Bijak dengan Ilmu

 Jika diri sadar dengan adanya kematian yang menanti... Dan akan memotong seluruh usaha diri menabung... Senantiasa diri sadar untuk beramal dan bekerja.. Yang sesuai dengan "kebaikan"
Kebaikan adalah jalan ridha Sang Pencipta... Yang harus dilalui dan dilakoni... Dalam menjalankan misi sebagai seorang musafir... Agar diri dapat tempat di rumah Sang Pencipta
Namun alangkah sayang diri ini... Jikalau dalam hidup tidak bisa melaksanakan itu... Karena tergoda oleh pandangan yang berbeda... Bekerja dan beramal bukan untukNYA melainkan untuk memenuhi ambisi dan popularitas diri...
Mengapa bisa terjadi... Apa yang salah dalam diri... Banyak ilmu yang aku dapatkan dan banyak materi yang aku peroleh... Dan diriku tetap dianggap kering tanpa bekal dalam menghadap Sang Pencipta
Ooo.... Sebuah kerugian yang mungkin diri alami selama ini... waktu sudah terbuang dan tanpa ada nilai yang berarti di hadapanNYA... Mengapa ini tidak diri sadari...
Bacalah... Bacalah... Bacalah... Bacalah dengan ilmuNYA bukan dengan ilmu kita
Pencerahan akan muncul... Keterbukaan hati dan pikir akan dimulai... Kejelasan hidup akan tampak... Dan perjalanan diri sebagai manusia akan segera dilampaui...
KAS/9/7/2021, Salahkah dengan Ilmuku


Dengan banyaknya orang yang pintar dan berilmu berakibat kemajuan peradaban dunia semakin pesat. Pembangunan seperti sebuah perlombaan yang berakibat tidak ada perbedaan antara kota/desa dan jarak sudah tidak terasa antara karena kemajuan teknologi seperti sekarang ini.   Sesuatu yang tidak mungkin dapat berubah menjadi kenyataan.  Akibatnya perkembangan kehidupan diri manusia dengan kepemilikan ilmu ini banyak diri semakin nyaman dalam kondisi sekarang dan berdampak pada rasa puas dan bahagia dengan hidup yang dijalaninya ini. Namun tidak sedikit bagian dari diri kita  malah tidak pernah merasa kepuasan atau kebahagian dengan kondisi sekarang ini.  Perbedaan ini sering mengakibatkan sebuah pergulatan hidup antar manusia yang satu sisi ingin mempertahankan posisi kenyamanan dan satu sisi ingin mencari pengembaraan untuk mencari kepuasan diri.  

Fenomena adanya diri yang puas dan tidak puas dengan kemajuan peradaban manusia akibat dengan banyaknya orang yang memiliki ilmu yang tinggi ini menjadi sebuah rujukan untuk berpikir mengapa ini bisa terjadi. Hal ini dapat dilihat dengan kondisi sekarang ini banyak orang yang menderita akibat kemajuan peradaban ini namun juga tidak sedikit diri kita yang "bahagia" dapat hidup dengan menguasai manusia-manusia lemah.  Perkembangan peradaban ini lebih banyak menekankan satu sisi yaitu sisi ilmu kehidupan dunia namun sisi ilmu yang lain seakan hanya digunakan sebagai pelengkap dalam kehidupan.  Akibatnya ukuran ajaran pun hanya sebatas penilaian yang dapat diterima oleh logika umum bukan dengan ukuran lain yang lebih sempurna.  Hal ini berdampak pada keseimbangan hidup manusia yang terasa lemah dan mudah runtuh atau goyah akibat di coba dengan cobaan yang berat yang dialami.

Ketidakseimbangan kehidupan ini diakibatkan diri manusia lebih menekankan sisi jasman dibandingkan sisi ruhani.  Karena beranggapan bahwa sisi ruhani akan selalu menyertai dengan kemajuan sisi jasmani.  Anggapan ini mungkin suatu pendapat yang keliru karena berbeda dengan ajaran yang terdapat dalam buku Panduan.  Hal ini dapat dilihat dengan kondisi kita sekarang ini kegersangan hidup manusia tidak akan dapat diobati dengan ilmu-ilmu dunia namun akan tersiram air seperti ari hujan jika diri kita yang sudah lama mempelajari ilmu-ilmu agama.   Namun banyak juga terjadi orang yang mempelajari ilmu-ilmu ajaran namun tidak pernah merasakan kepuasan diri/ malah puas karena dapat mudah mendapatkan rejeki dari "diri manusia" yang bisa ditipunya.

Para "penguasa" ilmu (baik ilmu dunia ataupun ilmu agama) serasa memiliki kemudahan dalam hal materi dan laksana berubah dirinya berperan sebagai tuhan.  Ketika ada diri yang menasehati atau menolak perintah atau ajakannya maka tak segan-segan genderang perang pun di tabuh untuk menghilangkan orang yang mengajaknya kembali ke jalan kebaikan. Bahkan para penguasa tersebut dengan ringannya "membunuh" orang yang baik dengan alasan mengganggu pandangan atau kehidupan golongannya yang sudah hidup nyaman.

Padahal sebagai orang yang berilmu seharusnya diri menjadi orang yang bijaksana. Karena dengan ilmu yang baik diri kita akan selalu menjadi obat dikala banyak orang lain sakit dan menjadi pelipur lara dikala banyak orang baru dalam kesediha.  Itulah ilmu yang bermanfaat yang sesuai dengan apa yang di ajarkan dalam buku Panduan.  Maka alangkah indahnya kehidupan ini jika mereka yang berilmu memiliki ilmu seperti ini.  Namun realita sekarang ini kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi banyak diri yang berilmu bukan menjadi "obat atau pelipur lara" malah menjadi "racun dan penindas" orang-orang lain yang berada disekitar kita. 

Ini berarti kepemilikan ilmu yang ada pada diri orang yang menjadi "racun dan penindas" adalah ilmu yang keliru.  Maka tidak salah jika diri yang demikian dikatakan sebagai ilmuwan yang memiliki ilmu namun membawa keberadaan dirinya menjadi tidak bermakna.  Jika diri berposisi demikian maka berarti diri tidak memahami makna ilmu secara mendalam.  

Dalam memaknai ilmu seharusnya mendudukkan bahwa:  1) Ilmu merupakan pemahaman tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem dan berjenjang menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan peristiwa tertentu pada bidang pengetahuan itu. Pemahaman ini menyebutkan bahwa ilmu itu adalah sesuatu yang secara riel/nyata dapat dibuktikan kebenarannya harus dapat dibuktikan dan berlaku umum pada kondisi tertentu.  Pemahaman ilmu yang demikian adalah pemahaman ilmu yang dianut oleh para kaum ilmuwan sekarang ini yang hanya mengandalkan logika materi saja.  Ilmu yang demikian adalah ilmu yang berhubungan segala hal yang bersifat material/fisik.   Karena hal-hal yang bersifat fisik ini adalah hal yang mudah  dan dapat dibuktikan bukan hal-hal yang sekedar diyakini.  Ilmu yang tipe demikian akan memposisikan diri pada diri yang dapat memahami pengetahuan tapi tidak dapat memahami makna ilmu yang mendalam.

Dalam buku Panduan dikatakan bahwa diri yang demikian dapat dikatakan diri yang berilmu tapi tidak memiliki kepandaian (diri dalam kebodohan).  Hal ini dikarenakan diri tidak dapat menempatkan makna dari pemahaman yang sesungguhnya walaupun secara fisik/materi dikatakan diri adalah seorang yang pintar.  Sebagai contoh ada seorang ilmuwan yang dibesarkan atau terdidik pada lingkungan yang "bodoh" namun dirinya memiliki pengetahuan dan materi yang cukup namun kepemilikannya itu tidak digunakan untuk kemaslahatan manusia malah digunakan untuk memperkaya diri.  Orang yang demikian mungkin secara umum dipandang sebagai orang berilmu yang berhasil namun sebetulnya dia adalah orang yang bodoh karena ilmu yang dimiliki bukan mengajak untuk kebaikan dan kebenaran tetapi pertumpahan darah atau kerusakan di muka bumi.

Diri sebagai ilmuwan tipe satu ini lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan diri sebagai ilmuwan yang memiliki tipe dua.  Sehingga akibatnya kehidupan di dunia ini bukan kedamaian dan kebaikan yang mendominasi dalam hidup kita melainkan pengetahuan yang memunculkan tipu daya agar diri mampu berkuasa untuk memenuhi hasrat dan kuasa untuk berkuasa.

 2) Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian yang "kaffah" karena dapat memahami tentang soal lahir dan batin.  Lahir berhubungan dengan kepentingan kehidupan dunia yang merupakan implematasi dari tugas-tugas dari hal hal yang bersifat batin.  Diri yang memiliki ilmu yang seperti ini adalah membawa pada kehidupan yang penuh dengan kenikmatan dan diakhiri dengan kebahagiaan.  Mengapa demikian?  Karena ketika diri di dunia walaupun diri dalam kondisi kekeringan namun diri masih mampu menikmati kekeringan ini.  Dengan kekeringan ini tidak menimbulkan rasa iri terhadap mereka yang tidak kering karena diri memiliki rasa syukur yang selalu menjadi obat dahaga di saat musim kering.  Dan ketika besuk pada masa pertanggungjawaban maka diri yang memiliki ilmu tipe dua ini akan menjadi tamu istimewa dirumah Sang Pencipta.

Ilmu tipe dua ini ibarat ilmu yang akan mengantarkan diri pada Sang Pencipta.  Karena ilmu yang dimiliki adalah sebuah pemahaman tentang jalan kehidupan diri manusia sebagai seorang musafir yang melakukan perjalanan kehidupan di dunia ini untuk mencari bekal agar dapat bertamu di rumah Sang Pencipta.  Sebagai contoh adalah seorang ilmuwan yang memiliki pemahaman yang utuh ketika dirinya di dekat penguasa yang tidak baik maka dirinya tidak ingin mengorbankan ilmunya hanya untuk mendapatkan tempat atau materi yang cukup untuk kehidupannya.  Dia memilih menjauh dari penguasa agar dirinya dapat berpegang teguh pada ilmu yang dimiliki.  Dengan menjauh dirinya terhadap penguasa otomatis dirinya akan mengalami kekeringan.  Namun kekeringan bukan membuat dirinya "berkeluh kesah" dan berpindah prinsip akan tetapi membuat dirinya menambah rasa syukurnya karena dapat mempertahankan prinsipnya.  Karena dirinya merasa bahwa ilmu yang dimiliki adalah jalan dirinya untuk beribadah dan jalan dirinya untuk selalu beramal.

Memiliki ilmu yang kaffah adalah sebuah seruan wajib bagi diri.  Karena dengan ilmu diri menjadi sangat utama di mata Sang Pencipta.  Mengapa demikian? alasannya adalah banyak orang yang disibukkan dengan urusan atau ritual ibadah dan agak menjaga jarak dengan ilmu maka tak pernah diri kita mencapai apa yang kita harapkan.  Karena yang kita harapkan bukanlah seperti harta karun yang turun dari langit tanpa ada usaha jasmani.  Akan tetapi sebaliknya mengandalkan usaha tanpa berhubungan dengan Sang Pencipta adalah sebuah tindakan yang keliru.  Yang diperintahkan adalah  bahwa setiap diri manusia harus selalu berhubungan dengan sang pencipta melalui hatinya.  

Hati akan dapat berhubungan dengan kebenaran jika tidak terselimuti oleh kabut-kabut dunia.  Kabut-kabut dunia akan menjadi tebal jika keliru dalam memiliki ilmu.  Dan terselimutinya kabut ini ibarat diri sebagai orang yang tidak pernah dapat menerima kebenaran karena kebenaran berasal dari dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam Buku Panduan bahwa memang ada orang yang hatinya tertutup dan mereka dalam hidupnya tidak pernah akan tersentuh oleh petunjuk kebenaran.

Dan orang yang tidak memiliki ilmu tipe dua ibarat orang yang berjalan di malam hari dalam kondisi kabut yang pekat.  Maka sebuah kebodohan jika diri nekat untuk berjalan.  Kabut akan hilang dan sinar penerang akan datang jika diri memiliki ilmu yang kaffah. Jadi ibarat perjalanan di malam hari mereka  ada sesuatu yang bisa menjadi penerangan baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun berasal dari eksternal diri kita.  Karena orang yang belajar ilmu tipe ini adalah mereka yang mendapatkan "huda/petunjuk" yang selalu menyertai dalam kehidupannya sehari- hari.  


Magelang, 10/8/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah