Diri Mencari Fitrah Manusia

Ketika diri selama ini hanya sebagai air yang keruh... selalu hidup bercampur aduk dengan kotoran kehidupan dan merasa nyaman dan selalu dalam kondisi seperti itu... Maka diri tidak akan pernah mengenal... Hakekat diri (air) yang jernih
Dan Ketika diri sudah merasa bangga dengan kotoran yang ada dan puas dengan kondisi ini... Maka kala ada air jernih yang masuk akan dianggap berbeda bagaikan benda asing yang harus "dibunuh"... Karena menganggap tidak sepaham dan akan merusak suasana yang nyaman... Apakah diri seperti ini bagaikan air yang keruh yang bangga dengan diri yang kotor..
Sungguh sebuah kerugian besar jika diri dalam kondisi seperti ini... Layaknya bagaikan hidup seperti status Quo.. Yang merasa nyaman di tengah kekotoran diri dalam kehidupan... Peringatan dan ajakan untuk menjadi baik bukanlah dianggap sebagai sebuah nasehat... Namun bagaikan melihat keanehan yang ngga lazim dilingkungannya
KAS, 15/5/2021

Fenomena kehidupan diri yang seperti digambarkan sebagai air yang keruh sudah bagaikan cermin kehidupan manusia sekarang ini.  Kekotoran air dan perilaku diri dalam kehidupan ini sudah bagaikan pinang dibelah dua yang berarti hampir sama.  Air yang kotor bisa dilihat dari warna dan bau yang sangat di nyaman dipandang serta dicium aromanya bagaikan perilaku diri manusia yang sudah sangat jauh dari rambu-rambu kehidupan yang sesungguhnya.  Bahkan norma kehidupan yang baik dan sesuai dengan buku Panduan pun dapat diubah agar dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai yaitu self interestnya. Hal ini bisa terjadi bukan karena kedangkalan ilmu yang dimiliki namun diakibatkan oleh salah arah dan kualitas ilmu yang beda karena terbiasanya diri memahami pengetahuan yang bukan berdasarkan buku Panduan.  Sebuah kesalahan yang biasa dan umum karena merasa tidak ada kebenaran yang mutlak akibat terpenjaranya diri dalam framework berpikir yang "terbatas".

Keterbatasan pola berpikir manusia sekarang ini jika diri sadar dan mau mengakui maka sebetulnya pengetahuan yang selama ini diyakini kebenarannya bukan mengarahkan diri menuju hakekat manusia yang sesungguhnya.  Karena pemahaman dari pengetahuan yang selama ini kita yakini kebenarannya dan selalu dijadikan dasar pijakan dalam berpikir adalah pengetahuan yang dikembangkan dari  mereka yang memiliki "aqidah" atau paradigma yang beda dengan hakekat dari diciptakan Manusia di muka bumi ini.  Hal ini terjadi karena ilmu yang ada didasarkan bukan "turunan" dari prosedur hidup manusia yang ada dalam Buku Panduan tapi hanya di dasarkan imaginasi diri untuk memuaskan diri sendiri.

Kesalahan pengembangan ilmu ini dikarenakan diri kita gagal dalam menaklukkan musuh diri sendiri yang mengakibatkan terjebak dalam penjara "hilangnya keyakinan" dalam menempuh kehidupan di dunia ini.   Kehilangan keyakinan hidup manusia ini memang merupakan hal yang sudah banyak di isyaratkan dalam Buku Panduan bahkan menjangkiti lebih dari 2/3 dari manusia yang ada. Maka jika  tidak kembali mencari dan "baca" buku Panduan maka diri tidak akan menemukan fitrah manusia yang sesungguhnya.  Dan hal ini bagaikan diri hidup seperti ditakdirkan menjadi air yang kotor.

Ketika diri sadar bahwa sekarang menjadi bagian dari air yang kotor ini maka diri harus sadar bahwa ini diakibatkan oleh penyakit diri dan kekalahan dalam berperang serta terbuka terhadap masukan agar bisa menjadi air yang bersih.  Maka tulisan ini akan membahas tiga hal tersebut.

Penyakit diri yang menjauhkan ke fitrah manusia

Berbicara masalah penyakit diri manusia yang akan menjauhkan diri dari fitrah manusia adalah yang utama dikatakan sebagai "rasa Was-was".  "Rasa was was" adalah kerangkeng pikir manusia yang didasarkan atas ketidakpercayaan diri dengan apa yang diri lakukan.   Dan rasa was was ini merupakan penyakit utama manusia yang biasanya diderita oleh manusia yang tidak pernah berpegang pada "sudur" yaitu buku Pandun. Sehingga Perasaan yang demikian berasal dari internal diri manusia itu sendiri atau merupakan bisikan dari pihak ketiga yang mempengaruhi keyakinan diri dan berakibat ke perilaku manusia.  

Pihak internal yang menjadikan diri manusia tidak yakin atas perilaku dalam kehidupannya dipengaruhi oleh hati yang kuat dan dikarenakan manusia memiliki indra yang tidak di gunakan secara maksimal.  Akibat tidak digunakan secara maksimal maka dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.

Penyakit diri manusia

Gambar tersebut adalah faktor faktor yang mempengaruhi penyakit was-was yang ada dalam diri manusia yang berasal dari internal.  Penjelasan dapat dilihat sebagai berikut:

  1. Tidak menggunakan akal. Banyak orang yang tidak memahami makna akal secara sesungguhnya dan berakibat diri hanya memaknai akal seperti kebanyakan orang (baca: mencari akal) .  Hal ini mengakibatkan diri berperan tidak jauh dengan mahkluk lain utamnya binatang atau malah yang lebih rendah.  Ketika diri tidak menggunakan akal dalam mengolah informasi yang ada maka out put yang dihasilkan adalah pengetahuan atau pemahaman yang bersifat zindik atau salah arah. Salah arah inilah yang menyebabkan diri kita mengganggap ilmu dan pemahaman yang dihasilkan adalah untuk kepentingan hidup yang sementara ini saja. Hal ini berdampak ilmu yang salah tidak pernah mencapai titik kebahagian.  ketika kebahagian tidak pernah diraih maka hidup manusia akan selalu diliputi dengan kecemasan atau rasa was-was.  
  2. Tidak Mau Berdzikir.  Berdizikir adalah mengingatkan diri tentang posisi diri baik dihadapan sang Pencipta maupun dihadapan manusia/ciptaan yang lain.  Ketika diri tidak pernah sadar hakekat dzikir (dzikir hanya sebatas ucapan/jasmaniah) maka dampak yang dihasilkan adalah diri diliputi dengan rasa kesombongan.  Ketika diri memiliki rasa sombong berarti diri mengganggap penguasa atas semua karena tidak ada campur tangan sang Pencipta dalam melakukan sesuatu aktivitas.   Sehingga yang dihasilkan adalah output yang berbeda dengan apa yang diterima umum dan ditujukan untuk kepuasan diri.  Hal ini mengakibatkan diri selalu diliputi rasa was-was jika disentuh hal hal yang berhubungan dengan power dan kesombongan.
  3. Tidak mau Bersyukur.  Bersyukur adalah sebuah anjuran dari Sang Pencipta agar diri selalu bahagia dan senang dalam kehidupan di dunia ini karena ketika diri melakukannya maka merasa sang Pencipta ada di bagian diri kita dalam kehidupan yang siap untuk menolong jika dalam kondisi kesusahan.  Ketika diri dapat bersyukur maka akan tercipta keseimbangan kehidupan.  Namun ketika diri tidak pernah bersyukur maka tidak akan pernah terjadi keseimbangan dalam kehidupan.  Hal ini berdampak pada rasa tamak yang mengisi diri kita karena merasa keseimbangan atau kebahagian jika diri mendapatkan harta yang banyak atau dengan kata lain ketidak seimbangan akan memunculkan rasa was was jika diri tidak memiliki yang lebih dibandingkan dengan apa yang seharusnya diterima.  Dan berdampak akan memiliki rasa "ngongso" dan selalu merasa kurang dalam kehidupannya.
  4. Tidak Mau Memperhatikan. Memperhatikan adalah merupakan tugas manusia yang utama dalam kehidupan di dunia ini.  Ibaratnya adalah seperti tugas membaca kepada manusia akan ilmu ilmu yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Ketika diri tidak mau membaca maka ibaratnya diri tidak memiliki cahaya atau peta perjalanan dikehidupan ini.  Hal ini berdampak diri mengalami kebingungan dalam perjalanan.  Dan kebingungan inilah asal muasal rasa was-was yang timbul ketika diri menghadapi perjalanan.  Karena dalam kehidupan ini selalu diliputi dengan dua hal keputusan yaitu memilih jalan (jalan benar/salah).  Diri bisa membedakan mana jalan benar dan salah jika diri memiliki ilmu atau pengetahuan.  
Sedangkan faktor eksternal adalah merupakan faktor yang berasal dari luar diri kita yang mempengaruhi perilaku diri dalam berkehidupan.  Faktor ini bisa berasal dari manusia lain ataupun dari setan yang mempengaruhi diri kita.  Faktor eksternal ini akan mampu menguasai diri kita jika diri tidak memiliki pondasi yang kuat dalam kehidupan di dunia.  Dan pondasi ini merupakan keyakinan dan keimanan diri yang dibangun dari kecil dan berasal dari ilmu-ilmu yang berdasarkan pada buku Panduan manusia.

Memenangkan Peperangan diri

Perang diri adalah merupakan bentuk peperangan yang ada dalam diri manusia melawan nafsu-nafsu yang selama ini menjadi selimut manusia untuk menemukan hakekat dirinya.  Ketika diri mau melepaskan selimut ini bagaikan sebuah peperangan yang besar karena mengorbankan keinginan diri secara fisik dan keinginan syahwatnya demi mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Peperangan ini layaknya seperti kita puasa di bulan Ramadhan yang selama ini dilakukan oleh para kaum muslimin.  Ketika diri menyadari bahwa puasa adalah bentuk peperangan yang besar dengan niat yang tulus agar dapat meningkatkan derajat manusia (baju takwa) dari sifat hewaniah yang hanya mementingkan diri sendiri.  Namun hal ini dapat tercapai jika diri mengawali niat yang tulus karena Sang Pencipta.  

Kemenangan yang diperoleh adalah kembalinya diri ke fitrah manusia dengan menemukan hakekat diri manusia yang memiliki akal dan manusia yang mampu memaksimalkan fungsi nurani dan naluri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya.  Dan Kemenangan ini adalah merupakan kemenangan yang terbesar bagi diri manusia dibandingkan dengan peperangan yang selama ini ada di kehidupan manusia.  Maka tidak heran jika diri mendapatkan kemenangan ini keseimbangan kehidupan manusia baik kehidupan jasmani maupun ruhani akan terwujud dengan implementasi menjadi manusia yang takwa. (baca: nurani dan naluri )

Kesimpulan

Diri kita dapat menemukan hakekat diri manusia dengan cara mencari fitrahnya.  Cara mencari fitrahnya adalah dengan membuat pondasi hidup (keyakinan) yang kuat agar internal diri (indra manusia) mampu bekerja dengan maksimal sehingga tidak timbul penyakit was was.  Cara yang kedua adalah dengan kembali intropeksi apakah pengetahuan diri tentang indra manusia sudah sesuai dengan buku Panduan sehingga dapat memaksimalkan fungsi akal sebagai konektivitas diri dengan sang Pencipta. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah