DIRI DAN ATMOSFIR

PUISI DIRI
Diriku telah diberi kehidupan... Berpindah dari alam ruh ke dunia nyata... Perpindahan diri menyatu dalam jasad manusia... Untuk mengemban amanat suci yang teramat berat sampai menuju pintu kematian.
Diriku telah diberi kehidupan... Mencari bekal untuk bertamu dan menetap di rumahMU... Namun bekal apa yang harus aku bawa untuk kesana... Sanggupkah aku untuk menjadi orang yang bisa masuk rumahMU.
Di Dunia aku telah lahir... Diriku disambut kebahagian para manusia lain... Diriku dipuja dan diharapkan meneruskan cita-cita orang tua... padahal diriku manusia lemah, yang sudah diberi amanat yang berat dari Sang Pencipta...
Harapan dan amanat sudah aku pikul dipunggungku... Iman dan keyakinan ku dibangun dengan pondasi pengetahuan orang tua... tembok dan atap dibangun oleh lingkungan kehidupanku... Yang menjadikan diriku bagaikan rumah yang siap untuk menampung bekal bertamu ke rumahMU.
"Rumah" yang kutempati menjadi tumpuan ku sepanjang kehidupan di dunia... Rumahku adalah rumah yang lemah mudah runtuh, lemah mudah goyah atau rumah yang kuat...  Mungkin juga rumah yang salah bangun... 
Rumah adalah kehidupan dan prinsip hidup kita.... rumah adalah aqidah kita... Rumah adalah cerminan hidup kita untuk layak atau tidak menjadi penghuni rumahMU.... Ya Sang Pencipta kuatkan rumahku dan jangan kau jadikan rumah yang salah Bangun
Diriku Sadar... Banyak angin dan badai di dunia ini... Banyak juga para manusia lain yang ingin merobohkan rumahku ..... Ku jaga rumahku dengan pengetahuanku dan tidak ada kekuatan kecuali dari Mu untuk menguatkan rumahku... Amiin
(Ki Ageng Sumingkir, 15/11/2020)


Diri kita sudah diberikan oleh sang Pencipta tiga indra ditambah dengan akal (liat diri: Nikmat Indra dan akal) agar mau berpikir dengan seksama tentang kehidupan.  Ketika kita berpikir dengan seksama akan memunculkan kewaspadaan terhadap apa yang akan kita lakukan dalam kehidupan ini.  Hal ini mengakibatkan kehati-hatian dan semangat dalam hidup bermusafir di dunia.

Sifat kehati-hatian dan semangat ini adalah faktor internal yang berasal dari dalam diri kita.  Internal faktor ini di bangun dengan pondasi pengetahuan ilmu yang kita miliki. Pembangunan ini dimulai dari pemahaman yang di dapat yang kita oleh selama kita belajar.  Kuat atau lemahnya bangunan internal ini tergantung pada banyaknya pemahaman atas ilmu dan semangat belajar yang dimiliki untuk selalu mempelajari pengetahuan. Inilah yang kita namakan prinsip hidup diri kita.

Prinsip Hidup diibaratkan dengan rumah yang sudah kita bangun akan dihadapkan dengan ekternal faktor yang sangat kuat pengaruhnya.  Jika rumah/prinsip hidup kita lemah otomatis akan mengakibatkan diri kita mudah goyah bahkan bisa sampai runtuh prinsip kita dan mengikuti kehendak orang lain. Hal ini terjadi ketika kondisi luar sangat dominan dalam kehidupan kita. Menuruti kehendak orang lain inilah sebetulnya banyak terjadi diantara kita, yang hidup hanya untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhan orang lain agar kita selamat.  Selamat atau tidaknya kehidupan kita ini adalah merupakan bentuk nilai diri manusia.

Diri manusia merupakan satisfaction value (nilai kepuasan) diri dan nilai kebahagian yang dirasakan selama kehidupan di dunia, dan akan menjadikan alasan untuk mencari bekal menuju pintu kematian.  Kondisi kehidupan dipengaruhi oleh internal faktor dan eksternal faktor.  Internal faktor adalah merupakan cerminan diri kita yang diwakili oleh prinsip hidup yang dibangun dengan "ilmu" mulai lahir sampai meninggal.  Sedangkan eksternal faktor adalah kondisi lingkungan yang berada disekitar kita mulai dari rumah, tempat kerja, tempat bermain, sampai informasi yang kita terima dari media lain yang masuk dan diolah dengan "indra dunia kita" kita (see: Diri : indra dan akal).

Sebagai ilustrasi  untuk sebagai pembuka untuk membahas masalah diri dan atmosir, maka akan diberikan contoh sebagai berikut: Sebut saja namanya A seorang anak yang dilahirkan dari keluarga yang sholih dan dididik agama yang kuat, masalah materi yang dimiliki oleh orang tua hanyalah pas untuk menyambung hidup dan menyekolahkan anak.  A tumbuh besar dan menjadi seorang karyawan dalam perusahaan yang bonafid.  Dan sampai sebelum masuk bekerjapun si A kategori anak yang sholih dan taat untuk ibadah.  Namun ketika bekerja A, merasakan shok yang berat dikarenakan lingkungan kerja yang sekarang ini adalah lingkungan yang dirasakan jauh dari nilai nilai kebenaran yang dia yakini.  A melihat banyak teman kerja yang suka membicarakan orang lain (seperti menu makanan yang asyik unuk dinikmati), dan melihat praktek kerja seperti hukum rimba.  Hal ini dirasakan banyak teman kerja A yang diasingkan bahkan dibunuh karakternya karena dirasa sangat menganggu eksistensi dari teman yang ingin menjabat.  Disamping itu banyak praktek praktek kerja yang sangat jauh dari nurani yang tidak melihat lagi rasa kemanusiaan dan keadilan.

Diri A merasakan ketidaknyaman dan kebahagian, jika dilihat dari hukum alam maka A ibarat adalah batu langit yang masuk ke atmosifir bumi.  Jika tidak kuat maka dia akan terpental dan tidak masuk dalam amosfir (budaya kerja) tempat dia bekerja. Namun jika si A kuat maka dia akan menjadi batu meteorit yang asing dan banyak dicari yang memiliki nilai tersendiri bagi umat manusia.  Kuat tidaknya A tergantung pada internal faktor yang dimiliki, dengan kata lain tergantung pada prinsip hidup.  Jika dia tetap masuk namun prinsip hidupnya kalah maka hidupnya bukan si Diri A itu namun A dalam kondisi diri orang lain.

Maka diri sendiri adalah fungsi dari pengurangan antara prinsip hidup A dikurangi dengan kondisi.  Jika seseorang hidup dalam dominasi kondisi maka pasti kita dalam posisi kerugian, namun jika hidup dalam diri kita sendiri karena prinsip hidup kita lebih dominan diatas kondisi itulah orang yang beruntung karena sang Pencipta akan selalu memberikan rahiimnya untuk selalu sabar dan tekun dalam bermusafir di kehidupan di dunia.  

Ilustrasi tersebut menjadikan pijakan kita untuk membahas artikel ini, tentang apa itu kondisi yang bisa membentuk sebuah atmosfir. berpijak pada alam yang digunakan sebagai perspektif belajar diri kita terhadap nilai diri agar kita mendapatkan keselamatan dan kebahagian.

diri dan atmosfir


Atmosfir dalam kehidupan

 Jika kita berpijak pada kata atmosfir maka otak akan mengarahkan pada pemahaman umum yang biasa dipelajari, yaitu lapisan gas pelindung yang melindungi bumi dari benturan benda-benda langit.  Lapisan inilah yang menjaga manusia untuk dapat hidup di bumi salah satunya adalah mengurangi radiasi ultra violet.  Pemahaman ini biasa dihafalkan oleh semua manusia mulai dari tingkatan anak SD.  Dan pemahaman atmosfir pun sampai tua hanya sebatas itu.

Sang Pencipta memberikan alam sebagai pemahaman tentang ilmu yang harus dipelajari dan dicerna dengan lebih mendalam.  Itulah sebetulnya merupakan tugas kita untuk selalu melihat keluar (dari alam dan kehidupan) untuk bahan renungan diri untuk kehidupan perjalanan musafir mencari bekal.  Pemahaman ini memang jarang literatur yang membahas, namun Buku Panduan sudah mengisyaratkan hal hal tersebut.  Hanya kedangkalan dan kemalasan, serta kekeliruan kita saja yang menyebabkan kita tidak mau mengkaji lebih dalam.

Atmosfir dalam perspektif ini dapat dikita artikan dalam tiga hal untuk kehidupan diri kita, 1) sebagai Pelindung 2) Sebagai Tekanan dan 3) sebagai Angan angan.

Atmosfir sebagai pelindung dalam perspektif diri ini dapat diartikan bahwa atmosfir ibarat sebagai sebuah kekuatan dari diri kita yang mampu menjaga atas masuknya benda asing terhadap diri kita.  Kekuatan yang menjaga ini di dapat dari kepemilikan  atas prinsip hidup dan ilmu yang  kita miliki.  Prinsip hidup merupakan rasa kepercayaan diri dan keimanan yang mampu menjaga lelaku perjalanan di kehidupan di dunia.  

Rasa percaya diri dan keimanan tumbuh jika  selalu "membaca" buku Panduan dan melakukan perenungan atas apa yang terjadi disekeliling kehidupan kita. Hal ini menimbulkan rasa sabar, tekun dan taat kepada sang Pencipta yang akan memunculkan rasa tidak ada kekuatan yang melebihi selain kekuatan dari Sang Pencipta.  Apapun yang dilakukan orang lain terhadap diri kita akan terlindungi dengan atmosfir yang kita miliki. Karena rasa yang dimiliki itu ibarat sebuah kumpulan gas yang menjadi satu kesatuan dan kekuatan untuk menggerakkan fisik dan ruhani kita dalam berkehidupan di dunia ini.

Atmosfir sebagai pelindung dalam Perspektif eksternal adalah bentuk dari   kumpulan diri orang yang banyak yang membentuk satu kesatuan, hal ini lebih mendekati pada pemahaman culture.  Jika kumpulan orang yang memiliki prinsip dan keyakinan yang sama maka culture dan budaya akan terbentuk, dan itu seperti sebuah perlindungan.  Orang luar yang ingin masuk ke dalam culture kumpulan orang (organisasi/masyarakat) akan tersaring.  Apabila orang yang masuk memiliki pola atau prinsip hidup yang sama maka akan otomatis bisa bergaul dan menjadi satu kesatuan dalam organisasi/masyarakat itu, Namun jika orang yang masuk memiliki prinsip hidup yang beda maka otomatis akan terpental atau bisa masuk dalam organisasi tapi dia akan tersisihkan/terasing.

Banyak masyarakat  dalam kondisi status quo  mereka sudah merasa nyaman dalam organisasi tersebut karena memiliki prinsip yang sama.  Kenyamanan inilah yang biasanya melalaikan manusia untuk mencari hakekat lebih dari dirinya.  Ketika organisasi dalam kondisi status quo bukan kemajuan yang di dapat melainkan kemunduran yang dihasilkan. "Kemunduran" ini bisa berarti di satu sisi terdapat kemajuan yang Signifikan (hubungan dengan materi) namun satu sisi "hakekat" kemajuan tidak terjadi  khususnya berhubungan dengan "diri yang sesungguhnya".  

Organisasi dalam status quo  berisikan orang-orang yang memiliki "kapasitas" yang sama, maka akan memunculkan self interest agar mereka bisa lebih populer.  Pada saat self interest muncul maka atmosfir akan mulai mempengaruhi keseimbangan alam organisasi itu. Gejolak atmosfir inilah yang mengakibatkan strategi dan tipu daya mulai berkembang, dan akan mempengaruhi prinsip diri anggota. Maka dapat dikatakan dalam perspektif masyarakat inilah atmosfir dikatakan sebagai kondisi.  

Dan kondisi yang  terbentuk dari atmosfir akan mempengaruhi diri seseorang.  jika atmosfir diri (perspektif diri) kuat mampu mengalahkan atmosfir (perspektif masyarakat)/kondisi maka diri kita tetap eksis dan nampak.  Namun sebaliknya jika lebih kuat kuat atmosfir dalam perspektif masyarakat/kondisi maka nilai diri kita hilang dan digantikan nilai diri dalam pandangan masyarakat.

Yang kedua adalah atmosfir yang berarti "tekanan". Dalam "perspektif diri" tekanan adalah diibaratkan beban yang ada dipunggung untuk dipikul dalam perjalanan kehidupan.   Tekanan ini mengakibatkan orang sedikit pelan dalam perjalanan kehidupan.  Ketika diri kita mendapatkan tekanan maka bukan rasa keluh kesah yang harus kita ungkapkan melainkan ras percaya diri bahwa kita mampu menghadapi tekanan. Ketika prinsip diri yang kita miliki lemah akibat tekanan maka diri kita akan kalah dan malah mungkin hilang,  kalahnya diri kita akibat tekanan bisa mengakibatkan hilangnya prinsip hidup yang dibangun dari kecil digantikan diri kita yang tidak memiliki prinsip atau melompat ke prinsip hidup yang lain.  Dalam bahasa lain kita kalah dalam peperangan.

Tekanan yang ada terhadap diri merupakan pembelajaran dan penguatan diri kita, dan sang Pencipta sudah memberikan ukuran terhadap tekanan yang diterima masing-masing manusia. Maka sepantasnya kita harus menang melawan tekanan itu,  jika kita kalah apakah pantas kita disebut manusia?  

Ada dua bentuk tekanan yang diterima oleh setiap manusia, yaitu tekanan yang ibaratnya seperti pembatas, dan tekanan seperti beban dari atas.  Tekanan seperti pembatas itulah biasanya berasal dari eksternal (masyarakat/organisasi/keluarga),  mereka memberikan tekanan kepada kita karena prinsip yang berbeda dalam kehidupan Ketika menghadapi tekanan seperti pembatas maka langkah yang kita ambil adalah terjanglah batas jika kita mampu atau lompati batas itu maka kita akan mencapai batas yang tiada terbatas.  Menerjang atau melompati tekanan/pembatas bukan sekedar menabrakkan diri dan melompat tanpa pengetahuan.  Dibutuhkan ilmu yang sesungguhnya untuk melakukan itu, jika kita tanpa ilmu ibaratnya kita melakukan bunuh diri.  Kekalahan diri kita dari tekanan seperti pembatas ini adalah diri kita merasa terjepit dan tidak memiliki kebebasan.  Dan dapat dikatakan diri kita terpenjara dalam kehendak orang lain.

Dan Ketika kita menghadapi tekanan seperti tekanan dari atas maka lawanlah dengan prinsip diri mu karena dirimu akan memantul keatas melibihi tekanan yang ada. Tekanan dari atas itu adalah tekanan yang bersifat non fisik, maka salah satu jalannya adalah dengan kesabaran dan keyakinan bahwa kita mampu menahan tekanan tersebut.   Ketika kita sabar dan yakin akan memunculkan rasa syukur dan menguatkan prinsip hidup kita.  Kemenangan atas tekanan ini diangkat derajat kita ke level yang lebih tinggi dibandingkan orang yang memberi tekanan itu.  Hal ini sesuai dengan pemahaman gaya gravitasi bumi yang ada akibat adanya atmosfir semakin kita bisa melawan maka semakin kita bisa menembus batas yang tiada terbatas.

Pemahaman atmosfir yang ketiga adalah angan angan.  Dalam "perspektif diri"  angan angan adalah sebuah cita-cita. Ketika cita-cita kita miliki maka usaha kita adalah dengan memperkuat diri kita, yaitu dengan mempertebal keyakinan dan prinsip hidup kita dengan belajar (terutama ilmu yang berdasarkan buku Panduan) ditambahkan mengecilkan kondisi yang selama ini membatasi dan mempengaruhi kehidupan kita. Dengan dua hal itu maka diri kita pasti akan mampu untuk mencapai apa yang kita inginkan.

Kekalahan orang dalam mewujudkan cita-cita adalah karena terjebak dalam kondisi kehidupan.  Dominasi kondisi yang menyebabkan orang lupa akan cita-citanya, dan dominasi kondisi pula yang menyebabkan orang lalai dengan hakekat hidup atau cita-cita.  Hal ini dapat kita lihat dari fenomena yang berkembang di diri kita.  Hal yang sekarang banyak terjadi kita mencari ilmu bukan ilmu yang di dapat tapi cuma legalitas yang kita raih.  Sehingga semakin tinggi tingkatnya pendidikan orang di sandangnya bukan ilmu yang di hasilkan dan diungkapkan melainkan self interest yang di perjuangkan.  Maka ilmu yang di dapat bukan ilmu yang "nguripi" tapi ilmu yang mematikan "urip"nya karena yang dia dapat adalah untuk popularitas dan materialitas saja.  Sadar atau tidak ini banyak terjadi di diri kita.  

Fenemena yang lain ketika kita dilahirkan punya cita-cita ingin selamat dalam perjalanan di dunia, namun kenyataan angan-angan itu banyak yang tidak tercapai karena kondisi yang memenjara.  Kehidupan di dunia bukan untuk mencari "bekal" tapi hidup untuk bekal kehidupan di dunia.  hakekat bekal bergeser dari bekal untuk kehidupan bertamu di rumahNYA menjadi bekal yang semu.  

Lupa akan hakekat inilah sebetulnya sebuah fenomena umum yang terjadi, karena asyiknya diri kita menikmati kehidupan dunia.  Keasyikan menikmati kehidupan ini melupakan semua angan angan utama kita. Ini sebetulnya kelupaan kita atau sebuah strategi musuh abadi manusia yang ingin mengajak manusia menemani dirinya agar tidak masuk ke rumahNYA.

Sedikit tulisan tentang nasihat diri yang ditujukan untuk penulis (khususnya) dan untuk pembaca, agar mau kembali mau belajar pada "ilmu yang sesungguhnya" bukan "ilmu yang seadanya".  Semoga senantiasa kita selalu dapat kemudahan dalam perjalanan hidup sebagai seorang musafir.

Jalan ke langit ada pada dirimu, bentangkan sayap terbanglah ke ufuk barat,  kepakkan sayap kebenaran karena dirimu adalah perkasa, tak usah risaukan batas.... karena hidupmu adalah batas yang tiada terbatas....
Bacalah dengan sepenuh hati... Kebenaran ada pada dirimu... Jangan dirimu pandang dan panjangkan lidah... karena itu awal kemenanganmu...
Perjalananmu mencari bekal adalah hakekat hidupmu.. kencangkan ikat pinggangmu, ikat mulut dan tutup telingamu... karena banyak gula-gula akan memabukkanmu.... Perkuat langkah kakimu agar kau kuat menanggung beban perjalananmu....
(Ki Ageng Sumingkir 16/11/2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah