DIRI DALAM MENGENAL BEBAN KEHIDUPAN

 Layaknya diri seperti seorang pemulung... yang hidup setiap hari selalu mengumpulkan barang... Namun diri tak pernah tahu... Kepada siapa diri harus menjualnya
Layaknya diri seperti seorang penyanyi... Yang dalam hidupnya selalu bersenandung... Namun diri tak pernah tahu... Lagu apa yang pantas dinyanyikan
Layaknya diri seperti seorang penari... Yang dalam hidupnya selalu menggerakkan tubuh dengan lemah gemulai... Namun diri tak pernah tahu... Gerakan apa yang pantas dilakukan..
Oooii... Itulah kehidupan kita sehari-hari... Yang selalu beraktivitas... Namun diri hanya sekedar beraktivitas... Tanpa mengetahui tujuan dan makna dari aktivitas kehidupan kita
Alangkah ruginya hidup kita.... Yang selalu mengumpalkan beban di punggung kita... Yang selalu bersuara yang tanpa makna... Dan selalu bergerak beraktivitas namun tak memiliki nilai
Dimana salah diri selama ini.. Yang melakukan sesuatu tanpa nilai... Hanya karena hidup tanpa pernah memahami... Apa yang ada dalam buku Panduan..
Kerugian itu pasti... Salah jalan itu sudah terjadi... Namun diri jangan salah arti... Karena Sang Pencipta selalu menyayangi diri
Hai diri yang "tersesat"... Cari lah diri yang sebenarnya... Yang akan memandu diri... Untuk bermusafir dan berpulang ke rumah Sang Pencipta.
KAS, 8/8/2021, Puisi diri yang tersesat.


Ketika diri membahas beban kehidupan tidak lepas dari apa yang sekarang menjadi pemikiran diri kita.  Karena beban kehidupan adalah sesuatu permasalahan yang mendominasi pikir diri dalam kehidupan.  Jika kita bayangkan dari kita kecil sampai sekarang maka pasti masih menumpuk permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari maka mungkin akan terlintas jutaan permasalahan dan mungkin sampai saat ini belum terselesaikan.  Dan apabila diri tidak memiliki kapasitas dalam menampung itu maka tidak ayal lagi sakit atau stress akan menjangkiti diri kita.  

Permasalahan hidup itu dalam gambaran dunia nyata adalah seperti sampah.  Sampah akan menjadi beban jika diri tidak mau membuang ke tempat yang layak dan mendaur ulang menjadikan sesuatu yang bermakna atau mengembalikan ke tempat asalnya. Jika sampah dibuang sembarang tempat maka sampah itu akan menjadi masalah baru dalam kehidupan manusia karena diri selalu mengumpulkan sampah entah itu dibawa pergi kemana mana atau dikumpulkan dirumah.  Hal ini karena diri tidak mampu mengelola sampah dengan baik dan tidak bisa mendaur ulang atau tidak tahu kemana sampah itu diberikan.  Maka hidup kita hanya fokus pada sampah dan diri tidak akan berkembang dalam kehidupan ini karena beban sampah itu.

Demikian juga dalam kehidupan diri kita sehari hari banyak mengumpulkan "sampah kehidupan" yang merupakan sesuatu yang tersisa dalam pikir kita yang terbawa terus menerus.  Maka jika diri seperti ini ibarat kepala kita ini seperti tas atau rumah yang hanya setiap hari menumpuk "masalah-masalah kehidupan" namun tidak mampu menghilang dari pikiran kita.  Dan hal ini tidak kita sadari bahwa ternyata ibarat kepala kita ini adalah tas yang membawa "masalah-masalah" itu bahkan sampai tidur juga. Sebuah kerugian bagi diri kita yang membebani kepala kita dengan hal seperti itu dan tidak sadar dengan kondisi seperti ini.  

Kerugian yang besar jika diri kita berperan seperti ini yang dalam kehidupan sehari-hari hanya terbebani sama pikiran tentang akumulasi masalah-masalah kehidupan.  Akibatnya diri akan sering mengalami sakit dan mungkin juga banyak mengalami stres atau tekanan batin akibat pikir.  Jika diri seperti ini maka jangan heran diri kita tidak pernah menemukan jalan keluar dari pikiran dan mungkin akan menyita umur kita sehingga tidak bisa menikmati/menemukan jalan yang benar sebagai seorang musafir. Karena ibarat diri memiliki pikir namun selama ini hanya berpikir bagaimana meningkatkan kapasitasnya agar mampu memuat sampah-sampah ini tanpa mau berpikir bagaimana menguranginya.

Orang berperilaku yang  suka mengumpulkan masalah dalam kehidupannya dalam Buku Panduan sering disebut sebagai orang yang hidup di jaman prasejarah.  Mengapa dikatakan demikian? Untuk menjawab ini diri akan menyoroti tipe dari orang pra sejarah.  Diri yang hidup dalam masa ini dikatakan adalah diri yang (1) belum mengenal budaya dan (2) belum mengenal tulisan.  

1. Diri Belum Mengenal Budaya

Diri manusia yang belum mengenal budaya karena pada saat hidup tidak memiliki adat istiadat atau aturan dalam kehidupannya.  Karena dalam kehidupannya diri masih disibukkan dengan cara bagaimana diri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Fokus diri dalam mencari kebutuhan hidup ini karena diri belum menemukan cara untuk bertahan dan mencukupi kebutuhan. Hidup yang demikian ini karena diri belum mampu mengenal diri yang sesungguhnya sehingga kehidupannya hanya untuk tujuan fisik yaitu perut dan bawah perut.  Organ pikir hanya sebagai pelengkap karena hidup hanya dengan nalurinya.

Pikiran yang sudah ada dan diberikan oleh Sang Pencipta tidak pernah dimanfaatkan secara maksimal karena terbebani dengan masalah kehidupan ini.  Akibatnya pikir yang seharusnya digunakan sebagai pengurai dan pemimpin dalam menghadapi masalah malah digunakan terakhir karena lebih mengutamakan naluri diri.  Ketika naluri berperan utama dalam kehidupan maka pikir tidak jalan dengan semestinya mengakibatkan nurani diri akan mati.  Dan ketika nurani tidak jalan otomatis diri tidak memposisikan diri sebagai manusia yang sempurna dengan derajat yang tertinggi.

Orang yang belum mengenal budaya ini dalam buku Panduan disebutkan adalah orang-orang yang dihilangkan dengan topan noah atau banjir Nuh.  Sehingga yang tersisa adalah peninggalan-peninggalan yang hanya berwujud prasasti-prasasti dalam bentuk tertentu.  Mungkin bagi orang ahli sejarah mereka dikatakan sebagai orang yang sudah berbudaya namun secara hakekat mereka mungkin bukan orang yang berbudaya karena kehidupannya hanya didasarkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Belum mengenal Tulisan

Diri yang belum mengenal tulisan ini bisa diibaratkan diri yang memang belum mengenal bacaan.  Dan dari bacaan ini muncul sebuah pemahaman yang nantinya akan melahirkan sebuah ilmu.  Ketika diri belum mengenal tulisan maka kehidupan hanya didasarkan pada naluri seperti yang tertulis di atas. Akibatnya diri terperangkap dalam penjara kebodohan.  Karena mungkin kehidupan hanya didasarkan atas tuntutan naluri bagaimana diri bisa bertahan dalam hidup ini.

Namun pengenalan tulisan ini tidak hanya sekedar tulisan yang secara fisik tertulis.  Sebab dikatakan banyak diri yang tahu tulisan dan mampu untuk membaca namun tidak bisa mengartikan bahkan memahami atau mengaplikasan apa yang tersirat dan tersurat dalam tulisan tersebut.  Orang yang demikianpun dapat dikategorikan termasuk diri yang tidak mengenal tulisan.

Bagaimana diri dapat dikategorikan sebagai orang yang mengenal tulisan?  maka diri harus berpikir tidak hanya bisa mengenali dan membaca serta mengartikan tetapi harus bisa mencapai tiga tahap selanjutnya.  Jadi kategori orang mengenal tulisan adalah jika diri mampu mencapai empat tahap dalam mengenal tulisan.  Apabila diri tidak mampu mencapai empat tahap ini maka dikatakan diri adalah orang yang merugi atau dalam kerugian.  Dengan kata lain diri sia-sia menjadi manusia atau dapat dikatakan diri sebagai orang bodoh.

Empat tahap ini adalah:

a. Tahap fenomena/syariat 

Dalam tahap ini diri menangkap realitas fisik yang tertangkan dengan panca indra yang dimiliki oleh manusia.  Namun panca indra disini adalah panca indra yang umum yang biasa dikenali oleh manusia bukan panca indra yang ada dalam buku Panduan (baca: mengenal panca indra). Dan Tulisan yang bisa kita lihat pun hanya sekedar tulisan yang tidak memiliki dan tidak menggerakkan nurani diri kita sehingga tidak dapat mempengaruhi kerja dari naluri diri.

b. Tahap neuma/tarekat

Dalam tahap ini diri sudah naik level artinya diri bisa membaca tulisan namun pemahaman masih merupakan pemahaman milik orang lain.  Jadi diri bisa memahami sebuah tulisan karena diri memiliki pengetahuan orang lain yang menguasai pola pikir diri untuk mencari arti dari tulisan itu.  Ketika sebuah pemahaman itu benar mungkin diri kita ikut menikmati kebenaran tapi jika pemahaman itu salah diri menganggap itu sebagai sebuah kebenaran.  Maka keyakinan diri kita tidak muncul dalam tahap ini karena keyakinan kita hanya karena diri mengikuti pemahaman orang lain yang belum tentu benar.

c. Tahap epoche/makrifat

Dalam tahap ini diri lebih tinggi dibandingkan dengan tahap kedua karena diri sudah mampu menangkap makna dari tulisan itu akibat diri sudah memiliki pemahaman tentang apa yang tertulis dalam tulisan tersebut. Karena dalam tahap ini pikir kita sudah memiliki pengetahuan tentang makna per huruf dari sebuah tulisan.  Sehingga mengakibatkan diri memiliki daya nalar dan imajinasi yang mungkin meruntuhkan fenomena dan pemahaman yang sudah ada.  Keyakinan diri kita sudah muncul dalam tahap ini namun diri belum bisa menemukan konektivitas antara tulisan dengan kondisi diri dalam mencari hakekat diri yang sesungguhnya.

d. Tahap eidetis/hakekat

Dalam tahap ini adalah puncak diri mengenal sebuah tulisan karena diri tidak hanya mengenal bentuk secara fisik dari tulisan.  Namun diri sudah mengerti makna dan hakekat dari tulisan itu sebetulnya.  Karena diri diberi akal oleh Sang Pencipta.  Dengan akal inilah konektivitas diri dengan Sang Pencipta mampu memberikan pemahaman akan hakekat dari sebuah tulisan.  (baca: diri dan Sang Pencipta).

Apakah sekarang sudah tidak ada orang yang tidak memiliki budaya walaupun banyak kebudayaan dan tulisan  yang berkembang pesat.  Realita menunjukkan bahwa ditengah orang yang berbudaya majupun dan berilmu tinggi masih banyak diri kita yang tidak memiliki budaya dan bodoh.  Mengapa demikian? kemungkinan karena diri kita dalam hidup hanya untuk mementingkan tujuan diri untuk mempertahankan hidup kita agar mampu mempertahankan ambisi dan popularitas diri.  

Ketika diri manusia hanya memementingkan ambisi dan popularitas diri maka diri akan berperan seperti orang yang tidak berbudaya.  Maka dalam kehidupannyapun diri akan  meninggalkan budaya dan menggantikan dengan self interest agar kehidupannya untuk memenuhi perut dan bawah perut (nafsu) terpenuhi.  Sebuah kerugian yang besar bagi diri kita jika  hidup laksana seperti ini yang hanya mementingkan diri.  Secara fisik kita sempurna namun keseimbangan kehidupan diri tidak pernah tercapai dan ini berakibat akan terjerumus ke derajat paling rendah dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Maka tidak heran jika Sang Pencipta marah dengan diri kita sebagai manusia.  Kemarahan Sang Pencipta ini menjadikan diri semakin "pusing" dan mengakibatkan diri semakin kebingungan untuk meredam kemarahan Sang Pencipta.  Cara yang dilakukannya untuk meredam kemarahan Sang Penciptapun tidak dengan cara yang dianjurkan atau jalan yang benar melainkan dengan pertimbangan naluri diri yang utama.  Bukan berhasil meredam malah menjadikan semakin tambah kadar Kemarahan Sang Pencipta.  Maka tidak ayal lagi hanya satu yang dilakukan oleh Sang Pencipta adalah seperti topan Noah/Banjir Nuh yaitu menghilangkan manusia yang hidup dalam ketidakseimbangan dan digantikan oleh "generasi yang baru".

Magelang, 14/7/2021

"selanjutnya insyaAllah akan kami lanjutkan denga Diri Dalam Mengelola Beban Kehidupan)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah