Menyingkap Tabir Langit

Tuhan... Betapa bodoh diri ini yang tak paham tentang kehidupan... Terbawa arus yang hanya berputar tak punya tujuan... Di ombang-ambing oleh arus air yang tak pernah sampai ke lautan.

Tuhan... Apakah skenario ini yang kau berikan... Kebimbangan dan keraguan menjadikan diri salah jalan... Memilih jalan bengkok adalah impian yang ada.

Kemarin Kau sampaikan lewat pembawa ajaran... Jalan lurus yang harus ditiru dalam kehidupan.. Namun banyak lawan yang berkepentingan... Menjadikan jalan seperti bercabang-cabang

Kemarin Kau titipkan lewat pembawa risalah... Agar diri manusia mengenal buku panduan... Namun malasnya baca jadi teman perjalanan... Menjadikan diri terpenjara dalam kebodohan.

Diri telah menempuh perjalanan yang panjang... Malam dan siang ingin mencari hal yang benar... Bagaikan menyemai biji di air yang deras... Tak pernah tumbuh kesadaran untuk menemukan kebenaran.

Matahari dan bulan serta bintang menari di atas awan... Tertawa melihat diri ditengah kebingungan...

Menari dengan kondisi jiwa dalam kemabukan... Hanya mencari isi bumi yang hanya hiasan bekal semata.

Jiwa ini kering... Rumah ini kosong tanpa ada penghuni... Tak terawat penuh dengan tanaman berduri... Menjadikan diri layu dan hidup bagaikan mati.

Tabir diri ternyata yang selama ini ku perjuangkan... Bukan membuka atau menyingkap yang ku lakukan... Maka hidup laksana bukan manusia... Karena indra tak pernah mampu untuk bekerja.

Lepaskan diri dari pencarian "kemiskinan" bekal...  Tempat tombak-tombak beradu untuk mendapatkan sepotong roti yang dimakan... Yang ngga pantas untuk diri bawa pulang... Karena hanya nafsu yang dipejuangkan.

Tak pantas diri lanjutkan... Meski ini tulisan penuh makna... Karena mungkin diri tak akan di dengar... Biarlah jiwa bertemu dengan jiwa... Karena Engkau akan datang untuk menghubungkan.

(KAS, 3/12//2023/Menyingkap Tabir)


Terlalu banyaknya kepemilikan ilmu yang diri miliki dan menyebabkan selalu berorientasi pada hal-hal yang bersifat eksternalitas dan berbentuk fisik (kasat mata) ini merupakan gambaran umum yang terjadi pada diri kita.  Hal ini sering kali menyebabkan diri lupa pada hal-hal-hal yang lebih penting untuk keseimbangan pribadi agar menjadi manusia yang sempurna.  Kelupaan ini juga bagian dari kekeliruan yang tidak pernah disadari yang diakibatkan oleh banyaknya singgungan dengan kondisi masalah tentang kehidupan dan merupakan hal umum terjadi pada manusia yang ada.

Fenomena seperti ini biasanya dianggap hal yang biasa dan mungkin menjadi kebiasaan dalam kehidupan diri kita sehari-hari.  Jika diri tidak mampu membangun kesadaran dan ibarat terlelap dalam "tidur yang berkepanjangan" maka mana mungkin diri akan menemukan keseimbangan kehidupan sebagai manusia yang sempurna.  Sebuah kerugian manakala diri bertindak seperti ini lebih memilih ketidakseimbangan yang akan menjauhkan dari jati diri sebagai manusia dibandingkan dengan pilihan menjadi umat yang patuh dan tunduk kepada perintah Sang Pencipta.

Permasalahan utama yang ada akibat dari orientasi kepemilikan ilmu yang sudah dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan dipakai oleh masyarakat umum ternyata tidak sejalan dengan ajaran.  Karena titik berat ilmu yang sekarang diri miliki lebih berorientasi pada sifat kebendaan atau materialitas semata.  Bahkan hal yang dikatakan aktivitas "ibadah" juga dengan ukuran kebendaan yang dilakukan.  Sebuah kebenaran yang dianggap benar walaupun mungkin tidak benar karena terlelapnya diri dalam kemabukan kondisi dunia ini.

Kemabukan diri terhadap kondisi dunia diakibatkan terjebak pada hal-hal yang bersifat makro kosmos yang bercirikan bisa di buktikan dengan logika material.  Kebenaran dalam hubungannya dengan makro kosmos (kosmos) sebetulnya merupakan bagian dari ayat-ayat yang memiliki pengaruh terhadap mikro kosmos (kosmik) untuk menemukan hakekat maksud dan makna yang terselubung di dalamnya.  Maka yang terjadi kemabukan diri diakibatkan oleh orientasi diri kepada kondisi eksternalitas dan internalitas hanyalah sebagai obyek pelengkap dalam kehidupan.  

Ketahuilah memang benar bahwa eksternalitas akan mempengaruhi (dan yang dicari) untuk mengamankan internalitas.  Namun tahap ini manakala diri sudah menemukan kesadaran yang hakiki dalam arti diri sudah mengenal hakekat diri.  Akan tetapi jika diri belum mampu membangun internalitas diri dan langsung hidup dengan orientasi eksternalitas maka akan menyebabkan diri hidup bagaikan bangunan yang tanpa pondasi sehingga memiliki kepribadian yang rapuh karena tidak ditemukan diri sebagai pribadi yang berkepribadian akibat hanya seperti buih yang mengikuti arus kehidupan.

Agar diri dapat hidup sesuai dengan prosedur sebagai makhluk yang sempurna maka sesuatu yang berhubungan dengan eksternalitas harus dijadikan bahan untuk pembangun internalitas diri.  Demikian juga masalah hubungannya dengan sesuatu yang terjadi dihadapan diri kita sekarang mulai dari kondisi yang dialami sampai dengan ilmu yang dimiliki.  Hal ini dimaksudkan agar diri memiliki bahan untuk membangun diri sebagai makhluk yang tangguh dan siap dalam menghadapi perjalanan hidup di dunia ini.


Tabir Langit

Pengetahuan diri kita tentang langit jika belajar dengan sungguh-sungguh akan berorientasi pada ilmu yang ada sekarang.  Dimulai dari langit yang biru sampai tingkatan langit yang ada dan diakui sebagai sebuah teori pengetahuan yang kuat akibat tidak ada sanggahan dengan munculnya teori yang baru.  Maka ketika diri berpegang pada pemahaman ini akan selalu berpikir pada eksternalitas yang mungkin berguna untuk pelindung diri dalam kehidupan di dunia ini. 

Memang pemahaman ini benar secara umum namun apakah hanya seperti ini  Sang Pencipta menciptakan langit yang indah tanpa ada maksud untuk pengajaran umat manusia.  Diri kita mungkin masa bodoh dan merasa tidak perlu ribut memikirkannya karena mungkin bukan ahlinya akibat dari sidat dii yang  malas untuk baca.  Jelas ditegaskan bahwa hidup harus dimulai dan selalu 'baca" agar diri mampu membangun pribadi sebagai insan yang baik dan siap untuk menjalani kehidupan sebagai rahmat untuk alam semesta. Membangun kesadaran perlu dilakukan agar diri mampu memahami kehendak NYA untuk menemukan bekal sebagai pegangan dalam hidup di dunia ini.  

Langit yang dianggap sebagai pembatas keamanan kehidupan manusia yang memiliki lima tingkatan adalah merupakan bahan untuk membangun internalitas diri.  Jika ini mampu diri melakukan "baca" dengan baik maka mungkin akan menemukan kondisi umum yang terjadi pada setiap diri umat manusia.   Karena langit ibarat sebuah tempat perhentian sementara (pelindung) yang dimiliki dan selama ini menjadi penjara diri kita untuk keluar dari zona kenyamanan atau derajat terendah sebagai makhluk agar mampu menjadi hakekat manusia sebagai diri manusia langitan.

Disebut sebagai manusia langitan karena diri menjadi kodrat yang dikehendaki oleh Sang Pencipta sebagai manusia yang mampu mengemban amanat NYA.  Manusia langitan ini dapat tercapai manakala diri sudah lepas dari dominasi "tanah" dan mampu menembus lima pembatas langit atau makam yang berupa kondisi yang membuat nyaman (langit) dan menjadikan diri lepas dari dominasi tanah (keinginan) dan hawa (perasaan) untuk menuju pada pikir atau logic.  Lima tingkatan langit (makam) ini merupakan bagian dari kosmik diri yang mempengaruhi perilaku diri dalam dunia  kosmos.  Dan kelima tingkatan makam yang selama ini menjadi pelindung dii dan menyebabkan diri merasa aman dan nyaman adalah:

Tingkat pertama adalah Makam Eksistensi. Pada tingkatan ini ibarat merupakan sebuah pengangkatan derajat diri dari tanah yang di bentuk dengan proporsional yang dibentuk oleh Sang Pencipta dengan segala kesempurnaan yang diberikan.  Diberikan nya bekal pada diri kita sebagai teman dalam perjalanan dalam kehidupan yang berupa "ruh" untuk mengingatkan pada eksistensi atas diciptakan diri sebagai manusia yang sesungguhnya. Maka tugas diri yang pertama adalah mengenal dan memahami "teman" tersebut adalah makam pertama yang menjadikan diri mampu melanjutkan perjalanan yang dijalani di kehidupan ini.  

Namun banyak diantara diri kita yang tidak mengenal hakekat "teman" tadi dan salah dalam memposisikannya  fungsinya.  Hal ini membuat diri tidak bisa melanjutkkan perjalanan akibat dari keterbatasan atau kekeliruan pemahaman yang dimilikinya.  Berhentinya diri di makam yang pertama ini akibat dari rasa nyaman diri dengan "unsur tanah/bumi" dan merasa nyaman dengan kehidupan di dunia ini bahkan merasa bahwa hidup hanya untuk kepentingan dikehidupan sekarang (duniawi).  Proses pembentukan atau mengenal diri agar menjadi pribadi yang lurus (istiqomah) tidak pernah terjadi karena diri tidak pernah memiliki nilai-nilai persaksian yang sebenarnya.  Karena diri hanya memiliki persaksian yang salah atau sekedar persaksian dalam lisan saja.

Makam eksistensi ini adalah menemukan nilai-nilai persaksian diri sebagai manusia dengan menempatkan unsur diri sebagai jasad dan "ruh" sebagai awak dalam kehidupan di dunia ini.  Keberhasilan dalam makam eksistensi ini akan menjadikan diri pribadi yang lepas dari kecintaan dari kehidupan dunia untuk menemukan "bahan bakar" demi melanjutkan perjalanan menuju makam manusia langitan.

Tingkat kedua adalah Makam Kedudukan. Ketika diri tidak berpegang pada rute perjalanan maka makna dari kedudukan adalah sebuah simbol kehormatan kehidupan di dunia ini.  Jika ini terjadi maka bukan "mengurangi beban" tetapi malah "menambah beban" dan menjadikan diri sulit untuk menemukan kedudukan.  Ibarat sebuah perjalanan panjang dan naik maka mengurangi "beban" adalah hal yang utama untuk dilakukan.  Dengan kondisi suci (bersuci) maka memasuki makam kedudukan adalah  hal yang utama untuk dilakukan.

Ciri diri yang mampu memasuki makam kedudukan ini adalah pribadi manusia yang mampu "duduk/bersujud" yang di dasarkan dari kebangkitan dari belenggu bias eksistensi sebagai manusia untuk menuju hakekat diri makhluk yang sempurna. Hilangnya rasa ragu dan khawatir akan beratnya perjalanan yang dijalani karena diri memiliki "bekal yang dicukupkan" karena kedudukan yang dimilikinya. Keberhasilan diri dalam menemukan makam kedudukan ini dapat dilihat dengan kepemilikan keyakinan hidup akibat dari terbangunnya konektivitas diri dengan Sang Pencipta. Maka hidup diri tidak pernah merasakan hal pahit karena semua itu bagian dari perintah NYA yang harus dijalani dalam kehidupan di dunia ini.

Tingkat ketiga adalah Makam Ketundukan.  Hidup manusia yang selalu berpegang pada rute perjalanan hidup yang seharusnya dijalani akibat diri sudah melampaui makam kedudukan  yang memberikan koneksi dan sinyal-sinyal arah yang harus dilewati.  Pribadi yang tenang dan selalu berjalan sesuai dengan panduan akibat diri dalam kehidupan selalu tunduk atas perintah NYA.  Kondisi hidup yang selama ini mungkin menjadi penjara bagi manusia secara umum dalam kehidupan tidak menjadi penghalang karena bukan sebagai beban lagi melainkan bagian dari pemahaman atau "air kehidupan" untuk menambah kapasitas diri menjadi pribadi yang memahami ilmu kehidupan.

Pribadi yang berada dalam makam ketundukan ini memiliki sifat yang tidak pernah takut  dan selalu bijak dalam setiap perjalanan kehidupan yang dilewati.  Dua dimensi hidup yang diamanatkan diri sebagai makhluk sempurna dilakukan karena baik karena diri adalah manifestasi "sebagai" dalam kehidupannya.  Sifat tegas dalam hidupnya dimiliki karena diri berpegang pada prosedur hidup yang diberikan kepada umat manusia dan tertuang dalam Buku Panduan.  Kata kata yang keluar dari mulutnya merupakan "angin"  yang membawa hawa kesejukan untuk semesta alam.

Tingkat keempat adalah Makam Keabadian.  Pada tingkatan ini diri menemukan sebuah kenikmatan dan kebahagian dalam hidup akibat bukan sifat lama atau panjangnya masa yang dilalui. Kenikmatan dan kebahagian diperolehnya karena aktivitas yang dijalani dan dikerjakan karena merupakan tugas yang harus dilakukan.  Orientasi diri yang hanya berpikir apa yang dikerjakan saat ini karena sebagai "tugas" yang harus dilakukan dan tidak terbebani oleh masa lalu ataupun masa depan.  Maka keabadian diukur bukan atas dasar dari panjangnya masa melainkan kenikmatan dan kebahagian atas "aktivitas" yang dilakukan saat itu.  

Pribadi yang dalam makam keabadian ini adalah diri yang bisa memaksimalkan waktu untuk "kenikmatan kerja" sebagai wakil NYA sehingga tidak pernah mengalami kerugian karena setiap detik adalah sebuah kebaikan.  Tidak ada waktu yang terbuang dengan percuma karena semua dilakukan dengan kerelaan dan keikhlasan sehingga memunculkan sebuah kenikmatan. Pada makam keabadian inilah diri mengumpulkan materi (atom) kebaikan yang sesungguhnya dan membangun bangunan diri sebagai manusia yang abadi di mata Sang Pencipta.  Maka tidak salah jika diri harus selalu bekerja namun melepaskan segala pikir dan perasaan yang selama ini memenjara menjadi keluh kesah dan putus asa untuk dirubah melakukan pekerjaan sebagai sebuah jalan cinta kepada NYA.

Tingkat kelima adalah Makam Kedekatan.  Makam ini adalah sebuah hasil perjuangan yang merupakan bentuk pasif diri setelah melewati empat makam yang diperjuangkan.  Hal ini dikarenakan makam ini adalah bentuk "sayang" dari Sang Pencipta setelah melihat perjuangan diri dalam perjalanan yang panjang karena memperjuangkan untuk mendapatkan Cinta Tuhan.  Maka tidak salah manakala diri dalam makam ini melakukan kepasrahan yang mendalam atas "kehendak NYA".  Bukan pahala atau hadiah yang ingin diri manusia harapan namun sebuah "bangunan materi diri" yang pantas untuk mendapatkan perhatian dari Sang Pencipta.

Manakal diri mendekat maka Sang Pencipta pun semakin mendekati diri kita.  Itu adalah janji dari Sang Pencipta yang diberikan kepada setiap insan manusia untuk menjadi manusia yang sempurna.


Magelang, 15/12/2023
Salam 
KAS

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah