Diri: Mencari Malam Seribu Bulan

 

puisi menjemput malam lailatul qodal

Ketika di akhir masa bulan puasa banyak orang mulai melakukan ritual (iktikaf) di tempat-tempat ibadah untuk mencari apa yang selama ini menjadi pemahaman dan pengetahuan yang diyakininya.  Yaitu berbondong-bondong untuk mendapatkan dan menemui malam yang sangat spesial.  Karena diyakini bahwa malam itu adalah memiliki nilai yang sama dengan seribu bulan.  Ketika diri beribadah pada malam itu maka laksana bahwa diri kita telah melakukan ibadah selama seribu bulan terus menerus.  

Memang hal ini sudah terpatri dalam diri dan ketika  menanyakan itu maka akan dijawab oleh para ahli agama "apakah dirimu tidak yakin dengan firman sang Pencipta?".  Dan ketika diri kita disodori dengan kalimat ketidakyakinan diri terhadap firman Sang Pencipta maka diri langsung mundur teratur yang berarti diri tidak yakin dengan firman Sang Pencipta namun diri hanya sekedar bertanya dalam hati "apakah semudah itu seribu bulan kebaikan hanya diraih dengan menjaring di 10 hari terakhir di bulan Romadhan".  Mundurnya diri dalam mencari dari orang yang paham (kondisi sekarang) dengan ilmu agama memang sebuah pukulan yang telak bagi diri sebagai orang yang kurang paham dengan makna firman Sang Pencipta ini.    

Pencarian diri akan makna malam seribu bulan ini pun terus berlanjut dengan mengabaikan apa yang kita cari namun berusaha terus untuk membaca dan belajar dari buku Panduan yang ada dan buku buku para pemikir yang memang membahas masalah ini.  Penemuan tidak menemukan sesuatu yang tersurat dengan jelas makna itu namun ada beberapa hal yang tersirat dari beberapa ayat dan cerita-cerita para sufi yang membahas hal itu.  Dan pemaknaan ini bukan berarti diri tidak percaya dengan makna yang selama ini berkembang dan diyakini kebenarannya oleh para muslim lainnya.  Namun sekedar pencarian untuk meyakinkan diri memang malam seribu bulan itu ada dan diri harus mencari serta menyiapkan diri untuk mendapatkannya (yang banyak orang hanya menjaring di sepuluh hari di akhir bulan Romadhan).  

Pencarian ini menemukan cuplikan surat tersebut dalam hubungannya dengan semangat diri dalam kehidupan manusia untuk selalu berjihad dalam dirinya. Karena pembahasannya seputar bagaimana diri bisa menemukan akal yang merupakan kesempurnaan bagi manusia dan merupakan pijakan diri manusia dalam mengemban amanah Sang Pencipta.  Ketika akal sudah bisa di dapat oleh diri maka akal akan bekerja sebagai raja di tubuh kita.  Akal sebagai raja dalam tubuh akan memerintah semua akitvitas seluruh gerak manusia dan dengan akal juga diri dapat berkoneksi dengan sang Pencipta.

Alasan ini dapat diterima oleh logika (hati nurani yang bersih) manusia jika diri mau meletakkan pemahaman yang selama ini sudah menjadi kerangkeng dalam pemahaman ayat tersebut.  Logika nya: diri kita selama ini lupa dengan syukur akan nikmat yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Kemudian ketika diri dikatakan lupa akan syukur nikmat apakah selama ini rasa syukur kita salah alamat dan salah dalam mengartikan rasa syukur tersebut.  Suatu misal ketika diri kita memiliki satu sen uang dan satu sen itu memiliki arti dengan seribu sen yang sama dengan orang lain maka apakah ini bukan merupakan makna yang sama.  Demikian juga dengan hal yang sebaliknya ketika seseorang memiliki seribu sen mata uang namun nilainya sama dengan satu sen mata uang orang lain maka apakah diri tidak pernah berpikir dengan hal itu.  Ini bukan berarti rahmat dan berkah Sang Pencipta diukur dengan nilai material.

Nilai satu sen mata uang yang dimiliki dan memiliki nilai manfaat seribu sen mata uang maka ini merupakan sebuah pemberian kasih sayang Sang Pencipta kepada diri kita karena Beliau paham usaha kita benar-benar dalam mencari kebenaran dan mendapatkannya.  Ini merupakan sebuah kalimat yang sangat sederhana untuk memaknai nilai manfaat dari satu sen mata uang yang sudah kita belanjakan. 

Ketika kalimat ini kita tarik kembali dalam makna mencari akal yang merupakan tugas dari manusia dan  akan menemukan pertanyaan pada diri apakah selama ini kita sudah menemukan akal tersebut atau malah akal bukanlah sesuatu yang harus kita cari.  Ketika diri melakukan pencarian makna akal yang sesungguhnya merupakan sebuah usaha yang benar dalam mencari kebenaran dan hakekat diri manusia yang sesungguhnya.  Hal ini dapat kita jelaskan bahwa diri kita bagaikan kumpulan dari ribuan prajurit atau tentara yang menyatu dalam tubuh kita.  Para prajurit itu harusnya patuh dan taat kepada titah raja maka otomatis sang raja akan memperhatikan apapun yang menjadi kebutuhannya.  Namun ketika prajurit itu tidak patuh dengan perintah akal karena selama ini prajurit diperintah oleh komandan lain karena raja belum ketemu maka akan berantakan dan mudah kalah dalam peperangan di dalam kehidupannya.  

Akal ibarat sebuah raja bagi tubuh manusia dengan harapan semua anggota tubuh akan patuh dan taat serta akan mengakibatkan semua urusan yang dijalani dalam kehidupannya akan sejalan dengan perintah Sang Pencipta.  Maka akal ibarat sebuah sel yang memiliki fungsi sama dengan seribu lebih sel yang ada dalam tubuh.  

Perjalanan pencarian akal inilah sebetulnya sebuah bukanlah sebuah tindakan instan yang sudah menjadi satu dengan diri manusia waktu lahir.  Namun merupakan sebuah perjuangan yang berat layaknya sebuah puasa di bulan Ramadhan yang harus melepaskan diri dari sifat sifat hewani yang hanya memuaskan kebutuhan fisik dan nafsu nafsu lain yang semuanya didasarkan atas keiklhasan dan hanya untuk pengabdian diri kepada Sang Pencipta.    Maka hal ini ibaratnya ketika perjalanan mencari  akal dilakukan akan berdampak seperti "sebuah sentakan dari Sang Pencipta lebih baik dari sentakan lain yang diterima yang diberikan kepada manusia yang tekun dalam beribadah".  Dan ketika diri kita tidak tekun dalam ibadah maka pertolongan (sentakan) dari sang Pencipta tidak akan muncul dan tidak akan dapat kita rasakan walaupun diri melakukan ritual penangkapan di sepuluh hari terakhir.

Ketekunan beribadah bukan hanya dalam ukuran ritual aktivitas satu bulan/ duapuluh hari seperti yang banyak orang lakukan di bulan Ramadhan ini.  Namun ketekunan ibadah adalah sebuah aktivitas diri manusia yang harus selalu dilakukan diluar bulan Ramadhan untuk perjalanan diri musafir dalam mencari jati dirinya.  

Sentakan itu ibarat sebuah api atau cahaya. Satu sentakan/cahaya ini bisa ditangkap jika diri kita sudah memiliki bahan bakar untuk membesarkan atau mengembangkan api atau cahaya tersebut.  Jika diri tidak memiliki bahan bakar yang diperoleh dari ketekunan dalam perjalanan kehidupan maka sentakan dari Sang Pencipta ini tidak akan dapat kita terima.  

Sentakan atau cahaya ini merupakan sebuah keutamaan dari sang Pencipta.  Keutamaan muncul ketika diri manusia sudah muncul kesadaran dari kesesatan perjalanan dalam kehidupannya karena keutamaan ini merupakan pemberian dari Sang Pencipta.  Keutamaan dan sentakan ini ibarat sebuah motivasi bagi mereka yang sudah lelah dalam perjalanan sehingga memunculkan semangat yang baru untuk meneruskan perjalanan di dunia ini. Karena Sang Pencipta menciptakan diri manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah putus asa.  Dengan percikan/sentakan  memberikan harapan baru bahwa dirinya adalah kekasih NYA.  Sentakan  ini akan membakar dan membesarkan semangat yang mampu membakar dan menjalar ke seluruh dunia.  Satu Percikan atau sentakan ini akan membesar dan menjadi kuat agar bisa menerangi atau sebagai cahaya penerang bagi kehidupan di dunia. 

Makna mencari malam seribu Bulan

Terdapat dua pendekatan dalam memaknai mencari malam seribu bulan yang selama ini selalu menjadi incaran atau motivasi diri kita untuk mendapatkan itu.  Dua pemahaman ini dapat dikatakan sebagai pendekatan yang umum yang biasa dilakukan oleh manusia dan pendekatan yang khusus yang biasa dilakukan oleh mereka yang sudah terbuka mindset pola berpikir dari manusia.

Dalam pendekatan umum bahwa malam seribu bulan adalah malam lailatul qodar yang jatuh pada minggu minggu terakhir di bulan Ramadhan.  Pemahaman ini di dasarkan atas logika berpikir bahwa diri kita dalam bulan Ramadhan melakukan ritual ibadah mulai dari Puasa dan sebagainya.  Ketika diri melakukan ritual ini ibaratnya adalah seperti melepaskan diri dari kegiatan umum yang biasa dilakukan oleh manusia umum dengan melepaskan atau mengalahkan segala aspek yang berhubungan dengan pemuasan nafsu badaniah mulai dari tidak makan, tidak minum sampai menahan tidak melakukan hubungan badaniah karena ketundukan diri kepada perintah dari Sang Pencipta.

Ketika diri tidak melakukan aktivitas yang "umum" ini maka ibarat diri melakukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh para malaikat yang melepaskan diri dari kepentingan badaniah (nafsu). Karena malaikat tidak butuh makan dan minum serta pemuas syahwat. Hal ini berakibat diri manusia mulai mendekatkan diri secara iklhas kepada sang Pencipta.  Dan ini sejalan dengan pemahaman bahwa diri manusia lebih baik dibanding dengan malaikat karena diri melakukan ibadah ini karena mendekatkan diri dengan amalan-amalan yang bersifat ilahiah maka akan berdampak Sang Pencipta pun akan terbuka tangannya dan menyambut ibadah ini (urusan puasa adalah urusanKU).

Makna puasa yang demikian dikarenakan dalam ritual ibadah bukan untuk menunjukkan ketundukan diri dan menyembah kepada Sang Pencipta.  Maka ibadah puasa adalah ibadah yang bukan digunakan untuk menggantikan kezaliman atau kesalahan yang diluar batas diri dalam kehidupan di dunia ini. Karena puasa merupakan ibadah yang tidak terlihat sehingga tidak dicatat oleh para malaikat seperti ibadah ibadah yang lain akan tetapi urusan puasa adalah urusan langsung antara diri manusia dengan Sang Pencipta.

Karena ibadah puasa merupakan proses yang sangat berat dilakukan oleh manusia umum maka diri yang mampu melakukan adalah diri yang dapat meninggalkan keinginan umum manusia dan nafsu syahwatnya karena sebagai bentuk usaha mendekatkan diri secara langsung dan menyandarkan ketidakmampuan diri dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.  Ibadah yang berlangsung selama sebulan ini sudah diramalkan sebagai perjuangan yang berat maka sebagai hadiah atau motivasi agar mampu menyelesaikan perjalanan ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan secara utuh perlu diberikan sentakan motivasi di minggu-minggu terakhir agar motivasi ibadah tidak luntur.  

Namun realitas yang terjadi bisa kita gambarkan masing-masing.  Banyak diri yang tidak mampu memahami sejauh itu makna yang terkandung dalam ibadah Puasa.  Hal ini dikarenakan karena diri tidak mau belajar dan pemikiran kita sudah ibarat seperti kuda yang memakai kaca mata yang melihat sesuatu permasalahan hanya didasarkan atas logika umum yang berkembang tanpa mau belajar lebih lanjut mengenai makna dari sebuah permasalahan.  Jika kita berpijak dalam hal ini maka makna malam seribu bulan hanya terjadi pada bulan Ramadhan saja tanpa ada malam yang spesial lain di bulan-bulan yang lain.

Pemahaman yang lain adalah pemahaman bahwa malam seribu bulan merupakan malam yang diberikan oleh sang Pencipta kepada diri manusia yang sudah melakukan perjalanan dalam belajar untuk mencari hidup yang benar/lurus.  Pembelajaran kehidupan ini melalui selalu berusaha untuk "membaca" buku Panduan dengan yang sebenarnya. 

Membaca buku Panduan yang sebenarnya bukan berarti membaca secara tajuwidnya akan tetapi berusaha membaca secara sempurna dengan menggunakan akal yang diberikan kepada manusia.  Ketika diri menemukan akal inilah maka diri akan dapat membaca buku Panduan secara sempurna.  Proses pembacaan ini bukan hanya sekedar sampai diri khatam buku panduan akan tetapi penyempurnaan dalam membaca secara lisan saja karena pemahaman masalah makna buku adalah urusan sang Pencipta.  

Proses pembacaan ini dibutuhkan kesempurnaan dan kehati-hatian yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam beberapa ayat dalam buku Panduan.  Proses membaca bukan merupakan waktu yang singkat malah akan memakan waktu yang tidak dapat diperkirakan.  Ketika diri tidak dapat segera dapat memahami dan mengetahui kandungan buku Panduan dalam perspektif yang beda (lebih detail dan mendalam) maka akan muncul rasa putus asa.  Ibarat sebuah api maka api yang hidup tinggallah api yang kecil.  Karena itu sang Pencipta memberikan sentakan yang berupa malam seribu bulan kepada manusia yang menjalani lelaku ini agar api dan semangatnya kembali membesar dan cahaya yang keluar dari dirinya mampu menerangi dunia seisinya.  inilah makna malam seribu bulan dalam perspektif para "pelajar/pembaca".  Sehingga malam seribu bulan bisa terjadi tidak hanya pada bulan Ramadhan saja.

Sebuah pengingat untuk diri kita bahwa bulan Ramadhan bukan hanya membahas masalah lailatul qodar namun banyak hal hal yang harus kita kaji lebih mendalam tentang hakekat diri manusia (hubungannya dengan belajar) dan juga harus ingat adanya kabar tentang buku Pedoman hidup untuk manusia.   Maka ketika diri terbuka dan mau membuka kerangkeng berpikir maka ketiganya merupakan hal yang tidak terpisahkan.  Bahwa diri akan mendapatkan lailatul qodar jika diri selalu tekun belajar dan membaca Buku Panduan yang diberikan kepada umat manusia.  Belajar dan membaca bukan hanya sebuah perlombaan berapa kali kita khatam dalam bulan ini namun merupakan bentuk ikhtiar diri manusia untuk selalu kembali kepada buku Panduan hidup yang diberikan kepada Manusia dan belajar dengan menggunakan akal yang dibekalkan kepada diri kita.

Semoga bermanfaat.

Seekor nyamuk dapat membunuh Raja Namrud,.... namun ribuan prajurit yang tidak memiliki cahaya illahi tidak akan mampu membunuhnya... Berkah Sang Pencipta ada di diri si nyamuk... karena dirinya memiliki ketekunan dalam mencari dan menegakkan kebenaran

Sekalipun  nyamuk dapat melihat seribu cahaya.... Namun cahaya itu tidak akan turun kepada dirinya... Jika dirinya bukan seekor nyamuk pejuang... yang selalu berjuang untuk tegaknya kebenaran.. 

Magelang, 1/5/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah