PERSPEKTIF “MANUSIA SEJATI”: PERUBAHAN PIKIRAN (MINDSET) DAN MEMBUKA “TABIR HIJAB” DALAM PENELITIAN
“Manusia
sejati” (Magelang, 1 mei 2017)
Guru
Sejati ora keri sebab ora jumaneneng ngantos sak puniko...
Ngresikne
pikiran kanti mbasoh dodot iro
Nyulam
batin sing suwek mergo nafsu liyo
Manunggal
siji marang Ruhing Gusti
Makaryo
(meneliti) mergo manunggal siji karo Gusti
A.
Pengantar
Untuk membahas
pikiran dan hijab, maka saya selaku seorang muslim (beragama islam) akan
mengacu seperti yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. Berpijak pada proses bagaimana melakukan
proses penenangan diri dari hiruk pikuk dunia kaum qurais (bangsa arab) yang
dikatakan dalam buku buku agama dengan kaum Jahiliyah (barbar) yang
menyembah pada berhala, padahal mereka adalah mengaku agama Ibrani namun dalam
aliran yang salah.
Kehidupan di
mekah pada saat itu laksana seperti masyarkat yang memperlakukan hukum
rimba. Dalam masa itu pembunuhan yang
tanpa sebab sering terjadi, orang tua malu memiliki anak perempuan malu
sehingga akan dibunuh, dan masih banyak lagi kehidupan yang tidak sesuai dengan
ajaran agama. Dan pada saat itu sistem
perbudakan berlaku, seorang budak tidak mungkin memilik derajat yang sama
dengan derajat tuannya.
Dengan motivasi
tersebut maka muhammad sering melakukan tafakur dan berpikir dengan akal-hati
untuk mencari jalan keluar atas kondisi masyarakat di masa itu. Ia bisa berhari-hari bertafakur dan beribadah
disana dan sikapnya itu dianggap sangat bertentangan dengan kebudayaan Arab
pada zaman tersebut dan di sinilah ia sering berpikir dengan mendalam, memohon
kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan. Proses bertafakur dan
berbulan-bulan dia lakukan untuk menemukan sesuatu yang bisa membuka hijab atas
permasalan yang ada di masyarakat tersebut.
Tujuan yang
mulia dari Muhammad Rasullulah ini yang
ingin mengubah dan mencari sumber permasalahan dan menemukan jalan keluar dari
permasalahan tersebut adalah dengan membuka hijab yang ada dan dimulai dengan
mind (pikiran) dia sendiri. Setelah
beliau mampu menemukan dan membuka hijab melalui tafakur (berpikir dan
berzikir) dengan menenangkan hati di suatu tempat, dengan bantuan utusan ALLAH
yaitu malaikat Jibril. Dan tugas
selanjutnya dia menyiarkan dan mengajak orang lain untuk berpikir dan
mengkritisi kehidupan kaumnya.
Demikian juga
saya sebagai akademisi/mahasiswa yang terbiasa melakukan penelitian, ada
sesuatu yang mungkin sama dengan kondisi keadaan jaman tersebut (jangan
diartikan sama). Saya belajar dan mengajar serta melakukan penelitian dengan
metode yang selama ini terbiasa dilakukan oleh para akademisi, yaitu pendekatan
Posistivisme. Dalam positivisme tersebut
dan selama ini menjadi keyakinan saya dalam melakukan aktivitas perkuliahan
ibaratkan suatu God approach, yang tidak salah, dalam menjawab semua
pertanyaan permasalahan dalam ilmu pengetahuan.
Jika kita sadar
(bertafakur) dengan hati yang dalam, kita mengakui adanya sebuah kekeliruan
yang ada dengan pendekatan positivisme. Ada pendekatan lain yang ada selain
pendekatan positivisme, yaitu pendekatan non positivisme. Pendekatan non positivisme ini sering dikenal pendekatan induktif, dimana
pendekatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan teori yang baru dengan
pendekatan subyektif dari peneliti-peneliti sehingga nanti akan mengerucut
menjadi sebuah teori baru. Sedangkan
kelemahan dari pendekatan positivisme hanya untuk mengkonfirmasi dan men-generalisasi
teori yang ada, sehingga sulit untuk menemukan teori yang baru. Setiawan (dalam
Krisna, 2001), “ kondisi semacam ini (positivisme) diteruskan, ditularkan, dan
disebarluaskan dengan sengaja atau tidak sengaja telah menjadikan kita seperti
Robot. Dan kalau direnungkan secara
jujur, kebanyakan di antara kita sudah menjadi robot. Tujuan hidup kita hanya satu yaitu
terpenuhinya kebutuhan insting.”
Sehingga dalam
makalah ini saya akan membahas bagaimana mind kita gunakan untuk mencari dan
membuka hijab baru yang akan digunakan
dalam penelitian baik selaku akademisi maupun sebagai mahasiswa. Dalam makalah ini akan membahas seputar mind,
pentingnya mind, hijab dan bagaimana membuka hijab, serta diakhiri dengan
konsekuensi pembukaan hijab ini.
B.
Pikiran atau Mind
Menurut wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Pikiran), pikiran (Mind) adalah gagasan dan proses mental. Berpikir
memungkinkan seseorang untuk merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan
perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana, dan
keinginan. Kata yang merujuk pada konsep dan proses yang sama diantaranya
kognisi, pemahaman, kesadaran, gagasan, dan imajinasi. Jadi berpikir melibatkan
manipulasi otak terhadap informasi, seperti saat kita membentuk konsep,
terlibat dalam pemecahan masalah, melakukan penalaran, dan membuat keputusan.
Konsep berpikir kita selama ini banyak dipengaruhi oleh orang lain. Orang orang yang biasa mempengaruhi kita
berpikir dan membentuk mindset kita dalam belajar ekonomi (terlebih ilmu
metodologi penelitian), yang selama ini saya alami adalah dosen-dosen yang
semuanya aliran positifisme. Jadi secara
otomatis mindset kita tidak dikenalkan dengan pendekatan lain selain positivisme.
Mindset positivisme yang saya pelajari selama ini adalah konsep
dimana pikiran kita bisa menerima jika sesuatu itu masuk akal, didasarkan atas
kesepakatan umum (obyektivitas). Pada
hal ini sebetulnya menurut ilmu yang saya terima dari membaca buku-buku filsafat
masih sangat kurang. Kurangnya ini saya
temukan di pendekatan lain, yaitu non pos.
Konsep menerima kebenaran yang masih kurang adalah konsep penerimaan
intuitif, dan penerimaan kebenaran sesuai dengan keyakinan yang kita
miliki. Mindset yang didasarkan atas
kebenaran yang berdasarkan kebenaran dikenal dengan mindset spiritual dan
religuitas.
Mindset
dalam metodologi nonpositivisme memang bersifat subyektif. Namun karena sifat subyektifitas ini bukan
berarti pendekatan non pos tidak bersifat ilmiah dan kadang dikatakan
mengada-ada. Pendekatan subyektif ini
diakibatkan bukan karena tidak obyektifnya pendekatan non pos. Hal ini diakibatkan dalam pendektan non pos
bersifat induktif. Mindset pendekatan
induktif adalah merupakan pendekatan yang subyektif karena didasarkan atas
pengamatan oleh individu peneliti-peneliti, dan mengambil keputusan berdasarkan
pengamatan tersebut.
C.
Manusia sejati
Seperti kita ketahui manusia terdiri dari tiga unsur yaitu jiwa,
ruh dan jasad. Jiwa dan ruh adalah
sesuatu yang sifatnya ghaib, sehingga bersifat subyektif. Sehingga pandangan setiap orang akan barang
ghaib berbeda-berbeda. Kehadiran dan
adanya benda ghaib tersebut dapat kita pahami dan kita rasakan. Asal kita mempunyai mindset yang sama
terhadap jiwa dan ruh.
Jiwa adalah sesuatu yang dibawa manusia sejak kita dilahirkan. Jiwa merupakan bahan dasar yang dimiliki oleh
manusia yang akan melekat dan mempengaruhi manusia dalam bertindak berbuat dan
berpikir. Ruh adalah milik Tuhan atau
bagian dari Tuhan yang ada dalam diri manusia.
Ruh adalah merupakan jantung dari kehidupan kita. Ruh ada maka manusia berarti hidup,
sebaliknya jika ruh tidak ada maka manusia menjadi benda mati.
Sedangkan jasad adalah bersifat fisik yang bisa dilihat dan diraba
oleh panca indera manusia. Jasad
adalah sesuatu yang sifatnya obyektif (menurut pemahaman sekelerime). Karena bisa dilihat dengan mata, bisa
didengar dengan telinga, bisa dirasa dengan lidah, bisa diraba dengan
tangan. Jasad yang hidup adalah jasad
yang masih bisa digerakkan salah satu bagian dari tubuh kita. Jika tubuh sudah tidak dapat digerakkan maka
jiwa itu dikatakan mati.
Namun banyak orang mengatakan bahwa manusia hanya dua unsur yaitu
jiwa (ruh) dan jasad. Pandangan ini tidak salah, namun jika kita cermati dengan
kesadaran diri yang dalam maka pandangan masyarakat umum ini salah.
Dalam kesadaran kita jika kita belajar dalam filsafat islam/jawa
khususnya, bahwa manusia akan mendapatkan pengetahuan jika kita bisa membuka
dan menyatukan apa yang ada di diri kita.
Self yang ada dalam diri kita terdiri dari tiga bagian yaitu: panca
indra, rasa hati dan pengertian (pemahaman).
Panca indera adalah lima bagian yang dapat kita lihat, rasa, raba,
dengar dan cium. Sedangkan rasa hati
adalah tentang bagaimana kesadaran diri
yang memahami tentang keberadaan akau dimana aku dapat merasakan senang,
susah, bahagia dan lain sebagainya. Diri
kita yang ketiga adalah pengertian (pemahaman), diri ketiga kita inilah yang
sebetulnya merupakan decision maker dalam kehidupan kita sehari-hari. Kegunaan pengertian (pemahaman) adalah dapat memberikan, menentukan dan
memberikan keputusan mengenai hal-hal yang berasal dari panca indera dan rasa
dihati. Maka inilah yang disebut dengan pemahaman atau pengertian.
Manusia sejati adalah manusia yang mampu mengelola ketiga hal
tersebut menjadi satu kesatuan. Kita
sadar bahwa kita bagian dari Tuhan (atau ada yang lebih frontal mengatakan diri
kita adalah Tuhan), kita punya rasa hati yang bisa mempertimbangkan apa yang
menjadi keinginan dari panca indra.
Inilah yang disebut dengan mindset manusia sejati.
Mindset manusia sejati dalam berpikir yang ada dalam diri akademisi
atau mahasiswa adalah mind set yang tidak hanya bersifat obyektif namun juga
harus bersifat subyektif. Namun memandang bahwa obyektifitas dan subyektifitas
itu ada sebagai satu kesatuan yang harus dipahami dan dijalankan secara
besama-sama. Akan tetapi selama ini
mereka hanya bersifat subyektif saja ataupun obyektif saja, bukan sebagai satu
kesatuan yang tunggal (non positif dan positiivme yang dikembangkan orang
barat). Namun bagaimana menjadikan
penelitian itu sebagai satu kesatuan seperti yang ada dalam tubuh manusia.
Mindset manusia yang dikembangkan selama ini berdasarkan hal tersebut perlu adanya pendekatan
tambahan yang sifatnya spirualitas dan religuitas. Inilah yang tidak ada dalam
pengembangan pendekatan yang selama ini ada dalam dua kutub, mereka
mengembangkan konsep-konsep pemikiran yang ada tanpa mengembangkan unsur ruh.
Unsur ruh yang ada dari diri Tuhan. unsur tersebut adalah unsur spiritual dan
religuitas.
D.
Pentingnya Mindset Religiutas untuk penelitian
Mindset sangat penting bagi seorang peneliti dalam mengembangkan
teori. Mindset tersebut akan membawa kita ke arah mana penelitian ini kita
lakukan. Dan dari penelitian yang kita lakukan ini akan berdampak pada
kontribusi yang akan kita berikan.
Kontribusi dari peneliti yang mempunyai mindset positivisme yang bersifat deduktif adalah
pendekatan metodologi penelitian yang didasarkan atas suatu teori tertentu. Dalam pendekatan ini menggunakan logika yang
scientific (menurut positivisme) dengan menarik atau menguji beberapa premis
untuk menarik sebuah kesimpulan. Hasil yang di harapkan dari pendekatan ini
adalah untuk men generalisasi teori yang ada.
Sedangkan pendekatan peneliti yang mempunyai mindset non
positivisme biasanya sering disebut dengan pendekatan induktif. Dalam pendekatan induktif merupakan
pendekatan yang mengamati sesuatu yang khusus menjadi sesuatu yang sifatnya
umum. Tujuan dari pendekatan induktif
ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran ilmu dimulai dari sesuatu yang umum
ke khusus, atau dengan kata lain untuk menemukan teori yang baru.
Mindset manusia sejati dalam penelitian adalah mind set yang tidak
hanya bersifat obyektif namun juga harus bersifat subyektif. Namun memandang
bahwa obyektifitas dan subyektifitas itu ada sebagai satu kesatuan yang harus
dipahami dan dijalankan secara besama-sama.
Akan tetapi selama ini mereka hanya bersifat subyektif saja ataupun
obyektif saja, bukan sebagai satu kesatuan yang tunggal (non positif dan
positiivme yang dikembangkan orang barat).
Namun bagaimana menjadikan penelitian itu sebagai satu kesatuan seperti
yang ada dalam tubuh manusia.
Maka mindset penelitian yang dikembangkan berdasarkan hal tersebut
perlu adanya pendekatan yang sifatnya spirualitas dan religuitas. Inilah yang
tidak ada dalam pengembangan pendekatan yang selama ini ada dalam dua kutub,
mereka mengembangkan konsep-konsep penelitian yang ada tanpa mengembangkan unsur
ruh. Unsur ruh yang ada dari diri Tuhan. unsur tersebut adalah unsur spiritual
dan religuitas.
E.
Hijab yang membatasi kita
Seringkalli
seorang peneliti kadang kala sudah fanatik terhadap pendekatan penelitian yang
dia miliki. Termasuk saya, selama ini saya adalah orang yang termasuk
dalam pendekatan positivisme. Merasa
lebih tinggi kualitas risetnya jika dibandikan mereka yang menggunakan metode
non-positivism. Karena asumsi saya bahwa
karena penelitian positif lebih scientific dan lebih logic atau obyektif bila dibandikan dengan
penelitian non positivisme. Inilah yang
mungkin dikatakan sebagai hijab dalam metodologi penelitian.
Hijab ini
merupakan hasil dari mindset yang selama ini saya miliki. Lingkungan kami seratus persen adalah mereka
yang selalu melakukan penelitian dengan pendekatan positif. Sehingga ini semakin meyakinkan saya bahwa
pendekatan yang benar dalam melakukan penelitian adalah pendekatan positivisme.
Hijab yang
membatasi ini akan semakin kuat jika kita tidak memilki kesadaran untuk bisa menerima perbedaan. Dan biasanya hijab ini mengakibatkan kekuatan
untuk menolak kebenaran dari pendekatan lain yang ada di metode riset
lain. Sifat ini merupakan sifat yang
salah bagi seorang ilmuwan lebih-lebih seorang akademisi, yang harusnya
memiliki sifat keterbukaan atas pendekatan metode penelitian yang lain.
F.
Bagaimana membuka hijab
Membuka hijab
adalah sesuatu pekerjaan sulit, baik dari pendekatan postivisme ke pendekatan
non pos ataupun sebaliknya. Lebih lebih
mereka telah memiliki bahwa paradigma atau aliran metode penelitian yang lain
adalah salah. Untuk itu penting bagi
kita mengetahui dan belajar untuk mau menerima perbedaan paradigma, terlebih
kita mau belajar atas metode atau paradigma pendekatan yang lain.Kesadaran
membuka hijab akan muncul jika kita mau membuka mind kita atas perbedaan yang
ada.
Membuka hijab
dimulai dari diri kita sendiri.
Kesadaran diri kita akan metode yang lain biasanya muncul akibat
ketidakpuasan diri kita atas metode yang lain, ataupun adanya motivasi lain
atas penerimaan metode penelitian yang lain.
Ketidakpuasan muncul akibat dari ke maksimalan kita setelah mempelajari
salah satu metode penelitian tertentu. Sebagai contoh adalah saya, setelah lama
berkecimpung dalam pendekatan positivisme ada titik kejenuhan dalam melakukan
analisis yang ada. Disamping itu saya
juga menyadari bahwa kejenuhan itu karena tidak adanya penolakan atas teori
yang ada, walaupun kita menyadari bahwa banyak penelitian yang menyatakan bahwa
teori tersebut salah. Namun kita tidak
bisa menyalahkan teori yang kita gunakan sebagai dasar yang digunakan untuk
menurunkan hipotesis dalam penelitian.
Kegalauan atau
kegundahan hati inilah yang menyebabkan ada sesuatu yang harus kami cari. Terlebih jika kita hubungkan dengan keyakinan
kita maupun buku buka yang kita baca mengenai maksud tersembunyi dari
pendekatan positivisme yang selama ini kita anut. Maka salah satu jalan untuk menjawab ini,
saya belajar dalam institusi pendidikan yang memiliki perbedaan perspektif
dalam peneliti. Masuk universitas
Brawijaya adalah salah satu alat yang mampu membuka perpektif lain. Salah satu contoh adalah mengikuti dua mata
kulaih di semester ini yaitu filsafat ilmu dan metode kritis.
Dari
artikel-artikel yang saya baca ternyata disitu menunjukkan bahwa paradigma
positivisme memiliki kejenuhan dalam melaukukan analisis atas hasil temuan yang
kita temukan dalam riset kita. Banyak
artikel lain yang memiliki pendekatan non pos banyak mengkritisi pendekatan
positivisme, salah satunya adalah menyebutkan bahwa pendekatan ini memiliki
syarat muatan politis. Salah satunya dalam beberapa artikel yang
pernah saya bahas, yang menyatakan bahwa pendekatan positivisme merupakan faham
titipan dari bentuk imperialisme dan kapitalis negara barat ke negara-negara yang
berada dalam penawannya.
G.
Konsekuensi Membuka hijab dalam reseach
Setalah
belajar memahami makna manusia sejati dan sudah tertanam mindset penelitan
kita, maka seharusnya sebagai kalangan yang berasal dari akademisi harus
menggunakannya. Seorang guru besar di
universitas Brawijaya (Triyuwono), mengatakan ada tujuh type penelitian yang
ada. Ketujuh pendekatan yang harus kita
tanamkan untuk menuju pribadi manusia sejati dalam melakukan riset adalah:
1.
Paradigma
Positivisme, dalam paradima ini para peneliti yang berkeyakinan bahwa
pendekatan deduktif yang terbaik, mereka melakukan hanya untuk sekedar
menjelaskan fenomena yang terjadi dengan teori yang ada kemudian diteruskan
dengan melakukan prediksi kejadian-kejadian yang terjadi dengan data-data dan
teori yang ada.
2.
Paradigma
Interpretative, dalam paradigma ini para peneliti melakukan pengamatan pada
suatu obyek yang diamati, setelah itu mereka menafsirkan dan memahami dengan
kedalaman pemahaman dan pengetahuan mereka (mindset) yang dia miliki. Pendekatan ini memang memiliki sifat yang
subyektif.
3.
Paradigma
emansipasionis, merupakan paradigma penelitian yang ditujukan untuk membebaskan
dan mengubah kondisi suatu obyek yang diteliti berdasarkan pada mindset yang
dia miliki. Jika mindset itu benar maka
pembebasan itu menuju arah yang benar, namun jika mindset itu salah maka akan
salah juga arah yang dituju.
4.
Paradima
postmodernist, merupakan paradigma penelitian yang bertujuan untuk
mendekonstruksi obyek yang diteliti. Dekonstruksi ini akibat bergesernya pola
tatanan masyarakat akibat adanya pergeseren budaya dan peradaban (termasuk
teknologi). Penelitian ini bersifat subyektif karena dalam mendekonstruksi juga
berdasarkan atas pemahaman mindset mereka.
5.
Paradigma
Religuis, merupakan paradigma peneltian yang melakukan penelitian berdasarkan
pada mindset religi yang dia miliki. Tujuan
dari penelitian ini adalah memahami dan mengoperasionalkan pemahaman religi
yang dia miliki dengan kondisi obyek yang diteliti.
6.
Paradigma
Spiritualis, merupakan paradigma utuh sebagai manusia sejati dimana tiga aspek
yang ada dalam diri manusia yaitu panca indera, jiwa dan ruh bersatu menjadi
satu kesatuan, sehingga penelitian yang dilakukan adalah selalu mendatangkan
kehadiran Tuhan yang membantu dalam menyelesaikan dan menjawab setiap
permasalah yang ada.
7.
Paradigma
Illahi, merupakan paradigma diatas
manusia sejati karena dia melakukan penelitian karena keberadaan Tuhan yang
menyatu dalam dirinya. Sehingga dia melakukan penelitian seperti dia mengatur
alam semesta. Kebenaran hasil
penelitian adalah hasil penelitian Tuhan yang menyatu dalam dirinya.
Setelah kita tahu peta penelitian yang ada tersebut maka kita bisa
memilih, paradigma mana yang sesuai atau paradigma mana yang kita yakini kita
di posisi itu. Karena dengan meyakini
satu paradima yang benar maka akan menentukan mindset dan pembelajaran kita
sebagai akademisi untuk menuju paradigma Illahi.
F. Kesimpulan
Mind atau pikiran adalah konsep membawa diri sebagai seorang
peneliti dalam mengembangkan teori. Mindset tersebut akan membawa kita ke arah
mana penelitian ini kita lakukan. Mindset manusia sejati adalah bersatunya tiga
elemen yang ada dalam diri manusia yaitu; jiwa, fisik dan ruh. Konsep ini
adalah filosofi dasar yang kita yakini untuk mengembangkan diri dan penelitian
yang ada. Akibat dari adanya manusia
sejati ini maka paradigma penelitian yang ada berubah namun sejalan dengan
paradigma yang dikembangkan oleh para pemikir dari negara barat. Paradigma yang dikembangkan dalam manusia
sejati adalah positivisme, interpretatif, emansipasionis, postmodernis,
religuitas, spiritualitas dan paradigma Illahi.
Pemilihan paradigma didasarkan mind yang kita miliki untuk menuju arah
yang dikehendaki.
Daftar pusata
1. Burrell, Gibson and
Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis:
Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann. (Chapter 1)
2. Agustian, Ary
Ginanjar. 2001. ESQ: Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman
dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga
3. Chodjim, Achmad. 2002.
Syekh Siti Jenar: Makna Kematian.
Jakarta: Serambi
4. Chodjim, Achmad. 2003.
Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
Jakarta: Serambi
5. Chodjim, Achmad. 2007.
Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna
Kehidupan. Jakarta: Serambi
6. Chodjim, Achmad. 2013.
Syekh Siti Jenar: Makrifat Kasunyatan.
Jakarta: Serambi
7. Endraswara,
suwardi, 2014, Guru Sejati: Jalan untuk menemukan kemurnian abadi, Yogyakarta :
Narasi,
8. Krishna, Anand. 2001. Ilmu
Medis dan Meditasi: Conscious Mind, Subconscious Mind, Superconscious Mind,
& No-Mind. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
9. Murphy, Joseph.
1997. The Power of Your Subconscious Mind. London: Pocket Book.
Komentar
Posting Komentar