Diri Dalam Menemukan Jiwa

Puisi Jiwa

Bersyukurlah diri kita telah diciptakan sebagai manusia
Dengan bentuk yang sempurna dan yang hidup dengan keseimbangan
Seperti hidup yang "berpasang-pasangan"
Sebagai pembeda dan bekal diri dalam perjalanan bermusafir di dunia

Bersyukurlah diri kita telah diciptakan sebagai manusia
Namun kenapa kita berlaku tidak seperti manusia..
Hanya bentuk fisik kita seperti manusia....
Namun dimana diruku sesungguhnya karena jiwa ku tidak ada dalam hakekat hidupku.....

Ketika diri kita lahir dalam kondisi sempurna dan lengkap..
Namun kenapa sampai umur sekarang ada yang hilang dalam diriku
Dan itu sampai tidak aku sadari atau memang diriku lupa dan lalai karena kebodohanku
Sampai aku matipun tidak akan menemukan keseimbangan unsur hidupku

Sungguh rugi diriku jika ini terjadi dalam kehidupanku...
Karena akan membawaku hanya sebagai bahan bakar bersama kayu dan batu
Sebagai penghangat rumah sang Pencipta...
Dan akan tersiksa diriku saat aku bertamu di rumahNYA

Sungguh rugi diriku jika ini terjadi dalam perjalananku
Karena tidak mungkin aku bertamu dengan membawa bekal yang cukup
Yang kupikirkan di dunia hanya satu sisi yang selalu memabukkanku
Yang selama ini mendominasi langkah bermusyafirku

Duhai Sang Pemberi Petunjuk....
Tunjukkan pada diriku langkah yang benar dalam perjalananku
Tunjukkan pada diriku  untuk kembali hidup dan menemukan "pasangan"ku
Jiwaku yang entah dimana sekarang berada...

Duhai Sang Pencipta...
Matikan diriku sekarang ini...
Karena aku hidup sekarang laksana robot yang hanya tahu tanpa punya rasa
Bangkitkan aku dalam kehidupan yang baru dengan keseimbangan antara jiwa dan raga..

Duhai Sang Kekaksih
Bersihkan qolbuku untuk menemukan akal
Karena diriku tahu dengan akal yang kau berikan akan membawa diriku..
Menemukan keseimbangan hidup untuk bermusyafir dan mencari bekal bertamu di rumahMU

(KAS, 6/12/2020)

logo pakde amin


Kehidupan di era modern sekarang ini, diri kita jika tidak memiliki kesadaran dalam hidup maka kehidupan akan seperti robot.  Diri kita seperti robot ini ibarat menjalani kehidupan yang menoton setiap harinya, dan hidup hanya sebuah ritual yang tanpa memiliki makna.  Dan kondisi seperti ini sudah merupakan fenomena dan hal yang wajar dan biasa bagi diri kita yang hidup sekarang ini.

Kehidupan kita yang bagai robot inipun sudah kita alami mulai dari anak anak sampai umur dewasa sekarang ini (umur dalam pandangan jasmani).  Sebagai bukti ketika kita bangun, dilanjutkan dengan aktivitas setiap hari dan itupun dilakukan dengan sesuatu yang sama.  Termasuk kegiatan ibadah kita yang dinilai sebagai konektivitas dengan pencipta,  ritual yang kita lakukan pun hanya sebatas kegiatan ritual yang tidak memiliki nilai (bahkan kalo ada nilaipun tidak ditujukan untuk sang Pencipta).  Hal ini dapat dibuktikan banyaknya orang yang beribadah rutin dan bahkan berjamaahpun tidak memiliki "rasa yang beda" dengan orang yang tidak pernah melakukan ritual ibadah sama sekali.

Sebuah kerugian bagi diri kita jika hidup kita hanya sebatas itu dan apa bedanya dengan robot.  Malah mungkin lebih baik robot yang hidup dengan buku panduannya, sedangkan kita hidup tidak dengan buku panduan.  Lalu hidup kita itu seperti apa?  mungkin jawabannya umum hidup hanya mengalir, tapi mengalir yang kaya apa, atau hanya sebatas hidup yang tidak memiliki tujuan dan makna yang jelas yang sesuai dengan buku Panduan Manusia.

Dan bahkan banyak lagi kerugian jika diri kita hidup bagai robot yang selalu membuat kerusakan dan permusuhan dengan manusia lain, karena kehidupan kita hanya untuk mementingkan ego diri.  Hidup kita yang hanya mementingkan ego diri demi mengejar ambisi dan popularitas secara langsung maupun tidak langsung akan merusak keseimbangan hidup manusia lain atau alam yang ada disekitar kita, walaupun itu dalam hukun ekonomi dikatakan cost untuk mendapatkan revenue.  Tapi sadar atau tidak kerusakan dan permusuhan yang kita ciptakan ini berdampak sistemik terhadap diri dan orang lain bahkan alam.  Dan dapat dikatakan dengan memperjuangkan ego diri ini mengakibatkan diri kita terselubung hati kita untuk menerima nasehat kebenaran dari yang lain.

Mengapa kehidupan diri kita bisa seperti ini? apakah ini sebuah kesalahan diri atau kesalahan yang sistemik?  Lalu bagaimana diri kita bisa hidup dengan kondisi yang sesungguhnya?

Untuk menjawab itu akan kita bahas dalam atikel ini secara komprehensip menurut pemahaman diri penulis, dengan menjelaskan kehidupan apa sebetulnya diri kita seperti yang dikehendaki oleh sang Pencipta.  Dilanjutkan dengan membahas masalah kekeliruan yang ada selama ini. Dan terakhir ditutup dengan pemahaman jiwa manusia untuk menjadi manusia yang sesungguhnya.

Diri dalam Kehendak Sang Pencipta

Manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dengan membawa dan memikul tanggung jawab dan amanah yang berat.  Kesanggupan manusia memikul amanah ini, dinilai sebagai sebuah keberanian yang memiliki resiko yang tinggi.  Namun keyakinan diri manusia yang diwakili oleh Adam bahwa amanah itu sebagai bentuk ucapan syukur dan terima kasih manusia kepada Sang Pencipta atas penciptaannya sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain.

Namun kesanggupan dan keyakinan diri untuk memikul amanah ini banyak dilalaikan oleh manusia.  Terlebih oleh diri kita yang sudah terlena dan terlalu asyik dengan kehidupan di dunia ini.  Kelalaian dan terlalu asyiknya menikmati kehidupan dunia ini. menjadikan diri kita lalai dengan amanah yang diembannya dan lalai dengan hakekat/jatidiri kita. Bahkan sampai diri kita kurang memaksimalkan pemberian Sang Pencipta yang merupakan ciri dan pembeda dengan makhluk lain.  

Ciri dan pembeda dengan makhuk lain yang merupakan karunia dari sang Pencipta untuk menjalankan amanah dimuka bumi  inilah sudah mulai tidak terpikirkan lagi, mulai dari tiga indra yang lengkap untuk menangkap informasi yang berasal dari luar  dan hati sebagai penyeimbang dalam mengolah informasi, indra dan hati itu digunakan dengan keseimbangan untuk mencari akal agar dapat mencapai konektivitas dengan sang Pencipta. (baca: diri dan akal).

Kehendak sang Pencipta dengan diciptakan manusia di muka bumi adalah sebagai panjang tanganNYa untuk rahmat seluruh alam, bukan untuk diri sendiri atau diri untuk manusia lain.  Namun kenyataannya bahwa manusia modern sekarang ini hidup untuk dirinya sendiri.  

Kehidupan diri kita untuk dirinya sendiri adalah sebuah kemenangan sayap kiri dari diri kita.   Kemenangan sayap kiri artinya bahwa diri kita hidup hanya atas dasar pemuasan nafsu yang tidak baik yang menguasai diri kita, sebagai muara akhir adalah pendewaan ego diri diatas segala-galanya.  Kehidupan yang demikian sudah merupakan hal yang lumrah dan biasa bagi diri kita sekarang ini.  hal inilah yang menyebabkan diri kita semakin tersesat dalam perjalanan kehidupan kita di dunia ini.

Penentangan atau perlawanan terhadap kehendak sang Pencipta agar diri kita menjadi rahmat bagi manusia lain ataupun kepada alam mengakibatkan diri kita menjadi Penguasa terhadap manusia lain bahkan terhadap alam raya ini.  Maka tidak aneh ketika sang Pencipta marah dengan mengingatkan hakaket diri kita melalui musibah, bencana dan bala' bahkan mungkin akan muncul azab jika kita tidak segera bersadar diri.  

Dan apakah sampai titik azab atau kematian yang akan membuat diri kita sadar? dan dimana kekeliruan kita selama ini sehingga kita tidak bisa menerima peringatan dari sang Pencipta?

Diri dalam Kekeliruan Hidup

Selama ini kita merasa hidup kita sudah merasa nyaman, benar dan mungkin sudah mantap dengan apa yang sudah kita lakukan.  Namun jika kita berpikir lebih dalam mungkin akan merasa kurang, kekurangan ini akan dirasa bagi diri kita yang diberi hidayah dengan bersihnya hati.  Bersihnya hati akan terjadi jika dalam kehidupan kita merasa ada yang kurang.  Memang tidak banyak diantara kita yang diberikan hidayah ini oleh sang Pencipta. (baca: membuka tabir hati).

Kekeliruan yang kita alami disebabkan oleh culture yang tebentuk dalam masyarakat dan mempengaruhi diri kita.  Cara berpikir diri dan orang lain dipengaruhi oleh pola pendidikan yang selama ini disuguhkan kepada kita.  Pola pendidikan yang tidak mengacu pada buku Panduan yang menyebabkan diri kita semakin jauh dari peta perjalanan hidup manusia.

Memang semua manusia sekarang mengalami ini, ditambah dengan tabir yang kuat akibat dari selimut teknologi informasi yang menyebabkan diri kita malas untuk membuka buku Panduan.  Karena kita sangat percaya pada teknologi itu dibandingkan dengan kita harus membuka buku dan mencari apa yang menjadi bacaan kita.  Padahal bisa jadi informasi yang kita baca dari teknologi merupakan hal yang kurang tepat maknanya jika dibandingkan dengan makna yang terkandung dalam buku Panduan.  Hal ini sebetulnya sebuah fenomena kehidupan yang salah namun dianggap benar dijaman sekarang ini.

Kekeliruan yang sudah menjadi fenomena ini ibaratnya menjadi sebuah atmosfir diri manusia dikehidupan sekarang.  Hal ini menyebabkan sebuah kekeliruan yang dianggap benar oleh manusia yang didasarkan atas pemahaman yang sifatnya generalisasi.  Apakah kita ingin hidup kita seperti itu dalam lingkungan kesalahan yang dianggap benar.  Maka tidak aneh jika sekarang buku Panduan hanya sebatas pajangan yang ditata diatas rak atau dibaca tanpa dengan makna yang bisa di ambil dalam kehidupan kita.

Pengetahuan yang ada sekarang ini perlu dilakukan dekonstruksi atau ditata ulang dengan pengetahuan yang didasarkan oleh buku Panduan.  Memang bukan hal yang mudah mendekonstruksi pengetahuan ini. Dan mungkin kita dikatakan sebagai orang gila atau asing atau orang yang hanya cari kerjaan, itu semua juga dialami oleh para tokoh tokoh agama yang mengajak kembali ke jalan yang benar.

Tidaklah muluk muluk tujuan diri dalam memahami pengetahuan yang didasarkan atas buku panduan, tujuan kita hanya menemukan keseimbangan hidup untuk mengisi relung hati/badan kita yang kosong akibat kondisi yang mememjara kita sekarang ini.   

Tujuan sederhana ini dapat dicari jika hati kita sudah bersih kembali dan tidak ada selimut yang menyelimuti hati kita.  setelah mendapatkan hati yang bersih maka pancaran motivasi untuk belajar pengetahuan yang hakiki akan berkembang, dan penggunaan indra + hati untuk mendapatkan akal.  dengan begitu jiwa kita menyatu kembali dengan jasad kita.  Maka beruntunglah diri kita, karena tiket masuk rumah sang Pencipta adalah untuk diri yang memiliki jasad dan jiwa.  Dan akan merugi jika diri kita tidak pernah ketemu dengan jiwa (atau hanya ketemu saat kita mau meninggal/naza') karena jasad yang tanpa jiwa sudah pasti hanya masuk tungku pemanas di rumah Sang Pencipta. (Magelang, 12/12/20)

Orang yang berpikir adalah orang yang benar benar hidup...
Orang yang malas berpikir adalah orang yang baru dalam kondisi pingsan
Orang yang tidak mau berpikir adalah orang yang mati...

Orang yang mau hidup adalah orang yang beruntung
Orang yang pingsan adalah orang yang terlena dan mabuk pada kondisi..
dan orang yang mati adalah orang yang selalu dalam kerugian 
(KAS, 12/12/2020)






Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah