DIRI : MENCARI HAKEKAT DAN PERJUANGAN MENUNTUT ILMU 1

DIRI : MENCARI HAKEKAT DAN PERJUANGAN MENUNTUT ILMU (bagian 1)

Mengenal "Diri Sesungguhnya"

Oleh: Pakde Amin (ki Ageng Sumingkir)


Pendahuluan

Ketika saya duduk dan melihat bulan september, teringat beberapa  dekade yang lalu perjuangan seorang ibu dengan taruhan nyawanya untuk melahirkan diriku.  Dalam benakku terpikirkan beratnya tugas seorang ibu dan secara sepintas terbesit dalam benakku apakah aku sudah berbakti kepada ibu (khususnya). Menangis diriku melihat kondisi ibuku yang sekarang ini sudah "sepuh" hidup sendiri dirumah besar yang dulu di huni oleh 11 anaknya.  Namun sekarang beliau sendiri tanpa teman dengan tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan.   semua saudaraku sudah memintanya untuk ikut salah satu putranya namun kebulatan tekat seorang ibu yang ingin tetap tinggal dirumah itu sampai akhir hayatnya besuk.

Apakah diriku dan saudaraku Kejam dengan ibu? apakah aku dan saudaraku bukan anak sholeh?  tangisan hati ini membuat diriku untuk tidak mengecewakan ibu yang dengan susah payah mengasuh kami dengan tenaga dan materi serta kasih sayang.  saya berjanji pada diriku untuk membawa ibu ke surga bersama ayahku yang sudah terlebih dahulu mendahului ibu.  Mungkin jika semua mau merenung dan berpikir dengan akal mereka akan menemukan jawaban yang sama, atau mungkin akan menangis jika memikirkan perjuangan orang tua kita selama ini.  

Atau mungkin sama sekali kita tidak pernah berpikir atau memikirkan orang tua kita.  Jika ini terjadi apakah mungkin kita masuk golongan anak sholih.  Sungguh kejam memang jika kita tidak pernah memikirkan beliau orang tua kita, sungguh hati kita tertutup dengan tirai yang tebal sampai sampai kita tega sama orang tua kita.  Sejauh jarak yang memisahkan kita dengan orang tua kita jika kita lupa kepada mereka apakah bisa orang tua lupa kepada kita, namun kita saja yang lupa kepada mereka dengan alasan kesibukan mencari materi (audzubillah min dzalik).  semoga kita semua termasuk orang yang bisa selalu ingat kepada orang tua kita, dan bukan orang yang lalai terhadap beliau.

JIka kita mencari materi apakah cukup kita membayar biaya kita mulai dikandungan sampai kita bisa mencari nafkah.  Tidak akan cukup dan tidak akan mungkin beliau mau menerima itu. Cukup dengan kabar baik tentang kondisi kita saja yang mereka dengar akan membahagiakan beliau.  dan cukup doa untuk keselamatan dan doa untuk kesehatan yang beliau minta kepada kita, apakah ini berat untuk kita lakukan.  dan apakah tidak ada gambaran dalam hati kita untuk bisa mengangkat beliau ke surga?

Bagaimana aku bisa membawa ibu dan ayahku ke surga sedangkan diriku jauh dari hakekat manusia yang sesungguhnya.  kebulatan tekatku inilah yang membawaku untuk selalu membuka dan membaca BUKU PEDOMAN hidup manusia yang selama ini hanya sebagai pajangan dan hiasan almari dan mungkin banyak juga diantara kita yang hanya mendengarkan pada saat-saat tertentu saja.

Maka kesempatan ini saya ingin menuliskan sebagian dari pemahaman yang ada tentang diri manusia dan perjalanan menuju hakekat diri dengan jalan selalu menuntut ilmu.  Tulisan ini terdiri dari tiga bagian yaitu: 1) Mengenal hakekat diri, 2) diri dan Indahnya Menuntut ilmu sesungguhnya 3) Diri dalam Bermusyafir

Diri Dan "Diri yang Sesungguhnya"

Banyak buku dan cerita yang kita terima bahwa manusia itu diciptakan oleh sang Pencipta dari Tanah, yang merupakan elemen terendah dibandingkan dengan mahkluk ciptaan lain (Maliakat dan Jin/Setan).  Namun kerendahan bahan baku manusia ini bukan menjadikan diri kita mahkluk yang terendah derajatnya.  Keberadaan manusia sebagai mahkluk yang paling tinggi derajatnya ini dipertanyakan oleh mahkluk lain, Sang Pencipta mengingatkan mahkluk yang suka protes itu dengan mengatakan "Aku lebih tahu dibandingkan Kamu'.  mereka terdiam dan pasrah dengan keputusanNYA.

Derajat sebagai mahkluk yang paling sempurna terjadi jika manusia dalam hidupnya selalu berbekal dan berpedoman pada BUKU PEDOMAN yang diberikan kepada kita.  Namun jika kita tidak pernah memakai buku itu sebagai prosedur hidup dalam kehidupan di bumi ini maka kita akan menjadi mahkluk yang terendah derajatnya melebihi rendahnya derajat hewan yang paling menjijikkan.  dan gambaran manusia yang paling rendah derajatnya inipun sekarang ini sadar atau tidak sudah kita lihat di sekitar kita. ataukah mungkin diri kita termasuk mahkluk yang hina itu?

Maka untuk itu perlu kiranya kita untuk menyendiri dan merenung menjawab pertanyaan yang ditujukan pada diri  tentang posisi kita sebagai mahkluk terendah atau mendekati yang terendah.  jika iya bagaimana kita bisa mendekonstruksi diri kita agar bisa menjadi mahkluk yang paling tinggi derajatnya.  untuk melakukan dekonstruksi diri agar bisa naik derajat, maka yang perlu kita lakukan adalah berpikir mulai dari proses adanya kita sampai kita bisa berumur sampai sekarang ini.

Semua manusia ada karena diadakan. kita lahir karena dikehendaki oleh orang tua yang ingin kita menjadi bagian dari kehidupannya.  kehidupan kita dimulai dari kandungan Ibu kurang lebih selama 9 bulan.  selama dikandungan itulah sebetulnya awal diri kita diciptakan dan diberi tugas dan tanggungjwab yang diberikan atau ditunjukkan oleh sang Pencipta.  Arah dan Jalan serta bekal kita sudah diberikan semua pada saat itu.  itulah yang disebut dengan Perjanjian RUBUBIYAH. 

Perjanjian itu ibarat kontrak kerja (diwakili oleh RUH dengan sang Pencipta) untuk melakukan perjalanan di bumi ini dengan tujuan, fungsi dan arah yang jelas.  Agar tidak tersesat maka ruh tadi diberi BUKU PEDOMAN sebagai peta untuk perjalanannya.  Ruh yang mewakili jasad bayi yang masih dikandung itu sebetulnya mulai bersemayam pada diri si jabang bayi itu mulai umur 4 bulan (Mapati). dan selama nunggu jasad bayi itu lahir menjadi manusia maka sebetulnya si ruh tadi sudah berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitar ibu yang mengandung.

Akan tetapi ketika bayi itu lahir terjadilah peristiwa perpisahan antara jasad bayi dengan si Ruh bayi tersebut.  perpisahan inilah yang disambut dengan tangisan bayi yang merasa bingung setelah ditinggalkan sendiri oleh "Diri yang sesungguhnya" si bayi calon manusia itu tadi. Tangisan bayi yang baru lahir itu bukannya disambut dengan tangisan sedih oleh para orang tua, namun disambut dengan kebahagian orang disekitarnya.  dan disinilah sebetulnya mulainya turun derajat "manusia" kembali ke tempat aslinya, yaitu mahkluk paling hina.

Si bayi yang baru lahir tersebut kemudian terbentuklah oleh "diri" manusia dari kondisi dan lingkungan keluarga.  "diri yang sesungguhnya" manusia yang baru lahir itu sebetulnya masih ada disekitar bayi yang baru lahir tersebut.  karena memang dalam perjanjian yang sudah disepakati antara bayi dengan sang Pencipta,  maka si bayi calon manusia itu harus mencari "diri yang sesungguhnya" yang akan menemeninya untuk bermusyafir di bumi agar bisa mencapai tujuan dan fungsinya kenapa dia diciptakan oleh sang Pencipta. 

Perpisahan antara si bayi dengan "diri yang sesungguhnya" inilah yang sebetulnya merupakan perpisahan yang bersifat sementara.  Namun dalam kenyataannya malah menjadi perpisahan yang selamanya dan mereka bertemu ketika si bayi (atau sudah menjadi manusia tua) itu ketika sakaratul maut.  Dan mengapa sakaratul maut itu melalui proses yang panjang, karena terjadi peperangan antara diri manusia dengan "diri yang sesungguhnya".  Perperangan ini terjadi karena "diri yang sesungguhnya" mempertanyakan kepada si manusia kenapa dia tidak mencari "diri yang sesungguhnya" untuk hidup bermusyafir di dunia ini.  padahal "diri yang sesungguhnya" inilah yang nanti dimintai pertanggungjawabannya oleh sang Pencipta.  Karena merasa dikhianati oleh si Bayi yang tidak mau mencari "diri yang sesungguhnya"  dan asyik hidup dalam lingkungan yang palsu ini.

Mengapa si bayi lalai dengan janjinya untuk menemukan "diri yang sesungguhnya"? karena memang si bayi itu dibuat lalai oleh para penggoda yaitu syaithan yang tidak terima dengan protesnya kepada sang Pencipta di tolak malah tempatnya diusir dan dikasih tempat yang menyakitkan yaitu neraka.  karena itulah banyak manusia yang ada terbujuk rayu oleh rayuan syaithon sehingga lupa dengan "diri yang sesungguhnya".  Golongan Manusia yang lalai ini secara kuantitas lebih besar dibandingkan dengan jumlah manusia yang bisa menemukan "diri yang sesungguhnya".

Lelaku dan Godaan dalam Mencari "Diri yang Sesungguhnya"

Sebetulnya banyak manusia yang sadar bahwa dalam perjalanan mengarungi kehidupan dibumi ini harus bisa mencari teman sesungguhnya yaitu "diri yang sesungguhnya".  Namun tipu daya musuh abadi manusia (yaitu syaitan) itu sangat licik dan membahayakan bahkan sampai-sampai bisa manusia itu merasa sudah dapat menemukan dirinya sendiri. strategi atau godaan ini bisa penulis bedakan menjadi empat jenis lelaku manusia dalam proses menemukan "diri yang sesunguhnya" yaitu: 

1. Manusia dengan lelaku lupa

Golongan manusia yang pertama ini adalah mereka yang sejak lahir sampai meninggal tidak ada upaya sedikitpun untuk mencari "diri yang sesungguhnya".   Golongan ini memang berasal dari lingkungan dan budaya yang tidak mengenal akan sang Pencipta.  sehingga kehidupannya pun bukan untuk hidup yang sesungguhnya.  

Manusia jenis ini adalah manusia yang hidupnya berpikir pendek, mereka hidup ya sepemahaman mereka hidup hanya sekali, maka buat apa harus berpikir yang aneh aneh.  Bahkan dalam kehidupannya pun mereka hanya mengejar kebahagian dan kepuasan di dunia.  maka tidak aneh mereka hidup layaknya binatang, hidup dan bekerja untuk mencari materi yang sebanyak banyaknya dan kepuasan yang maksimal.  Hidup kelompok ini bagaikan hidupnya hewan di alam bebas, siapa yang kuat akan menguasai dan memiliki manusia lain.  Dan rasa kemanusiaannya pun hilang malah muncul sifat keTUHANan (merasa dirinya TUHAN) dibandingkan oleh orang lain. 

Layaknya seperti hewan malah lebih rendah dari Hewan, manusia seperti ini sudah tidak lagi memiliki etika dan hukum.  Etikanya mereka adalah Kepuasan, dan hukum mereka adalah self interest, maka yang menentang etika dan hukum mereka adalah manusia yang harus dibinasakan.  Keyakinan mereka itulah yang membuatnya terperosok dalam lembah kehinaan dan kerusakan bumi/pertumpahan darah adalah sebagai strategi untuk memuaskan self interestnya.

Golongan manusia seperti ini adalah golongan mereka yang terperosok dalam perangkap syaithon. Maka kehidupannya adalah memuja nafsu sebagai peta dalam perjalanan hidupnya. Kerangkeng nafsu sudah sangat kuat yang mengakibatkan ketika ada peringatan atau wejangan hidup untuk kembali ke jalan yang "benar" akan sulit mereka terima.  Mereka berpikir dengan otaknya yang didasarkan atas pertimbangan dada (rasa) dan pertimbangan (perut), bukan atas pertimbangan Akal. karena mereka menganggap akal yang merupakan pembeda manusia dengan mahkluk lain adalah otak itu sendiri.

2. Manusia dengan lelaku Lalai 

Golongan yang kedua adalah manusia yang dalam hidupnya sudah mengetahui tujuan hidup dia, bahkan sebagian dari mereka malah mungkin sudah mempelajari atau mencari "diri yang sesungguhnya". Namun ditengah perjalanan karena masuk dalam kondisi dan budaya yang mengakibatkan mereka jatuh.  Kejatuhan mereka ke perangkap ini diakibatkan karena aqidah dan iman mereka lemah.

Ketika mereka merasakan bahwa perjalanan hidupnya di tengah kondisi dan budaya yang ada disekitarnya dirasakan "aman aman" saja, maka berpikirlah bahwa inilah jalanku.  Padahal sebetulnya itu hanyalah ilusi. Mereka paham dengan "agama", namun karena kondisi dan budaya yang membatasinya mereka merasa ya inilah batasnya. Sehingga merekapun juga hampir sama dengan golongan pertama namun masih punya sedikit rasa kemanusiaan.  ibaratnya mereka juga beribadah namun tingkah lakunya juga banyak menyimpang. 

Golongan manusia yang kedua gagal dalam mencari akal.  mereka  berpikir dengan otak mereka dan mempertimbangkannya pun dengan pertimbangan otak-dada-perut.  namun kegagalan mereka menemukan "diri yang sesungguhnya" terhalang oleh kondisi dan budaya yang ada disekitar mereka.  ketika kondisi dan budaya lebih kuat pengaruhnya terhadap perjalanan manusia maka aqidah dan iman mereka hilang.  mereka sering berteriak masalah agama namun tingkah lakunya bagaikan orang yang tidak mengenal agama.

Golongan manusia ini ibaratnya menggantikan BUKU PANDUAN asli menjadi BUKU PANDUAN kw yang bisa mereka sesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan akibat desakan kondisi dan budaya yang ada disekitarnya.

3. Manusia dengan lelaku Tertipu

Golongan manusia yang ketiga adalah manusia yang sudah melakukan perjalanan untuk bermusafir dalam kehidupannya.  Manusia di golongan ini kuat dalam godaan materi maupun godaan nafsu yang lain.  Mereka rajin selalu mendekatkan diri kepada sang Pencipta, dan selalu berpegang pada BUKU PANDUAN.

Setiap Manusia yang mempelajari dan berpegang Kepada BUKU PANDUAN akan diberi kemudahan dalam "melihat, mendengar, dan merasakan" irama perjalanan hidupnya.  Kelebihan inilah yang mengakibatkan mereka berhenti dalam bermusyafir karena asyiknya menikmati pemberhentian itu.   kelebihan yang mereka terima memudahkan segala urusan yang mereka hadapi. mereka ingin materi tersedia, ingin apapun tercukupi dengan kelebihan yang mereka terima.  Namun karena keasyikannya itu mereka berhenti dan bahkan BUKU PANDUAN pun bisa juga mereka jual untuk mendapatkan kenikmatan kehidupan di dunia ini.

Ternyata kenikmatan ini merupakan tipuan dan perangkan dari syaitan.  maka celakalah mereka, mereka adalah orang yang lalai dengan tugasnya. "diri yang sesungguhnya" dapat mereka temui, namun bukan yang sesungguhnya hanya sekedar "diri yang sesungguhnya" yang merupakan imaginasi  buatan atau perubahan wujud dari syaitan.

4. Manusia dengan lelaku sampurna

Golongan manusia keempat inilah yang mampu menemukan "diri yang sesungguhnya".  mereka melakukan lelaku dengan iklhas dan tegar tidak luntur dan terjerumus oleh godaan atau perangkap dari para syaithan.  mereka yang mampu mencapai lelaku yang sempurna ini akibat mereka istiqomaah menggunakan BUKU PANDUAN sebagai buku pedoman kehidupannya.

terima kasih

magelang 8/10/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah