Diri : antara Batas dan Batas yang Tidak Terbatas

Diri: Antara Batas dan Batas yang Tidak Batas
Oleh: Mas Amin

Ambil kapak  untuk  bobol penjara, 
Setelah Kalian Menjebol penjara
Kalian akan menjadi raja dan termashur pula
Matilah kau, Matilah
Dan Keluarlah dari awan
Setelah keluar dari awan kalian akan jadi purnama yang gemilang berseri
(Puisi Jalaludin Rumi)

            Manusia hidup sekarang ini sudah merasa bebas.  Kebebasan sudah terpapar dengan asas demokrasi, yang menjadi slogan barat dalam melakukan intervensi yang mengatasnamakan  hak asasi manusia.  Namun ketika kita bertanya pada diri kita apakah betul hidup kita ini sudah terjamin kebebasan, atau malah sekarang banyak  kebebasan yang kebablasan.
            Ketika kita di era kebebasan ini apakah kita merasa sudah tidak ada batas lagi, sebuah kebohongan jika diri kita sekarang dalam kebebasan di era demokrasi ini.  Demokrasi yang menjamin kebebasan malah sebetulnya menjadi keterbatasan dalam kita hidup untuk bermusafir mencari kebenaran.  Dengan dalih HAM dan demokrasi banyak  perjalanan musafir yang terganggu atau malah terhalangi dengan alasan tersebut.
Islam sebetulnya juga mengatur makna dan hakekat kebebasan bagi manusia (diri kita), namun selama ini terkubur dan terkabur dengan kebebasan yang dikumandangkan oleh “Barat”. Syeh Muhammad Naquib Al latas mengatakan bahwa kebebasan dapat dilacak sejak adanya perjanjian primordial (primordial covenant) yang merupakan perjanjian antara diri kita dengan Allah ketika kita mau dilahirkan.  Perjanjian ini merupakan kebebasan yang kita pilih dalam memilih dua pilihan antara hidup di dunia atau tidak, serta pengakuan terhadap Tuhan beserta tugas dan pinalty yang manusia terima.  
Dan kenyataan manusia setelah terlahir di dunia banyak yang lupa akan perjanjian itu. Semoga kita senantiasa selalu ingat akan perjanjian itu dan selalu berpegang pada pedoman hidup kita yang diberikan kepada kita sebagai bekal untuk berjalan sebagai musafir menuju hakekat kebenaran. Bagaimana manusia bisa lupa dengan perjanjian tersebut? Dan kenapa manusia lupa dengan batas yang hakiki malah terlena dengan batas yang dibuat oleh manusia. 
Tulisan ini akan membahas masalah batas, dan bagaimana manusia bisa melampaui batas.  Penulis mencoba membahas dengan panduan pedoman hidup kita dengan menggunakan framework yang dimiliki yaitu framework logika berpikir “Benda-Kerja-Hasil”.  Framework ini bagi penulis merupakan cara mudah untuk menjabarkan fenomena batas “semu” yang me”kabur”kan batas yang sesungguhnya.

Batas dan Culture
        Diri manusia hidup selalu dihadapkan dengan batas.  Batas yang selama ini kita kenal adalah aturan, norma, hukum dan lain-lain yang membatasi dan mengatur kehidupan manusia agar bisa hidup layak, damai dan dapat menjalani hidup secara baik.  Aturan/norma ini baik yang tertulis maupun tidak tertulis sudah menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari.  Memang jika kita melihat aturan ini baik, namun dalam pelaksanaan apakah aturan ini dijalankan semua manusia? Jawabannya adalah tidak, banyak orang yang melanggar aturan itu entah apapun motivasinya, bahkan yang paham aturan dan yang menjalankan aturan itupun dengan sengaja mencari celah untuk self interst mereka sendiri.
       Pandangan penulis dalam membahas batas ini adalah merupakan yang merupakan aturan/norma dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.  maka tidak jauh berbeda jika aturan/norma itu merupakan sebuah culture yang dimiliki oleh suatu masyarakat.  Namun dalam kenyataannya sekarang ini banyak aturan-aturan yang tidak “pas” (fit and match) dengan kondisi manusianya.  Kenapa ini terjadi?  Karena ini bentuk imperialisasi dan kolonisasi dari masyarakat yang ingin menguasi kehidupan masyarakat lain.  Banyak contoh yang bisa kita rasakan dan kita alami, penulis mencontohkan suatu kasus yang real agar pembaca mau dan belajar untuk berpikir.
      Aturan atau norma yang diadopsi tanpa mempertimbangkan kondisi atau karena paksaan dari masyarakat lain mengakibatkan goncangan culture yang ada dimasyarakat.  Memang kita akui slogan generalisasi barat yang menyamakan hak dan kewajiban masyarakat sudah mendarah daging di manusia sekarang.  Malah masyarakat kita yang jauh lebih santun dari masyarakat barat berubah menjadi lebih arogan dan individualis jika dibandingkan dengan mereka. Aturan atau norma yang ada tersebut ternyata malah disalah gunakan dengan persepsi yang berbeda ketika menjalankannya.  Akibatnya, mis perseption / salah persepsi dari aturan yang ada.  Atau ini merupakan tujuan mereka untuk merusak tatanan kita? Atau memang sengaja kita yang salah dalam mentafsirkannya.
         Aturan atau norma yang ada seharusnya didasarkan atau nilai (value) dan keyakinan yang dimiliki oleh manusia.  Nilai atau keyakinan inilah yang membentuk sebuah culture.  Maka culture satu masyarakat (kumpulan manusia) satu dengan yang lain terjadi perbedaan dikarenakan adalah perbedaan nilai dan keyakinan yang dimiliki.  Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya ketidaksamaan pemikiran dalam mempersepsikan sebuah obyek.  Ketika orang berbeda persepsi atas obyek yang berbeda maka ibaratnya “banyak orang buta yang berkumpul  untuk mendiskripsikan seekor gajah”.
      Perbedaan culture ini sebetulnya sebuah rahmatan lil ‘alamin.  Sebuah keanekaragaman manusia yang merupakan rahmat Tuhan untuk manusia jika mereka mau berpikir.  Namun jika perbedaan culture ini dianggap masalah akan mengakibatkan sebuah malapetaka bagi kehidupan manusia.  Banyak peperangan dan permusuhan karena masyarakat tidak mengakui perbedaan culture tersebut.  Peperangan ini memang sebuah ramalan dari para malaikat yang mengatakan: “apakah (manusia) ini nantinya akan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah”.  Dan pada kenyataannya peperangan dan pertumpahan terjadi selama ini.  Dan ini dikatakan sebagai “culture sebagai penumpas peradaban”.
        Culture sebagai penumpas peradaban ini terbukti dan banyak terjadi, bagaimana peradaban-peradaban bangsa terdahulu yang hilang akibat mereka saling bermusuhan.  Cerita-cerita ini banyak kita baca dalam sejarah dunia maupun banyak termaktub di kitab suci.  Sehingga dapat dikatakan culture merupakan batas yang selama ini membatasi kehidupan manusia itu sendiri.  Kenapa sebagai pembatas, karena  yang mereka bentuk hasil dari “kebodohan” dan ego manusia itu sendiri yang salah dalam mempersepsikan pedoman hidup atau kitab suci mereka.  Atau juga mereka selama ini tidak berpegang teguh pada pedoman hidup yang diberikan oleh Tuhan, dan mereka memiliki pedoman sendiri yang didasarkan atas kekerdilan akal mereka.
Diri Melampaui Batas Untuk Mencapai Yang Tak Terbatas
         Kesadaran diri kita bahwa selama ini kita terbatas dalam kehidupan ini bisa kita peroleh jika kita melakukan perenungan dan berpikir.  Perenungan dan berpikir adalah dengan menyeimbangkan akal dan logika antara logika material dan spiritual.  Sadar atau tidak selama ini kita dikuasai dengan akal dan logika material, yang menguasai kehidupan kita sehari-hari.  Penguasaan logika material ini karena dogma yang kita terima dari orang tua dan masyarakat yang berada disekitar kita.
            Penguasaan logika material selama ini memang karena kita berpikir dengan logika positivisme yang dikembangkan oleh culture “barat” kapitalism.  Sehingga apapun ukuran dalam kehidupan dan jalan keluar masalah adalah dengan pertimbangan logika material.  Termasuk kasus atau wabah yang sekarang ini baru kita hadapi, yaitu corona.  Secara otomatis jalan keluar dari wabah ini banyak mengacu pada pemikiran dan kebijakan negara kapitalism sehingga aspek spiritualitas dikesampingkan dan malah dihiraukan sama sekali.  Kebijakan lockdown yang seharusnya digunakan untuk berpikir dan merenung (dzikkrullah) dan melihat sejauh mana perjalanan kita sebagai musafir dalam menjalani kehidupan ini.
      Keberhasilan para kapitalism ini dalam menanamkan paradigma materialitas menyebabkan dua hal:
1.    Dominasi logika materialisme dalam kehidupan manusia
Condong ke logika materialisme menyebabkan pergeseran keseimbangan kehidupan manusia, dari pola hidup yang alamiah berdasarkan pedoman hidup berubah pada pola hidup yang didasarkan pada paradigma ilmiah.  Ini menyebabkan logika materialisme diutamakan dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan.
Padahal kita tahu bahwa manusia adalah memiliki akal yang sempurna yang bisa menyeimbangkan kehidupan yaitu akal material untuk memikirkan kehidupan dunia dan akal spiritual untuk berpikir masalah “Rabb”. Dengan akal spiritual itulah manusia bisa selamat dalam perjalanankehidupannya mulai dari dunia sampai tujuan akhir yaitu akherat.  Namun kenyataannya sekarang pergeseran ekuilibrium akal dalam kehidupan ini condong ke sisi horizontal yang berfokus pada kehidupan dunia ini.
Dampak dari akal yang materialisme adalah kehidupan kembali ke era Jahiliyah, dimana mereka mengutamakan materi dan me”Tuhan”kan benda sebagai Tuhan mereka.  Banyak yang tidak sadar masyarakat yang sekarang ini mengaku agamis ternyata terjebak pada aliran itu, bahkan mereka juga sangat terprovokasi dengan statement yang dikeluarkan para “nabi” orang kapitalisme tersebut.
Perlu sebuah dekonstruksi mulai dari pembelajaran dan pendidikan yang lebih menekankan aspek syariah yang hakiki, bukan sekedar lipsing yang selama ini banyak dilakukan oleh para penganut faham materialisme.  Karena dunia sudah terjajah oleh umat materialisme, maka dramaturgi perlu dilakukan agar mereka tidak ditinggalkan customer mereka yang mulai sadar pentingnya “syariah” dalam menjalani kehidupannya.
2.    Pergeseran culture sebagai batas kehidupan
Culture adalah merupakan manifestasi dari value dan beliefs yang dimiliki oleh masyarakat.  culture yang baik adalah didasarkan pada azas atau pedoman hidup yang diberikan kepada mereka.  Pedoman hidup yang hakiki kebenaran dan sebagai pedoman manusia adalah kitab suci yang diberikan kepada manusia.  Lebih lebih kita sebagai umat muslim maka culture harus dibentuk dari manifestasi value dan beliefs yang terdapat dalam Al Qur’an.
Namun kenyataannya “godaan” pihak lain telah melunturkan value dan beliefs tersebut.  Imperialisme kaum kapitalis berhasil dalam menguasai aqidah kita.  Hal ini mengakibatkan kerja “syariah” kita sudah bukan syariah yang berdasarkan Al Qur’an.  Topeng-topeng santri dan ulama yang menutupi tubuh materialisme menjadi panutan banyak orang, dan hal ini didukung dengan kemajuan teknologi yang sangat membantu menguatkan cengkeraman paham kapitalisme pada diri kita.
Pergeseran culture yang sangat baik yang dikembangkan oleh Muhammad SAW dikaburkan dengan statement mereka.  Berkembangnya hoaks yang mengatasnamakan agama banyak ditelan mentah oleh diri kita. Hal ini mengakibatkan goyahnya akidah kita yang dulunya bersifat “alamiah” berubah pada akidah yang sifatnya “ilmiah”.
Pengembalian culture yang sudah sangat jauh dari harapan Muhammad SAW ini harus dilakukan dengan pemurnian akidah manusia.  Diri perlu melakukan perenungan dan berpikir kembali serta perlu mengkaji kembali pedoman hidup yang diberikan RABB saat perjanjian rububiyah.   Jika perenungan ini dilakukan seperti saat Muhammad di Gua Hira maka akan menemukan jawaban yang sesungguhnya apa yang harus dilakukan.  Bagaimana menemukan Gua Hira? Jawabannya ada di artikel yang pernah saya tulis.
Revolusi dan pengembalian culture dimulai dari reevalusi atas value dan beliefs yang selama ini sudah tertanam di diri kita.  Memang ini bukan pekerjaan yang mudah seperti membalikkan tangan kita. Namun ini penting bagi diri kita untuk melakukan pergeseran culture yang selama ini kita jalani.  Mungkin dalam perjalanan dalam mengembalikan culture yang sesuai dengan culture Muhammad SAW akan banyak menemui hambatan dan mungkin kita dikatakan sebagai mahkluk asing yang salah alam.
Dua masalah yang berhasil ditanamkan oleh para kapitalism tersebut bukanlah hal yang sepele. Namun itu merupakan akar dari permasalahan umat manusia khususnya dirikita sendiri selama kita menghadapi perjalanan ini.  Jika kita tetap berpegang pada culture ini maka kita tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki.
         Jika diri kita sadar, maka akan melakukan musahabah untuk melakukan itu.  Beratnya sebuah perjuangan akan kita rasakan seperti beratnya perjalanan nabi dalam melakukan syiar agama. Banyak tantangan yang muncul bukan hanya dari kolega, pimpinan atau dari pekerjaan, namun juga dari keluarga kita.
        Batas yang selama ini berasal dari culture yang ada disekitar kita harus kita tembus agar kita bisa melampaui batas. Maksudnya adalah dengan batasan yang dibuat manusia selama ini yang sudah jauh menyimpang dari pedoman hidup manusia harus kita lampaui, karena kita hidup diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk mengeksplore kehidupan kita untuk mencari bekal dalam perjalanan manusia.  Batas dari culture inilah selama ini yang mengkredilkan diri kita, bahkan mungkin selama ini kita sama seperti janji Allah dalam QS At Tien yaitu sebagai mahkluk dengan kasta yang paling rendah.
         Jika diri kita sadar mungkin posisi kita sekarang ini dengan batasan dari culture yang ada, akan sangat menyesal kelak (lihat AL A’raf 172). Untuk itu perlu kita melakukan lompatan yang melampaui batas tersebut, karena diri kita mampu.  Sadar atau tidak jika kita merenung, diri kita akan menemukan jawaban karena kita sebagai manusia sebagai mahkluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahkluk ciptaan yang lain. kesempurnaan diri kita sebagai mahkluk yang tertinggi derajatnya akan tercapai jika kita mau merenung dan berpikir (Iqra') yang akan menemukan ilmu sejati yang secara alamiah digunakan untuk bekal kehidupan di dunia.
           Bagaimana diri kita bisa melampui batas tersebut? Adalah dengan selalu belajar dan berpegang teguh pada pedoman (Al Qur’an) sebagai batasan yang tidak terbatas.  Dengan belajar maka Derajat kita akan dinaikkan lebih tinggi dibandingkan dengan mahkluk lain, dan itulah kenapa para malaikat dan mahkluk lain sujud ke Adam.  Belajar dan merenung adalah sebagai sarana untuk meningkatkan ilmu dan mengasah akal spiritual kita, karena dengan akal spiritual itulah sebagai ciri manusia yang hakiki. Dengan belajar dan menggunakan akal spiritual kita akan menggeser equlibrium kehidupan kita dari kehidupan materialisme menjadi kehidupan yang syariah.  Dan kehidupan syariah yang kita tuju akan menjadikan aqidah kita seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT.
         Paragraf terakhir ini kita simpulkan.  Diri kita selama ini hidup dalam batasan yang sering disebut dengan culture.  Dan culture selama ini berpusat pada paham kapitalisme yang mengakibatkan pergeseran equlibrium kehidupan.  Dengan equlibrium sekarang mengakibatkan manusia sebagai mahkluk yang paling rendah derajatnya dibandingkan dengan mahkluk lain.  Untuk itu perlu melakukan dekonstruksi atas culture yang ada, dan culture harus dibangun berdasarkan Al Qur’an.  Jika kita belajar dan merenung tentang diri kita dan menemukan jati diri kita seperti yang tertulis dalam Al Qur’an maka diri kita pasti bisa menembus batas menuju batas yang tidak terbatas.

Magelang, 5 April 2020



Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIRI DAN ASTROLAH SANG PENCIPTA

Terjebak Jalan Pulang

Pasukan Bergajah