Diri dalam Jaminan Sang Pencipta

Banyak diri yang salah jalan... Berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan.. Karena merasa diri hidup tidak ada jaminan... Maka hidupnya hanya untuk kerja-kerja- dan kerja
Memang ini tidak salah... Jika diri berpikir hidup hanya untuk dunia... Karena kerja adalah usaha fisik untuk rejeki dan digunakan untuk asupan jasmani... Maka hidup kita selalu dipenjara oleh rasa ketidakpastian
Kerangkeng ketakutan masa depan selalu menghantui kehidupan... Diri selalu berkata percaya pada Sang Pencipta... Namun mengapa masih ada rasa takut tentang masa depan yang berhubungan dengan hal yang bersifat material... ibadatpun dilakukan namun tidak ada nilai religuitasnya
oooiii ....  Sepertinya ini sebuah perilaku penipuan diri... Bertindak sok agamis dan mengatakan orang lain tidak agamis... karena merasa mereka bukan bagiannya
Sebuah hal yang umum di kondisi sekarang... Banyak rasa ketakutan dan rasa tidak yakin mewabah menjadi penyakit diri... Karena terjebak kondisi agar diri terpenuhi... Dan Mengorbankan semuanya termasuk keyakinan diri kepada Sang Pencipta.
KAS, 23/5/2021

Setiap manusia dilahirkan di dunia ini sudah dijamin rejekinya oleh sang Pencipta.  Sekedar sebagai pengingat bahwa ketika diri sebelum dilahirkan sang Pencipta sudah memberikan jaminan masalah umur-rejeki-jodoh dan lain sebagainya sebagai bekal hidup manusia di dunia ini.  Jika diri sadar maka diri akan merasa nyaman dalam kehidupan dan tidak merasa kekurangan dengan sedikitnya harta yang dimiliki. Namun kadangkala diri tidak sadar berbuat seakan tidak percaya dengan jaminan itu.  Hal ini berakibat diri lupa akan kodrat dan iradat sebagai manusia serta berakibat berperilaku seperti orang yang merasa sudah tidak percaya denganNYA.  

Fenomena seperti ini sudah merupakan hal yang lumrah dan wajar terjadi dan dirasa bukan hal yang bertentangan dengan ajaran yang kita yakini.  Ketakutan yang berlebihan ini diakibatkan oleh kurangnya diri dengan pemahaman akan kondisi.  Kekurangan pemahaman ini diakibatkan bukan karena diri manusia bodoh dan tidak berilmu namun dikarenakan diri kurang memahami makna "kehidupan" yang sesungguhnya yang harus dijalani oleh manusia.  Dan mungkin pemahaman yang seperti ini diakibatkan diri "salah" dalam mempelajari ilmu kehidupan yang berakibat pada salah kiblat/arah perjalanan manusia.

Bagaimana sang Pencipta memberikan jaminan kehidupan kepada mahkluknya yang hidup di dunia ini?  Jaminan yang diberikan adalah bentuk tanggung jawab dan kasih sayang sang Pencipta sebagai bekal kehidupan dan diberikan tidak dengan gratis yang langsung diberikan seperti sebuah "permainan sulap" melainkan harus dengan usaha baik fisik maupun non fisik.  

Usaha fisik adalah usaha yang dilakukan oleh makhluk hidup yang berhubungan dengan jasmani untuk berusaha dan beraktivitas agar dirinya mampu mendapatkan rejeki yang ada kaitannya dengan kebutuhan jasmani.  Karena jasmani merupakan kondisi fisik yang harus diberikan asupan yang cukup dan seusai dengan kebutuhannya.  Sedangkan usaha non fisik adalah usaha yang dilakukan oleh makhluk hidup yang berhubungan dengan "ilmu" kehidupan".  Ilmu kehidupan ini sudah di berikan kepada semua makhluk hidup yang tertuang dalam ajaran serta tertulis di dalam Buku Panduan.  Dan ilmu kehidupan inilah yang membentuk diri makhluk hidup dan berujung pada pembentukan "keyakinan" dan "arah" perjalanan kehidupannya.

Cara yang harus dilakukan oleh diri agar mampu menerima dan bersikap atas jaminan yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah dengan dua cara: 1) Keluar dari zona nyaman dan 2) Mengenal diri secara benar. Kedua cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Keluar dari zona nyaman

Sebelum kita bahas masalah ini alangkah baiknya diri memperhatikan kehidupan hewan liar yang berada disekitar.  Suatu misal ketika diri duduk santai dan memperhatikan sebuah cicak yang menempel di dinding  seakan kehidupannya tidak ada rasa ketakutan apapun terhadap masa depannya.  Menempel di dinding untuk mencari makan yang berupa nyamuk atau serangga lain sebagai isi perutnya.  Posisi dia menempel di dinding adalah sebuah resiko keselamatan dalam kehidupannya.  Hadirnya dia di dinding adalah keluar dari zona nyaman dari tempat dia berlindung ke tempat yang ramai dan terang untuk mencari rejeki dengan banyak resiko yang dihadapinya. Dan belum tentu dirinya juga bisa menangkap nyamuk malah bisa menjadi tangkapan hewan lain atau manusia untuk dijadikan alat pemuas kebutuhan kehidupannya.

Kondisi yang demikian ini diakibatkan cicak memiliki keyakinan dan keseimbangan dalam kehidupannya karena dirinya memiliki pemahaman "ilmu hidup" yang sesuai dengan kodrat dan iradat Sang Pencipta.  Pemahaman tentang "ilmu hidup" yang benar inilah yang memberikan petunjuk untuk kehidupannnya dan tidak ada rasa takut kepada apapun yang dihadapi selain hanya ketakutan terhadap Sang Pencipta.  Dan ketika cicak menghadapi resiko dirinya yakin memiliki kekuatan yang diberikan untuk melawan.  Hal ini dapat dilihat ketika dirinya lolos dari resiko dengan lari penuh kebahagian dan keberanian akan muncul lagi untuk mencari rejeki di tempat lain bukan malah sembunyi di "zona nyaman".  Semua ini dikarenakan cicak hanya menjalankan kehidupan sesuai dengan perintah dan ajaran yang sesuai dengan kodrat dan iradatnya. 

Kondisi yang demikian seharusnya juga terjadi pada diri manusia dalam berkehidupan.  Kesadaran diri dibutuhkan manusia dalam kehidupan bahwa dirinya hidup adalah dalam pengawasan dan jaminan yang penuh masalah rejeki dari Sang Pencipta.  Namun realita yang sekarang ini berkembang banyak ketakutan diri manusia dalam kehidupan ini yang berakibat keyakinan bahwa rejeki sudah dicukupi oleh Sang Pencipta luntur.  Lunturnya keyakinan ini bukan berarti diri tidak percaya akan pernyataan tersebut namun akibat adanya pemahaman bahwa diri harus "menyiapkan" apapun untuk kehidupan mendatang dengan memperbanyak "individual saving" atau menumpuk dan memperbanyak tabungan agar ada jaminan untuk kehidupan sehingga berdampak kehidupan diri yang "ngoyo" dalam bekerja hingga melupakan "sesuatu" yang lebih bermakna.  

Memang hal ini tidak salah jika kita berpegang pada pemahaman "ilmu yang ada" namun pemahaman ini mengakibatkan diri bagaikan bertindak seperti "istri Abu Jahal" yang layaknya  mengumpulkan material untuk bahan bakar tungku pemanas di akherat besuk.  Bahkan banyak diri yang berusaha mencukupi kebutuhan materi untuk kehidupan itu dengan menjual keyakinan dan berlindung dibawah pejabat-pejabat agar diri selalu "dipakai" dan diberi "bagian roti". Hal ini sebuah ironi yang salah namun banyak terjadi dan diri terdiam serta hanya "meng-iya-kan apapun tugas yang diberikan dengan menjual keyakinan atau prinsip diri demi "kenyamanan" dan "bagian roti".

Kondisi diri yang demikian ibaratnya posisi diri kalah dengan posisi cicak yang berani keluar dari zona nyaman demi mendapatkan rejeki.  Usaha yang demikian adalah usaha yang benar dan yang seharusnya dilakukan oleh manusia di kehidupan dunia.  Permasalahan masalah rejeki di dapat atau resiko yang diterima adalah urusan nanti karena semua sudah dijamin oleh Sang Pencipta.  Jadi diri manusia hidup harus melakukan usaha dan masalah hasil adalah urusan sang Pencipta.  Itulah hakekat kerja  sesungguhnya dan sesuai dengan buku Panduan yang harus menjadi niat dalam bekerja serta bukan bekerja hanya untuk menyenangkan pimpinan atau mencari popularitas/material untuk kehidupan.

Mengenal diri yang Sesungguhnya

Dalam membahas masalah mengenal diri yang sesungguhnya ini alangkah baiknya jika diri juga memperhatikan contoh yang ada di sekitar kita sebagai bahan "mengkaji" agar tidak salah dalam mengenal diri manusia.  Sebut saja hewan keledai sebagai bahan kajian diri.  Hewan atau keledai diberikan  tujuhpuluh usus yang terdapat di dalam dirinya.  Karena hewan atau keledai itu bukan manusia maka hidupnya adalah bagaimana dirinya berusaha agar semua usus yang ada terpenuhi dengan makanan atau hal yang lain.  

Sehingga dalam kehidupannya dirinya akan melakukan apapun agar kepuasan tewujud dengan indikator terpenuhi kebutuhan ususnya.  Sampai sampai dirinya mau "diperbudak" oleh majikannnya dengan mengerjakan atau membawa pekerjaan yang berat.  Diri keledai sebetulnya memiliki rasa mengeluh atas beban kerja yang berat namun karena ketakutan akan kebutuhan materi (ususnya) dirinya mengerjakan semua dengan semangat dan keinginan agar selalu disayang oleh majikan.

Hewan atau keledai melakukan semua ini karena diri tidak pernah mau belajar dan terpenjara dengan pemahaman bahwa kebahagian hidup akan terpenuhi jika ususnya semua terisi.  Ilmu hidupnya adalah ilmu yang berasal dari nenek moyangnya dan dengan ilmu itulah apa yang harus dilakukan.  Mungkin ketika ada keledai lain yang "mengingatkan" akan hakekat kehidupan akan dianggap sebagai keledai/hewan yang aneh karena bukan satu pemikiran atau golongannya.

Fenomena "hidup keledai" ini banyak terjadi pada diri manusia sekarang. Diri kita banyak bekerja karena tuntutan usus walaupun usus kita tidak sebanyak tujuh puluh buah.  Manusia hanya memiliki tujuh usus dalam perutnya namun banyak diri yang bekerja melebihi kebutuhan dari tujuhpuluh ususnya keledai.  Pemenuhan yang berlebih ini melebihi kapasitas diri yang sesungguhnya maka tidak heran jika diri kita dikatakan lebih bodoh dari pada keledai.  Hal ini bisa terjadi karena pemahaman akan ilmu yang keliru tentang ilmu kehidupan namun kegiatan ini hal yang biasa terjadi sekarang.  Ketakutan akan masa depan akibat kurangnya "ilmu kehidupan" mengakibatkan diri terjerumus ke derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan.

Dalam buku Panduan dijelaskan bahwa diri manusia yang memiliki tujuh usus ini seharusnya dalam kehidupan di dunia ini hanya diminta mengisi satu usus saja.  Karena dengan satu usus ini terpenuhi maka diri manusia sudah dapat hidup di kehidupan ini dan dengan satu usus sebagai syarat diri manusia agar dapat diangkat derajatnya sebagai makhluk yang sempurna.  Satu usus terpenuhi ibarat sebagai pondasi hidup dalam bermuamalah di kehidupan dunia sedangkan enam usus lain akan terpenuhi sendiri dengan nilai nilai keyakinan hidup yang benar dan seharusnya  dilakukan.

Jalan inilah yang menjadikan diri dapat mengenal hakekat manusia.  Karena kebahagian manusia tidak diukur dari terpenuhinya seberapa banyak usus yang dimiliki namun didasarkan atas kedekatan diri karena hidupnya dijamin oleh kebahagian yang dijanjikan oleh Sang Pencipta.  Karena sang Pencipta akan menguji diri manusia terlebih dahulu dengan kelaparan dan ketidaknyamanan kehidupan akibat kosongnya usus-usus dan akan diganti dengan nilai-nilai yang lain sebagai sarana mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

Magelang, 23/5/2021

Ki Ageng Sumingkir


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah