Merindu Damba

Langit dan bumi bagaikan gula-gula... Terlena dan terperangkap oleh rasa... Khawatir kehilangan manisnya hidup di dunia... Namun akhirnya kehidupan di akhiri dengan sakit yang menyiksa.

Datanglah dan nikmati pesta yang ada... Terlena dan terperangkap oleh keinginan... Hanya sekedar meninggalkan beban yang ada... Namun akhirnya kehidupan di akhiri dengan dusta dan siksa (azab).

Merindu damba akan perasaan... Menjerat urat kehidupan... Akibat diri salah dalam pilihan... Terjebak oleh pandangan tentang nilai kebahagiaan.

Merindu damba akan kenikmatan... Penjara bagi keserakahan diri manusia... Akibat diri salah dalam memandang... Mabuk kesenangan semu yang dikira sebagai sebuah kebahagiaan.

Oooo betapa malangnya diri ini... Yang tak pernah melihat sinar matahari... Terhalang oleh silaunya cahaya ilusi... Hingga ajal menjemput tak pernah memiliki materi diri.

Tangis kepedihan menjadi irama kehidupan di dunia... Akibat diri merindu damba pada hal yang salah.. Lupa pada Sang Pencipta... Terlalu cinta pada yang diciptakan.

Betapa bodohnya diri manusia...Yang tak pernah mengetahui mutiara samudra kehidupan... Karena buih ombak yang menjadi perhatiannya... Diombang ambing oleh arus kehidupan.

Terjatuh dari tidur menjadi kunci utama... Terbangun dari kenyamana kehidupan... Mata diri terbelalak silau oleh keindahan... Pemahaman akan ilmu MU menjadi sebuah kenikmatan dan kebahagiaan.

Kususuri jalan kehidupan yang tersisa... Kenikmatan mulai kurasakan... Rasa cinta mulai terbangun dalam dada... Ingin pulang dengan senyuman kebahagiaan.

(KAS, Merindu Damba, 19/11/2023)


Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap diri kita sebagai manusia pasti memiliki cita-cita dan akan berupaya agar dapat terwujud.  Baik itu cita-cita yang dibangun dari keinginan pribadi ataupun yang muncul dari bisikan dan desakan dari keluarga terdekat.  Akibatnya ada yang merasa diri kita gagal atau berhasil dalam mewujudkannya.

Tetapi kebanyakan cita-cita yang diri miliki selalu condong kepada hal-hal yang bersifat nilai-nilai yang bersifat materialitas mulai dari jabatan sampai dengan keinginan dalam hal kemudahan mendapatkan materi.  Sehingga hal ini  jika diri sadar dan melihat fenomena yang ada mungkin akan sedikit kaget dan timbul pertanyaan kenapa bisa seperti ini?  Karena mungkin selama ini diri tidak dalam kesadaran sehingga terjebak dalam kondisi seperti ini karena sebagai sebuah pemahaman yang berlaku umum di masyarakat kita.

Nilai-nilai itu tidak lepas hanya sekedar diri terangkat derajatnya dengan ukuran kepemilikan "ilusi materi".Dikatakan sebagai ilusi materi karena terperangkap dalam jebakan keinginan diri dalam kemudahan mendapatkan materi yang berupa kekayaan dan kedudukan agar memiliki nilai di mata manusia lain.  Bukankah ini sebuah kekeliruan pemahaman manakala pengetahuan tentang materi hanya sekedar ini.  

Butuh sebuah tekad untuk "bangun dari tidur" agar diri mampu membuka selimut hati sehingga mampu membuka cakrawala pemahaman baru yang benar.  Memang tidak mudah jika diri tidak melakukan dekonstruksi pemikiran yang dimiliki karena mungkin akan dipandang aneh oleh manusia lain yang ada disekitar kita.  Karena perspektif baru dari pemahaman yang berbeda akan dianggap sebagai sesuatu yang akan merusak tatanan kehidupan yang dirasa sudah nyaman.

Tatanan yang nyaman (status Quo) yang sekarang terjadi akan diperjuangkan serta dipertahankan oleh pribadi diri kita yang masuk di dalamnya.  Namun untuk pribadi diri kita yang tidak merasa nyaman akan mencari kelemahan dan bahkan berperilaku mengusik orang-orang yang dalam tatanan tersebut.  Bukan itu yang diharapkan dari kepemilikan kesadaran baru untuk mengusik melainkan mengajak untuk kembali kepada jalan yang benar.

Ingatlah bahwa diri dalam membangun cita- cita bukan untuk melanggengkan kerusakan yang ada malah semakin membangun kerusakan di muka bumi ini.  Maka dalam hubungannya dengan membangun cita-cita diri diingatkan agar diri selalu melihat dari perspektif kebenaran yang benar dan sesuai dengan jalan lurus yang diharapkan untuk dilaluinya.  Karena diri kita sebagai manusia menanggung beban yang berat dalam kehidupan yang dilalui dan tidak setiap diri kita mampu untuk melaluinya.  Memiliki cita-cita hanyalah sekedar gantungan harapan diri agar mempermudah dalam hidup di dunia ini untuk mengumpulkan bekal sebagai bahan untuk dibawa pulang.


Diri Sebagai Penunggang Atau Kuda 

Ketahuilah bahwa  dibalik cita-cita itu terdapat gambaran yang jelas dan tertulis di dalamnya ada dua hakekat yang ada. Tulisan itu memang tidak tersurat jelas dalam hubungannya dengan cita-cita namun sebuah siratan mengenai kehendak atau keinginan diri manusia yang sudah digambarkan oleh Sang Pencipta. Dua siratan tersebut merupakan bentuk dambaan atau keinginan diri manusia dalam satu gambaran yang merupakan jalan untuk mencapai tujuan.

Seperti yang dibahas dalam artikel terdahulu bahwa  terdapat dua jalan yang semetris namun satu sisi adalah jalan yang benar dan yang satu adalah sebuah kekeliruan karena pemahaman yang tidak berdasar.  Dua jalan yang dilalui untuk menuju satu tujuan akhir yang menunjukkan akhir yang berbeda walaupun kelihatannya sama.  Kekeliruan ini akibat diri tidak secara komprehensip membaca secara detail hanya membaca ataupun mendengar dan belajar dari nilai-nilai yang dianggap kebenaran oleh diri kita selama ini.

Diri sebagai manusia diciptakan ibarat sebagai pesawat yang butuh awak (ruh) untuk menjalankan.  Kehadiran awak inilah yang akan membawa keselamatan dalam perjalanan untuk mencapai tujuan.  Namun pemahaman ini tidak sampai pada pengetahuan yang selama ini diri miliki karena terbatasnya pemahaman sehingga diri mendefinisikan awak adalah diri kita yang mengakibatkan tidak butuh ruh dalam perjalanan.

Sebuah pemahaman yang keliru jika diri kita menganggap diri adalah awak atau penunggang itu sendiri.  Jika ini terjadi maka diri ibarat sudah melampai batas dan berlaku seperti tuhan.  Sehingga diri bebas untuk bertindak bahkan melampaui nilai-nilai kemanusian agar diri dianggap seperti penguasa untuk manusia lain (kuda).

Demikian juga masalah cita-cita yang diri bangun dari kecil dan mungkin sampai sekarangpun masih berjuang untuk mencapainya.  Namun karena diri keliru dalam memaknainya karena diri sebagai "penunggang atau kuda" yang berjalan dalam kehidupan di dunia ini.  Dikatakan sebagai penunggang manakala diri berhasil mencapai "status/atau memiliki jabatas" dan dikatakan kuda manakala diri hanya berakhir sebagai "pelaksana" saja.

Dikatakan sebagai penunggang karena diri mampu menguasai kuda yang diharapkan mempermudah dan meringankan beban kehidupan di dunia ini.  Karena diri sebagai penunggang kuda maka kekuasaan mutlak ada pada diri kita atas kuda yang dinaikinya untuk bergerak kemanapun termasuk memercikkan kebencian dan peperangan.  Semua ini dilakukan agar diri memiliki "nilai" dan "status"  untuk mempermudah dalam mengumpulkan beban.

Menjadi penunggang kuda adalah sesuatu yang sulit namun dengan belajar maka akan memiliki kemudahan dalam menguasainya.  Namun belajar adalah sebuah kesulitan dan butuh ketekunan yang tinggi dan tidak setiap diri manusia akan mampu untuk menyelesaikannya. Maka hasil dari belajar adalah kemudahan diri dalam menjalankan kehidupan sehingga memiliki nilai atau status yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak belajar.

Tapi ingatlah tidak semua akan menjadi penunggang kuda yang baik karena simestrisnya pemahaman  yang ada dan dipelajari.   Sehingga dalam kehidupan dapat dilihat diri sebagai penunggang yang baik atau sebagai penunggang kuda yang selalu memercikkan api yang mendorong berlaku melampaui batas dan suka menumpahkan darah. Sebuah gambaran tentang keberhasilan diri sebagai seorang penunggang yang ternyata memiliki dua perspektif yang berbeda akibat dari pemahaman yang dimilikinya.

Sedangkan kuda adalah gambaran diri yang selalu gagal dalam pencapaian cita-cita.  Karena diri memiliki keterbatasan untuk naik status sehingga menjadi penanggung beban dalam kehidupan.  Kemudahan yang ingin di capainya ternyata berubah menjadi sebuah kesulitan dalam kehidupan yang dijalaninya.  Karena dalam hidup selalu berada di bawah kekuasaan sang penunggang kuda dan selalu menjadi pengangkat beban dalam kehidupan baik itu beban diri sendiri atau beban orang lain yang harus diangkutnya.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa kondisi ini adalah kondisi hidup yang serba sulit karena selalu dibebani dengan beban kehidupan baik diri maupun orang lain.  Ketidaksadaran dalam kehidupan diri kita selama ini mungkin mendekati dengan kondisi kuda ini.  Karena mungkin hidup diri kita selalu dihiasi dengan beban kondisi kehidupan yang selalu hadir bahkan sampai mati terbawa.  Dan ketika kondisi ini menjadi penjara hidup kita maka sakitt-sakitan adalah takdir yang jalani di tengah penantian menunggu ajal.

Kondisi ketidak sadaran ini akibat diri memiliki pemahaman yang keliru tentang ilmu perjalanan kehidupan.   Jika diri tidak ingin berubah maka hidup akan selalu dalam kesulitan dan keputusasaan karena diri tidak pernah mau memaksimalkan indra yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Ciri pribadi yang demikian adalah memiliki sifat kekhawatiran dan ketergesa gesaan tentang hidup.  Sebuah kerugian manakala diri tidak pernah menyadari ataupun tidak pernah berpikir tentang hal yang dijalaninya.

Ketahuilah bahwa menjadi kuda bukanlah sebuah kegagalan dalam hidup di dunia ini.  Seperti yang tertulis di atas bahwa diri ini hanyalah bentuk fisik atau jasadiyah yang diciptakan sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain.  Jika diri tidak memiliki kesadaran maka diri adalah manusia dalam bentuk kuda.  Namun jika diri mampu membangun sebuah kesadaran dan memiliki pemahaman yang berdasarkan pada buku Panduan hidup manusia maka itulah diri sebagai makhluk yang sempurna.

Mengubah diri dari kuda menjadi manusia dibutuhkan semangat baca dan belajar dengan sungguh-sungguh.  Kuda dan manusia adalah hal yang sama karena hanya sebuah "pesawat" yang tergangung pada penunggangnya.  Manakala diri memiliki pemahaman yang benar maka penunggang atau "awak" yang merupakan rahmat dari Tuhan akan mampu membawa ke jalan yang benar.  Derajat diri dari kuda berubah menjadi manusia yang sesungguhnya sebagai makhluk yang sempurna.

Kesempurnaan ini dimulai dari diri mengenal potensi diri yang diberikan secara fisik yang sama dan kemudian mampu melepas selimut hati yang mampu mengfungsikan indra yang dimiliki.  Kerja diri secara optimal ini sehingga menjadikan diri mampu menemukan akal sebagai alat konektivitas diri yang mampu menerjemahkan "ayat-ayat Tuhan" menjadi pemahaman untuk bekal kehidupan.  Kerja diri yang demikian menjadikan diri menemukan kembali titipan Tuhan kepada setiap manusia yang berupa Ruh sebagai teman dalam menyusuri jalan dalam perjalanan di kehidupan dunia ini.

Baca dan belajar kemudian dilanjutkan dengan mampu mengoptimalkan diri adalah cara para kekasih Sang Pencipta dalam meraih rindu dambanya.  Memiliki cita-cita adalah hal yang wajib dimiliki oleh setiap manusia.  Namun cita cita yang baik adalah sukses dan lancarnya perjalanan diri di kehidupan di dunia ini.  Materialitas adalah hal yang dicari namun bukan ukuran materi secara fisik yang selama ini menjadi ukuran tetapi materi (dalam bentuk lain) adalah yang utama.  Karena materi itu yang merupakan teman dalam perjalanan.


Terima kasih,
Magelang, 19/11/2023
Salam
KAS 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah