Diri dalam penjara Subyektifitas

 Pernahkah diri bertindak seperti pemimpi... Yang menginginkan sebuah keinginan...
Yang tak terpikirkan dalam diri... Namun bak merindukan jatuhnya rembulan dipangkuan...
Pernahkah diri bertindak seperti Perindu.... Yang merindukan pujaan hati...
Yang selalu terpikirkan dalam diri... Untuk menjadi obat penenang dalam hidup ini..
Pernahkah diri bertindak seperti kekasih... Yang menginginkan datangnya dambaan hati..
Yang selalu memenjara diri... Namun Tak kunjung datang menghampiri...
Ooii... Galaunya diri seperti seorang pemimpi.... atau seorang perindu... ataukah seorang kekasih
Yang mengalami siksaan hati... Karena suatu keinginan yang belum pasti...
Apakah sama yang dirasa ketiganya... Apakah sama yang mereka inginkan dalam diri
Namun Apakah beda yang mereka yakini... Jika kondisi itu  terjadi...
KAS (15/1/2021), SUBYEKTIFITAS

Sebuah cerita mengawali pembahasan masalah diri dalam subyektifitas, dengan tujuan agar diri bisa berintropeksi bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah permasalahan yang besar dan berujung pada sesuatu yang kurang pantas disebut manusia  jika diri melakukannya.  Bahkan ketika diri paham bahwa kita memiliki pengetahuan tentang sesuatu dan seharusnya bisa mengatakan secara obyektif berubah menjadi subyektif karena hanya masalah ego atau perut yang lebih utama.

Cerita ini terjadi pada negeri Dongeng yang ada, diceritakan ada seorang anak yang dari kecil hidup dilingkungan agama yang tinggi sehingga sampai besar dia memiliki pemahaman agama yang tinggi dan fasih dalam membaca dan mengartikan buku Panduan yang jadi pegangan dalam dia beragama.  Dan ketika si anak ini berkeinginan untuk menjadi pejabat dalam kehidupannya, dan ternyata keinginan nya menjadi pejabat terlaksana.

Ketika dia diangkat menjadi pejabat dan disumpah dibawah buku Panduan yang diyakini kebenarannya maka bersumpahlah dia untuk menjadi pejabat yang baik dan akan tunduk pada aturan terutama buku Panduan tersebut.  Dengan bertambahnya tahun dia menjabat dan bercampur dengan orang-orang lain yang tipis iman dan terbiasa melakukan kekeliruan, maka berubahlah dia menjadi pejabat yang korup dan semena-mena terhadap orang lain.  Dia lupa dengan sumpahnya karena terjebak pada kondisi yang lebih mengutamakan persahabatan dengan temannya dan karena dilakukannya dengan alasan utama yaitu masalah ego sebagai jabatan serta urusan perut yang diutamakan.

Pejabat tersebut sadar bahwa yang dia lakukan adalah salah, namun karena desakan dari teman, ego dan masalah urusan perut maka tetap dilakukannya perbuatan yang keliru.  Pandangan ini adalah fenomena berubahnya obyektif menjadi subyektif karena dia memakai dalil tertentu untuk membenarkan kekeliruannya dalam melaksanakan jabatannya.  Bahkan ketika ada orang yang mengingatkan bahwa itu perbuatan yang tidak benar, dia pun menjawab itu hanya pendapat subyektif dari orang yang memberi nasehat, dan dia melakukan itu karena ada alasan yang "benar" karena subyektifitas yang mereka bangun bersama teman-teman pejabat.  

Fenomena cerita tersebut adalah sebuah bentuk diri manusia dalam kehidupan yang terjebak dalam penjara subyektifitas.  Sadar atau tidak memang ini terjadi dalam diri kita, dikarenakan kondisi diri yang memang dari kecil sudah mendapatkan pemahaman yang keliru dalam melihat obyek di luar. Bahkan ketika diri sudah memiliki pemahaman atau pengetahuan tentang obyek itu dengan benar namun karena kondisi menjadi diri tidak bergerak dari subyektif menjadi obyektif, malah sering kita menyembunyikan kebenaran yang ada demi sebuah tujuan yang bersifat sementara tanpa merasa takut akan hal yang terjadi akibat kebohongan itu kita lakukan.

Fenomena subyektifitas tersebut sebetulnya bentuk sebuah pembelaan diri untuk mempertahankan diri dari gejolak diri yang lemah akibat terkanan dari kondisi eksternal.  kebanyakan diri kita bisa berubah seperti itu bahkan malah menganggap orang yang memiliki prinsip dalam memegang obyektifitas dikatakan sebagai musuh atau orang yang tidak bisa beradaptasi dalam kondisi kehidupan sekarang ini.  Menyalahkan orang lain yang tetap kukuh dalam pendirian obyektif atau orang lain yang berseberangan adalah bentuk pertahanan diri dalam menguatkan eksistensi diri dalam kehidupan di dunia.

Maka tulisan ini akan membahas mengenai masalah diri yang berpindah dari obyektif dan subyektif, dan mengenai hakekat manusia yang subyektif.

Diri dalam obyektif versus subyektif

Subyektif atau obyektif itu adalah sebuah perilaku diri yang keluar dari keputusan yang dihasilkan oleh pengolahan informasi yang berasal dalam diri kita.  Seperti yang diketahui banyak orang sekarang ini (baca :indra manusia) bahwa pemahaman akan indra akan dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dipelajari, dan kebanyakan dari diri kita memahami indra adalah pemahaman indra ala ilmu pengetahuan barat, sehingga informasi yang diperolehnya pun akan diolah seperti pengetahuan yang dimilikinya.


Pengetahuan umum menyatakan bahwa indra itu terdiri dari lima panca indra yang seperti biasa kita kenal, maka apapun yang masuk merupakan informasi yang didapat oleh otak dan akan diolah untuk menghasilkan sebuah tindakan.  Tindakan  yang hanya berasal dari otak mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah keputusan yang logis.  Namun keputusan yang logis ini hanya bersifat sesuatu yang nampak secara fisik dan tidak sesuatu yang bersifat ghaib.  Sehingga keputusan otak adalah sesuatu yang bersifat fisik/material.  

Ketika diri sudah berhubungan dengan hal yang bersifat material, maka sentuhan hasil keputusan hanya bersifat keduniawian dan hanya bersifat pembenaran.  Karena benar atau salah bukan berdasarkan buku panduan akan tetapi kebenaran umum yang meninggalkan urusan buku Panduan dengan alasan untuk kehidupan.  Sehingga keputusan ini bisa bersifat Subyektif.

Disisi lain ketika kita sudah mengenal indra seperti yang tertuang dalam buku Panduan, namun tidak mengenal operasionalisasi indra secara mendalam dan mengakibatkan indra bekerja secara individu maka akan mengakibatkan tidak bekerja secara simultan.  Akibatnya adalah indra bekerja secara bagian dan hasil keputusan dari informasi yang masuk adalah sama yaitu subyektif.

Alangkah sayang diri kita jika sudah mengenal indra menurut buku panduan namun dalam kenyataannya masih berpikir secara subyektif.  Dan seobyektif-obyektifnya manusia yang demikian ini apapun yang dihasilkan dalam tindakan atau keputusan adalah masih mengandung unsur subyektif. Hal ini disebabkan karena diri memiliki hati namun tidak memiliki fungsi.  Hati adalah merupakan poros as gerak dari ketiga indra yang dimiliki oleh manusia.  Namun ketika hati ini mati dan atau masih terselimuti maka tidak berfungsi kerjanya.

Banyak orang menyamakan fungsi hati dengan perasaan.  Ketika kita dilibatkan pada diri dalam menghadapi masalah orang selalu berkata: "tanyakan pada hati nuranimu".  Namun realitas di diri kita sulit untuk membedakan suara apa yang muncul ketika kita diam dan berpikir.  ada empat altenatif pertimbangan yang menyeruak dalam diri kita, yaitu: 1) masukan dari kepala dan biasanya bersifat logis (logika dalam pemahaman umum) dengan alasan perhitungan logika yang jelas dan berdasarkan untung ruginya. 2) masukan dari dada yang berisi pertimbangan perasaan dalam diri manusia yang berisi rasa kekhawatiran, was-was, dan lain sebagainya. 3) Masukan dari Perut yang berisi desakan  ego dibawah kendali nafsu yang tidak baik. 4) Masukan dari Hati adalah kombinasi pertimbangan ketika tiga indra itu berfungsi, dan inilah yang disebut dengan peperangan diri (namun banyak dari diri kita yang belum bisa mencapai titik ini).

Maka sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya hendaknya diri kita selalu untuk bertindak dan membuat keputusan yang benar (berdasarkan buku Panduan) dan bukan atas kebenaran akibat desakan sebuah kondisi. Kebenaran ini akan meninggalkan keputusan yang keliru akibat proses diri dalam mengambil keputusan atas tindakan. Maka masukan tipe yang ke empatlah yang menjadikan diri lepas dari penjara subyektifitas dan menuju kebebasan bertindak yang berdasarkan atas keputusan tindakan yang bersifat Obyektif.

Gambar dibawah ini adalah pola pikir manusia yang selalu menempatkan diri dalam tindakan atau keputusan yang bersifat obyektif.   Tindakan type diri kita yang obyektif di dapatkan dari pengolahan informasi yang diperoleh dari eksternal yang masuk ke diri manusia dan kemudian diolah dengan indra yang dikaruniakan sang Pencipta serta menggunakan hati yang berperang sebagai poros untuk menggodok informasi yang masuk.  Maka keputusan yang dihasilkan adalah putusan dengan pertimbangan yang logis (karena berdasarkan buku Panduan) dan akan bersifat obyektif.

Keputusan atau tindakan yang obyektif tidak mengenal pembenaran, namun bersifat prinsip hidup yang tidak mengenal ketakutan untuk menyampaikan kebenaran.  Prinsip hidup ini sering disebut dengan aqidah yang tidak mengenal salah dan benar menurut kondisi, namun hanya mengenal salah dan benar menurut buku Panduan.  Dan orang yang memiliki prinsip obyektifitas seperti ini tidak bisa berpindah menjadi subyektif walaupun memiliki ancaman yang berhubungan diri dan lain sebagainya.  Ketakutan jika dirinya dianggap tidak mampu menjadi manusia oleh Sang Pencipta. 


Hakekat manusia yang subyektif

Dalam buku Panduan yang digunakan sebagai dasar untuk mencari hakekat manusia subyektif yang sebenarnya, banyak ditemukan bukti-bukti dan ciri ciri yang berlaku seperti itu.  Mereka banyak berkamuflase dalam kehidupannya, bahkan tidak jarang mereka tidak mau disebut sebagai orang yang bersifat subyektif.  Kehidupan yang demikian ini sebetulnya tujuan mereka adalah menipu orang lain untuk eksistensi dirinya namun pada hakekatnya mereka sebetulnya adalah menipu diri mereka sendiri.  

Sang Pencipta sudah mengibaratkan mereka adalah orang orang yang tuli, buta dan bisu  walaupun kenyataannya mereka bisa mendengar- melihat dan berbicara.  Namun apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sia sia karena yang mereka dengar adalah sebuah kebohongan, yang mereka lihat adalah sebuah sandiwara dan yang mereka katakan adalah kata kata yang penuh dengan caci makian.  Sungguh mereka dalam keadaan dan kondisi yang merugi karena mereka tidak pernah mau belajar dan berpikir.

Dengan demikian orang yang tidak mau belajar dan berpikir tentang diri manusia sesungguhnya adalah mereka yang selalu dalam hidup yang sejajar dengan diri yang subyektif.  Dan ketika diri tidak mau dikatakan sebagai orang subyektif maka dengan cara apapun akan dilakukan agar mereka bisa dianggap sebagai orang yang selalu eksis di dunia obyektifitas (yang sesuai dengan buku Panduan).  

Ketidakmauan mereka untuk belajar dan berpikir inilah yang menyebabkan semakin besar nilai ego diri.  Dan ketika ego memuncak mengakibatkan diri mereka subyektif serta menganggap bahwa orang lain adalah budak yang dapat diperintah bahkan sampai menyamakan dirinya dengan penguasa di "dunia/lingkungannnya".  Ketika diri dalam ego maka diri akan selalu melakukan kerusakan bumi namun selalu memiliki alasan yang kuat bahwa diri adalah orang yang baik dan senantiasa memelihara dunia dan seisinya.


Di dalam kekeringan selalu ada air yang mengalir... bahkan air itu banyak dikatakan air kehidupan
Namun kekeringan hati bukan karena tidak ada air yang mengalir... Karena kekeringan itu akibat dari kerasnya hati yang dimiliki...
Kerasnya hati bukan masalah prinsip... Kerasnya hati bukan masalah perjuangan hidup.. Namun kerasnya hati karena menolak siraman air kehidupan... Dan kerasnya hati yang akan membawa pada kebutaan-tuli-dan bisu
Di dalam hati ada yang sembunyi... Yang berupa duri yang tajam... yang selalu membisikanmu serta membawa diri mengumpulkan penyakit... Penyakit yang tidak mau menerima obat yang berupa nasehat dan kebenaran...
Mengapa duri kamu pelihara hai diri.... Apakah kamu tidak  memiliki kesadaran akan itu.. Apakah kamu tidak mendengar jeritan hati yang meratap... dan Apakah kamu tidak membaca petunjuk tentang dirimu...
Jadilah dirimu obyektif... janganlah kau jadikan dirimu dalam ke"subyektif"an... Janganlah dirimu dalam kondisi selalu merugi... Karena hakekatnya dirimu adalah orang yang beruntung...
Bukalah selimut hatimu.... Bersihkan hatimu... agar lorong lorong hati bisa terpenuhi oleh air... Yang akan membawa diri mau menerima petunjuk dan kebaikan...
KAS, (15/1/2021), Air dalam Hati


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah