DIRI: HAKEKAT DAN PERJUANGAN MENCARI ILMU (2)

Diri: MENCARI HAKEKAT DAN MENCARI ILMU (2) 


Akal mana yang kamu anut, Akal materialisme atau akal ruhaniasme, Jika kau hanya mengutamakan satu aliran, Maka kau termasuk mahkluk yang hina, Ketakutanmu hanyalah sebuah frame work, Ketakutan akan kehidupan yang kekurangan, dan kecemasan akan ketidakpastian dimasa depan, Merupakan bagian dari pemahaman akal yang bersifat logika materialisme saja.... (ki Ageng Sumingkir)

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai mahkluk yang sempurna. Kesempurnaan manusia ini jika terpenuhi jika manusia mampu menjalankan lelakunya pada golongan keempat  (manusia dengan lelaku kesempurnaan). Lelaku kesempurnaan adalah lelaku manusia yang setelah mengalami benturan kondisi dalam kehidupan.  Benturan kondisi merupakan pergolakan yang ada di batin manusia antara ego/nafsu dengan “diri”.  Dimana diri mempertanyakan kondisi yang mereka alami dengan segala keterbatasan dan batasan dalam kehidupannya. 

Sisi ego/ nafsu merupakan ujud penjara kondisi dalam kehidupan manusia, ketika melihat ketidakadilan dan ketidaknyamanan yang  dirasakan.  Sisi “diri” adalah sisi dimana kita mempertanyakan kepada Sang Pencipta tentang kehidupannya yang serba terbatas sehingga manusia hanya bisa bilang “mari bersyukur, mari iklhas, pasrahkan kepada Sang Pencipta serta diiringi dengan doa.

Benturan kondisi inilah yang sering dimaknai dengan perang melawan diri sendiri (jihad bi nafs).  Perang yang berat yang digambarkan lebih berat dibandingkan dengan para pendahulu kita ini akan kita sadari jika kita melakukan perlawanan dengan kondisi diri kita yang selama ini baru dikuasai oleh ego dan nafsu. Ketika kesadaran diri kita ini tidak muncul  atau muncul dalam skala yang lemah maka tidak akan terjadi pertempuran.  

Fenomena yang ada banyak manusia beribadat namun tidak pernah menyadari itu, diri kita merasa enjoy saja maka apakah faedah dari ibadah kita.  Atau jangan jangan peribadatan kita hanya sekedar pamer/riak kepada orang lain untuk politik identitas.  Kebohongan besar sekarang ini terjadi dengan kondisi manusia.  Apakah sang Pencipta tidak “ngelus dodo” atau murka dengan tipu daya manusia sekarang (termasuk diri kita)?  Apakah kita tidak malu telah berbuat itu? Padahal kita sudah berusaha baik dalam peribadatan sampai kita berpakaian pun sudah ala timur tengah dan selalu meneriakkan kebenaran.  Tapi apa yang terjadi sesungguhnya.

Fenomena itulah sebetulnya sebagai cambuk diri kita untuk membaca dan belajar tentang hakekat manusia secara umum, dan berusaha untuk menemukan diri kita agar mencapai manusia yang sempurna.  Manusia yang sempurna adalah manusia yang memang diciptakan oleh Sang Pencipta untuk menjadi wakilNYA.  

Kesempurnaan manusia dibandingkan dengan mahkluk lain adalah dengan memiliki akal.  Namun sering kali manusia yang dikatakan memiliki akal ini berperilaku lebih hina dibandingkan dengan mahkluk lain.  Pertanyaannya apakah manusia yang berperilaku hina ini juga memiliki akal?, atau dimanakah akal itu sebetulnya?

Berdasarkan fenomena tersebut maka tulisan ini akan membahas tentang akal manusia yang sesungguhnya yang menjadi pembeda antara manusia dengan mahkluk lain.


Proses “Menemukan diri yang sesunguhnya”

Kesadaran manusia dalam kehidupannya setelah mereka terjepit dalam perang dalam “diri” mereka itulah awal proses manusia untuk hidup kembali.  Proses kembali “hidup kembali” inilah yang disebut dengan era kabangkitan.  Kehidupan era kebangkitan ini bukan hanya bermakna bangkit dari kubur, namun era kebangkitan adalah masa dimana manusia menemukan “diri yang sesungguhnya” yang merupakan manusia sejati untuk menuju manusia yang sempurna.

Proses kebangkitan atau manusia “menemukan diri yang sesungguhnya” yang dimulai dengan kemenangan perang terhadap diri (jihad bi nafs).  Perang ini digambarkan perang yang terbesar dalam kehidupan manusia, hal ini dibuktikan dengan banyaknya cerita dan pendapat para ulama.  Kenapa dikatakan perang besar, karena dalam perang ini tidak semua manusia mengalami hanya manusia pilihan yang menjalankannya.

Proses perang yang dimulai dengan benturan dalam kehidupannya akibat dari kondisi yang diciptakan oleh nafs/ego dan ditambah dengan faktor ekternal dari diri manusia melawan kesadaran diri manusia.  Kondisi yang dialami ini merupakan keadaan manusia dalam posisi yang terendah.  Terendah dalam segi pikir, materi maupun dalam kondisi sosial masyarakat.  Perasaan terasing dan diasingkan dan desakan materi merupakan sumber utama yang mempengaruhi “kondisi manusia”.  Jika manusia tidak kuat imannya maka mereka akan menyerah dan ikut arus kehidupan yang umum.  Namun apabila prinsip hidup/iman mereka kuat maka faktor itulah yang menyebabkan manusia mengalami terasing dan diasingkan.

Banyak manusia tidak mengalami proses peperangan ini, dikarenakan faktor iman dan aqidah mereka lemah.  Jika itu terjadi maka peperangan tidak akan terjadi ataupun kalo terjadi mereka kalah dalam peperangan.  Dengan kekalahan maka proses kebangkitan kembali manusia tidak akan terjadi.  Akibatnya manusia hanya mengalami sekali kembangkitan yaitu setelah kebangkitan dari kubur dan dalam kondisi yang merugi.  Itulah makanya terdapat keterangan dalam BUKU yang menyatakan bahwa manusia itu dalam kondisi rugi kecuali orang yang ber “iman” (teguh dan kuat dalam akidah) serta orang yang ber”amal sholih”   Rugi besar jika kita tidak menemui peperangan tersebut.  

Setelah kebangkitan, manusia masih harus berproses untuk “menemukan diri yang sesungguhnya”.  Manusia “menemukan diri yang sesungguhnya” adalah proses kembali manusia menemukan jati dirinya.  Jati diri manusia inilah yang merupakan “sesuatu” yang merupakan perwakilan diri manusia secara khasat mata.  Jati diri manusia inilah dulunya yang merupakan penerima hak dan kewajiban yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk hidup di alam ini. 

Ujud dari jati diri manusia inilah yang merupakan wakil dari diri kita  yang menerima mandat sebagai pemimpin (kholifatul fil ard) dan sebagai abdullah (wakil).  Kenapa harus kita cari? Karena setalah manusia itu lahir maka jati diri kita bukanlah jati diri kita yang sesungguhnya.  Jati diri ini lepas karena perpindahan dari alam kandungan ke alam bumi ini.  Perbedaan dua alam ini menyebabkan dua unsur manusia dari jasmani dan rohani berpisah.  

Selama ini kita selalu mendapatkan pendidikan dan ilmu bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani, tapi setelah kita mengkaji lebih dalam (berdasarkan BUKU PANDUAN) bahwa “ruhani” yang merupakan dua hal yang ada di alam kandungan ini bukan Ruhani yang biasa di jelaskan dalam pengetahuan umum.  Ruhani yang selama ini kita akui adalah hanya sekedar nama tanpa arti dan makna.  Dan selama ini jasmani yang seharusnya berdampingan dengan ruhani tidak bisa hidup bersama.  Karena Ruhani yang merupakan pemberian Sang Pencipta tidak bisa masuk dalam tubuh manusia.  

Ketidakbisaan manunggal dalam satu wadah manusia ini diakibatkan tempat bersemamnya ruhani dalam tubuh dipake oleh “barang lain” yang merupakan anak buah dari ego/nafs.  Agar bisa manunggal maka manusia perlu menyiapkan diri memberikan tempat yang selama ini seharusnya menjadi tempat “ruhani”.   Penyiapan tempat inilah perlu dilakukan dengan cara memenangkan perang dengan diri (jihad bi nafs) dan diteruskan dengan perenungan dan belajar.

Proses peperangan adalah proses mempertanyakan kepada diri kita tentang hakekat dari kondisi manusia sesungguhnya.  Proses peperangan ini dimulai dengan perenungan yang lama.  Merenung bukanlah melamum dan merenung bukanlah berpikir dengan otak kita, akan tetapi merenung adalah sebuah pekerjaan diam dalam tempat yang sepi dengan mempertanyakan hakekat kondisi yang sesungguhnya.  Hal ini dicontohkan oleh Muhammad SAW sebelum menerima wahyu pertama.  Kenapa manusia hanya mengartikan secara fisik dan materi, bahkan hanya menelan mentah-mentah keterangan dari para ulama.  Kenapa manusia tidak mau memaknai dan mencari hakekat arti itu.   Inilah bagian dari tirai yang diberikan oleh Setan untuk menutup mata-hati kita agar tidak dapat memaknai lebih dalam makna perenungan untuk menemukan hakekat “hidup” manusia.

Kemenangan perang akan terjadi jika kita bisa melakukan itu yang dimulai dari proses perenungan tentang hakekat “hidup” kita.  Ketika perenungan itu kita lakukan dengan maksimal dan tanpa jasmani turut dalam peperangan maka itulah awal kita meningkatkan kapasitas diri dengan memberikan tempat untuk kembalinya “ruhani” yang sesungguhnya  (“diri yang sesungguhnya”).   Ketika “diri yang sesungguhnya” ini terpenuhi maka proses manusia selanjutnya adalah dengan “menemukan akal”. Apa itu akal manusia dan bagaimana akal itu digunakan sebagai pembeda dengan mahkluk lain, maka kita harus meninggalkan pemahaman akal manusia yang selama ini kita terima dari pendidikan umum.


Akal Manusia

Dalam pengertian pendidikan modern, tokoh filsafat barat yang mendifinisikan akal adalah Imanuel Kunt.  Kunt mengatakan bahwa  apa yang kita katakan sesuatu rasional itu adalah masuk akal tapi diukur dengan kebenaran hukum alam.  Dengan kata lain bahwa pikiran yang rasional itu merupakan kebenaran yang diukur dengan hukum alam.  Jelas bahwa pemikiran dari Kunt ini masih merupakan pemikiran yang bersifat material/fisik.  Sebab sesuatu yang sesuai dengan hukum alam biasanya dapat diterima, dirasakan dan dilihat dengan panca Indera manusia.  Jika sebuah peristiwa atau ilmu itu dikatakan benar jika hukum alam mampu menjelaskan sebab akibat dari kejadian itu terjadi, demikian juga sebaliknya apabila tidak dapat didukung oleh logika hukum alam maka peristiwa atau ilmu tersebut dikatakan tidak rasional.

Padahal kita banyak menjumpai kejadian/ilmu/peristiwa yang secara lahiriyah tidak dapat diterima/dirasakan/dilihat oleh panca Indera, maka secara otomatis dikatakan bahwa peristiwa tersebut dikatakan tidak rasional atau tidak masuk akal.  Pemahaman Kunt tentanga akal yang rasional ini sekarang ini banyak menjadi acuan manusia untuk berpikir dalam menjudgement sebuah peristiwa atau kejadian yang terjadi.  

Tokoh lain yang mendifinisikan akal Sigmond Frued, beliau adalah seorang psikoanalisys, yang mengatakan bahwa  manusia itu memiliki tiga wilayah yaitu instink (naluri), super ego (adat kebiasaan dan kaidah moral) dan ego (akal pikiran).   Pembagian wilayah kerja bagian manusia ini merupakan sebuah terobosan yang maju dan dianggap benar oleh para ilmuwan, karena secara logika material dan hukum alam itu merupakan sebuah kebenaran dan sesuai dengan kondisi material yang bisa dirasakan/dilihat/diterima oleh panca indera. Dan sampai sekarang pemahaman teori tentang akal masih mengacu kepada dua tokoh tersebut, karena belum ada yang meruntuhkan teorinya.  

Jika kita sadar dan yakin (khususnya yang beragama islam)  apakah pengertian tersebut benar?  Banyak orang yang memiliki mental gerombalon (sebuah analisis psikologi) yang hanya membenarkan dan meyakini kebenaran teori tersebut  termasuk orang yang mengaku beriman dan beragama Islam secara kaffah.  Namun apakah ini arti akal yang sebenarnya menurut Allah memberikan akal kepada manusia sebagai pembeda dengan mahkluk lain.  Jika kita jujur dari dalam hati kita maka rasionalitas yang kita terima ini tidak ubahnya kita seperti mahkluk lain yang diciptakan Sang Pencipta,  sehingga mungkin dapat dikatakan kita ini tidak ada bedanya dengan hewan-hewan yang hanya mengikuti materialisme (asal ego terpenuhi, perut kenyang dan mampu menyimpan persediaan untuk jaga-jaga esok hari).  Perilaku demikian tidak ada bedanya dengan hewan-hewan yang ada.  Apakah manusia diciptakan seperti itu? Jawabannya seharusnya tidak, walaupun banyak orang menjawab tidak namun dalam kenyataannya kehidupan mereka takut perut kosong, tidak punya persediaan (tabungan) dan bahkan memuaskan ego mereka untuk kejayaan dirinya.

Jika kita hanya mendasarkan pada pemikiran para ahli sekarang ini makan cara hidup manusia yang dipengaruhi oleh jasmani yang ada tanpa ada sentuhan dari “diri yang sesungguhnya” dibedakan menjadi enam cara, yaitu:  (pembahasan cara berpikir manusia dalam tulisan besuk)

1. Berpikir dengan Perut (Hawaa)

2. Berpikir dengan Perasaan (Syawaa)

3. Berpikir dengan Kepala (Fuad)

4. Berpikir dengan Perut dan Perasaan

5. Berpikir dengan Perut dan Kepala (Fuhaa)

6. Berpikir dengan Perasaan dan Otak (fusyaa)

Sang Pencipta alam raya ini menciptakan manusia dengan maksud dan kehendak tertentu, bukanlah makhluk yang tercipta dengan sendirinya sebagaimana yang dikemukakan materialisme. Campur tangan Sang Pencipta dalam menciptakan manusia tidak hanya unsur fisik aja namun juga ditambah dengan unsur Ruhani yang melengkapi sebagai kesempurnaan manusia dibandingkan dengan mahkluk lain.  Namun jika manusia hanya mementingkan satu sisi (baik itu ruhani ataupun Materi) maka dijelaskan dalam BUKU PANDUAN yang selanjutnya akan dikembalikan kepada tempat/derajat yang paling rendah diantara mahkluk lain.

.Pemahaman akal menurut dua tokoh tersebut, sangatlah bertentangan dengan apa yang ada dalam pemahaman BUKU PANDUAN.   Sehingga sebagai generasi atau orang yang mengaku Islam harus berani melakukan dekonstruksi atas pemahaman akal yang selama ini menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak.  Karena selama ini kebanyakan manusia sudah ter-framework secara materialisme saja di dalam bermusafir selama kehidupan di dunia ini.  Ketakutan akan kehidupan yang kekurangan dan kecemasan akan ketidakpastian dimasa depan merupakan bagian dari pemahaman akal yang bersifat logika materialisme saja. 

Terus pertanyaan selanjutnya bagaimana pemahaman “akal yang sesungguhnya”? Pemahaman “akal yang sesungguhnya” merupakan kata kerja.  Kata kerja disini berarti akal adalah kerjanya otak. Kerjanya otak adalah kerjanya pikir kita yang didasarkan atas BUKU PANDUAN. Sehingga kerjanya akal merupakan konektivitas antara unsur manusia (Jasmani dengan “diri yang sesungguhnya”) yang berpikir dengan konektivitas BUKU PANDUAN sebagai ilmunya Sang Pencipta.  Sehingga akal ini bisa dikatakan sebagai konektivitas manusia dengan Sang Pencipta.

Dengan konektivitas inilah maka ilmu yang kita pelajari selama ini gugur (off) dan digantikan dengan ilmu Sang Pencipta.  Sadar atau tidak bahwa ilmu apapun yang ada dan telah dipelajari selama ini semuanya sudah tergambarkan dalam BUKU PANDUAN.  Kenapa manusia seperti kita yang selama ini percaya bahwa kitab satu-satunya yang benar kita pegang, namun kita tidak pernah mempelajari makna dan hakekatnya? Apakah ini bukan kebodohan kita, dan apakah ini dapat dikatakan bahwa kita beriman kepada kitab-kitab sang Pencipta?

Kenyaman hidup yang terkondisikan oleh budaya dan lingkungan selama ini membuat kita tidak pernah merasakan benturan hidup yang mengakibat perang dalam diri kita. Dan selama ini pula kita terlalu banyak berkutat dengan masalah yang bersifat keduniawian dengan buku panduan yang lain.  Buku panduan lain inilah yang membuat Status Quo pada diri, yang mengakibatkan lupa akan makna dan hakekat hidup manusia yang sesungguhnya.

Bahkan para alim yang sibuk mencari ilmu yang membedah BUKU PANDUAN juga jarang berpikir ke arah yang sesungguhnya.  Malah lebih parah lagi banyak para alim gadungan yang mengatas namakan BUKU PANDUAN.  Padahal cara belajar mereka dalam menggali ilmu dariBUKU PANDUAN belumlah secara komprehensif.  Mereka potong memotong ayat untuk pembenaran diri dan potong memotong ayat untuk "mengemis" materi kepada para pejabat atau untuk "memeras" kaum lemah dengan dalih pembangunan/ibadah.  tindakan yang diluar batas dilakukan untuk self interest materialis. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang dimasa sekarang jauh dari jalan yang dikehendaki Sang Pencipta yang mengakibatkan hilangnya sinyal untuk mencari konektivitas denganNYA melalui "diri yang sesungguhnya".

Hilangnya konektivitas inilah yang menjerumuskan diri kita menjadi makhluk yang paling hina di atas jagat raya ini. Hilangnya "akal" manusia ini menyebabkan rusaknya alam dan seisinya bahkan saling menumpahkan darah saudaranya hanya untuk tuntutan nafsu.  sehingga mengakibatkan kekalahan perang terjadi pada diri setiap manusia.

Kemungkinan hal ini bukan salah mereka/kita, akan tetapi kesalahan dalam memahami pikir dan pikiran dalam mempelajari ilmu yang sesungguhnya. Kesalahan pikir/pikiran ini akibat pendidikan yang ada selama ini salah kiblat. Kesalahan ini akibat godaan musuh utama manusia yang tidak ingin derajat manusia lebih tinggi dibandingkan mereka.  Cara musuh  kita ini sangat lihai, karena mereka lebih pintar dalam hal ini karena mereka dari bahan baku penciptaan lebih tiggi dibandingkan dengan manusia.  apakah kita tetap tenang dan enjoy dengan kondisi ini. 

Berpikir dan Belajar adalah anjuran wajib manusia.  Namun berpikir dan belajar yang seperti apa yang sebaiknya kita lakukan agar kita bisa meningkatkan derajat diri kita untuk menuju manusia sesungguhnya. Apakah kita masih berat meninggamlkan "buku panduan imitasi" yang selama ini sebagai acuan dalam pendidikan kita. Malah banyak fenomena jika kita tidak berkiblat ke "barat" dikatakan orang yang kolot, namun jika kita berkiblat ke "timur" dikatakan orang yang sesat.  Dan bahkan ketika kita menyampaikan kebenaran berdasarkan BUKU PANDUAN namun berbeda dengan kondisi yang sekarang dikatakan orang yang aneh.

Salah arah dan salah Peta kah kita?  mari kita merenung. lepaskan pikir yang berasal dari otak kita.  kita pertanyakan pada diri kita tanpa berpikir gunakan hati jangan kepala.  selamatl mencoba....

Lanjut bsk ya..... (diri dan cara berpikir manusia)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah