DIRI DAN KEBEBASAN

DIRI DAN KEBEBASAN 
Kebebasanku sudah hilang... 
Kehidupan manusia bagaikan terpenjara, walaupun tidak ada ikatan ditangan dan dikaki tapi kehidupan serba terkekang, terbatas oleh pagar kondisi dan pikiran kita..

Kebebasanku sudah hilang... 
Hidup terasa seperti dikejar, hidup terasa seperti dihimpit, dan hidup seperti dipenjara oleh kepentingan yang fana

Kebebasanku sudah hilang... 
Telah  aku  kejar sampai ujung dunia, Dan dibayar dengan jutaan materi, Namun yang  aku kejar selama ini tidak dapat diraih

Kebebasanku sudah hilang... 
kebebasan adalah jalan menuju kebahagian, kebahagian yang tidak dapat dikejar  dan dibayar dengan materi hanya untuk pemenuhan kebutuhan ragaku, kebahagian hanya dapat diraih dengan cara mencari jiwa yang bebas...

Kemana Jiwa ku pergi selama ini... 
Apakah aku hidup seperti mayat hidup.. yang hanya jasmani ku yang gerak dan nampak ... Namun naluri dan Nuraniku tidak menemukan tempatnya.

Sebodoh itukah aku... Yang hanya ditipu kehidupan dunia yang semu..membuat diriku melupakan tugas dan kewajibanku... berjalan seimbang antara raga dan jiwaku.. 
(Ki Ageng Sumingkir, 3/11/2020)

Kebebasan yang hilang

Kebebasan adalah merupakan hak dasar setiap makhluk yang hidup.  Hak ini diberikan oleh sang Pencipta ketika Dia menciptakan makhluk untuk hidup di alam ini.  Hak bebas yang sebebas bebas nya diberikan kepada semuanya namun ada batasan batasan tertentu, namun sang Pencipta tidak marah atau tidak peduli jika mereka melakukan kebebasan mutlak tanpa dasar.  Hanya saja setiap perbuatan yang dilakukan ada hukum sebab dan akibatnya, itu bagian dari sifat Rahman dan Rahim sang Pencipta.

Berbicara tentang kebebasan sedikit ada cerita yang bisa memberikan dasar pemikiran untuk merenung tentang kondisi kebebasan yang kita miliki.  Cerita ini di awali dengan datangnya seorang pejabat yang datang ke sebuah rumah sakit.  Pejabat itu masuk ke dua bangsal yaitu bangsal A dan Bangsal B.  kondisi bangsal A adalah bangsal dimana hanya diisi oleh banyak pasien yang sakit, kondisi mereka lemah dan tertidur di tempat tidurnya.  Pejabat itu melihat mereka yang ada di bangsal A tanpa lesu dengan mata yang layu dan tanpa semangat hidup.  Walaupun demikian makanan yang enak dan obat disediakan sepenuhnya, termasuk tempat tidurnya pun empuk dibandingkan dengan bangsal B.  Melihat kondisi pasien di bangsal A yang seperti itu menyebabkan si pejabat segera meninggalkannya.

Berbeda dengan bangsal B yang hanya diisi oleh seorang pasien namun dalam kondisi yang terikat.  Begitu pejabat itu masuk sang pasien tertawa dan menanyakan siapa yang datang.  Pasien tersebut bukan orang gila, namun tidak jelas alasan rumah sakit itu harus mengikat tangan dan kakinya. Kaget juga pejabat itu dengan sapaan si pasien di bangsal B, sehingga terjadi komunikasi singkat antara si pasien dan pejabat.  Pejabat bertanya ke pasien: " Kenapa kamu bisa tertawa dan terlihat gembira padahal kamu adalah pasien dengan sakit berat dan kondisi kaki dan tanganmu serba terikat". 

Mendengar pertanyaan dari pejabat itu, pasien menjawab : "saya memang sakit dan dikatakan berat,  fisikku terkurung dengan diikat tangan dan kakiku. Disamping itu tempat tidur dan ruanganku pun tidak nyaman, tapi hatiku tidak... jiwaku masih bisa menikmati hidup ini dengan kebahagian... ikatan ini adalah ikatan fisik yang bersifat jasmanih dan ruhaniku masih bisa menikmati kebahagian untuk hidup melakoni lelaku kehidupan manusia.  itulah yang membuatku bahagia".  Jawaban dari pasien itu membuat si pejabat terkejut dan segera meninggalkan ruangan sambil berpikir atas ucapan yang disampaikan oleh pasien itu.

Cerita itu jika kita renungkan lebih dalam mencerminkan kondisi manusia sekarang.  Bangsal A adalah mereka yang berpenyakit ringan namun kondisi mereka tidak bahagia, karena mereka merasa bahwa dengan keberadaan mereka di rumah sakit ini secara fisik mereka terpenjara di bangsal yang penuh dengan fasilitas enak dan mereka lupa dengan ruhani mereka yang bersumber pada hati/jiwa mereka yang sebetulnya bebas.  Namun di bangsal B orang yang sudah sekarat namun pasien tersebut merasa masih memiliki kekomplitan dalam badannya yang terdiri dari jasmani dan ruhani.  ketika jasmani mereka terikat dan didiaknosa sakit berat, tapi ruhani si pasien merasa bebas maka pasien tersebut masih merasakan kebahagian yang melebihi kebagian orang yang hidup.

Jika kondisi manusia sekarang yang posisinya bebas pun banyak dari kita sulit mendapatkan kebahagian.  Kita banyak yang sehat dan kondisi serba memungkinkan untuk beraktivitas apapun termasuk banyak kemudahan yang bisa kita lakukan dengan majunya teknologi informasi yang serba canggih ini, namun mengapa banyak diantara kita tidak bisa merasakan kegembiraan atau kebahagian malahan merasa hidupnya terpenjara.

Sulitnya kita mencapai kebahagian ini karena bergesernya hakekat kemanusian yang ada pada diri kita.  unsur-unsur yang diberikan oleh Sang Pencipta yang menempel pada diri manusia tidak digunakan semuanya atau tidak dimaksimalkan.  Setiap manusia memiliki otak (fuad), perasaan (shadr) dan perut (hawaa).  Ketiga elemen itu masih ditambah satu lagi sebagai pelengkap yaitu Akal agar manusia bisa menjadi manusia yang sempurna.  Kenyataannya tiga elemen dasar itu saja tidak dimaksimalkan apalagi Akal mana sempat mereka mencarinya.

Akibatnya (ketika tiga unsur elemen dasar itu tidak digunakan secara "baik") maka akan mengakibatkan manusia itu bukan menjadi manusia yang sesungguhnya mereka bisa saja hanya mementingkan otak saja, atau mementingkan perasaan saja, malah bisa saja mereka mementingkan kepentingan perut dan sekitarnya.  Hal ini mengakibatkan pergeseran keseimbangan kehidupan mereka.

Bergesernya keseimbangan inilah yang menyebabkan mereka tidak bisa menikmati dirinya sebagai manusia, sehingga mengakibatkan mereka hidup hanya seperti mahkluk yang monoton dan tidak bisa merasakan kegembiraan dan kebahagian.   Kegembiraan dan Kebahagiaan tidak dapat diraihnya karena hilangnya kebebasan hidup mereka yang selalu dikejar oleh kepentingan hidup yang bukan kepentingan utama dalam kehidupannya.

Contoh nyata adalah kehidupan kita sekarang ini, kita sangat disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai dengan tidur banyak aktivitas yang sama kita lakukan.  Mulai aktivitas di rumah sejak bangun tidur sampai ditempat bekerja/sekolahan dan dilanjutkkan pulang kembali kerumah serta siap tidur lagi.  Jika kita sadar apa yang kita lakukan ibarat sebuah robot saja.  Padahal Sang Pencipta menciptakan kita tidak untuk seperti itu.  Dan itu bukan bukan yang diinginkan sang Pencipta (jika kita mau berpikir) banyak tugas yang harus dilakukan oleh manusia, tapi realita kita hanya seperti itu.  Jika kita punya nyawa maka tidak jauh kita dengan sifat binatang peliharaan, bangun tidur beraktivitas-berproduksi-dan dilanjutkan tidur lagi.  apakah serendah itu diri kita sebagai manusia.

Menuju Diri sebagai Manusia mahkluk Bebas

 Kehidupan di dunia ini dipenuhi oleh jerat-jerat yang sangat membahayakan perjalanan hidup manusia dalam melakukan lelaku tugas kehidupannya. Kita jika tidak "cerdas"/malas menuntut ilmu pastilah termasuk golongan orang yang merugi karena terkena jerat-jerat kehidupan tersebut.  Sedangkan orang yang cerdas dan mau selalu dalam hidupnya mencari ilmu akan mendapatkan jalan kebenaran sehingga kita mampu menjadi orang pilihan.  Orang pilihan inilah yang akan menjadi diri sebagai manusia mahkluk bebas.

Syarat utama dalam menjadi diri sebagai manusia makhluk bebas adalah pertama, mereka yang memiliki sifat sabar, istiqomah dan qonaah dalam mencari ilmu yang sebenarnya.  Ketiga sifat itu merupakan ketiga unsur yang saling bekerja sama, dan jika salah satu unsur sifat itu hilang akan mengakibatkan kepincangan dan kesulitan kita dalam menjadi manusia yang bebas.

Belenggu dan tipu daya kehidupan di dunia ini sangat berat untuk dijalani.  Ketika orang tidak memiliki ketiga sifat tersebut ketika dihimpit dengan beban dan cobaan yang ada pasti banyak yang menyerah.  Karena kita (manusia) yang mengambil keputusan sedangkan setan atau iblis hanya bisa selalu membisikkan kata kata yang manis dalam merayu manusia untuk keluar dari jalan kebenaran.  jika sifat sabar-istiqomah-qonaah hilang salah satunya maka keputusan yang diambil pastilah keputusan yang salah.

Suatu misal ketika manusia sebelum di beri cobaan dia memiliki ketiga sifat tersebut, namun dalam perjalanan dia dicoba dengan keringnya rejeki dan para teman-temannya menghindar dari pandangannya otomatis kita akan berpikir kenapa demikian.  Jika hanya diuji oleh materi mungkin manusia masih mampu untuk bertahan namun ketika diuji dengan hilangnya para sahabat dan menjauhnya para teman-temannya mungkin sudah merupakan beban berat.  Apabila  ketiga sifat itu tidak kuat maka goyahlah prinsip hidupnya.

Kita akan mengalah dengan prinsip yang kita miliki karena bisikan setan bahwa kita manusia sosial jika kita tidak punya teman apakah kita akan bahagia.  Ketika dibisiki dengan hal tersebut goyahlah prinsipnya sehingga dia pilih mengorbankan prinsip hidupnya agar dia tidak ditinggalkan temannya. Padahal belum tentu teman teman yang menghindar itu adalah orang-orang yang baik.  Pernah saya bahas dalam artikel sebelumnya bahwa manusia yang mencari ilmu itu ibaratnya berubah dari air yang tidak memiliki arus menjadi air yang memiliki arus yang kuat, maka buih-buih yang disekitar arus akan menyingkir.  Artinya ketika kita diberi ilmu lebih oleh sang pencipta maka berubahlah kita jadi manusia yang lebih (magnet yang kuat) maka akan menyingkirkan manusia-manusia yang lemah  dari hadapannya,  manusia yang lemah ini adalah manusia yang lemah ilmu nya sehingga tidak memiliki arus mereka pergi kemana saja yang memberikan kehidupan.

Tuntutan kita tetap mempertahankan prinsip hidup yang didasarkan atas ketiga sifat itulah yang akan membawa diri kita menuju kebebasan.  Selain kita harus memiliki ketiga syarat tersebut langkah selanjutnya (kedua) adalah dengan membangun Kesadaran diri.  Kesadaran diri ini berarti bahwa munculnya kesadaran diri bahwa kita diciptakan oleh sang pencipta dari unsur yang terendah dibandingkan dengan makhluk lain, namun oleh NYA diberi kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk lain agar derajat kita naik menuju makhluk yang sempurna.  Maka tidak aneh banyak makhluk yang iri dengan itu terutama syaitan. Maka dengan segala strategi dan tipu daya baik langsung dengan bisikan bisikan yang terdengar diri kita atau lewat orang lain ingin menggagalkan usaha kita untuk mencapai titik manusia sempurna tersebut.

Membangun kesadaran diri ini penting sebagai langkah mencari hakekat diri kita untuk menemukan diri kita yang sesungguhnya (baca: diri dalam mencari hakekat diri yang sesungguhnya).  Karena dengan kesadaran diri yang kita temukan akan memberikan peta perjalanan yang disitu aturan manusia hanya sebatas pagar yang bisa kita terjang atau kita lampaui.  Kita tidak merusak pagar/aturan namun kita hidup berdasarkan pemilik aturan yang sesungguhnya sehingga kita bisa mencapai batas yang tidak terbatas.

Langkah selanjutnya (ketiga) adalah kembali ke buku Panduan.  Buku yang selama ini kita pegang bukanlah buku yang sesungguhnya, namun buku yang berbeda filosofi dan pemahamannya.  Sang Pencipta memberikan Buku Panduan untuk dipelajari, karena di dalamnya berisi pedoman dan peta kehidupan manusia dari manusia pertama hingga manusia terakhir besuk.  sifat Buku Pedoman itu tidak bisa digantikan dengan buku yang lain karena keberadaan dan kesempurnaannya banyak yang menjaganya.

Itulah ketiga langkah yang harus dilalui manusia untuk menerjang batas agar mencapai batas yang tidak terbatas.  itlah yang dinamakan dengan kebebasan.  Kebebasan yang mutlak bagaikan seorang raja yang memimpin sebuah negeri namun negeri tersebut adalah negeri yang penuh kebaikan dan kebijaksanaan.  Karena selalu berpegang pada standar hidup diciptakan oleh Sang Pencipta karena manusia adalah Khalifatul fil ardh yang mengelola alam semesta ini dengan baik.

Kebebasan menuju Kebahagian dan Kebahagian adalah sejenak bersama Jiwa 


Tak Pernah aku berpaling dariMU.... Walaupun aku selalu tergelincir jatuh
Karena diriku selalu mengabdi padaMU...Hanya untuk menggapai RidhaMU
Jika diriku hanya mengharapkan pahala... 
apa bedanya aku dengan manusia yang tidak punya prinsip hidup
Yang hidup hanya seperti "bakul" memikirkan untung dan rugiku
(ki Ageng Sumingkir, 4/11/2020)


Seperti kita ketahui bahwa manusia hidup ini terdiri dari dua elemen yaitu Raga dan Jiwa.  Banyak orang yang mengatakan kebahagian itu akan diraih jika kita bekerja dan berolah raga karena ada pepatah yang sampai saat ini dipercayai yaitu : di dalam raga yang kuat terdapat jiwa yang sehat, maka langkah yang dilakukan adalah dengan olah raga.  memang secara nalar hal itu memang benar jika badan kita sehat maka apapun bisa kita lakukan tidak ada batasan yang membatasi kehidupan manusia. itulah versi kebebasan dan kebahagian yang selama ini banyak kita yakini kebenarannya.

Namun kita tidak boleh lupa, bahwa kehidupan kita tidak hanya secara fisik saja.  Ada kebutuhan non materi/fisik yang harus dilakukan maka dikenal dengan nama santapan rohani (sering sebagai istilah untuk pengajian-pengajian atau mimbar mencari ilmu agama). Namun apakah itu santapan rohani yang benar?  buktinya banyak dari kita yang rajin melakukan santapan rohani namun kelakuannya lebih kejam dari orang yang tidak melakukan santapan rohani.  Mereka yakin dengan santapan rohani seperti itu sudah memberi nafkah kepada jiwa kita. Itu mungkin sebuah kebohongan yang besar agar kita tidak mau berpikir karena dalam santapan rohani inipun kita hanya mendengar bukan berpikir.  maka santapan rohani yang benar adalah berpikir dan mempelajari buku Panduan secara benar.

Ketika kita mempelajari buku Panduan secara benar maka jiwa kita terasah karena konektivitas dengan sang Pencipta.  Seperti kita ketahui urusan jiwa adalah urusan kita dengan sang Pencipta, bagaimana kita bahagia jika jiwa kita jauh dari yang Kuasa.  Bisa bisa kita masuk rumah sakit jiwa, karena tidak ada keseimbangan antara pemenuhan antara kebutuhan raga dan jiwa.   Keseimbangan pemenuhan antara raga dan jiwa inilah yang memunculkan kebahagian. Orang boleh bohong mengatakan bahagia jika jiwanya terpenjara atau jiwanya tidak pernah memiliki konektivitas dengan sang Pencipta.  

Maka banyak orang yang kurang tepat dalam menafsirkan ritual ibadah karena dia mengharapkan pahala. Hal ini mungkin karena kurangnya literatur yang dibaca atau kurangnya membaca Buku Panduan secara komprehensip. Lepaskan nilai Pahala itu karena pahala adalah urusan dengan sang Pencipta, entah DIA memberi pahala atau tidak bukan urusan kita, yang pasti kita beribadah adalah "perintahNYA" dan untuk menjaga keseimbangan antara raga dengan Jiwa.  karena dengan keseimbangan raga dan jiwa maka kebahagian itu akan muncul dan akan memunculkan sifat-sifat lain yang harus dimiliki oleh manusia dalam lelaku musafir di kehidupan di dunia. 

Itulah nilai kebebasan yang dimiliki manusia untuk menuju kebahagian.  Proses menuju kebahagian ini manusia harus bisa menyeimbangkan antara raga dan jiwa manusia.  Ketika keseimbangan ini muncul maka titik temu antara kurva raga dan kurva jiwa inilah yang dikatakan sebagai equilibrium kebahagian sejati.

Terima kasih

Ki Ageng Sumingkir, 4/11/20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah