DIRI DAN INDAHNYA MENUNTUT ILMU

INDAHNYA MENUNTUT ILMU 

Saya mengamati dan merenungi berbagai keadaan manusia, ternyata kebanyakan telah ditimpa kerugian yang nyata.  Orang yang masa mudanya menginfakkan umurnya demi menggapai ilmu, maka pada masa tuanya akan dipuja ( Al Jauzi, Shaidul Khatir, halaman 183)

Cinta padamu menyingkirkan tasbihku dan memberikan sajak - nyanyian, aku berseru "tidak kekuatan selain diriMU', dan sering aku bertaubat, tetapi pujaan hati tak ambil peduli...

Di tangan Cinta aku menjadi penyanyi "lagu kosidah"  sambil bertepuk tangan,  Cinta kepadamu membakar habis segala aib dan popularitas serta segala yang aku punya, hingga laksana mengalami kebangkrutan bekal

Gelora semangat malah makin menjadi, bagaikan ombak laut yang menerjang pantai, dan menyingkirkan "buih ombak", dan pantai mana yang mampu menghalangi hempasan tsunami semangatku,  kalo aku arus ombak laut maka akan kejalankan kapal hatimu. dan kalo ada gunung dilaut akan kutahan laju kapalmu, dan aku pun rela engkau uapkan airku untuk menjadi air embun yang menyirami rahman dan rahimmu... (ki Ageng Sumingkir, 25/10/2020)

Banyak kendala dan masalah ketika menuntut ilmu, sadar atau tidak kendala dan masalah itu merupakan sebuah kenikmatan atau rangkaian irama perjalanan hidup manusia.  Manusia yang menuntut ilmu biasanya sering dinamakan dengan ibn sabil, kenapa demikian karena menuntut ilmu ibarat meninggalkan "dunia" yang biasa mereka jalani dengan bekal yang seadanya untuk tujuan tertentu.  Ketika orang mengatakan dirinya menuntut ilmu namun masih belum merasakan penderitaan yang sampai merasa terjepit (dari kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang) masih belum masuk dalam kategori ibnu sabil.  Maka tidak salah dalam Agama bahwa ibnu sabil adalah orang-orang yang pantas untuk layak menerima hak-hak lebih.

Hampir seluruh umat manusia melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu mulai dari jenjang formal yang diakui oleh umum dan jenjang non formal yang merupakan kapasitas bagi mereka yang terbatas "kemampuan" untuk mendapatkan ilmu.  Mereka yang merasakan memiliki keterbatasan inilah yang lebih menikmati keindahan perjuangan.  Banyak irama dan lagu (umpatan dan pelecehan) yang ditujukan kepada dirinya bahkan bendera-bendera fitnah hidup mereka terima bagaikan penyajian tarian di sepanjang perjalanan.  Namun jika mereka memiliki niat yang tulus dan ikhlas dalam menuntut ilmu maka lebih mudah baginya untuk mencapai tujuan yang dicapai.

Namun sebagian manusia yang memiliki "kemampuan" yang cukup sebagai bekal dalam perjalanan banyak yang lalai sehingga sebagian besar dari mereka akan menyerah dalam perjalanan mencari ilmu.  Ada sebagian dari mereka sudah melakukan perjalanan namun bukan jalan yang lurus yang mereka ambil, mereka tertipu oleh rambu rambu perjalanan.  Rambu yang salah itulah yang menyebabkan mereka tersesat pada jalan yang semu, dan semua ini sudah diperkirakan oleh Sang Pencipta.

Ada sebagian diantara mereka yang terseret "jalan yang salah" sejak masa muda, yang berfoya-foya menikmati hidup dunia maya ini. Bagaikan menikmati puncak kenikmatan yang sudah maksimal sampai mereka lupa pada hakekat perjalanan hidup. Ada yang lupa dan lalai hingga maut menjemputnya, namun ada juga yang sadar ketika badannya mulai melemah.   Manusia yang tersadar di masa tua itu sebetulnya cukup beruntung namun tatkala tubuh yang renta dan mengakibatkan dosa-dosanya tak bisa lagi ditebus.  Hanya penyesalan ketika keutamaan-keutamaan tak lagi dapat mereka raih.  Masa tua pun disesaki dengan kegelisahan yang sangat menyiksa.

Andaikan mereka yang tersesat dijalan tersebut memiliki kesadaran di masa tuanya akan jalan jalan yang penuh kebohongan dan perangkap dosa selama mudanya akan berseru "Alangkah bodohnya diriku ini dan benar yang apa yang ada di dalam BUKU PANDUAN yang mengatakan apa aku tidak berpikir dan apa aku tidak mengetahui".  Sebuah kerugian yang sangat besar dan mereka sadar bahwa kenikmatan serta kelezatan yang mereka rasakan selama ini hanyalah sementara dan tipu daya saja.  Hai, Iblis mengapa begitu pintar kamu.. mengapa kau begitu membuat jalan yang "sama" dan berliku liku sampai membutuhkan waktu yang panjang atau malah banyak manusia tertipu daya kamu?  

Bersyukurlah manusia yang masa mudanya disibukkan dengan menginfakkan umurnya demi menggapai ilmu, maka pada masa tuanya dia akan di "puja".   Jerih payah dan usaha mereka pada masa mudanya akan di panen dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang "ilmu yang sesungguhnya.  Maka tidak aneh lagi ketika panen mereka bisa mereka tuangkan dalam buku-buku yang menjadi rujukan manusia-manusia yang butuh pemahaman tentang ilmu kehidupan.

Saya teringat ketika masih muda banyak cemoohan orang orang yang berada dilingkungan saya, banyak fitnah dan berita bohong tentang diri saya, dan banyak himpitan yang saya rasakan,  namun saya juga tidak tahu itu semua malah mematangkan diri dan ibarat irama kehidupan yang harus saya alami.  Sampai saya pernah ada dorongan untuk "mengemis" kepada orang orang yang ber"kuasa" untuk menyelesaikan himpitan kondisi yang aku alami.  Kesusahan-kepedihan dan kebisingan yang saya alami selama itu demi perjalanan bermusafir malah meningkatkan "ghirah"/semangat yang membara untuk meneruskan lelaku dalam perjalanan bermusafir.

Memang masih jauh dari tujuan dan harapan untuk berlayar di samudra kehidupan mencapai titik yang dituju  karena Sang Pencipta sudah berfirman tujuh lautan pun tidak akan mencapai titik kesempurnaan ilmu manusia.  Namun perjalanan itu membawa diriku semakin tenang dalam melangkah walaupun tiupan ombak semakin besar dan badai menerjang semakin keras, dan yang pasti semakin meyakinkan jalan yang ku tempuh untuk menjadi manusia yang dicintai oleh sang Pencipta.  

Dalam tulisan ini akan juga saya bahas bagaimana langkah-langkah yang benar menurut buku Panduan untuk berlayar dalam mencari ilmu yang sesungguhnya.

Seni dan Indahnya Bermusyafir mencari ilmu

Manusia mencari ilmu ibaratnya seseorang bermusafir dalam kehidupan, siang dan malam terus berperang dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi dan kehidupannya.  Usaha yang dilakukan adalah mendekati sang Pencipta untuk mendapatkan "cintaNYA".  Perjalanan yang dilakukan tidak luput dari peta yang salah yang ditawarkan oleh musuh abadi manusia yang menyerang, baik dari dalam diri sendiri maupun dari luar diri manusia itu sendiri.

Sang Pencipta sudah menggambarkannya perjalanan itu sebuah perjuangan yang berat yang dimulai dari sejak manusia itu dilahirkan hingga pengembaraannya di bumi ini.  Namun bahwa manusia mampu untuk melaksanakan tugas itu dan oleh sang Pencipta dibekali dengan buku PANDUAN kehidupannya.  Selama manusia mau dan mampu "membaca" buku tersebut maka manusia akan selamat dan mencapai tujuan hakekat manusia yang sesungguhnya yaitu "diri yang sesungguhnya".  

Untuk mencapai "diri yang sesungguhnya" maka diperlukan lelaku dalam kehidupan.  Sebelum melakukan lelaku dalam buku Panduan sudah mengatur pintu yang harus dilalui.  Pintu utama yang dilalui oleh seorang musafir adalah Menikah dan Perenungan.

Menikah merupakan syarat utama seseorang untuk melakukan perjalanan mencari hakekat ilmu.  Karena dengan sudah menikah manusia sudah merasakan dan memikul ketidakadilan, mendengarkan/mengalami ketidakmungkinan, dan menjalankan kerasnya kehidupan dunia ini.  itulah yang dicontohkan oleh Muhammad SAW yang selama ini menjadi panutan hidup manusia.

Mengalami dan memikul ketidak adilan itu seperti halnya menghapus noda atau ketidaksucian padanya. perjalanan selama memikul ketidakadilan ini akan memunculkan rasa kesabaran dan keikhlasan diri pada manusia selama proses pernikahan dijalani.  Nilai kesabaran dan keikhlasan diri inilah yang merupakan basis untuk mencapai keseimbangan hidup manusia.  Jika keseimbangan hanya dilihat dari sifat manusia maka keseimbangan ini adalah keseimbangan antara agresifitas diri dengan sifat bertahan.  Jika keseimbangan sifat ini tercapai maka rasa semangat, sabar dan keikhlasan akan muncul dengan seimbangan, hal ini mengakibatkan manusia terbiasa dan mampu untuk memposisikan diri dan menyelaraskan diri dalam perjalanan mencari "diri yang sesungguhnya".  Perjalanan dalam mencari diri yang sesungguhnya inilah sebetulnya merupakan tujuan dari kehidupan manusia di dunia ini. Karena dengan menemukan diri yang sesungguhnya berarti manusia mampu mencari dan mendapatkan "ilmu Sang Pencipta" yang seperti dijanjikannya.

Mendengarkan dan mengalami ketidakmungkinan itu adalah perjalanan yang dialami dalam bahtera pernikahan, karena ada sesuatu yang secara logika manusia umum tidak bisa dihitung secara matematika namun bisa menyelesaikan sesuatu masalah.  Ketidakmungkinan/hal yang mustahil seringkali dirasakan dalam rumah tangga.  Jika kita sadar bahwa manusia hidup ini dipenuhi dengan perhitungan yang teliti dan cermat, namun perjalanan kehidupan apa yang diperhitungkan manusia berbeda antara rencana dan realita.  

Kemustahilan atau ketidakmungkinan inilah juga menimbulkan pematangan jiwa dan keyakinan diri manusia yang merupakan syarat utama manusia setelah sabar dan ikhlas.  Kematangan Jiwa adalah bentuk dari berjalannya unsur hakekat manusia yang ada.  Unsur hakekat manusia yang terdiri dari Kepala (otak), dada (perasaan) dan Perut (hawaa) berjalan bersama-sama ibarat tiga roda yang berputar secara seimbang.  keseimbangan dari unsur hakekat manusia inilah yang menimbulkan pematangan jiwa dan keyakinan diri manusia untuk mengembalikan pada tujuan kehidupannnya di alam ini.  Jika manusia tidak mampu menjadi sifat matang jiwanya dan keyakinan diri yang masih rendah berarti mereka belum percaya akan ketidakmungkinan atau kemustahilan, ini berarti ada satu unsur atau lebih yang tidak jalan dalam perjalanan kehidupannya.

Banyak orang yang "Sakit Jiwa" dan "keyakinan diri mereka rendah" lari berobat ke rumah sakit atau Psikater/psikolog.  Secara ilmu pengobatan modern yang selama ini dipercaya oleh manusia sekarang mungkin ini benar dan mengakibatkan kecanduan pada obat-obatan dan malah mungkin tidak sembuh.  Orang lupa dengan BUKU PANDUAN, sehingga lupa akan obatnya.  Penyebab sakit jiwa dan keyakinan diri yang rendah ini memang penyakit tapi penyakit yang berasal dari diri manusia itu sendiri.  Ketidak seimbangan dan tidak berfungsinya hakekat unsur manusia yang diberikan oleh Sang Pencipta lupa untuk diobati. Obat dari penyakit tersebut adalah intropeksi diri pada si manusia dengan kembali pada BUKU PANDUAN.  Memang ini mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan.  terlebih jika manusia sudah merasa lebih percaya kepada medis daripada Buku Panduan.  Maka inilah yang dikatakan menikah adalah usaha manusia percaya pada ketidakmungkinan dan kemustahilan yang bermuara pada kematangan jiwa dan Keyakinan diri.

Berbeda dengan orang yang tidak menikah, karena tidak memiliki keseimbangan maka pasti akan berdampak tidak jalannya unsur hakekat pada manusia.  Sang Pencipta memberikan tiga unsur itu sebagai bekal yang harus dijalani sebelum melakukan perjalanan sebagai seorang musafir untuk mencari hakekat diri dan ilmu.

Menjalankan kerasnya kehidupan selama pernikahan akan mengakibatkan manusia tahan akan "sakit" baik sakit secara fisik maupun lahir.  Rasa sakit yang dialami inilah yang akan memunculkan sifat  tahan Uji dan Tahan banting (TABAH).  Sifat ini diperlukan sebagai bekal perjalanan karena keprihatinan dan kesederhanaan serta apa adanya dibutuhkan dalam perjalanan. Dalam perjalanan manusia tidak butuh topeng (masker) untuk menutupi diri nya dan manusia tidak butuh untuk dikasihani, dipuji atau popularitas.   Perjalanan dibutuhkan manusia sederhana yang apa adanya tidak butuh bekal yang banyak karena perjalanan ini butuh keprihatinan dan ketabahan, malah jika bekalnya terlalu banyak mereka tidak berjalan dengan cepat (jika perjalanan cepat bisa dilakukan pasti dia tidak akan mencapai hakekat ilmu yang sesungguhnya).

Jika manusia tidak mampu menahan kerasnya kehidupan akibatnya orang itu adalah putus asa dan berubah menjadi orang yang lari dari peta perjalanan.  Lari dari peta inilah sebetulnya ujud dari sifat orang munafik dan orang kafir.  Dengan demikian dapat diartikan bahwa orang munafik dan orang kafir adalah orang yang tidak kuat ketika diuji dan dibanting dalam perjalanan hidupnya.  Sifat ini tidak bisa diobati karena sifat ini adalah bentuk pelarian dari orang yang tidak mampu dalam perjalanan hidupnya.  Karena tidak mampu maka mereka berpikir mencari aman dan berpikir jangka pendek.  JIka manusia berpikir jangka panjang bahwa kehidupan ini adalah hanya sekedar mencari bentuk kehidupan selanjutnya maka orang tidak akan mencari status quo (munafik/Kafir).  

Setelah melewati pintu itu maka akan terbentuk manusia yang memiliki tiga sifat, ketiga sifat itulah "Pakaian" untuk melakukan perjalanan mencari hakekat ilmu. Pakaian yang merupakan modal awal bagi seorang musafir inilah yang menentukan langkah dan indahnya perjalanan kehidupan para ibnu sabil, Karena perjalanan yang keras dan panjang serta melelahkan itu untuk mencapai "ilmu yang sesungguhnya" dan mencari Cinta juga dicintai Sang Pencipta.

Setelah melalui pintu pernikahan sehingga mendapatkan pakaian seorang musafari maka langkah selanjutnya adalah perenungan.  Perenungan adalah cara mencari cahaya sang Pencipta.  Perenungan adalah bertanya pada diri dengan cara bergelut dalam kesendirian dan berperang dengan hawa nafsu.

Kesendirian dan berperang melawan hawa nafsu adalah mempertanyakan tentang "kondisi" manusia tentang keterbatasan, ketidak adilan yang menyebabkan penderitaan.  Dengan sendiri namun berperang inilah sebetulnya ujud dari perang terbesar dalam kehidupan manusia. Kemenangan atas perang ini adalah mampunya manusia menguasai nafsu pada dirinya dan menemukan akal.  

Dengan menguasai nafsu dan menemukan akal inilah sebetulnya merupakan "cahaya" untuk membaca peta perjalanan seorang musafir.  Cahaya inilah yang sebetulnya menyibak hijab atau tirai yang selama ini menyelimuti hati manusia.  Dengan adanya akal, dikuasainya nafsu dan terbukanya hijab hati manusia maka dimulailah perjalanan mencari ilmu yang sesungguhnya.  Ilmu yang dicari adalah ilmu dari Sang Pencipta yang sudah diberikan kepada manusia untuk kehidupannya baik sebagai khalifatul fil ardh maupaun sebagai hakekat manusia.  

Hakekat ilmu yang sesungguhnya inilah sebagai bentuk hadiah bagi mereka yang melakukan lelaku perjalanan perjuangan mencari ilmu.  Hasil yang didapat dari perjalanan lelaku inilah sebetulnya merupakan keindahan dari ilmu itu sendiri untuk mencapai hakekat manusia dalam menemukan diri yang sesungguhnya.  ilmu yang sesungguhnya akan mendekatkan diri pada sang Pencipta sehingga diri menjadi Dicintai oleh Sang Pemberi Cinta.

Alangkah indahnya hubungan antara pecinta dan yang dicintai, tidak ada paksaan diantara mereka berdua. Kalaupun ada paksaan mereka melakukan demi yang lain. Semua hal yang dilakukan selain Cinta adalah haram hukumnya.

Magelang, 25/10/2020

ki Ageng Sumingkir

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah