Diri: SUWONG

SUWONG
Diri merasa gelisah... Ketika tak disapa teman dan sahabat... Bagaikan terbuang dan bagaikan sampah... Yang mungkin sudah tidak ada nilainya lagi
Diri merasa resah... Ketika ini terjadi pada kehidupan.... Bagaikan hidup sudah tak bermanfaat... Yang mungkin sudah tidak memiliki harga di depan manusia lain
Diri merasa risau... Ketika ini harus menimpa dan menjalani.... Bagaikan rasa yang hambar tanpa pemanis kehidupan.... Yang mungkin akan menjadikan diri menjadi manusia yang berputus asa...
Oooiii... Janganlah kuatir dan gundah dengan kondisi ini... Memang ini yang harus diri lalui... untuk mencari makna hidup sebagai manusia..
Kesendirian dalam perjalanan adalah awal dari perjalananmu... Rasa sepi dan sendiri haruslah dilewati... untuk menuju "suwong... Yang merupakan proses diri menemukan kesadaran
Jangalah berputus asa...  Berpikirlah... Karena suwong akan menemukan rasa hampa dari kesadaran diri yang  ada sekarang.. Karena suwongmu akan diisi dengan titah Sang Pencipta
Titah sang Pencipta akan muncul jika diri sudah melewati perjalanan ini... Yang akan menggantikan kesadaran diri menjadi kesadaran hakiki... Dan akan menuntun diri mencari bekal dan menyampaikan...  Hakekat pengetahuan yang Sejati
KAS, 5/10/2021


Cerita burung merak akan mengawali pembahasan mengenai masalah suwong.  Kita semua mengenal sebuah burung yang sangat terkenal di Dunia ini karena keindahan bulunya ketika burung itu memiliki insting tertentu.  Keindahan inilah sebagai anugerah Sang Pencipta kepada merak sebagai bentuk "nilai" pembeda dengan makhluk lain.  Namun kesadaran si burung merak dengan keindahan bulu nya tidak menjadikan dirinya menjadi sombong malah sering mencabut bulu indahnya untuk tujuan tertentu.  Keindahan bulu yang tercabut menjadikan keunikannya hilang dan bukan menjadikan dirinya murung karena memang dirinya mencabut bulunya untuk tujuan tertentu yaitu selamat dalam kehidupannya.

Demikian juga dengan diri kita sebagai manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna bila dibanding kan dengan lainnya.  Namun tingkah laku kita tidak pernah seperti burung merak yang ibaratnya menghilangkan "nilai" tertingginya untuk mencapai tujuan tertentu.  Mengapa demikian? karena banyak dikatakan bahwa diri kita hidup di dunia ini terlalu terlena dengan "nilai" akibat diri tidak pernah mau berpikir.  Hal ini dapat di buktikan dalam kehidupan sehari hari bahwa perjuangan hidup kita adalah selalu untuk mempertahankan "nilai" diri baik benar atau salah akan tetapi tidak pernah memikirkan "cost/hakekat" diri yang sesungguhnya agar hidup tidak salah dalam mencari bekal.

Kehidupan diri yang demikian selalu mengejar agar diri selalu dipandang dan dikagumi dengan "nilai" yang kita miliki.  Ketika ini terjadi maka diri semakin terjajah dengan ego diri yang selalu ingin mendapatkan nilai dimata  manusia.  Hal ini berdampak kehidupan diri bukan untuk "ibadah" akan tetapi hidup hanya untuk mendapatkan tambahan "nilai" sehingga berdampak pada motivasi yang keliru dengan apa yang  diri lakukan karena  tidak memiliki kesadaran untuk mencari hakekat "nilai" yang sesungguhnya.  Hakekat nilai sesungguhnya inilah yang seharusnya dicari untuk keselamatan kehidupan dan bekal hidup di perjalanan.

Kehidupan diri yang demikian memang sudah hal yang wajar dilakukan sehingga hidup selalu dikelilingi dengan kesibukan dan keramaian hingar bingarnya dunia.  Ketika ini terjadi maka tujuan dari kehidupan diri hanyalah tujuan duniawi/materi.  Memang ini bukan hal yang salah ketika diri selalu berargumen hidup butuh materi namun ketika materi memenjara diri dan menjadi tujuan untuk kehidupan adalah sesuatu yang keliru.  Namun apa daya pemahaman dan pengetahuan selama ini yang kita miliki adalah demikian karena pembelajaran yang selama ini diterima adalah ilmu yang demikian.  Dan bahkan ketika ini dihubungkan dengan "ayat Sang Pencipta" maka itu hanya digunakan sebagai stempel pembenaran.  Dan realita seperti ini sudah banyak terjadi dan menjadi hal yang umum ada di kehidupan diri kita.

Realitas Suwong

Fenomena tentang kondisi tersebut diatas merupakan hal yang wajar terjadi pada diri kita manakala diri tidak pernah menemukan makna dan hakekat bangunan diri.  Orientasi diri yang selalu terukur dengan ukuran materialitas atau fisik yang selama ini menjadi standar hidup ternyata menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari.  Mungkin hal ini benar di mata orang awan dengan standar hidup yang demikian dan manakala diri tidak pernah mau mencermati dampak dari kondisi "suwong" ternyata membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah diantara sesama manusia.

Betapa buruknya kehidupan diri kita sekarang ini akibat ketidaktahuan dan tidak pernah ingin mencari tahu tentang makna dari setiap kejadian yang terjadi. Jauhnya diri dari Buku Panduan hidup manusia dan malasnya diri untuk baca dan belajar menjadikan hidup laksana buih yang tak pernah tahu tujuan yang akan ditujunya.  Ingin muncul dan bertahan di tengah arus kehidupan menjadikan diri memiliki perilaku yang tak jauh berbeda dengan hewan buas bahkan mungkin lebih buruk lagi.

Kondisi perilaku diri yang jauh dari harapan atas diciptakannya manusia menjadi khalifatul fil ardh.  Terkekang oleh kondisi "jahiliyah" (bukan posisi bodoh) namun perilaku diri yang suwong tadi pantas untuk dikategorikan dalam fase tersebut.  Dengan kata lain diri sebetulnya termasuk orang yang berilmu namun karena tidak mengetahui hakekat ilmu yang baik dan merasa bahwa kepemilikan ilmu yang dimiliki adalah segalanya maka menjadikan diri seperti manusia yang berselimut.

Ketidaksadaran diri menjadi pribadi manusia yang berselimut menjadikan diri tidak pernah menemukan hakekat diri yang sesungguhnya.  Hati yang sebetulnya tidak perlu selimut agar dapat bekerja sebagai motor dari indra yang dimiliki (perasaan-pikir-keinginan) tidak dapat bekerja..  Sehingga diri berperilaku tidak dengan hati tetapi mengandalkan tiga indra tersebut bekerja sendiri bahkan dominasi indra yang terkuat akan menjadi motivasi dalam perilaku diri manusia setiap hari.  Kondisi manusia yang tidak mampu memperkerjakan hati sebagai motor dari tiga indra inilah menjadikan diri sebagai pribadi yang suwung.

Pribadi yang suwung dapat dikatakan diri kita sebagai manusia yang sedang sakit.  Dan sebetulnya manakala diri mau mengakuinya dalam kehidupan sekarang ini banyak yang "sakit" akibat dari perilaku yang tidak didasarkan atas kerja hati yang dimiliki.  Padahal ketika hati itu tidak hadir atau kotor maka otomatis kehidupan diri tidak selaras dengan hakekat diciptakannya sebagai manusia oleh Allah SWT.  Kondisi inilah sebetulnya tidak pernah sempurna menjadi manusia karena lalai dalam menggunakan hati sebagai motor kerja dalam kehidupan diri.

Memperkejakan Hati

Diri kita hidup di dunia ini dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna manakala mampu memperkerjakan hati secara optimal yaitu sebagai penggerak atas kerja indra yang lain.  Kerja hati sebagai penyeimbangan dan keseimbangan dalam pengambilan keputusan untuk bertindak antara rasa-logika-keinginan dan mengakibatkan perilaku yang lurus dalam kehidupan.  Kehidupan yang lurus inilah hakekat dari keseimbangan diri karena apapun yang dilakukan adalah dimulai dari kerja hati.  

Bukanlah hal asing sebetulnya jika diri mau membuka dan belajar dari sejarah nabi yang dimulai dari tugas pertama adalah baca dan dilanjutkan untuk membuka selimut.  Dua rentetan yang memiliki masa tenggang agar diri tidak memaksakan harus memahami akan bacaan yang dibaca namun dibutuhkan sebuah masa untuk merenung agar diri mampu memiliki kesadaran untuk berubah dengan membuka selimut yang dibawa sejak diri dilahirkan.    

Tugas baca yang bukan hanya sekedar membaca namun perlu dilakukan karena merupakan kewajiban bagi setiap diri manusia.  Karena dengan membaca ini diri akan mengenal prosedur dan standarisasi kehidupan yang seharusnya ditempuh dan dijalani dalam kehidupan di dunia ini.  Ketika diri malas membaca atau membaca namun tidak mau untuk mengetahui (bukan untuk memahami) maka yang diperoleh hanyalah sekedar rasa dan kepurasan sesaat bukan pengetahuan.  Padahal fenomena seperti ini biasa dan hal umum yang diri lakukan sekarang ini membaca seperti perlombaan mengejar kuantitas bukan kualitas bacaan. Sehingga tugas baca sekedar baca tanpa memahami langkah selanjutnya agar bacaan mampu masuk dalam diri manusia.

Diri kita akan mampu memperkerjakan hati manakala dapat dan memiliki kemauaan untuk melakukan tugas baca dengan baik dan secara "tartila".  Ketika tugas baca dapat dilakukan seperti itu maka satu persatu selimut hati yang selama ini menyelimuti kondisi diri kita sebagai manusia mampu terbuka.  Proses pembukaan selimut hati tersebut tidak seperti yang dibenak manusia tetapi sebuah proses yang panjang karena bagian dari membangun diri menjadi manusia yang sesungguhnya.  Menemukan hati yang bersih akan menjadikan diri terupgrade kapasitas diri sehingga menjadi pribadi yang tekun/sabar dan tidak pernah berkeluh kesah ataupun mudah berputus asa.

Ciri diri kita sebagai manusia yang mampu memperkerjakan hati sebagai motor dalam kehidupannya adalah diri yang merasa yakin bahwa dalam setiap aspek kehidupannya selalu ada camput tangan Allah SWT.  Karena adanya campur tanganNYA maka diri tidak pernah merasa kekurangan, ketakutan, bahkan kekahawatiran tentang perjalanan kehidupan yang dijalani di dunia ini. Hal ini mengakibatkan diri merasa nyaman dan tenang dalam menjalani segala perubahan kondisi yang menyertai dalam perjalanan di kehidupan di dunia ini  

Menemukan Penghuni Diri

Memang bukan hal yang mudah dalam memaknai dan menemukan penghuni dalam diri agar diri tidak termasuk manusia yang suwung.  Ibarat sebagai sebuah bangunan yang mungkin megah namun tidak ada penghuni tetapnya maka akan dihuni oleh makhluk dalam dimensi lain yang datang.  Penghuni tetap adalah diri yang sudah menemukan keseimbangan sebagai manusia yang hidup dengan dua bangunan yang kuat yaitu bangunan fisik dan bangunan ruhani.  Perjalanan diri dalam menemukan penghuni tetap ini adalah dengan kunci hati yang bersih dan menemukan konektivitas diri dengan Sang Pencipta.

Pencarian penghuni tetap ini merupakan proses pembentukan jati diri sebagai manusia yang sempurna. Hati yang bersih akan menggerakkan kerja indra (pikiran-perasaan-keinginan) yang menimbulkan keseimbangan dalam perilaku dan perbuatan yang membuat apa yang dikerjakan adalah membawa unsur kebaikan. Dan Hati yang bersih inilah yang merupakan sistem kontrol diri dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan sinyal positif atau negatif tentang hal-hal yang ditemui atau akan dilakukannya.  Sebuah sistem pengendalian diri yang komplit telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada diri kita sebagai manusia namun tidak banyak yang menyadarinya.  Sindiran yang pedas dan tertulis dalam buku "apakah diri tidak berpikir atau apakah diri tidak menyadarinya".

Meminjam istilah manunggaling gusti marang kawula yang mungkin dikatakan agak kontroversi namun frase kata tersebut sebagai gambaran yang mudah agar diri dapat menjelaskan posisi konektivitas diri.  Karena bentuk kerja diri sebagai manusia yang mendapatkan koneksi dengan Sang Pencipta adalah implementasi kerja yang sebetulnya dalam kehidupan di dunia ini.  Hal ini mengakibatkan segala perbuatan yang kita lakukan adalah sebuah kebenaran dan kebaikan karena semua adalah "urusan" tentang bentuk dan tata cara kehidupan yang sesuai dengan standar hidup sebagai manusia yang sesungguhnya.

Bukan popularitas dan materi yang ingin di dapatkan dalam setiap aktivitas kehidupan namun tanggung jawab dari tugas sebagai manusia dalam menjalani hidup di dunia ini.  Karena ukuran keberhasilan  hidup sesungguhnya bukan diukur dengan popularitas ataupun kepemilikan materi yang dimiliki.  Keberhasilan diri di kehidupan di dunia ini adalah diri kita sebagai manusia yang mampu menjalani kehidupan dengan tenang dan diakhiri dengan menuju kubur dengan kedamaian atau ketenangan.

Memang bukan hal mudah diterima oleh diri dan masyarakat umum dengan pemahaman ini.  Namun posisi inilah yang menjadi tugas diri agar mampu menjalankan amanat sebagai pemimpin di kehidupan di dunia ini.  Pemahaman umum yang berkembang mungkin menjadi pegangan dalam kehidupan diri namun hakekatnya adalah sebuah selimut hati yang menjadikan sebuah kekhawatiran ataupun keraguan dalam melaksanakan aktivitas kerja diri kita sebagai manusia. Pemahaman yang berbeda dengan pengetahuan yang berkembang di masyarakat umum harus menjadi "kalam" dan bahan perenungan untuk diri agar diri mampu memahami tentang makna dari "suwung" itu sendiri agar diri tidak dalam kondisi suwung.

Dari Suwung menuju Suwung

Sebelum diri mampu menemukan ilmu yang benar dan terbukti dalam Buku Panduan hidup sebagai manusia maka segala bentuk pemahaman adalah hanya sebuah "kata orang".  Mungkin orang orang yang selama ini dianggap benar dan dihormati juga mendapatkan pemahaman dari persepsi dan gambaran orang lain.  Maka tugas diri sebagai manusia yang berakal harus membuktikan kebenaran pemahaman yang sudah berkembang tersebut.  Bukankah diri diciptakan oleh Allah SWT sebagai manusia yang berakal bukan sebagai pribadi yang meniru dan tak berpikir?

Betapa beratnya sebetulnya tugas diri dalam kehidupan diri di dunia ini namun setiap makhluk diciptakan dan diberi tugas sesuai dengan kapasitasnya. Betapa bijaknya Allah SWT dalam membagi rahman dan rahiimNYA kepada makhluk ciptaanNYA. 

Suwung yang pertama adalah kondisi diri hidup yang tidak pernah menyadari tugasnya sehingga diri malah untuk baca dan menggali pemahaman tentang ilmu hidup.  Hal ini mengakibatkan diri menjadi jauh dari jalan lurus dalam kehidupan ini.  Karena semua aktivitas bukan untuk implementasi tugas diri sebagai manusia.  Maka hidup diri hanya seperti terseret arus yang dijalani dengan penuh kewaspadaan dan kekhawatiran sehingga selalu hidup dengan keluh kesah dan keputusasaan.

Dengan melakukan tugas baca akan mampu membuka selimut diri (hati) dan menjadikan diri polos dari segala pakaian dunia (ambisi dan hasrat untuk berkuasa).  Tugas baca jika dilakukkan dengan baik akan menemukan makna yang berbeda mengenai kata suwung itu sendiri. Karena akan ditunjukkan bahwa suwung adalah sebuah posisi diri dimana diri sebagai manusia menemukan kekosongan dari ambisi dan hasrat lain sehingga menemukan sebuah pengendalian diri yang sempurna.  

Munculnya pengendalian diri yang sempurna ini buah dari kerja "baca" yang secara kontinyu dilakukan sehingga memperbesar kapasitas diri sebagai manusia sehingga dalam hidup muncul kesadaran sejati akan posisi diri diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.  Karena sebagai diri yang memiliki kesempurnaan inilah akan mampu menjalankan amanat dengan sebaik-baiknya sehingga dalam melakukan aktivitasnya selalu berhubungan dengan tugas yang diembannya.

Suwung nya diri dari nilai-nilai ketuhanan berubah menjadi suwungnya diri dari nilai-nilai kemanusiaan. Posisi suwung inilah yang merupakan derajat tertinggi diri sebagai manusia karena jauh dari kemakhlukan akibat diri menjalankan amanat dan tugas dari Sang Pencipta. 


Magelang, 14/9/2023
Salam KAS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah