DIRI DALAM KAMUFLASE

Layaknya seperti bunglon yang bisa merubah diri... Menjadi serupa warna dengan yang ditempati.. Namun eksistensi dirinya masih nyata.. Perubahan hanya sebagai bentuk syukur atas nikmat 

Banyak diri manusia yang mengartikan berbeda.. Kamuflase adalah bentuk pertahanan diri dan usaha mencari makan.. Perubahan diri adalah bentuk strategi hidup.. Untuk bertahan agar diri tidak terancam

Kamuflase bunglon dan diri manusia memiliki makna yang beda... satu sisi adalah syukur karena diberi kelebihan... Dan sisi lain adalah syirik karena ketakutan... Padahal ketakutan harusnya hanya pada sang Pencipta

KAS, Puisi Kamuflase, 18/2/2021


Tulisan ini membahas tentang diri dalam kamuflase.  Topik ini terasa memberatkan pembaca karena saya ajak untuk melihat dan memperbandingkan antara diri kita dengan bunglon seperti dalam puisi tersebut. Disebutkan dalam puisi bahwa kamuflase adalah berhubungan dengan syukur dan syirik yang sepertinya sudah ada pada diri manusia yang menjelma seperti bunglon tersebut.

Pembahasan masalah syukur dan syirik akan dimulai dengan sebuah cerita tentang bagai mana seorang mulia pernah membunuh musuhnya namun beliau malah tertawa. Kebiasaan dirinya tertawa saat membunuh ini mengakibatkan mendapatkan julukan orang yang haus perang.  Membunuh adalah untuk melampiaskan amarah dan nafsu yang terkekang dalam penyakit jiwanya.  Dan statement itu ternyata menjadi pembicaraan para musuh dan menjadi ejekan terhadap orang mulia ini.

Namun ternyata kebiasaan dirinya tertawa itu bukan karena beliau sakit atau yang lain.  Tetapi tertawa beliau adalah sebagai ujud membunuh terhadap kesedihan dan kebencian serta kemarahan.  Tertawanya ujud syukur yang menggantikan keluhan yang dia lakukan karena melakukan pembunuhan.  Orang mulia ini sebetulnya menangis dalam melakukan itu namun jika dirinya menangis akan menjadikan dirinya lemah dan bahkan bisa jadi menjadikan ejekan dan motivasi lawan bahwa musuh adalah orang yang lemah.  Dan dengan tertawa seperti itu (yang sebetulnya merupakan sebuah perlawanan batin) menjadikan para musuh semakin "keder" dengan perilaku beliau di medan pertempuran.

Akan tetapi jika orang mulia tersebut apabila tertawanya adalah bentuk kepuasan dirinya bisa membunuh musuh maka itu adalah kesombongan bahkan bisa dikatakan sebagai sebuah syirik.  Mengapa dikatakan syirik? karena merasa usaha membunuh adalah bentuk kemenangan yang dia dapatkan bukan atas orang lain.  Padahal semua tindakan manusia adalah hadiah dari sang Pencipta yang semuanya sudah digariskan dan diatur dalam kehidupannya.  Maka tidak sepantasnya dia tertawa karena merasa puas dapat membunuh musuh-musuhnya.

Pembatas antara syukur dan syirik adalah sebuah tabir yang tipis.  Cerita diatas dapat diartikan dimana syukur dan dimana syirik itu perbedaannya.  Namun dalam kehidupan nyata diri kita banyak yang tidak sampai sejauh ini dalam memahami maknanya. Tabir tipis inilah yang seharusnya menjadi pegangan diri agar tidak terjerumus dalam ke"syirik"an. 

Sebuah kerugian yang besar jika diri tidak paham akan hal ini maka akan mengakibatkan menjadi orang yang selalu dalam kondisi rugi.  Ketika sebuah prestasi kemenangan diri dirasakan dengan tertawa bahagia yang merasa dirinya sukses karena usaha dirinya dan sedikit melupakan campur tangan sang Pencipta atas pencapaiannya adalah bentuk merendahkan ketentuan dariNYA.  Padahal hal ini mungkin sudah biasa diri kita lakukan.  Bahkan sujud syukur aja hanya sekedar seremonial diri dihadapan orang banyak.  Sebuah kerugian besar atas kesuksesan kita dan selama ini diri kita tidak pernah berpikir (afala ya tafakkarun).

Syukur adalah buruan dari segala kenikmatan. Banyak diri kita yang percaya bahwa dengan syukur maka diri sudah siap dengan nikmat tambahan yang akan kita terima.  Demikian juga dengan keberhasilan kita dari suatu pekerjaan akan diikuti dengan syukur dengan harapan kita akan mendapatkan nikmat yang lebih setelah kita menyelesaikan tugas ini.  

Kehidupan diri tidak lepas dari masalah dan problematika baik dalam urusan kebahagian ataupun dalam kesedihan/kekurangan.  Masalah ini sebetulnya sebuah irama merdu dari sang Pencipta yang ingin menaikkan derajat diri manusia.  Kunci sukses nya adalah kata kata umum yang sudah menjadi kamus bagi kehidupan manusia yaitu "Sabar dan Syukur" atas kondisi yang kita terima.  Namun ketika ini kita implementasi dalam kehidupan malah bukan menjadikan diri kita ditambah nikmatnya.  Mengapa tidak ditambah nikmatnya? karena yang kita lakukan adalah malah membangkan perintah dari sang Pencipta yaitu melakukan perbuatan Syirik.  Apakah ini bukan sebuah kerugian?  Maha Besar dan Maha Pengampun sang Pencipta atas segala kesalahan dan kekhilafan perbuatan manusia.

Dan bagaimana perbuatan sabar juga bisa menjadikan diri kita syirik?  Contoh lain akan memberikan gambaran dan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Dikisahkan ada sebuah keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Suatu malam sang bapak keluar sedangkan yang dirumah ibu dan ketiga anaknya makan bersama dengan menu yang dibeli karena kesibukan si ibu yang tidak memasak.  Sang anak pesan lewat aplikasi antar dengan membeli makanan yang memiliki kolesterol tinggi.  Si anak membeli lima porsi atas suruhan dari ibunya dengan maksud masing masing mendapatkan satu porsi.  Karena sang bapak belum pulang maka disisakan satu porsi agar nanti bila pulang dapat menikmati makan malamnya.  

Dan tepat tengah malam sang bapak pulang dengan perut yang sangat lapar karena dihubungi istrinya sudah disiapkan satu porsi untuk makan.  Karena perut kosong sang bapak bergegas untuk menuju meja makan setelah berbersih diri dan ganti baju.  Namun alangkah terkejutnya ketika dirinya membuka bungkusan yang ada di meja makan ternyata isinya adalah makanan yang berkolesterol tinggi.  Maka dirinya tidak menjadi makan dan berpikir dirinya harus sabar dalam menghadapi ini.  Kesabarannya diuji ketika dirinya membuka makanan dan menemukan makanan yang berbahaya (menurut dia) serta harus sabar menahan lapar sampai besuk pagi.

Apakah yang dilakukan oleh bapak ini adalah bentuk kesabaran?  Jika diri kita menjawab dengan pemahaman umum ini adalah bentuk kesabaran.  Kesabaran pertama adalah tidak makan makanan yang ada karena berbahaya dan sesuai dengan anjuran dokter tentang kesehatan. Anjuran dokter mengatakan bahwa dirinya yang sudah berumur harus menghindari makanan yang berkolesterol agar dirinya tidak berpenyakitan.  Kesabaran kedua adalah dirinya menahan lapar karena tidak ada makanan yang ada selain itu sampai esok pagi.

Secara umum itulah yang dibenarkan dan diasumsikan dengan pemahaman kesabaran.  Dan langkah yang dilakukan oleh si bapak itu menurut logika umum adalah benar dan tidak ada yang salah.  Namun apakah hal ini benar menurut buku Panduan.  

Ketakutan dan tidak mau makan si bapak sejak malam hari sampai pagi harinya adalah bentuk kesyirikan kepada Sang Pencipta.  Dirinya lebih takut atas perintah dan larangan manusia serta ketidakmauan menerima rejeki yang dia terima.  Sang Pencipta menguji seseorang dengan hikmah agar manusia pandai untuk bersyukur dan membebaskan diri dari prasangka yang keliru.  Karena segala rejeki yang dilimpahkan kepada diri kita adalah rejeki yang tidak dapat di duga dan termasuk hal-hal yang bersifat abstrak.

Hal ini banyak diri kita yang sudah terjajah dengan pikiran yang rasional yang hanya dipikirkan dengan logika manusia umum bukan dengan indra (buku Panduan baca:indra manusia).  Padahal jika kita mau merenung setiap rejeki yang diberikan kepada diri kita pasti memiliki nilai tidak sekedar materialitas saja melainkan juga mengandung hal yang bersifat ruhani.  Rejeki yang abstrak atau ruhani ini jarang sekali menjadi pertimbangan diri dalam mengambil sebuah tindakan.  

Ketika logika rasional berpikir dan diutamakan maka akan mengakibatkan hal hal yang bersifat maknawi dan abstrak akan ditinggalkan mengakibatkan diri terpenjara dalam ketakutan dan perasaan was was.  Dan dua hal inilah sebetulnya penyakit utama diri manusia yang ada dan selama ada jika kita tidak mengobatinya.  jika si dokter mengatakan janganlah kamu makan ini maka si bapak tidak makan ini itulah awal dari sebuah kesyirikan.  Karena itu menjaga lisannya adalah menjaga hati dari kesyirikan.  

Padahal sakit atau kematian adalah sebuah takdir dari sang Pencipta.  Namun jika ketakutan kita atas makanan membuat kita lebih takut pada perintah sang Pencipta adalah sebuah kerugian apapun alasannya.  Berhati-hati boleh namun jangan sampai ketakutan itu menjadikan diri kita mengalahkan apa yang seharusnya dibolehkan olehNYA. Yang tidak boleh adalah ketamakan dan berlebih-lebihan dalam segala hal termasuk adalah makanan.

Karena jika sedikit kita makan dan tidak berlebihan tidak mungkin sang Pencipta akan memberikan hal yang buruk.  Sedikit memakan adalah bentuk rasa syukur atas rejeki yang diberikan kepada diri kita.  karena sang Pencipta bisa menyembuhkan dari makanan yang kita makan walaupun dengan kolesterol tinggi namun juga bisa mematikan diri kita dengan makanan itu.

Cerita ini hanyalah sedikit koreksi atas kesalahan umum yang selama ini banyak menjadi argument untuk pembenaran kebenaran atas lisan seseorang yang berpikir dengan logika umum namun melupakan adanya Sang Pencipta sebagai sutradara atas kehidupan di dunia ini.  Diri tidak mengajak untuk menentang aturan yang selama ini kita anggap benar oleh manusia pada umumnya.  Namun diri mengajak untuk merenung atas apa yang kita lakukan yang selama ini membatasi dalam kehidupan kita.  Padahal sang Pencipta memberikan pembatas yang jelas dalam buku Panduan.  Dan ternyata banyak batasan yang dibuat oleh manusia melebihi batasan yang ada dalam buku Panduan.

Apakah diri lebih hebat dari NYA.... Apakah diri lebih kuat dari NYA..... Sehingga diri lupa pada hakekatnya... Sehingga diri lebih mengutamakan jasmani dan lupa akan ruhani...

Ketakutan sudah menjadi pakaian... Kebebasan sudah terpenjara... oleh lisan-lisan yang tidak berbudi.. yang mengatakan atas nama Tuhan...

KAS, 18/2/2021

Magelang. 18/2/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah