DIRI DALAM CENGKRAMAN KETIDAKSADARAN (4)

Jika diri diumpamakan sebagai bangunan... Maka kondisi fondasi bukanlah pondasi yang benar... Karena ketidakpahaman dalam membangun... Bukan kuatnya pondasi yang dibuat namun hanya sekedar terlihat besarnya pondasi yang dimiliki..
Jika diri tidak mampu membangun pondasi yang kuat... maka goncangan akan mudah meruntuhkan perjalanannya... Dan tidak mungkin akan menjadi mercu suar di kehidupan... Karena rapuhnya iman yang kita miliki..
Kesesatan akibat kemalasan diri... Kebodohan akibat dari tidak mau menerima dan membaca... Hanya pemujaan ego diri untuk memuaskan hasrat dan nafsunya... Agar diri dianggap sebagai penguasa dan pemberi kuasa atas kehidupan manusia..
KAS, 30/4/2021

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel yang telah diri uploaud terlebih dahulu  yang bercerita tentang cengkeraman kesombongan diri dalam hal kesadaran posisi diri kita ditengah masyarakat ini, diri dalam kesombongan budaya dan diri dalam cengkeraman ketidaksadaran pembangunan. Untuk mengingat permasalahan hidup kita terdapat lima  kondisi yang diangkat sebagai pengingat diri agar menjadi bahan introspeksi agar hidup kita menjadi hidup yang baik.   Kelima kondisi ini adalah:  1) Kesombongan  dan kesadaran posisi diri; 2). Memandang Rendah orang lain dan Kesombongan budaya; 3). Kerusakan alam dan perlombaan pembangunan; 4). Lupa akan kodrat manusia; dan 5).  Fitnah dan Ancaman.

Artikel ini akan membahas mengenai kondisi diri kita yang diciptakan oleh Sang Pencipta sebagai mahkluk yang paling sempurna namun lupa akan kodratnya.  Kelupaan akan kodrat ini akan berdampak pada kesesatan dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang musafir pengemban amanah yang berat dipundaknya.  Ketidaksadaran inilah yang akan berujung pada jatuhnya posisi diri manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain.

Tulisan ini dimulai dengan sebuah cerita tentang kesombongan seekor lalat yang menunjukkan kepada dirinya bahwa diri si lalat adalah hewan yang tinggi derajatnya karena memiliki fungsi yang lebih dibandingkan dengan lainnya di lingkungannya (tumpukan sampah).  Si lalat selalu merasa sebagai hewan yang bisa berpindah dengan cepat karena memiliki sayap yang bisa terbang dan hinggap dimanapun tanpa susah payah dibandingkan dengan yang lain.  Suatu ketika lalat hinggap pada tumpukan sampah yang berisi kotoran yang sangat bercampur dengan bangkai binatang dan kencing anjing yang mengais sampah disitu.  

Tanpa disadari ketika dirinya hinggap di tumpukan sampah itu ternyata lingkungan itu terseret banjir dan hanyut di sungai menuju lautan yang luas.  Lingkungan yang terbatas ini dan merasa memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk lain penghuni lainnya maka dirinya merasa sebagai pemimpin di tumpukan sampah yang hanyut itu.  Karena merasa sebagai hewan yang memiliki kelebihan maka kesombongan dirinya muncul dan merasa sebagai penguasa atas kapal sampah ditengah arus sungai yang menuju ke laut. 

Namun ketidaksadaran dirinya akibat kesombongan ini sebetulnya merupakan awal dirinya menderita karena perjalanan di atas air yang tidak bertepi.  Perjalanan yang berbahaya ini tidak dirinya sadari betapa bahayanya sebetulnya perjalanan dirinya.  Ketika diri lalat tidak memiliki kesadaran tentang kondisi yang dialaminya bisa jadi dirinya akan terombang-ambing dalam kesesatan perjalanan yang tidak akan pernah menemukan tujuan perjalanan kehidupan.  Bahkan alam pun tidak bisa menjadi kawan malah menjadi lawan yang menyiksa kehidupan dirinya.

Cerita tersebut ketika kita maknai dan digunakan sebagai pelajaran bagi diri maka akan memunculkan sebuah kata kunci yaitu "arogansi diri dalam kesombongan".  Arogansi ini menyebabkan kesombongan diri sebagai manusia yang membabi buta merasa sebagai penguasa bumi dan seisinya.  Arogansi ini menyebabkan diri menjadi buta jiwa karena terkekang dalam ambisi dan nafsu (baca:hilangnya nurani dan naluri) dan kesalahan arah perjalanan sehingga tidak menemukan hakekat dirinya.

Padahal jika kita sadar ketika kondisi ini terjadi maka akan mengakibatkan kehidupan manusia seperti dalam menjalani kehidupan di alam fantasi mimpi untuk kenikmatan yang semu yaitu mengumbar nafsu. Hal ini diakibatkan arogansi dan kesombongan yang memenjara diri kita.  Ketika diri dalam kondisi seperti ini sebetulnya kapasitas diri kita mengecil yang disebabkan oleh pemahaman akan pengetahuan yang sedikit dan sulit untuk menerima pengetahuan yang baru yang membawa kepada peningkatan kapasitas diri sebagai manusia yang sempurna.  Ketidaksadaran ini yang menyebabkan arogansi diri dan menyebabkan kesombongan menjadi pakaian manusia bermuara pada diri yang lupa pada kodratnya.

Arogansi dan kesombongan diri yang berlebih ini akan menyebabkan manusia lupa hakekat dirinya sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya.  Padahal diri dalam kehidupan ini memiliki tiga peran yang harus selalu dijalankan secara seimbang dalam kehidupan di dunia ini.  Ketika keseimbangan ini tidak muncul yang diakibatkan oleh kesombongan maka peran dari diri kita sebagai manusia dimuka bumi ini tidak akan berjalan dan akan berdampak pada kondisi diri yang dilempar menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya.

Kemudian apa sebetulnya peran diri sesungguhnya di muka bumi ini yang menghasilkan output yang berhubungan dengan kodrat dan iradat diri yang berhubungan dengan penciptaan diri kita.  Peran diri ini disebabkan diri kita sebagai subyek yang berarti diri berperan sebagai hamba atau abdi atau sebagai wakil untuk menemukan hakekat kodrat dan iradat dirinya.  Untuk jelasnya masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

Manusia sebagai hamba dari Sang Pencipta

Tugas utama dari diri manusia sebagai hamba adalah diri tidak "menyekutukan" sang Pencipta.  Tidak menyekutukan ini sudah menjadi warning bagi manusia dan banyak disebut dalam buku Panduan.  Ketika diri tidak paham dengan kondisi dan pengetahuan tentang ilmu yang mengatur tentang posisi dan tugas sebagai hamba maka segala aktivitas yang dilakukan di dunia ini akan mengarahkan diri menjadi tuhan bagi orang lain atau alam seisinya.

Realita sekarang ini banyak diri kita sering mendengar kata bahwa manusia sebagai hamba dari sang pencipta dan bahkan paham maksud dari kata kata tersebut.  Namun kondisi diri ternyata jauh berbeda dari hakekat manusia yang sesungguhnya.  Diri tidak bisa menunjukkan maksud tersebut dan jika diri ditanya tentang hal tersebut selalu berkata sudah memahami dan menjalankan fungsi sebagai hamba. Hal ini berdampak ketika diri mengaku sebagai hamba ternyata dalam akitivitas yang dilakukan bukan untuk sang Pencipta namun memiliki tujuan lain yang mengaburkan makna niat ibadah untuk sang Pencipta.  

Ketidaktahuan makna yang sesungguhnya ini karena diri sudah terbiasa dengan pemikiran yang selama ini sudah menjadi penjara dalam mindset pikir kita menyebabkan diri tidak dapat berpikir hakekat makna itu.  Penjara mindset ini diakibatkan diri sudah puas dengan ilmu yang selama ini kita miliki yang berakibat memaknai hakekat sebagai hamba sekedar ukuran jasmaniah saja tanpa ada nilai yang lebih dari unsur yang bersifat material.  Maka ketika diri melakukan tugas sebagai hamba ini hanya sekedar ritualitas material tanpa ada unsur nilai religuitas yang tercermin dari ibadah dan fungsi manusia sebagai hamba.

Ketidaktahuan ini diakibatkan dari faktor internal diri (keimanan) yang kurang dalam pemahaman ilmu yang ada dan faktor internal yang mendorong manusia untuk selalu mementingkan ego diri agar terlihat di mata orang lain.  Ketidak pahaman ini dikarenakan diri malas untuk lebih "membaca" buku Panduan dan sudah bangga dengan "pemahaman" yang umum yang kurang benar namun dianggap benar.  Sebuah kerugian yang besar jika diri bertindak seperti ini karena ujung-ujungnya adalah diri akan bertindak tidak sesuai dengan kodrat dan iradat sebagai manusia.

Manusia sebagai Pengganti dari Sang Pencipta

Tugas manusia yang kedua dengan diciptakan diri di muka bumi ini adalah sebagai pengganti dari Sang Pencipta untuk mengelola dunia dan seisinya.  Ketika diri ditugaskan sebagai pengelola bumi dan seisinya maka diri harus siap dengan kemampuan karena tugas ini bukanlah tugas yang mudah.  Karena semuanya akan dipertanggungjawabkan kelak di kemudian hari.  Alangkah malang nasib diri jika diri tidak mampu mempertanggungjawabkan secara benar akan tugas yang berhubungan dengan pengganti sang Pencipta ini.

 Ketidaktahuan akan peran ini bukannya diri tidak tahu akan arti dari pengganti dari Sang Pencipta.  Namun diri tidak mau belajar sehingga tidak mau memahami makna sesungguhnya dari tugas ini.  Kemungkinan yang terjadi karena diri sudah merasa nyaman dengan pemahaman dan pengetahuan yang ada dan berdampak pada diri merasa sudah menjalankan peran sebagai penggantiNYA. Dan ketidaktahuan dan kenyamanan yang terjadi mengakibatkan diri bukan memelihara dunia dan isinya malah diri kembali ke kodrat asli manusia saling menumpahkan darah dan saling memuja ego diri sebagai penguasa bagi manusia lain dan alam ini.  Banyak cerita yang ada dan diulang di buku Panduan tentang hal ini dan sudah di pastikan bahwa diri kita dengan kata kata"apakah diri tidak berpikir?".

Sentilan dari sang Pencipta yang ada dalam buku Panduan bukannya diri tidak pernah "membaca" namun karena ketidak mampuan diri memaknai karena malas "membaca" mengakibatkan diri sudah puas dengan ilmu yang ada sekarang ini.  Alangkah ini sebuah kerugian yang sangat besar bagi diri kita jika kita tidak paham dengan makna ini.  Maka kesadaran diri dituntut karena apa yang kita emban dengan tugas sebagai penggantiNYA akan diminta pertanggungjawabannya juga.

Banyak cerita yang ada di dalam buku ketika diri lupa dengan kodratnya malah berperan sebagai tuhan yang sesungguhnya dan semua diakhiri dengan cerita yang tragis (seperti cerita kaum Ad dan cerita fir'aun).  Kesemuanya itu dimusnahkan oleh kemarahan alam yang karena ditugaskan oleh Sang Pencipta untuk memberikan pelajaran bagi generasi penggantinya.

Manusia dalam dirinya

Tugas manusia dalam dirinya adalah tugas utamanya sebelum diri menjalankan tugas sebagai hamba dan sebagai pengganti sang Pencipta.  Untuk menjalankan tugas ini bukan hal yang mudah namun dianggap diri mampu untuk menjalankannnya.  Agar diri mampu untuk menjalankannya maka di beri perlengkapan diri manusia yang berupa akal (baca :diri menemukan akal).

Ketidaktahuan diri dalam tugasnya ini karena diri sudah merasa cukup dengan ilmu yang ada dalam memahami akal.  Hal ini berdampak bahwa memahami diri sebagai manusia tidak ubahnya memahami diri dengan organ yang sama yang dimiliki oleh binatang.  Padahal Sang Pencipta sudah menakdirkan diri manusia dengan derajat yang setinggi tingginya bahkan diatas dari para malaikat dan setan.  Sebuah kerugian yang sangat ketika diri tidak paham akan hal ini.

Maka sebagai akibatnya banyak terjadi penyimpangan dalam kehidupan di dunia ini.  Manusia berperan lebih kejam dan ganas dibandingkan dengan para mahkluk lain.  Bahkan diri melupakan kodrat manusia hanya untuk mengumbar keingingan agar mendapatkan kepuasan dan kebahagian yang semu.

Cerita cerita banyak yang diungkapkan dengan kemarahan sang Pencipta atas perilaku diri manusia yang tidak mampu mengenal dan memanfaatkan potensi dirinya.  

Perbuatan atau tindakan dan ucapan adalah saksi kehidupan.. Lihatlah keduanya... Maka jangan kau paksa dia jadi kuat jika tidak seirama... Dan Orang yang beruntung adalah diri yang mampu membuat harmoni kehidupan dari keduanya....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah