehilangan jati diri kita sebagai manusia.  Sebuah ironi jika ini terjadi dalam kehidupan kita dan kerugian yang sangat besar akan menjadi masalah di hari pertanggungjawaban kelak.

Itulah sekelumit ilustrasi tentang kondisi diri selama ini yang kita rasakan jika kita ingin mencari jati diri manusia yang sesungguhnya.  Jika diri sadar dengan kondisi seperti ini maka otomatis diri akan mencari jati diri manusia yang hilang ini.  Maka untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas masalah pemahaman diri dalam konteks yang lebih sempit sesuai dengan hakekat diri yang sesungguhnya.  Sedangkan tulisan yang lalu adalah mengenai makna diri yang luas sebagai manusia secara umum (baca: diri sebagai manusia).

1. Diri sebagai Tujuan

Pemahaman diri sebagai tujuan merupakan level tertinggi dalam hakekat mencari diri yang sesungguhnya.  Hal ini berarti bahwa mencari makna diri sebagai tujuan dalam kehidupan adalah bentuk implementasi diri mencari makna diri sebagai manusia.  Ini berarti bahwa hidup diri kita dalam kehidupan di dunia ini wujud sebagai makhluk yang diciptakan oleh sang Pencipta.  Sebagai bentuk rasa terimakasih karena diciptakan maka diri kita akan selalu mengabdi kepadaNYA.  Manifestasi dari pengabdi adalah bekerja sesuai dengan prosedur kerja yang ada dan tertuang dalam Buku Pedoman hidup manusia.  Ketika diri seperti ini maka Buku Pedoman menyatu dalam diri kita sehingga menjalani kehidupan dengan prosedur kerja yang sesuai dengan perintahNYA.

Makna yang kedua dari pemahaman diri sebagai tujuan adalah merupakan hakekat manusia yang sesungguhnya dari diciptakan.  Karena manusia diciptakan adalah sebagai wakil dari Sang Pencipta untuk dimuka bumi.  Maka tugas utama diri adalah sebagai pemimpin dimuka bumi ini.  Agar diri dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi ini adalah dengan caranya diri harus menemukan ruh yang ditiupkan pada waktu diri masih dalam kandungan  karena ruh inilah yang memiliki konektivitas dengan sang Pencipta.  Menemukan ruh ini hanya bisa dilakukan jika diri sudah be"kerja" dalam kehidupan di dunia ini dengan prosedur kerja yang ada sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Sang Pencipta.  Manusia bisa be"kerja" dengan baik jika diri mau "baca" dan belajar Buku Panduan yang diberikan sebagai bekal kehidupan ini.

Jika diri dalam kehidupan sekarang ini malas untuk "baca" dan belajar buku Panduan maka level diri yang pertama tidak akan pernah tercapai.  Diri pada level pertama inilah yang nantinya akan menjadi kekasih Sang Pencipta dan otomatis akan menjadi "tamu" di rumahNYA.  Namun jika diri tidak pernah "baca" atau hanya sekedar "baca" tanpa mau "belajar" untuk memahaminya maka otomatis diri hanya menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya dibandingkan dengan hewan atau makhluk lainnya. Dengan bahasa lain diri adalah "hewan yang berwujud manusia". 

2. Diri sebagai Benda

Ketika diri memahami sebagai benda maka ibaratnya diri hanyalah obyek dari sebuah pekerjaan.  Suatu misal sepatu yang dipakai oleh A.  Sebagai sebuah sepatu maka diri kita hanya sebagai alat untuk "kerja" si A.  Otomatis hanya sebagai benda maka kebermaknaan diri kita sekedar sampai dimana benda itu dapat dimanfaatkan.  Maka ketika diri yang bermakna kerja ini ibarat sebagai benda yang hanya hidup tanpa jiwa.  Semua orientasi diri hanya sekedar "benda" maka agar dapat hidup harus mencari "benda" yang bisa menjadi penyambung umur kebermaknaan "benda" tersebut. 

Pemahaman ini berarti bahwa diri manusia hidup sudah lepas dari Buku Panduan.  Kehidupan diri kita hanya di dasarkan atas "perintah" yang bukan berasal dari sang Pencipta.  Maka otomatis kehidupan kita laksana bukan manusia karena rasa kemanusian sudah hilang. Bahkan dapat dikatakan ajakan atau nasehat tidak akan pernah di dengar karena ibarat sebuah benda diri kita sudah tidak lagi memiliki mata telinga/mulut bahkan hati pun sudah tidak ada.   Kehidupan hanya untuk menyenangkan "sang pemakai"  sehingga rasa diri sudah mati dan berakibat keserakahan serta hidup tidak pernah nyaman atau bahagia karena diliputi oleh atmosfir waswas dan prasangka saja.

Diri yang demikian ini bukan hanya diri yang jauh dari buku Panduan namun termasuk diri yang senang mem"baca" buku panduan namun tidak pernah mengerti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.  Bahkan banyak diri yang hafal dengan  buku Panduan namun karena ketidakpahaman itu dan didasari oleh "perintah dari majikan" yang lain maka ayat-ayat yang dia pahami ibarat dijual belikan untuk kelangsungan kehidupannya. 

Fenomena diri manusia di level ini banyak ada sekarang ini bahkan banyak sejarah yang diceritakan dalam buku Panduan agar diri memahami makna diri sebagai benda.  Karena hanya sebagai benda tidak heran jika banyak cerita manusia di azab dan dihilangkan dimuka bumi serta digantikan oleh generasi yang baru yang lebih baik dari benda yang telah usang.  Diri yang hanya sebagai benda ini maka besuk pada masa pertanggungjawaban tidak layak untuk masuk ke ruang tamu rumah Sang Pencipta.  Jika masukpun hanya mampir di dapur rumahNYA dan hanya sekedar sebagai bahan bakar tungku perapianNYA. 

3. Diri sebagai Pelengkap

Ketika diri memahami sebagai pelengkap maka diri hanya ibaratnya melengkapi sebuah acara atau kalimat dalam sejarah kehidupan.  Jika diibaratkan dalam sebuah drama maka diri bukanlah aktor utama hanya sekedar numpang lewat dalam cerita.  Ini berati bahwa keberadaan diri dalam kehidupan laksana sebuah keindahan yang menyumbang pada keindahan panggung sandiwara dunia atau bahkan adanya diri ibarat sebagai sebuah penyakit yang menjadi penghias dalam kehidupan.  Keberadaan diri sebagai pelengkap tidak dianggap sama sekali dan yang dianggap adalah pelaku utama.

 Diri sebagai pelengkap ini jika kita maknai dalam diri kita adalah perwujudan dari diri manusia yang tidak memiliki keyakinan dalam kehidupannya.  Kehidupannya hanya menumpang pada subyek atau manusia lain.  Jika manusia lain yang diikuti baik maka diri kita "keliatan" baik walaupun sebetulnya tidak baik (musang yang memakai jubah "kebesaran")  demikian pula sebaliknya jika yang diikuti adalah manusia yang tidak baik maka pasti diri manusia yang seperti ini akan jahat pula.  Artinya kehidupan diri manusia yang seperti ini hanya sekedar numpang hidup agar diri ikut menghiasi cerita dalam kehidupan.  

Banyak gambaran dalam buku Panduan yang bercerita tentang type manusia seperti ini.  Bahkan dikatakan setiap ada kehidupan pasti ada manusia seperti ini.  Manusia yang tipe ini adalah manusia yang gagal hidup karena diri tidak memiliki elemen utama yang harus muncul dalam hidup diri manusia.  Karena ibarat tulang sebagai penyangga tubuh manusia maka diri yang seperti ini ibarat diri manusia yang tidak bertulang sehingga hidupnya adalah karena manusia lain.

Mataku bisa melihat orang lain... Namun mataku tidak bisa melihat diriku sendiri.. Mungkin kejelekan orang lain dapat aku lihat .. Namun kejelekanku tidak aku sadari dan tampak...
Ya Tuhan... tolonglah hambamu ini... agar senantiasa dapat memperbaiki diri... agar senantiasa selalu menjadi manusia yang tahu tujuan hidupnya.
(Magelang, 16/6/2021)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah