DIRI DALAM CENGKRAMAN KETIDAKSADARAN: PEMBANGUNAN (3)

Membangun adalah tujuan manusia dalam berkehidupan
Membangun adalah sarana manusia untuk mencapai peradaban dan kebahagian
Membangun bukanlah kegiatan yang merusak 
Namun sekarang membangun adalah sarana untuk menunjukkan kesombongan diri....

Hai diri... bumi ini bukanlah tempat pelampiasan nafsu dan ego
Namun bumi adalah sarana perjalanan kehidupan diri
Janganlah menjadi diri yang penuh ambisi.. karena diri tidak akan mendapat apa apa
Janganlah berlari seperti mereka yang hidup dengan ambisius yang mengejar ambisi  Maka pelankanlah langkah dan nikmati hidup ini

Ingatlah... Orang ambisius sama seperti orang yang tamak dan serakah
Mereka adalah orang-orang yang buta dan tuli
Tidak memiliki alasan pembenaran hidup atas tingkah lakunya di dunia ini
Dan mereka adalah orang yang salah arah dalam kehidupan yang semu ini
(KAS, Diri Dalam Peradaban, 1/4//2021)

Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel yang telah diri uploaud terlebih dahulu  yang bercerita tentang cengkeraman kesombongan diri dalam hal kesadaran posisi diri kita ditengah masyarakat ini  dan diri dalam kesombongan budaya. Untuk mengingat permasalahan hidup kita terdapat lima  kondisi yang diangkat sebagai pengingat diri agar menjadi bahan introspeksi agar hidup kita menjadi hidup yang baik.   Kelima kondisi ini adalah:  1) Kesombongan  dan kesadaran posisi diri; 2). Memandang Rendah orang lain dan Kesombongan budaya; 3). Kerusakan alam dan perlombaan pembangunan; 4). Lupa akan kodrat manusia; dan 5).  Fitnah dan Ancaman

Dalam kehidupan sekarang ini banyak diri yang tidak paham akan makna dari kata membangun.  Pemahaman yang sering kali menjadi difinisi umum adalah yang dinamakan pembangunan adalah seperti membangun sebuah bangunan dari nol sampai bangunan itu menjadi sempurna.  Hal ini berakibat kiblat diri hanya pada pandangan material/fisik.  Dan ketika hal ini terus terjadi maka bukanlah keharmonisan manusia dengan alam semesta tapi malah menjadikan diri sebagai manusia yang membuat kerusakan alam raya ini dan ini sesusai dengan apa yang dikuatirkan para malaikat.  

Kegemaran dan kesenangan diri manusia ini dikarenakan adanya obsesi untuk membangun peradaban yang didasarkan atas ambisi diri yang sesuai dengan nalurinya.  Ketika hal ini terjadi maka mengakibatkan keseimbangan hilang dan menjadikan ego diri manusia meningkat yang menyebabkan apapun yang menghalangi akan di singkirkannya.  Ketika ego ini menguasai maka ibarat diri manusia berlari dengan kencang dalam perjalanan kehidupannya tanpa bisa menikmati apa yang seharusnya mereka nikmati.

Pembangunan yang berlebihan ini sudah banyak diingatkan dalam cerita-cerita yang ada dalam buku Panduan.  Kemegahan bangunan yang dibangun oleh manusia yang lupa dengan keseimbangan di telan dengan murkanya Sang Pencipta melalui geraknya bumi dan alam raya ini dan menjadi lenyaplah seluruh peradaban yang mereka banggakan beserta manusia yang hidup untuk digantikan dengan generasi yang baru. Dan bukti-bukti kemegahan bangunan yang ada sekarang ini sering ditemukan oleh manusia sekarang dengan ditemukannya bukti-bukti peninggalan peradaban manusia yang dimurkai oleh Sang Pencipta.

Namun alangkah dan sangat di sayangkan ketika diri kita menemukan sisa-sisa bangunan peradaban masa lalu itu bukan sebagai bahan perenungan atas kesalahan manusia dimasa lalu.  Mengapa jarang diri kita sampai berpikir sampai sejauh ini? dan penemuan yang seperti ini dianggap sebagai sebuah kesombongan atas pencapaian para nenek moyang mereka.    Padahal jika kita banyak berpikir sebaliknya seperti masalah ini akan menemukan pembelajaran yang dalam yang bisa menjadi pelajaran diri untuk kehidupan di dunia ini.

Ketika diri dapat mengambil hikmah dari kesalahan manusia dulu dalam memahami tugas manusia dalam membangun maka harusnya dapat mengartikan hakekat sesungguhnya tentang makna dari pembangunan.  Membangun adalah sebagai sebuah keseimbangan yang harus dijalani oleh manusia dari aspek jasmani dan ruhani. Dan memaknai  kata membangun ini juga harus di dasarkan pada tujuan manusia diciptakan serta pada apa yang menyebabkan manusia harus melakukan "membangun" di muka bumi ini.

Kehidupan manusia di dunia ini adalah dengan tujuan untuk membangun alam semesta ini.  Jika kita berpijak pada pemahaman ini  yang sesuai dengan buku Panduan maka makna dan hakekat  membangun adalah 1) membayar kesalahan; 2) mendirikan/membina/memperbaiki; 3) bangkit/naik.  Untuk lebih jelasnya tentang tujuan manusia dalam berkehidupan di dunia ini dari manusia pertama (Adam AS) sampai manusia terakhir besuk maka akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Makna membangun dalam perspektif membayar kesalahan

Memaknai maksud bahwa membangun adalah membayar kesalahan maka diri kita harus kembali melihat asul usul manusia diturunkan di muka bumi.  Turunnya manusia di muka bumi ini akibat Adam dan Hawa melakukan sebuah kesalahan serta pelanggaran janji terhadap Sang Pencipta agar tidak mendekati pohon keabadian (khuldi).  Dan itu merupakan satu satunya syarat yang harus dipenuhi selama hidup di rumah Sang Pencipta

Namun karena jebakan dan bujuk rayu dari musuh utama manusia bahwa buah pohon khuldi itu akan membawa diri Adam dan Hawaa akan mencapai titik keabadian kehidupan sebagai manusia di surga.  Dengan rayuan ini maka mereka terbujuk dan mengambilnya untuk dimakannya.  Bukan keabadian yang diterima melainkan sebuah teguran atas kesalahan atas perbuatan mereka.  Akibatnya Adam dan Hawaa diturunkan dari surga dan hidup di muka bumi ini.  Dan disinilah awal mulanya manusia harus memulai kehidupannya dengan melakukan membangun diri sendiri dan bumi sebagai bentuk membayar kesalahan.

Membayar kesalahan ini berarti bagaikan sebuah pengasingan diri atau hukuman bagi manusia atas kesalahan janji yang dilakukan.  Hukuman dan pengasingan diri sebagai sarana untuk intropeksi dan penguatan diri manusia yang harus selalu memperkuat prinsip hidup agar tidak mudah goyah karena banyaknya godaan/rayuan.  Maka kehidupan di dunia ini akan terasa berat bagi orang yang lemah prinsip hidupnya dan merasa menyenangkan bagi orang yang prinsip hidupnya bertentangan (karena menganggap hidup adalah untuk dirinya dan hanya sekedar pada kehidupan ini mereka hidup).  Namun bagi manusia yang teguh dalam prinsip kehidupannya akan merasa hidup ini adalah sebuah sarana diri dan pembelajaran untuk persiapan kembali ke rumah Sang Pencipta.

2. Makna membangun dalam perspektif mendirikan/membina/memperbaiki

Ketika makna membangun sebagai sebuah sarana membayar kesalahan dijalankan dan  rasa keikhlasan ini tidak muncul akan berdampak diri dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan ketidak seimbangan diri. Hal ini berdampak kehidupan diri dalam membangun akan berat sebelah sisinya.  Dapat digambarkan bagaimana orang jika berjalan tidak seimbangan maka perjalanan akan merasa lama dan melelahkan. 

Keseimbangan ini terjadi karena diri kurang pengetahuan atau pemahaman akan makna dari hakekat kehidupan.  Diri yang demikian ini diakibatkan diri hanya mendasarkan pemahaman/pengetahuan jasmaniah/material yang merupakan pembawaan yang langsung diterima oleh diri sejak lahir tanpa perlu susah payah memaknai hakekat kehidupan.  Pengetahuan jasmaniah/material inilah yang sekarang berkembang karena mereka hanya berfilosofi ilmu pada apapun yang bisa diterima dengan indra manusia secara umum bukan dengan indra yang merupakan pemberian dari Sang Pencipta.(baca:indra manusia)

Ketika hal ini terjadi maka makna pembangunan bukanlah merupakan sebuah proses memperbaiki/membina/mendirikan namun sebuah proses pengrusakan. Kerusakan yang dihasilkan adalah kerusakan yang berdampak pada dirinya sendiri/berdampak pada diri manusia lain/ berdampak pada alam lingkungan di dunia ini.  Dan proses pembangunan inilah   yang sekarang kita rasakan dengan kegiatan membangun sebagian besar umat manusia.  Muara akhir dari pembangunan yang salah hakekat ini memunculkan dampak yang luar biasa rusaknya dan mengakibatkan alam pun marah terhadap manusia serta akan mungkin campur tangan Sang Pencipta atas tingkah laku manusia dengan memberikan azab atau bala' ke manusia yang ada.

Ketika makna membangun sebagai sebuah sarana membayar kesalahan dijalankan dengan ikhlas akan memunculkan motivasi yang baik bagi diri dalam menjalankan kehidupan di dunia ini.  Motivasi membangun dengan keikhlasan karena diri mau belajar dan memahami hakekat diciptakan manusia di turunkan dimuka bumi ini.  Belajar dan mau memahami hakekat ini adalah dengan acuan pengetahuan yang bersumber pada buku Panduan kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta sebagai dasar dan prosedur kehidupan di bumi ini.  Dampak membangun yang seperti ini ibarat diri memperbaiki pondasi prinsip kehidupan yang baik yang sesuai dengan buku Panduan dan hakekat diciptakannya manusia.

3. Makna membangun dalam perspektif bangkit/naik

Ketika diri mampu memahami makna membangun dengan sesungguhnya yang mengakibatkan bahwa diri dapat memperbaiki pondasi dan prinsip hidup manusia maka akan memiliki kesadaran bahwa hidup ini bukan untuk dirinya sendiri dan hidup bukan sekedar seenaknya sendiri di dunia ini.  Perpektif bangkit atau naik ini dimaknai bahwa diri dimulai dari keterpurukan dan harus memunculkan sebuah semangat baru dalam kehidupan agar bisa naik level dari keterpurukan serta mempersiapkan diri bahwa diri akan menjadi tamu di rumah Sang Pencipta.

Ketika hal ini terjadi maka membawa dampak dan kesadaran yang tinggi sehingga menimbulkan sikap teguh/amanah/jujur/dan mau menyampaikan hal sesuai dengan realita.  Keempat sifat itu sering dikenal dengan sifat profetik seorang muslim.  Sifat ini merupakan sifat yang dimiliki oleh Muhammad SAW.  Maka sebagai diri yang memiliki pegangan hidup/agama harus bisa mencontoh sifat profetik nabi agar diri bisa meneruskan perjuangan dan perjalanan sebagai seorang musafir di muka bumi ini.  

Namun jika pondasi hidup dari membangun dengan makna yang jasmaniah/material tidaka akan dapat mencapai sifat profetik tersebut.  Maka dibutuhkan belajar (darasa/belajar) yang komprehensip dengan menciptakan keseimbangan kehidupan yang akan berdampak pada diri dengan memiliki sifat profetik tersebut dan berdampak pada eksternal (manusia dan alam) dengan berperan sebagai orang yang terbaik dan memiliki kesempuranaan serta derajat tertinggi yang mampu membawa tugas dan peran dari sang Pencipta.

Harapan penulis mari kita kembali meninjau kembali makna membangun dalam diri kita.  Agar diri bisa menjadi manusia yang sempurna dan hakekat makhluk yang terbaik  sesungguhnya.

Wahai penguasa alam... bagaimana diri terjebak dalam musibah seperti ini?... Apakah Engkau menganggap aku orang yang tidak memiliki prinsip... padahal aku sudah belajar menegakkan prinsip selama ini

Wahai Penguasa Kebenaran... Bagaimana diri bisa terjebak dalam kondisi seperti ini? Kondisi layaknya yang pantas diterima oleh orang orang yang zalim... Padahal diri sudah berusaha untuk berbuat yang baik dan sesuai dengan buku Panduan...

Wahai Penguasa Kekuatan... Bagaimana diri bisa selalu dalam kondisi lemah? padahal pondasi keimanan sudah ku bangun sejak aku kecil... Apakah diri salah dalam mempelajari pengetahuan yang selama ini kami pelajari  ...

Wahai Penguasa dan Penghapus Kebimbangan.... Tunjukkan kepada kami jalan yang lurus... Agar diri mampu membedakan yang benar terlihat benar dan yang salah terlihat salah... Dan Jauhkan diri dari sifat ragu dan putus asa. (KAS, Diri Dalam Peradaban, 1/4//2021)

.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah