Menggapai Pintu Langit

Janganlah selalu menutup pintu... Tak pernah tersentuh kebahagian jika pintu tak pernah terbuka... Bagaikan belenggu yang memenjara... Menjadikan diri tak memiliki arah perjalanan.

Terdengar salam yang memanggil... Terbangun dari tidur yang terlalu lama... Terbuai dengan kehangatan dan kenyamanan kondisi.... Bangun dan bersegera menuju pintu yang ada di depan mata.

Cepatlah di buka karena telah menunggu lama... Sang tamu terlalu sabar dan terus menerus mengucap salam...  Agar pintu segera dibuka... Namun diri tak tahu cara membukanya.

Oooiii betapa bodohnya diri kita... Tak pernah mau belajar cara membuka... Karena kesadaran jauh dari jangkauan kehidupan... Terlalu terlelap dengan mimpi yang menghiasi kepemilikan pengetahuan yang ada.

Dengarkan dan sadarilah...  Karena Aku siap menjemput kehadiran diri kita... Jika diri mampu membuka pintu yang ada...  Perlu baca yang seksama agar dapat pengetahuan.

Pintu terbuka akan terhubung dengan halaman hati.... Ada teman setia yang selalu menanti... Yang selalu sembunyi namun memiliki kesetiaan sejati.. Karena dirinya adalah utusan Sang Pemberi.

Bukalah pintu diri.... Karena itu akan membawa diri.... Menjadi diri sebagai manusia langit... Yang selalu dalam derajat tertinggi.

Bukalah pintu diri kita... Karena itu akan menunjukkan pada jalan kehidupan... Untuk menjalani kerasnya hidup di dunia... Melepaskan diri dari jeratan fana yang penuh tipu daya.

Bersegerahlah... Berlarilah... Jangan tunggu masa edar habis menjemput kita... Karena hidup harus melalui pintu yang ada.

(KAS, 27.11/023, Pintu Langit) 

 

Ketika diri kita mendengar kata "pintu langit" ataupun "tangga langit" mungkin akan muncul gambaran sesuatu yang sifatnya fisik.  Dan manakala hal ini muncul maka terbukti bahwa dominasi unsur jasmaniah masih menjadi belenggu pemahaman untuk menjadi manusia sempurna.  Dan kondisi ini menjadikan diri akan sulit untuk menjadi diri yang "utuh" dan siap untuk menunaikan tugas mulia sebagai "pengelola" alam semesta.

 Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi pada diri kita saja melainkan sebagian besar umat manusia masih terjebak pada pemahaman yang di dominasi oleh hal yang bersifat kasad mata atau jasmaniah.  Maka ketika diri bersinggungan dengan hal yang tidak kasad mata akan memberikan "rasa asing" bahkan mungkin dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan.  Jika kondisi seperti ini terjadi mungkin dapat dikatakan bahwa hakekat hidup diri kita tidak dalam kondisi keseimbangan antara ruhani dan jasmani atau dengan bahasa yang lebih ekstrim dikatakan diri mengalami mati dalam ruhaninya.

Sindiran keras tentang kondisi seperti ini adalah "punya mata tapi dibutakan dan punya telinga tapi ditulikan" adalah pernyataan yang tepat.  Sering diri kita baca dan dengar kata kata tersebut namun tak pernah sadar bahwa itu adalah pernyataan untuk diri kita.  Minimnya kesadaran dan tidak tahu dengan sebuah sindiran tersebut memang sudah menjadi bagian dari kehidupan diri kita karena keliru dalam "baca" dan mengakibatkan diri hidup dengan kondisi tidak pernah mengetahui dan tidak pernah berpikir.

Agar diri tidak terjebak dalam kondisi yang demikian maka perlu kiranya untuk kembali melakukan "pembangunan diri" kembali melalui "baca" pemahaman dari sumber yang benar.  Tinggalkan bacaan yang hanya merupakan sebuah rujukan tapi ganti dengan baca dari sumber yang kemurniannya selalu dijaga.  Ibarat minum maka minumlah air yang bersih yang berasal dari mata air dan bukan meminum air yang kotor karena itu akan menjadikan penyakit dan mengeraskan kepemilikan hati yang diri kita miliki.

Sumber air yang bersih inilah yang akan menjadikan kepemilikan pemahaman yang seharusnya dimiliki akan menjadi dan menuju pada keseimbangan pengetahuan sebagai bekal dalam perjalanan pulang.  Keseimbangan pengetahuanlah yang nantinya akan membawa diri kita untuk menemukan tangga langit agar dapat mencapai pintu rumah ("pintu langit") sebagai sarana diri untuk menemukan dan mengumpulkan bekal kehidupan.  Namun manakala diri tidak mampu menemukannya maka sering kali diri akan melakukan "tindakan sia-sia" (meskipun melakukan aktivitas sama) akibat dari ketidaktahuan yang dimilikinya.


Pintu Langit

Sang Pencipta menciptakan alam semesta ini dengan keseimbangan yang mutlak (dalam bentuk berpasang-pasangan).  Maka dalam gambaran umum dikatakan bahwa diciptakan alam semesta ini dalam dua perspektif yaitu mikro kosmos (kosmik) dan makro kosmos (kosmos).  Untuk memahami dua unsur ini diri kita perlu meninggalkan terlebih dahulu pemahaman yang sudah ada dan selama ini selalu menjadi pegangan diri kita.  Karena jika diri tidak melepaskan karena unsur keseimbangan tidak mungkin dapat menjadi pegangan dalam memahami berpasang-pasangan antara kosmik dan kosmos dalam memahami pintu langit.

Pintu langit bukanlah hal yang secara fisik yang berbentuk dan melewati sebuah benda agar dapat menembus dua dimensi.  Melainkan pintu langit adalah sebuah "materi"  yang merupakan bentuk dimensi konektivitas manusia sebagai wakil dan Sang pencipta selaku pemberi delegasi.  Karena ini merupakan bentuk pasang-pasangan antara penerima dan pemberi mandat tentang perjalanan kehidupan manusia di bumi ini.

Dikatakan pintu karena merupakan batas antara usaha diri sebagai manusia untuk "naik" dan tempat batas "campur tangan" Sang Pencipta.  Usaha naik yang dilakukan adalah sebagai tugas diri manusia dengan bahan bakar pengetahuan yang didasarkan atas prosedur yang sudah diberikan melalui tulisan yang sudah tertulis di dalamnya.  Tidak ada pembeda antara setiap person yang dilahirkan karena semua memiiki kemampuan untuk mencapai pintu tersebut.  Namun ketahuilah tidak semua akan mampu karena perjalanan naik itu sangatlah berat.

Dikatakan berat karena posisi pribadi diri manusia terdiri dari kuat dan lemah potensi yang ada dalam diri kita.  Kuat dan lemah ini tumbuh dari satu bibit yang ada dalam diri sehingga tergantung pribadi diri kita dalam mengelolanya dan memilih mana yang lebih dominan.  Disamping itu faktor eksternal diri juga sangat bermain dalam menyuburkan potensi diri yang dimiliki.  Ketahuilah bahwa diri yang tumbuh bersama hal yang kuat ini butuh pengorbanan dan penderitaan sedangkan hal yang lemah lebih mudah didapatkan karena disitu diri merasa menemukan bentuk kenyamanan dalam kehidupan di dunia ini.

 Kuat dan lemahnya potensi diri ini akan bermuara pada satu bentuk yang dinamakan dengan keyakinan (prinsip/keimanan) yang menjadi pegangan dalam kehidupan. Kuat dan lemahnya prinsip hidup yang dimiliki ini di dasarkan atas kepemilikan pengetahuan yang sesuai dengan Buku Panduan kehidupan manusia.  Jika diri memiliki keyakinan yang kuat atau prinsip hidup yang kuat namun tidak berdasarkan pada pemahaman yang benar (Buku Panduan) maka bukan termasuk pribadi yang kuat keyakinannya karena diri tidak pernah berjalan mendekati pintu langit.  

Diri yang gagal mendekati pintu langit ini adalah pribadi yang hidup bersanding dengan ego diri dan dianggap sebagai tuhan dalam kehidupan.  Pribadi yang demikian adalah diri yang gagal memanfaatkan kerja indra yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta.  Ciri utamanya adalah hati tidak pernah hadir dalam aktivitas sehari hari atau dengan kata lain diri gagal membangun "rumah" Tuhan di dalam jasad manusia.  Kegagalan ini tidak lain dikarenakan lalai  dan terlena dalam melihat tiga hal yang merupakan semesta fisik di alam semesta ini.  

Ketiga hal yang menjadi faktor diri gagal menggapai pintu langit adalah :

Pertama, Langit dianggap sebagai pelindung diri. Ketika diri berpegang pada pemahaman yang sekarang dimiikik mungkin hal ini benar memang langit adalah pelindung bumi dari jatuhnya benda benda langit.  Maka keberadaannya pun merupakan hal yang penting bagi kehidupan semua makhluk yang ada di muka bumi.  Pandangan ini sejalan dengan pandangan secara kosmos.

Namun dalam pandangan kosmik akan menunjukkan sebuah "perangkap kehidupan" yang menjadikan diri kita tidak ingin keluar dari batas-batas kehidupan yang umum.  Dalam pandangan kosmik bahwa langit adalah manifestasi dari perasaan (indra perasaan) yang dimiliki oleh setiap diri manusia dan makhluk lain.  Perasaan inilah yang menimbulkan insting pada diri kita agar dapat hidup dengan mengikuti keinginan alamiah untuk kelangsungan hidup diri kita. Dominasi dari langit atau perasaan ini menimbulkan rasa was-was dan kuatir yang menjadi pembatas diri dalam beraktivitas sehingga berupaya hidup untuk mencari obat pelipur atas rasa keluh kesah dan diri yang berputus asa.  

Kedua, Benda langit merupakan bunga kehidupan. Benda langit yang merupakan benda-beda tata surya yang  secara fisik menunjukkan keindahan dan dianggap memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia.  Maka keberadaannya merupakan sebuah hal yang penting dan sering menjadi rujukan "arah" untuk aktivitas kehidupan. Logika material (berpikir) adalah cara untuk menundukkan dan mampu menguasainya akan membawa prediksi yang benar tentang kenyamanan kehidupan. 

Dalam pandangan kosmik benda langit merupakan sebuah dominasi dari indra pikir dimana diri terjebak pada angka-angka yang diperhitungkan agar diri tidak mengalami kehidupan yang "rugi".  Namun bentuk rugi adalah ukuran kehidupan di dunia ini saja.  Kesibukan diri dalam memaksimalkan kerja pikir (indra pikir) menjadikan diri sibuk melakukan "memanipulasi cuaca" agar mampu selalu dapat mengumpulkan bahan bakar kehidupan (hal ini sudah diingatkan juga oleh Sang Pencipta).  

Ketiga, Terjebak dengan keindahan bumi.  Bumi dan segala isinya merupakan kehidupan bagi manusia maka tugas diri adalah menjaga agar tidak terjadi kerusakan.  Maka keberadaan dan kelestarian adalah tujuan utama diri dalam kehidupan di dunia ini.  Menikmati keindahan akan memunculkan rasa kepuasaan atau kebahagian yang sesaat dan ini adalah betnuk dari keinginan diri sebagai manusia secara kodrati karena diciptakan dari tanah.

Dalam pandangan kosmik bahwa bumi adalah merupakan sebuah bentuk perilaku dasar yang muncul dari sifat alamiah agar diri mampu memuaskan keinginan dan kebahagiaan dalam kehidupan ini.  Sifat memenuhi keinginan ini adalah sebagai kerja dari indra keinginan (nafsu) merupakan pondasi awal bahwa diri adalah sehat dan hidup.  Namun dominasi dari nafsu ini akan menjadikan diri terjebak pada sifat-sifat makhluk yang memiliki derajat yang terendah.  Memang tidak dipungkiri bahwa tujuan hidup adalah kepuasan dan kebahagian akan tetapi yang bersifat hakiki bukan yang bersifat kefanaan.  

Banyaknya diri yang gagal dalam mencapai pintu langit akibat dari keliru atau belum lengkapnya diri dalam baca atas pengetahuan yang seharusnya menjadi pegangan dalam kehidupan ini.  Sifat keliru berbeda dengan salah karena keliru muncul dari ketidak tahuan diri kita akibat keterbatasan atau kemalasan diri dalam baca.  Maka berhentilah baca tulisan ini dan renungkanlah karena ini langkah awal untuk mencapai pintu langit.


Terima kasih,
Magelang, 28/11/2023
Salam
KAS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah