REKONSTRUKSI DAN CARA CERDAS MENGHADAPI KEMATIAN

REKONSTRUKSI DAN CARA CERDAS MENGHADAPI KEMATIAN 
Merenung membuat diri kita bertanya pada diri sendiri, sekiranya aku terbuat dari air dan tanah, maka jangan buat hatiku sekeruh air dan tanah yang di aduk, Aku takut diri ku terselimuti keruhnya air yang tidak bisa memancarkan sinar kebeningan dari hati
Hai sang Pencipta tolong jaga hatiku sebening air zam zam...
Aku takut jika hatiku sekeruh air yang di aduk, aku akan selalu jadi orang yang merugi, karena aku tidak bisa menerima kebenaran yang ada, diriku hanya terpenjara oleh kepentingan yang duniawi selama hayatku, Aku takut pintu  kematian akan menolak kedatanganku...
Bersihkan dan endapkan tanah yang ada dihatiku ...Hei Tuan, Agar aku selalu memiliki hati yang bening, Agar diriku selalu bisa memaknai ilmu yang Tuan berikan, dan Agar hatiku selalu tangguh dalam melakukan perjalanan ini...  
(Ki ageng Sumingkir, 31/10/20)


Tulisan ini kelanjutan dari  artikel sebelumnya www. pakde amin.blogspot.com/umur-kematian

Dalam tulisan yang lalu disebutkan banyaknya dari kita yang takut dengan pintu kematian, malah mungkin hampir 90 persen manusia tidak berani menghadapi kematian.   Ketika kita diingatkan dengan kematian para saudara kita hanya ada rasa sedih dan hingga menangis karena ditinggalkannya, namun bukan mencari makna kenapa menangis dan bukan menangis karena mengalami hal yang sama.

Mengapa kita menangis padahal jika kita matipun kita dalam kondisi merugi jika kita tetap dalam kondisi seperti ini?  APakah cukup bekal kita yang kita bawa untuk menghadap pada Sang Pencipta sedangkan di belakang pintu kematian sudah terdapat penjaga yang siap mengintograsi kita dengan teliti dan tidak dapat untuk disuap? Apakah Cukup lantang mulut kita selantang ketika kita mempertahankan kesalahan atau ketika kita menfitnah orang atau membicarakan orang lain? 

Kesiapan kita masuk ke Pintu kematian tergantung pada fase umur kita menurut buku Panduan buku umur kita menurut buku yang lain.  Sadar atau tidak kesalahan pemahaman kita selama ini sudah menjadi "kondisi" yang umum terjadi di sekitar kita. Banyak diantara kita yang memiliki umur tua namun fase pengetahuan agama adalah seperti anak-anak, bahkan kita pun tidak sadar masuk dalam kategori ini.  Kita merasa sudah pandai Mengaji, selalu melakukan ritual ibadah wajib yang ngga pernah bolong bahkan ritual ibadah yang menyita energi fisik dan banyak materi yang dikeluarkan pun juga sudah dilakukan, namun (mohon maaf) ternyata umur kita menurut Buku Panduan masih termasuk golongan anak anak.  

Dengan fase umur yang tidak seimbang ini sudah menjadi fenomena umum yang ada di sekitar kita. Hal ini mengakibatkan banyak sandiwara kehidupan yang lucu untuk menutupi keburukannya.  Dan ketika melihat orang lain yang seimbang dalam fase umurnya mereka malah menyingkirkan dengan drama-drama yang lucu agar orang itu bisa lepas dari lingkungan mereka yang sudah dianggap benar.  Apakah kondisi ini tidak sama dengan kondisi era jahiliyah?  Bahkan banyak yang mengatas namakan agama untuk menyingkirkan orang yang seimbang fase umurnya, padahal mereka sebetulnya tidak paham dengan agama (apakah ini bukan memutar balikkan hukum/atau malah disebut dengan membuat hukum sendiri untuk melegalkan tindakan mereka?).  lihat artikel Diri: manusia antara mubah dan haram.

Sebagai contoh adalah ketika kita merasa sudah belajar masalah aurat, kemudian kita sudah tahu dari belajar (sementara dengan batas pemahaman umum) maka ketika orang lain memakai pakaian yang sebetulnya sudah menutup auratnya dikatakan itu tidak "agamis" padahal pemahaman kita masih seperti anak kecil menurut fase di dalam buku Panduan.  Dan kita pun berani membuat aturan bahwa pakaian yang tidak seperti yang kita kenakan adalah pakaian orang yang non agama.  Apakah ini bukan seperti orang buta yang meraba kemaluan gajah dan ketika ditanya gajah bentuknya seperti apa (maka dijawab gajah yang seperti bentuk kemaluan).

Pola pemikiran yang seperti itu sudah berkembang di masyarakat. Malah banyak menyebabkan perpecahan dan permusuhan di tengah kita, karena ke"ego"an kita yang merasa sudah memiliki pengetahuan yang lebih tentang itu dan berani mengatakan orang lain yang tidak sepemahaman dengan mereka dikatakan salah. Malah ada juga yang menerima pemahaman dari orang lain yang dianggap "ustadz" yang baik (terkenal dan populer) sehingga mengakibatkan apapun yang dia ucapkan adalah sebuah kebenaran yang tidak perlu lagi diuji validitas dan reliabilitasnya melalui konfirmasi dengan membaca Buku Panduan. 

Pola pemikiran yang kurang sempurna ini diakibatkan karena kurang nya jam terbang belajar kita mengakibatkan memiliki pemikiran yang terbatas dan  tidak komprehensip. Kekurangan pembelajaran yang kita terima bisa diakibatkan oleh pengetahuan yang memang selama ini kita terima tidak berdasarkan pada buku Panduan atau sudah berdasarkan Buku Panduan akan tetapi hanya merupakan potongan-potongan ayat yang tidak didasarkan atas satu buku yang komprehensip. Tidak belajarnya secara komprehensif inilah yang menyebabkan kita merasa sudah mampu atau tahu meskipun sebetulnya kita tidak tahu.  Maka dibutuhkan keseimbangan dalam umur dan harus sesuai dengan fase yang ada dalam buku Panduan.

Ketidak seimbangan kerja dari otak untuk melakukan pemahaman akan pengetahuan  ini yang menyebabkan kita takut jika  dinasehati dengan masalah kematian, dan  sudah alergi dengan kata itu.  Memang banyak cara dilakukan dalam mencari ilmu, namun sebagai manusia memiliki hakekat organ tubuh yang perlu digunakan untuk memahami pengetahuan yang diterimanya, agar bisa memaknai apa yang diterima indera kita atas pengetahuan (lihat www.pakdeamin.blogspot.com2020/10/diri-mencari-hakekat-dan-perjalanan.html). Padahal siap atau tidak siap setiap manusia akan melewati pintu kematian entah dengan cara yang enak atau dengan cara yang menyakitkan.  Maka dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengulas masalah ketakutan manusia dalam menghadapi kematian dengan cara Rekonstruksi kematian dan Cara Cerdas untuk menghadapi kematian.

Rekonstruksi Kematian

Hai air yang keruh ... 
ada beberapa cara dirimu untuk menjernihkan diri, 
kamu bisa melawan arus yang deras dan kamu mengalir ke atas 
Atau kamu mengikuti air yang kotor itu mengalir ke laut...
Dan  alam yang akan membersihkan dirimu
Atau kamu di bantu oleh orang lain untuk diolah menjadi air yang jernih
Kejernihan dirimu itulah untuk lelaku kehidupan
Menyongsong Pintu Kematian yang sudah menunggu kedatanganmu..
(Ki Ageng Sumingkir, 31/10/2020).

Kehidupan kita yang selama ini kita lalui sudah banyak menyimpang dari jalan yang dikehendaki.  Ketidaksadaran diri kita dengan kondisi yang keliru ini sudah merupakan hal yang lumrah dan wajar bagi manusia.  Ketika kesalahan sudah tampak benar dan kebenaran sudah menjadi hal yang langka menghiasi kehidupan kita sehari hari.  Berita yang laku adalah berita yang menunjukkan kekeliruan orang sangat laku di pasaran.   Sedangkan berita yang menunjukkan kebenaran dianggap sebagai berita yang tidak laku untuk dijual.

Nasehat yang baik dianggap sebagai tamparan atas ketidak persetujuan perjalanan mereka, yang mengakibatkan orang yang memberi nasehatpun kadangkala dikucilkan.Orang baik pun sekarang tidak laku di kehidupan, karena dianggap mengganggu aktivitas kita dalam mengejar materi.  Dan malah banyak dari diri kita yang berubah menjadi kurang baik karena takut kehilangan atau kekurangan materi. "Kondisi"  seperti ini disebabkan diri kita terselimuti oleh tabir yang tebal (ego) untuk melihat sebuah kebenaran dan untuk menerima sebuah nasehat.  

Nasehat tentang kematian dianggap sebagai sebuah barang yang tabu dan malah dianggap sebagai sebuah kata yang menakutkan.  Kenapa dikatakan menakutkan? alasan dianggap menakutkan pertama mereka sadar bahwa kematian itu akan datang pada dirinya namun merasa dirinya belum memiliki bekal untuk menghadapinya.  Ketidaksiapan ini diakibatkan masalah mindset yang dimiliki kita selama ini adalah materialisme, yang berarti bahwa semua kehidupan dan kebahagian ukurannya adalah materi dan popularitas.  Karena ukurannya materi dan popularitas maka dalam perjalanan hidup di dunia ini mereka disibukkan dengan kegiatan itu, mencari ilmupun juga dikarenakan untuk mendapatkan pekerjaan agar mendapatkan imbalan yang tinggi.

Alasan kedua ketakutan kita dalam kematian adalah belum siapnya mental, mental yang seperti apa? Dan apakah selama ini mental kita disiapkan untuk itu? Ketika kita ditanya masalah itu pasti bingung dalam mengasih jawabannya.  Kalau kita sadari dengan memberi jawaban belum siapnya mental kita, harusnya kita sadar bahwa selama ini mental kita tidak pernah sama sekali disiapkan untuk itu.  Mental kita disiapkan untuk bertarung dalam kerasnya fisik dunia apabila kita memang dilatih mental kita, namun banyak juga diantara kita yang tidak memiliki mental petarung malah dapat dikatakan mental pengecut.

Mental petarung yang selama ini kita miliki hanya untuk kepentingan duniawi aja sentuhan ruhani hanya sekedar pemanis agar dilihat lebih sempurna.  Kenyataannya mental kita diasah untuk memenangkan ego diri kita.  Ego yang ingin dicapai adalah kemenangan untuk  mendapatkan sesuatu yang bersifat materi dan popularitas.  Bukan mental petarung yang diasah untuk memenangkan perang melawan ego yang dimiliki. Ketika ego manusia sudah menguasai diri maka output yang dihasilkan adalah sebuah kemenangan untuk pribadi bukan kemenangan yang didasarkan atas ilmu yang  berdasarkan pada Buku Panduan.

Untuk itu kita perlu melakukan rekonstruksi atas pemahaman dari perjalanan manusia setelah kehidupannya di dunia, yaitu kematian. Pendapat umum tentang kematian ini benar namun tidak benar menurut buku Panduan. Pemahaman umum mengatakan bahwa kematian adalah perginya diri kita (ruh) dari jasmani, sehingga dianggap ujud perpisahan diri dengan manusia secara umum. Sehingga dianggap sebagai bentuk perpisahan yang selamanya atau habisnya riwayat tentang diri kita dalam kehidupan. 

Pemahaman ini tidak salah, namun jika kita melihat dua unsur dalam perjalanan hidup kita.  Dua unsur itu adalah jasmani dan ruhani.  Jasmani adalah ujud diri kita hidup dikehidupan di dunia ini yang melalui fase-fase umur dari anak-anak sampai dengan tua, Sedangkan ruhani adalah ujud diri kita yang selalu hidup di alam yang berbeda.  Ruhani inilah yang mempertanggungjawabkan segala apa yang kita perbuat dalam kehidupan diri.  

Memang ada pendapat yang mengatakan dalam alam setelah kematian kita dipersatukan kembali dengan jasad kita, Namun inti dari pemahaman tentang kematian bahwa jasad memang berpisah dengan ruh kita, maka bekal yang dibawa dalam menghadapi pintu kematian adalah bekal untuk ruhani.  Bekal fisik yang sering dicari dikehidupan di dunia ditinggal begitu saja baik harta benda maupun popularitas, bahkan karena bekal materi yang sering kita cari sampai mengorbankan segalanya menjadi rebutan oleh anak atau suadara kita yang masih hidup.  Jika demikian apakah diri kita (ruh) yang telah memasuki pintu kematian akan tenang dalam perjalanannya di alam kematian itu.

Bekal ruhani pun sampai lupa dicari oleh kita karena sibuknya kita melakukan perjalanan hidup dikehidupan dunia,  sampai kita sudah merasa cukup dengan bekal ruhani itu.  Jika kita makan sehari saja 3 kali dan minum berapa kali dalam sehari,  apakah ini seimbangan atau cukup untuk kebutuhan ruhani kita.  Maka jangan salah jika di kehidupan didunia ini banyak orang "sakit" karena ketidak seimbangan antara usaha memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani.

Rekonstruksi dimulai dengan pengenalan diri pada hakekat manusia dalam berpikir,  selama ini manusia berpikir tidak dengan memaksimalkan apa yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta kepada kita (baca: diri: hakekat dan perjuangan dalam mencari ilmu) www.pakdeamin.blogspot.com/2020/10/diri-mencari-hakekat dan perjalanan

Saya tidak perlu lagi membahas tentang pola pikir manusia yang keliru dan yang selama ini sudah menjadi culture dalam kehidupannya, karena sudah dibahas dalam artikel tersebut.  Saya hanya perlu menegaskan pola pemikiran yang keliru inilah yang harus direkonstruksi dan dirubah untuk melakukan kerja fisik manusia dalam berkehidupan sehingga bisa memaksimalkan sisa umur kita.  Dengan mengenal kondisi dan potensi yang ada pada diri kita bisa membawa diri untuk menyiapkan bekal memasuki pintu kematian.  Pengenalan potensi dan kondisi yang "benar" inilah dasar kita dalam menyiapkan bekal untuk menuju pintu kematian dan menunggu diri kita dipanggil memasuki "Rumah Sang Pencipta" dengan istirahat yang cukup setelah melakukan lelaku perjalanan di kehidupan manusia di dunia.


Cara Cerdas Menghadapi Kematian

Sesungguhnya rasa cinta itu terbagi dua, rasa yang didasarkan atas cinta indrawi dan rasa cinta yang didasarkan atas ilmu dan amal,  rasa cinta indrawi tidak lepas dari hal hal yang bersifat pribadi,  dan rasa cinta yang didasarkan atas ilmu dan amal akan mampu menyibak makna sesuatu hingga manusia bisa merasakan dan mencintai sesuatu hal

Kematian merupakan rangkaian perjalanan yang harus dihadapi oleh setiap manusia,  suka atau tidak suka/ siap atau tidak siap itu merupakan konsekuensi yang harus dihadapi.  Kematian merupakan pintu untuk kehidupan selanjutnya yang harus dilewati oleh setiap makhluk hidup.  Kematian bukanlah merupakan akhir perjalanan seorang musafir, namun merupakan awal untuk beristirahat sebentar sebelum dipanggil untuk menikmati upah dari lelaku yang dilakukan.

Ketidak beranian orang dalam menghadapi kematian dikarenakan pola pikir yang salah sudah tertanam sejak kecil.  Banyak orang menganggap bahwa kematian itu adalah lelaku yang menyeramkan bagi manusia.  Terbayang dibenak mereka bahwa dengan dikuburnya ditanah yang sempit tanpa bekal apapun dan harus siap ketika ditanya oleh petugas penjaga kubur.  

Pertanyaan yang dirasa sangat berat inilah dan hukuman yang diterima jika si mayat tidak mampu menjawab pertanyaan menjadi beban selama hidupnya.  Malah banyak manusia yang lupa untuk menyiapkan jawaban yang ada.  Kelalaian atau kelupaan manusia dalam mempersiapkan jawaban ini dikarenakan salah jalannya dalam lelaku mereka dalam kehidupan.  Atau dalam guyonan para musafir selama ini manusia hanya sekedar menyiapkan hafalan seperti lagu yang pasti diingat karena asumsi mereka hanya ada empat pertanyaan yang harus mereka jawab.

Ketakutan manusia dalam menghadapi kematian sebetulnya bisa dihilangkan dengan strategi atau cara cerdas yang harus dilakukan oleh manusia.  Cara cerdas itu adalah 1) senantiasa mengingat mati, 2) Menggapai ilmu 3) mengetuk Pintu sang Pencipta untuk mendapatkan Cinta

Senantiasa mengingat mati bagaikan garam dalam makanan. Apapun yang kita makan atau nikmati dalam lelaku didunia akan terasa hambar jika tidak ada garam (mengingat kematian).  Makanan tanpa garam ibaratnya ada sesuatu yang kurang.  Jika hidup tanpa mengingat kematian ibaratnya adalah manusia akan merasa ada sesuatu yang kurang, kekurangan inilah yang sebetulnya yang harus dicari.  Namun pencarian kekurangan yang dirasakan ini biasanya manusia bukan mencari "garam" tapi malah melampiaskan ke hal yang lain.  Akibat salahnya manusia mencari jawaban atas adanya yang kurang dalam kehidupannya maka berakibat kenikmatan hidupnya tidak pernah terpenuhi.

Menggapai ilmu adalah cara manusia untuk mempelajari hakekat hidupnya.  Jika manusia ingin tahu hakekatnya dan hakekat kematian maka yang dilakukan adalah dengan belajar.  Dengan belajar lebih mendalam pada Buku Panduan yang diberikan kepadanya maka manusia akan mengenal Sang Pencipta dan akan mengenal lewat mana dia akan berjumpa dengan NYA.  Jalan untuk menemui Sang Pencipta tiada lain adalah kematian.  Maka mati adalah sebuah garis finis dan langkah awal manusia untuk bertemu dengan NYA.  Jadi apa yang ditakutkan dengan peristiwa kematian yang pasti terjadi kepada setiap makhluk hidup.  Dengan kematian dan ilmu yang dimilikinya maka ibarat orang mau masuk ke supermarket yang besar tidak perlu lepas sepatu/sandal dan bingung harus memakai pakaian apa jika masuk,  juga manusia tidak usah ragu dengan bekal karena masuk di supermarket tidak ditanya oleh satpam bawa bekal apa.  

Mengetuk Pintu sang Pencipta untuk mendapatkan Cinta adalah merupakan langkah selanjutnya dalam strategi cerdas untuk menghadapi kematian.  Langkah ini merupakan jalan tol bagi manusia untuk bisa langsung bertemu dengan Sang Pencipta dengan pintu VIP.  Cara yang dilakukan banyak model dan jalan ada yang dengan berperang atau dengan jalan lain. Semua jalan untuk mendapatkan pintu VIP itu didasarkan atas hati yang bersih yang dimiliki oleh manusia.  Hati yang bersih itu bentuk kesucian yang dimiliki oleh manusia mulai dari suci jasmaniah dan suci batiniah yang terbebas dari penyakit hati.  Orang yang memiliki hati yang bersih adalah mereka yang menemukan diri yang sesungguhnya dengan belajar pada Buku Panduan yang diberikan kepada setiap manusia.  Walaupun setiap manusia diberikan Buku Panduan yang sama namun banyak dari kita yang lupa untuk mempelajari bahkan sampai lupa untuk membacanya.  Padahal di dalam buku itu berisi strategi hidup manusia untuk mendapatkan Cinta NYA.

Cara mengetuk pintu cinta sang Pencipta adalah dengan  peperangan ini adalah langkah awal dalam mencari cinta.  Setelah peperangan batiniah berhasil dimenangkan langkah selanjutnya adalah mengambil barang rampasan perang.  Maknanya adalah peperangan adalah menjebol tembok penjara dan tabir yang selama ini menjadi batasan dalam pemikiran pikir kita.  Penjebolan tembok penjara dan tabir ini ibarat seperti mendapatkan kebebasan lagi dan mendapatkan hak kita sebagai manusia sejati, sehingga kita berhak mengambil apa yang dititipkan di alam raya ini yang sudah diberikan pada diri kita sebelum lahir di dunia.

Hak yang kita miliki itu merupakan karunia dari sang Pencipta yang akan memberikan kecukupan bekal baik kebutuhan jasmani maupun ruhani.  Kebutuhan jasmani merupakan kecukupan materi yang dibutuhkan untuk kehidupan kita di dunia sedangkan kebutuhan ruhani merupakan semangat yang tidak luntur dan keinginan yang ada untuk selalu "membaca Peta" kehidupan yang ada di dalam Buku Panduan.  "Membaca Peta" itu merupakan ilmu yang ada dalam buku Panduan yang diterima langsung dari makna yang terkandung dari setiap bait atau ayat-ayat yang ada.  Ilmu maknawi atas makna ayat-ayat inilah yang merupakan karunia dari Buku yang akan menyatu pada pribadi dalam kehidupan kita.

Maka tidak aneh jika secara tidak sadar kita yang sudah belajar maknawi atas buku Panduan ini merupakan perwujudan dari makna ayat-ayat Sang Pencipta. Dan bukan merupakan potongan ayat-ayat yang selama ini hanya sepemahaman kita dalam belajar agama.  Karena maknawi dari ayat inilah memiliki makna yang lebih luas dan tidak sesempit dari hukum-hukum yang selama ini kita pelajari, mungkin juga malah merupakan rekonstruksi atau dekonstruksi hukum hukum yang ada.  Lebih jelasnya lagi ilmu yang diperoleh itu akan meruntuhkan pengetahuan yang selama ini sudah menjadi kebanggaan orang lain yang hanya mengejar hidup untuk popularitas, namun dengan Cinta akan mengalahkan popularitas mereka karena ilmu yang mereka miliki tidak sebanding dengan ilmu yang kita peroleh.  Dan dengan Cinta itu juga kecukupan dan kenikmatan hidup di dunia akan kita nikmati sebagai lelaku manusia di dunia, serta mencukupi bekal kita untuk memasuki pintu kematian. 

Oleh karena itu orang yang cerdas (yang sudah mendapatkan "ilmu') akan memperhatikan apa yang dinyatakan dan akan lebih berhati-hati dalam lelakunya agar tidak terperosok dalam lembah kehinaan.  Karena orang yang merasa dirinya sucipun belum jaminan bahwa dia tidak terperosok dalam derajat yang hina.  Sebuah contoh jaman dulu dan kini juga banyak ditiru (contoh yang jelek) yang selalu diperingatkan oleh para sahabat, yaitu cerita tentang seorang sufi  dengan baju yang lusuh yang mencolok dan menunjukkan orang yang sangat paham tentang agama, mereka berjalan bermusafir namun dikatakan para sahabat dia bukanlah seorang sufi namun orang yang berpakaian dengan kesombongan karena mungkin karena model bajunya atau sengaja dilakukan agar dinilai zuhud dan seorang yang sedang melakukan lelaku tasawuf yang mencari ilmu untuk menemukan diri yang sesungguhnya.

Dari contoh itu dapat dilihat bahwa niat kita hidup di dunia adalah sebuah lelaku untuk mencari pintu kematian agar dapat bertemu dengan Sang Pencipta.  Namun niat kita ini harus diikuti dengan lelaku mencari ilmu yang didasarkan atas Buku Panduan agar selalu bisa membersihkan hati agar dapat mendapatkan cinta dari sang Pencipta.  Karena dengan Cinta sang Pencinta ini maka mati kita adalah mati karena Cinta kita terhadap Sang Pencipta.

Setiap masa manusia melakukan perjalanan, perjalanan bagaikan kafilah di atas dunia untuk melakukan perniagaan, perjalanan dari keberadaan menuju ada dan diakhiri dengan ketidakadaan...
Kenikmatan dunia yang fana banyak menjerumuskan manusia,  manusia terperosok dalam lubang kehinaan, namun banyak manusia yang tidak sadar hal itu, karena mereka menikmati perniagaan yang palsu...
Mereka baru sadar ketika jasadnya terbujur kaku, yang akan diarak ke tempat yang beku, yang diikuti oleh suara burung gagak dan tangisan palsu anak dan keluarga...
Sang Jasad berteriak.... namun tidak ada yang mendengar semuanya, karena sang jasad sudah memasuki pintu kematian, sang jasad berteriak minta tolong dan meminta pelayat jangan mengikuti jalannya...
Sesampai di kuburan alam sudah siap mengembalikan jasad menjadi tanah, diurai oleh cacing dan binatang lain, untuk dijadikan makanan buat alam,  Sang jasad berteriak jangan makan diriku... aku adalah orang kaya.. orang terkenal yang banyak popularitas dan jabatan... akan ku bunuh kau cacing dan yang lainnya....
Ohoii  jawab alam... kamu lupa hai jasad, titah sang Pencipta menyuruhku memakanmu manusia yang lupa dengan tanggungjawabnya... dan titah sang Pencipta menyuruhku menjaga jasad-jasad orang yang suci untuk tidur di tanah ini....
(Ki Ageng Sumingkir, 1/11/2020, Sebelum semua Terlambat)

Semoga kita senantiasa orang yang selalu cinta kepada Sang Pencipta. dan dalam lelaku mencari ilmu selalu pada buku Panduan yang benar.  amiin

Artikel selanjutnya adalah Diri: Tanggungjawab Kehidupan di Dunia

Magelang, 27/10/20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah